Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. Tetapi bagi yang baik — betapa luhurnya aku. (Mirza Khan, Anshari)
Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). Ia keturunan Hatim ath-Tha’i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dan dalam Ruba’iyat versi FitzGerald disebutkan, “Ijinkan Hatim ath-Tha’i berseru: Pesta! “Jangan hiraukan dia!” (maksudnya karena terlalu seringnya menjamu orang-orang lain).
Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.
Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung, Sulthanul-Ikhwan (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.
Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur’an serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.
Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik dimana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.
Ia tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan.
Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai ajaran (ortodoks) Islam. Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid’ah, tetapi suatu makna batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki semangat Sufisme — menemukan para Sufi melalui keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.
Bagaimana proses ini bekerja, dicontohkan dalam sebuah ulasan Profesor R.A. Nicholson yang terkenal itu, yang menterjemahkan karya Ibnu Arabi, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):
Adalah benar bahwa sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung cinta biasa, dan ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari orang-orang sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai bahwa karya ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa dipahami. Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.1
Banyak sekali peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat ini dikaji sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya.
Sebagian tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami mitologi kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen. Puisi lainnya berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi cinta. Tidak seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui makna skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal ini membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam namanya.
Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah “menyebarkan” (bahasa Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui pandangan kontemporer dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup dalam masyarakat. Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan sesuai dengan pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran (NSYR) pada waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi menggunakan sebuah alternatif. Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu Saraqa, “anak gergaji”. Akan tetapi Saraqa dengan akar kata SRQ merupakan kata lain dari gergaji yang diambil dari akar kata NSYR. Akar kata NSYR jika diubah secara normal bermakna “penerbitan, penyebaran”, dan juga bermakna “menggergaji”. Kata ini juga bermakna menghidupkan. Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin, diterjemahkan dengan “Yang Menghidupkan Agama.”2
Dengan mengambil akar kata NSYR secara literal, seperti hampir semua sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan seorang sejarawan yang terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan bahwa ayahnya adalah seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan sebagai “tukang kayu” dalam pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh para Sufi yang menggunakan istilah untuk pertemuan mereka, dalam menjelaskan jamaah mereka di suatu tempat bagi sejumlah orang yang tidak ingin terlihat sebagai kelompok penentang.
Sebagian pernyataan Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri sangat mengejutkan. Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah dilihat dalam suatu bentuk material. “Pandangan tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bagi Sufi, puisi cinta sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu pengalaman ketuhanan yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi lainnya. Setiap pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan mengandung ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata hanya memiliki satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah arti penting yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu yang, meskipun ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh mereka ketika membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya dapat memahami bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu makna.
Kepada para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu Arabi secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Malaikat sebenarnya merupakan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan organ-organ manusia.” Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini.
Tanpa mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dante3 mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam suatu kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal itu, ia telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan benar-benar mengabaikan Profesor Asin dengan suatu contoh abadi dari apa yang oleh pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan. Sebaliknya, Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi, namun disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.
Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada keadaan-keadaan fisik tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para Sufi. Ia merujuk hal ini di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya ditulis dalam keadaan “mabuk” (trance), dan maknanya tidak jelas baginya sampai setelah beberapa saat penulisannya. Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi Ceuta, di mana ia memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar Roma, Frederick). Di sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh seorang ulama masyhur. Orang alim itu mengatakan, “Tidak bisa diukur … jika orang itu ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol yang baru datang.”
Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana kesadarannya masih aktif Dengan melatih fakultas Sufi ini, ia mampu menghasilkan suatu hubungan dengan realitas terakhir (supermatif) dari akal batinnya — realitas yang dijelaskannya mendasari penampakan dunia biasa.
Ajarannya menekankan arti penting pelatihan fakultas-fakultas ini yang tidak diketahui oleh semua orang dan oleh banyak orang telah diserahkan pada okultisme yang konyol. “Seseorang,” tuturnya, “harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya itu.”4
Tidak akan ada gunanya untuk mencoba menafsirkan Ibnu Arabi dari satu pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya diambil dari pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam suatu bentuk yang mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna ganda dan sering demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua makna itu, tetapi juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika puisi ini dinyatakan dalam istilah-istilah yang digunakan oleh orang-orang sebelumnya, hal ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai bukti pengaruh luar. Apa yang diperbuatnya dalam hal ini adalah ditujukan kepada dirinya sendiri untuk orang-orang dalam istilah yang membentuk sebagian latar belakang budaya mereka sendiri. Ada puisi-puisi Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang berubah-ubah — maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke tema lainnya. Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk mencegah proses asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam kenikmatan biasa, sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang penghibur.
Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad — sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia. Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.
Dalam karyanya yang menjadi rujukan utama Sufi, Insan Kamil, al-Jili menjelaskan inkarnasi Hakikat (Muhammadiyah) ini kepada semua orang. Ia berusaha menggambarkan faktor esensial ini dengan memperlihatkan keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Sebagai contoh, Muhammad artinya “Yang Terpuji”. Nama lainnya, sebagai suatu pemaparan dari suatu fungsi, adalah Ayah al-Qasim. Dan namanya, yaitu Abdullah, ia berfungsi sesuai dengan makna literalnya — Hamba Allah. Nama-nama adalah kualitas-kualitas atau fungsi-fungsi. Inkarnasi adalah satu faktor sekunder: “Ia diberi nama-nama dan di setiap masa memiliki satu nama yang sesuai dengan wujud yang ada pada masa itu. Ketika ia dilihat sebagai Muhammad, ia adalah Muhammad, namun ketika dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri.”
Ini bukan suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip. Realitas esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau lainnya ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos, meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber yang sama. Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini adalah pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai salah satu manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang beranggapan bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar dan harus mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari oleh para Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini harus diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara terminologi atau waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial itu.
Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah orang yang dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama, sementara ia tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim bahwa ada suatu kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima oleh setiap agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan membawa pada pencerahan pribadi. Biasanya doktrin ini tidak bisa diterima oleh para teolog (mutakallimun) dengan kepentingannya yang bergantung pada banyak atau tidaknya fakta-fakta statis, bahan sejarah dan kekuatan penalaran.
Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran formal, sementara ia bekerja pada tataran rahasia. Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”
Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:
“Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia tahu. Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah. Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”
Penentangan utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya yang sangat mengagumkan dan mengejutkan — puisi Cinta yang dikenal sebagai Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat sublim, mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan khayalan fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi pembacanya. Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk perkembangan paling jauh dari kesadaran kemanusiaan. Mungkin akan adil bila ditambahkan bahwa D.B. MacDonald memandang luapan rasa Ibnu Arabi itu sebagai “suatu paduan aneh antara teosofi dan paradoks-paradoks metafisik. Semuanya lebih menyerupai teosofi pada masa kita sekarang.”
Bagi para sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq adalah masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.
Pada tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus (Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid’ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.
Ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik, diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam. Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal yang memandangnya sebagai skandal.
Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa “seorang cantik adalah karya seni Ilahi”. Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari pernyataan Sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama (ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya tersebut ke dalam pandangan ortodoks. Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.
Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di luarnya. Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Unggulan
Maksiat Hati.
Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...
Entri paling diminati
-
Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kem...
-
Foto dari Dokumentasi Perpustakaan MEKKAH, tentang 4 orang Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedan...
-
Rahasia nasehat dari sufi adalah sebuah pahaman menuju "Jejak keagungan", t api terhadap peristiwa ini se...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar