Ibrahim bin Adham, Meninggalkan Kerajaan Dunia menuju Kerajaan Akhirat


Ibrahim bin Adham adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, menggantikan ayahnya yang baru mangkat.
Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.
Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga.
Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.
Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadarl kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.
Ketika ia berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi, saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!”
Namun, Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, “Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!”
Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kall. la lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nyal”
Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakal. Setelah mengenakan pakalan usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.
Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.
Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya.
Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.
Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. “Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam,” tegumya. “Aku belum pernah merasakannya, Tuan,” jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. “Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu.” “Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi,” jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi.
Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tidak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrahim.
Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. “Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun.
Tukang kebun yang baru lantas berujar, “Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”
Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, “Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?” “Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim balik bertanya.
Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, “Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang tak ternilai

GUS MIEK (KH.HAMIM DJAZULI) ra. Kekasih Allah Yang ‘Nyleneh’

 
KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman
(seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri).Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas).
Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.
Kisah-kisah Seputar Cara Beliau Da’wah
Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu ke laut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “Sampeyan semua nggak percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Allah SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Allah kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.
Suatu ketika beliau berda’wah di Semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan. Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan.
Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus Miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus Miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang di jalan atau tamu aku diberi pengetahuan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “ jawab Gus Miek
Adanya sistem Da’wah yang dilakukan Gus Miek tidak bisa d contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wah seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyallah.
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
Inna lillahi wa inna ilahi roji’un[]

Tuhfah RA., Sufi Wanita sezaman Dengan Sari As-Saqati ra.


Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia.
Budak Yang Sufi
SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.
SAQATI BERDOA
Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

HAJI BERSAMA
Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.

Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat

Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang  merupakan agama dan duniaku

Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya

Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.

Syekh Sa’di Asy-Syirazi


Barangsiapa mengikuti jalan itu (pencarian kebenaran), ia akan kehilangan topi (kebanggaan) dan kepalanya (rasionalitas). (Nizhami, Treasury of Mysteries)
Gulistan (Kebun Mawar) dan Bustan (Kebun Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika serta banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah. Pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang Darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syahabuddin Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.
kebun mawarPengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa diakui sangat besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra jerman. Penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”
kebun buahSebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Namun di antara para pengulas sastra Barat, hanya Profesor Codrington yang memahaminya lebih dalam:
Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori digunakan.”
Bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.
Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Syekh Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”[1]
Ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tidak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan din. Bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”
Demikian pula tentang ketekunan dalam menjalankan hidup bertapa secara berlebih-lebihan. Pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.
Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.
Prinsip ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal. Hikayat ketiga puluh enam yang mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika). Namun bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru.
Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan.
Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.”
Bait ini tidak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara; bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya.
Kemudian, kisah berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”
Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”2
Pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi; maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:
Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”
Kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Karya Sa’di dibaca dan digemari, karena berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur. Beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.
Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya — akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:
Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”
Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.
Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana. Ia menyatakan, “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.
Dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:
Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.
Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya.
Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung.
Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:
Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.
Catatan kaki:
1 Kutipan ini dan lainnya adalah terjemahan Aga Omar Ali Shah (MS).
2 “Banyak orang terpelajar dirusak ketidaktahuan dan mempelajari apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadhrat Ahmed ibnu Mahsud, seorang Sufi).

Syekh Ibn ‘Atha’illah


Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad Ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, dan meninggal di Kairo pada 1309M. Julukan al-Iskandari atau as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sedari kecil, Ibn ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat al-Syadzili.
Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili.
Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.

Kisah Hafizh, Sang Penuang Cahaya


Inilah sepenggal kisah Syamsuddin Muhammad (1320-1389), yang kemudian dikenal dengan nama Hafizh, sang Pujangga Tuhan, penyair-sufi terkemuka. Dikisahkan bahwa saat ia berusia 21 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pembuat roti. Pada suatu hari, Hafizh disuruh mengantar roti ke sebuah rumah besar. Saat ia sedang berjalan di halaman rumah besar itu, ia bertatap-pandang dengan seorang gadis yang menakjubkannya yang tengah berdiri di teras rumah. Tatap mata sang gadis itu demikian menawan hatinya. Hafizh pun jatuh cinta kepada sang gadis itu, meskipun sang gadis tidak mempedulikannya. Gadis itu putri seorang bangsawan yang kaya raya, sementara ia sendiri hanya seorang pembantu pembuat roti yang miskin. Gadis itu sangat cantik, sementara Hafizh berpostur pendek dan secara fisik tidak menarik, keadaan itu tanpa harapan.
Beberapa bulan berlalu, Hafizh pun menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan sang gadis pujaan dan kerinduan kepadanya. Orang-orang mendengarkan ia melagukan puisi-puisinya, dan ia mengulang-ulangnya. Puisi-puisi itu begitu menyentuh, sehingga ia menjadi terkenal di seantero Syiraz.
Hafizh selanjutnya menjadi demikian terpandang sebagai seorang pujangga, dan ia hanya memikirkan kekasihnya itu. Begitu berhasrat ia memenangkan hati sang gadis, ia pun menempuh berbagai upaya. Ia pun melakukan upaya disiplin ruhani yang berat, ia berkhalwat di makam seorang Waliyullah sepanjang malam selama 40 hari. Ia mengikuti sebuah saran, bahwa barangsiapa yang dapat menuntaskan langkah yang berat itu maka hasrat kalbunya akan dikabulkan. Setiap siang ia bekerja di toko roti, dan ketika malam tiba ia pun berkhalwat dan berdzikir sepanjang malam demi cintanya kepada sang gadis. Cintanya demikian kuat, membuatnya mampu menyelesaikan khalwat itu.
Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok malaikat di hadapan Hafizh, ia meminta Hafizh untuk mengucapakan apa yang menjadi keinginannya. Hafizh demikian terperangah, ia belum pernah melihat sesosok wujud yang demikian indah dan gemerlapan seperti sang malaikat itu. Dalam keterpukauannya Hafizh berfikir, “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah Tuhan jauh lebih indah!”
Sambil menatap cahaya malaikat Tuhan yang berkilauan, lupalah Hafizh menyangkut segala hal tentang sang gadis itu, sirnalah segala keinginanya. Dan, dari lisannya hanya keluar kata-kata: “Aku menginginkan Tuhan!”
Sang malaikat, yakni Jibril as. kemudian mengarahkan Hafizh kepada seorang guru ruhani yang hidup di Syiraz, yaitu Muhammad Aththar, sang pembuat parfum. Jibril as. memerintahkan Hafizh untuk melayani sang guru dengan segala cara, dan keinginanya itu akan terkabul. Hafizh bergegas menemui sang guru, dan mereka memulai bekerja bersama-sama, saat itu juga. Sang pujangga ini adalah seorang penuang Cahaya ke dalam sebuah sendok …
Diadaptasi dari bagian biografi Hafizh, buku “Hafizh: Aku Mendengar Tuhan Tertawa”, Daniel Ladinsky.

Ya Rasulallaah Ya Ahlal Wafa


Wahai Rasulullah..
Wahai yang menyempurnakan janji, wahai yang berakhlak agung, wahai lautan kejernihan.
Engkau setelah Allah, sebaik-baik harapan dan pelindung, wahai pilihan, wahai Mustafa, wahai penutup para Rasul, wahai sebaik-baik manusia, wahai penolong yang sangat cepat, raihlah orang yang salah ini, hambamu yang durhaka, dosa-dosanya menjerumuskannya  di (tempat yang menjadi) penghalang dan menjauhkannya serta melemperkannya di samudera kesedihan yang gelombangnya dari segala penjuru menggulung, maka ia datang padamu, lari dari dosanya dari waktu  yang memusnahkan dan masa yang keadaannya telah terbalik, sehingga wajah menjadi berada dibelakang, dari kesusahan yang telah membinasakan, dari duka cita yang telah menyelimuti, , dari  cobaan serta kedudukan yang tiada dapat menghilangkannya kecuali perhatianmu dan cukuplah itu. Maka selamatkanlah aku, dengan pertolongan segera, dan carilah aku (yang hilang ini..), wahai yang termulia…tolonglah aku, raihlah aku dan jadilah pelindungku.
Wahai pemimpin orang-orang lurus, jagalah aku dari semua yang ku berhati-hati darinya, dalam penghidupanku dan tempat kembali yang dekat, mohonkanlah pada Ar-Rahman (pemenuhan) kebutuhanku yang sangat mendesak dalam diri.
Engkaulah pintu Allah SWT, tercapailah harapan dan cita-cita, mereka yang berdiri disana. Engkaulah tali Allah yang memegangnya akan memperolah kebaikan dan menepati janji.
Wahai Rasulullah…wahai matahari petunjuk, setiap bahaya karenamu telah hilang. Wahai Rasulullah…Wahai samudera kemurahan, setiap kemurahan darimu telah dikenal. Wahai Rasulullah…Kekeringan dan kelaparan serta kemiskinan dibumi telah merebak.
Wahai Rasulullah…Mahalnya harga menghancurkan orang-orang miskin yang kelaparan dan lemah, tahun-tahun kekeringan membinasakan mereka, sehingga semuanya mendekati kematian, sedangkan pemilik harta dan kekayaan diantara meraka memiliki sifat kikir yang buruk lagi membinasakan, kekikiran tak membiarkan mereka berinfak di jalan Allah SWT yang memberi ganti (balasan amal). Maka, mereka yang dalam keadaan darurat (butuh bantuan) laksana ikan-ikan yang berada dalam lautan yang kering, penyebab semua ini adalah mereka semua telah melampaui batas. Maka, mintakanlah maaf bagi mereka wahai junjunganku, kepada Tuhanmu Maha Pengasih yang Maha Pemurah Maaf-Nya, mohonkanlah pada-Nya  agar menurunkan hujan bagi mereka yang merata, yang melupakan kekeringan sebelumnya lalu manusia dapat hidup dengan layak, bersyukur kepada Allah SWT secara terang-terangan dan tersembunyi.
Tolonglah wahai Rasulullah…untuk menghilangkan bencana ini, hingga sirna sebab engkau punya derajat yang agung dan kedudukan terbesar lagi sempurna.
Ya Allah..berlemah lembutlah kepada kami, demi kedudukan Al-Mustafa dan curahkanlah hujan, sesungguhnya kami orang-orang lemah, kami telah bermaksiat lalu kami bertobat, maka ampunilah dan terimalah (taubat) orang-orang yang durhaka lalu mengakui dosanya. Hilangkanlah kelaparan dari muka bumi, juga kedzaliman dan ketidakadilan yang menebal. Tolonglah agama, tuntunlah pemeluknya dan bimbinglah penguasa agar memenuhi tanggung jawab.
Wahai yang Maha Mulia, wahai yang Maha Dermawan, Maha Mulia, wahai Maha Penyayang, wahai yang Maha Lembut diantara yang lembut, wahai yang Maha Mengetahui, wahai yang Maha Bijaksana pelimpah kebaikan, wahai yang berbelas kasih yang belas kasih-Nyatelah menimbulkan kasih saying, wahai yang besar Pemberian, anugerah karunia dan kebaikan-Nya sebagaimana yang telah disifatkan.
Semoga shalawat Allah meliputi Ahmad Al-Mustafa,  yang meredamkan api syirik dan kekafiran, juga salam Allah beserta berkat-Nya atas keluarganya yang terhormat dan mulia, pula atas sahabat pengikut jejak mereka, terus menerus selama kilat bersinar berkibar dan angina sepoi yang harum berhembus, sebagai penawar dan obat hati yang sakit.
Allahumma Shalli Wasallim Wabarik `Alaih wa `ala Alih wa Ashabih….

sumber : www.ahlulkisa.com

Asal Sesuatu dari Cahaya Nabi SAW

Puji dan syukur Lillahi Akbar

Atas nikmatnya kecil dan besar

Sholawat akmal beserta salam

Di atas Nabi pelita alam

Dan atas keluarganya Nabi

Fathimah, Hasan, Husein dan Ali

Dan turunannya Hasan dan Husein

Hingga kiamat beserta Qur’an

Sebelum sesuatu terjadi

Allah jadikan cahyanya Nabi

Allah jadikan dari cahya-Nya

Nur Nabi Muhammad kekasih-Nya

Dan segenap para Nabi-Nabi

Dijadikan dari cahaya Nabi

Demikian pun Arsy dan Kursi

Luh, Qolam, Syurga, Bidadari

Dan langit, bumi, bulan dan bintang

Dan matahari yang sangat terang

Dan lain-lain makhluk-Nya Robbi

Asal mula dari cahaya Nabi

Jika tak karna wujudnya Nabi

Tak ada Syurga dan Bidadari

Tak ada Arsy, Luh dan Qolam

Tak ada Kursi tak ada Alam

Tak ada dunia, langit dan bumi

Tak bulan, bintang dan matahari

Tak ada malam tak ada siang

Tak ada gelap tak ada terang

Tak ada manusia dan hewan

Tak emas, perak, intan, berlian

Seluruh itu Allah siapkan

Karna Nabi akan didzohirkan

Didzohirkan Nabi karna rahmat

Bagi seluruh alam dan umat

*

Dikutip dari Kitab BUNGA MELATI
Karangan :
Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
sumber : aziachmad.wordpress.com

Ketika Rasulullah SAW Hadir





Majelis yang berkah ditandai dengan kuatnya keinginan jama’ah untuk selalu hadir dan mendapatkan ilmu.

Pengajian Habib Abubakar bi Hasan Alatas merupakan pengajian yang cukup fenomenal di kota Depok. Pengajian yang rutinnya, yang diadakan setiap hari Ahad sore yang berlokasi di kediamannya, Jln Karya Bakti, Tanah Baru, selalu dihadiri ribuan jama’ah. Tanpa poster dan spanduk, hanya dari mulut ke mulut, tapi pengikutnya hampir semua usia dari wilayah Jabodetabek.

Habib Abubakar bin Hasan Alatas, yang telah 30 tahun berdakwah dari satu kota ke kota lain hampir di seluruh wilayah Indonesia, adalah habib senior yang disegani. Kiprahnya di wilayah Tanah Baru, kota Depok, baru dimulai setahun yang lalu dan langsung menjadi berkah bagi warga Tanah Baru.

Orang-orang dhuafa’ yang berada di sekitar tempat tinggal Habib Abubakar langsung merasakannya, mereka mendapat kemudahan dalam hal pengobatan dan bantuan modal usaha. Roda ekonomi penduduk langsung berdenyut karena setiap pengajian dibutuhkan sekian puluh ribu konsumsi yang semuanya dipesan dari para tetangga.

Pada Ahad 5 Juni yang lalu, dilakukan penutupan majelis, karena Habib Abubakar akan pergi ke Ternate dan daerah binaan lainnya yang tersebar di Indonesia Timur. Suasana berlangsung haru, Habib Abubakar minta dimaafkan dan didoakan agar perjalanannya ke Indonesia Timur diberkahi dan dilindungi oleh Allah SWT. Satu per satu jama’ah diberi kesempatan bersalaman.

Penutupan majelis pada sore hari itu memang dipenuhi dengan kesyahduan dan nuansa kehilangan. Ia pernah berucap, majelis yang selalu dirindui oleh jama’ahnya berarti Rasulullah SAW selalu hadir di majelis tersebut.

Ikhlas untuk Mengaji

Hampir setiap Ahad sore, seluruh peserta pengajian dengan khidmat dan tekun mendengarkan uraian yang disampaikan oleh Habib Abubakar. Ia menggunakan kitab tasawuf karangan gurunya, Habib Zain bin Smith, dan sudah dua kitab dikhatamkan.

Putranya, Habib Hasan bin Abubakar, membacakan kitab tersebut lalu ia menjelaskan paragraf demi paragraf.

Sebelum pembahasan kitab, diadakan taushiyah, yang secara bergiliran disampaikan oleh tiga atau empat ulama kota Depok. K.H. Abdurrahman Nawi, pemimpin Pesantren Al-Awwabin, juga sering memberikan taushiyah. Begitu juga K.H. Zainuddin, pemimpin Pesantren Al-Hamidiyah.

Dalam salah satu kesempatan Habib Abubakar pernah menguraikan ciri-ciri majelis yang berkah. Salah satunya, pesertanya merasa rindu akan datangnya hari digelarnya pengajian majelis tersebut. Sebagaimana dialami Ibu Anis, salah seorang murid Habib Abubakar, yang istiqamah mengaji, “Kita ingin saja agar cepat waktu ta’lim datang.” 

Keberkahan majelis juga dapat dilihat dengan begitu senangnya orang-orang datang dari berbagai penjuru, para tetangga dan aparat juga merasa senang melihat kampung mereka ramai didatangi orang, suara dzikir dan pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW bergema setiap saat.

Habib Abubakar tak pernah mempublikasikan atau membuat poster dan spanduk ihwal pengajiannya, karena ia yakin bahwa Allah SWT akan menggerakkan hati setiap orang yang ikhlas untuk mengaji.
Rendah hati dan tidak mau menonjol, itulah ciri Habib Abubakar, yang sudah kenyang dengan asam garam perjuangan dan cobaan dakwah.

Ketika alKisah membujuknya untuk melakukan wawancara khusus, ia menolak, dengan alasan tidak ingin menonjol. Tapi, karena pengalaman dakwah, keilmuan, dan ketokohannya begitu penting untuk diketahui umat, agar bisa dijadikan teladan dan pelajaran yang berharga, insya Allah, ke depannya Habib Abubakar bersedia diwawancarai.

Bermula dari Ujung Timur
Dalam suatu kesempatan setelah menguraikan beberapa keutamaan silsilah Baginda Rasulullah SAW, yang nasabnya sangat dijaga oleh Allah SWT, Habib Abubakar mengisahkan betapa ia digembleng begitu keras oleh orangtuanya untuk taat kepada aturan agama.

Kisahnya, Habib Abubakar, yang menuntut ilmu di tiga kota, yaitu Makkah, Tarim, dan Kairo, ketika kecil pernah mendapat uang di tengah jalan.

Sebagai anak kecil, ia merasa senang, karena dapat uang, yang mungkin tercecer. Lalu ia membeli makanan kesukaannya.

Sesampai di rumah, hal itu ia ceritakan kepada uminya.

Uminya marah besar, “Tak pantas jasadmu menerima barang yang tak jelas.”

Uminya mengganti uang yang didapat itu dan menyuruhnya menempatkan di mana ia menemukan sebelumnya.

Begitulah, dalam keluarga ia dididik dengan sebaik-baik didikan.

Habib Abubakar mengingatkan, barang yang meragukan (syubhat) saja, kita harus hati-hati, apalagi yang haram.

Setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, Habib Abubakar memulai dakwah di daerah yang keras dan penuh tantangan, yaitu Papua. Tidak sedikit ujian, tantangan, dan ancaman yang diterimanya.
Lima tahun di Papua, ia pindah ke Ternate.

Setelah sekitar lima atau enam tahun, ia melanjutkan dakwah ke Ambon, Morotai, lalu pindah ke Makassar, kemudian menyeberang ke Kalimantan, Banjar.

Tak pelak lagi, di kawasan timur Indonesia nama Habib Abubakar sangat disegani dan disayangi.
Sebelum menetap di Tanah Baru, kota Depok, ia berdakwah di Surabaya.

Pada penutupan majelis hari Ahad, salah seorang muridnya, Habib Muhammad Assegaf, memimpin pembacaan Maulid Simthud Durar, ratusan muridnya khusus terbang dari Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa Timur, untuk menghadiri majelisnya. Dan tidak sedikit pula pejabat kota Depok, sipil dan militer, hadir di majelis tersebut.

K.H. Abdurrahman Nawi, yang menyampaikan taushiyah, mendoakan agar kepergian Habib Abubakar ke Ternate dan sekitarnya, kelak pulangnya bisa membawa bekal yang lebih banyak dan berkah bagi warga Depok. Ia mensyukuri, warga Depok mendapatkan guru yang sangat dalam ilmunya dan terpuji akhlaqnya serta teruji komitmen dakwahnya. “Mari kita berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar beliau selalu dijaga oleh Allah SWT dan pulang kembali ke Depok dengan selamat untuk terus menularkan ilmunya kepada warga Depok, yang sangat membutuhkan seorang guru besar seperti beliau,” ujar Kiai Abdurrahman Nawi dengan suara bergetar.

Tidak sedikit jamaah ta’lim yang menangis terharu ketika bersalaman dengan Habib Abubakar, mereka akan ditinggal dalam waktu yang cukup lama, karena majelis baru akan dibuka lagi pada 11 September 2011.

Ihsan M Rusli
sumber : majalah alkisah

Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya: Produktif Menulis Kitab Syarah


Karunia Allah begitu besar. Mungkin Allah membuka pemahaman kepada seseorang apa yang tidak dibuka kepada orang lain.


Nama Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya mungkin belum banyak dikenal di negeri kita. Atas undangan Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, beberapa saat yang lalu tokoh ulama muda Hadhramaut ini berkunjung ke Indonesia. Ia datang ke Nusantara bersama  Habib Zed bin Abdurrahman Bin Yahya.

Nasab lebih lengkap Habib Hasyim adalah Hasyim bin Sahl bin Ibrahim bin Umar bin Aqil bin Abdullah bin Umar Bin Yahya. Jadi, ia masih terhitung kemenakan misan Habib Abubakar bin Umar (bin Abdullah bin Umar) Bin Yahya, Surabaya, ayah dari kakek Habib Zed Bin Yahya. Kedua tamu undangan Habib Luthfi itu masih memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Pembawaan sayyid muda asal kota Ta’iz, Yaman Timur, ini sangat tenang. Kalau berbincang, suaranya cenderung pelan. Namun kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya mengalir fasih dan tertata rapi. Tapi tak banyak yang menyangka bahwa dari dai muda yang tawadhu’ ini telah terlahir banyak karya berupa syarah atas kitab-kitab yang klasik. Dari kitab yang ringan, sampai kitab-kitab yang tergolong sulit.

Sejak kecil ia telah mendapat bimbingan dari gurunya yang amat ia kagumi. Tak lain, ia adalah kakeknya sendiri, Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya, atau terkadang sering disebut “Habib Ibrahim bin Aqil” saja. Sang kakek adalah mufti di kota Ta’iz, sebuah distrik di timur negeri Yaman. Sementara dalam pelajaran Al-Qur’an, ia banyak mendapat pelajaran dari Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qaradhah.

Selain belajar kepada kakek dan sejumlah ulama Hadhramaut dan luar Hadhramaut, seperti Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar Baidha’, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Makkah, Syaikh Fadhal Bafadhal Tarim, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Rubath Tarim, Habib Umar Bin Hafidz Darul Musthafa Tarim, ia juga masuk sebuah lembaga pendidikan Islam di Ta’iz selama lima tahun yang kemudian ia lanjutkan pada sebuah madrasah negeri.

Selepas sekolah formalnya di madrasah negeri itu ia lewati, ia masuk perguruan tinggi, dan mengambil jurusan tarikh Islam.

Pelajaran yang ia ikuti di perguruan tinggi tidak sampai dituntaskannya, sebab salah seorang gurunya, Habib Umar Bin Hafidz, kemudian memanggilnya ke Tarim, untuk turut mengajar di Darul Musthafa. Kini, ia dipercaya menjadi musyrif, pembina, pada beberapa bidang dalam kepengurusan dan pendidikan di Darul Musthafa, Tarim.

Selain mengajar di Darul Mustfhafa dan membuka majelis di rumahnya sendiri, ia juga aktif mengajar dan berdakwah di sejumlah masjid di Hadhramaut. Ia pun melanjutkan pengajaran pada majelis-majelis yang dulu diasuh kakeknya, Habib Ibrahim Bin Yahya.
Di tengah aktivitasnya mengajar, dari tangannya telah terlahir cukup banyak kitab. Rata-rata kitabnya merupakan syarah atas kitab-kitab para ulama salaf dan juga syarah atas karya-karya gurunya, seperti kitab Maulid gubahan Habib Ibrahim Bin Yahya, kakeknya sekaligus gurunya.

Beberapa kitab lainnya yang telah ia rampungkan pensyarahannya di antaranya adalah Al-Hikam, karya Ibn Atha’illah, dan Shalatul Muqarrabin, karya Habib Hasan bin Shalih Al-Bahr. Bahkan ia juga telah mensyarah kitab Mi’rajul Arwah, karya Syaikh Abubakar bin Salim Al-‘Alawi, sebuah kitab yang tidak sembarang orang dapat memahaminya dengan tepat.

Pada mulanya, karya-karya syarah yang disusun Habib Hasyim berasal dari materi-materi pelajaran yang ia sampaikan kepada para pelajar. Dari pengalamannya selama mengajar, tak jarang Allah membukakan hal-hal, atau pemahaman-pemahaman, yang menurutnya perlu untuk dicatat. Dari situlah Habib Hasyim terus mencatat setiap pemahamannya terhadap teks-teks kitab para ulama salaf.

Karenanya, saat ditanya mengenai kitab-kitab syarah yang telah dihasilkannya itu, Habib Hasyim mengatakan, “Karunia Allah begitu besar. Mungkin Allah membuka pemahaman kepada seseorang apa yang tidak dibuka kepada orang lain. Dan saya tidak suka menyebut keistimewaan karya syarahan saya dibanding syarahan lainnya.”

Ismail Yahya
sumber : majalah alkisah

Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff: Fitnah Menerpa Umat


Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang.

Pemandangan yang begitu mempesona terhampar ketika kita memasuki kawasan pesantren Darul Habib, yang terletak di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. Penataan bangunan dan tanaman serta tanah-tanah yang berbukit-bukit tampak begitu asri dan segar. Kesan pertama yang muncul, pesantren itu tak ubahnya taman yang indah dan menyenangkan.

“Padahal dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,” tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun pesantren pada tahun 1998.

Dia menceritakan, ketika mengadakan pengajian di daerah Bogor ada seorang jama’ah yang ingin mewakafkan tanahnya untuk bisa dimanfaatkan di jalan Allah. “Beliau itu Haji Ujang. Tanah di sini ini beliau wakafkan. Ketika saya melihat, langsung jatuh hati. Sekarang kita sudah menambah sampai dua hektare, dan insya Allah di seberang jalan ada pula tiga hektare untuk rencana pondok putri. Doakan ya?” ujar Habib Naufal, santun.  

Tak Perlu Ijazah

Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff adalah cucu seorang ulama besar Palembang, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff, yang haulnya diadakan secara besar-besaran pada akhir Jumadil Akhir di Palembang.

Ia, yang lahir di Palembang pada 27 Maret 1964, mendapat pendidikan pertama dari keluarganya dalam dasar-dasar ilmu agama. Ayahnya, Habib Abdullah, adalah seorang pendakwah yang gigih di Kota Empek-empek itu.

Habib Naufal, yang namanya juga sering ditulis “Habib Nopel”, dimasukkan oleh orangtuanya ke Pesantren Ar-Riyadh ketika memasuki usia sekolah dasar. “Di Pesantren Ar-Riyadh saya mendapat didikan dari dai besar dan pendakwah tangguh, Ustadz Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau alumnus Pesantren Darul Hadits, Malang,” ujarnya. 

Salah satu kelebihan Pesantren Ar-Riyadh menurutnya adalah kemampuan berbahasa Arab yang amat ditekankan kepada santrinya. Hal itu juga dijadikannya prioritas di Pesantren Darul Habib yang diasuhnya sekarang. “Semua komunikasi di Pesantren Darul Habib harus berbahasa Arab, kalau ada yang melanggar akan dihukum,” ujarnya tegas.

Pada umur lima belas tahun, dia mendapat beasiswa untuk meneruskan pelajaran ke Makkah di pesantren Habib Muhammad Alwi Al-Maliki.

Dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih dia tidak canggung sampai di Makkah, walau menurutnya perlu juga adaptasi karena masalah dialek.

Yang amat berkesan bagi dia adalah ketika pertama kali berjumpa dengan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki, yang juga sering dipanggil “Buya”. “Waktu itu santri yang paling muda saya, dan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki sempat marah kepada yang mengirim, kenapa yang dikirim anak kecil. Tapi setelah itu dia sangat sayang kepada saya. Saya ditempatkan di kamar istirahatnya, saya jadi khadamnya, jadi waktu itu saya tidak punya kamar,” ujar Habib Naufal mengenang. 

Menurut Habib Naufal, sistem belajar di sana adalah sistem belajar salafiyah, seperti yang juga diterapkannya kepada santri Darul Habib saat ini. “Para pengajar yang membantu Habib Muhammad datang dari berbagai negara. Ada yang dari Mesir, Yaman, Palestina, dan lainnya. Hambatan yang saya alami waktu itu adalah soal cuaca, terutama saat bulan Ramadhan, wah panasnya luar biasa, sampai 50 derjat,” ujar ayah sepuluh anak ini.

Tingkatan belajar di sana hampir sama dengan di Indonesia. Ada ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Evaluasi dan ujian juga ada, tapi tidak resmi dan tidak tercatat. “Buya juga mengeluarkan ijazah tapi hanya berlaku untuk kalangan internal.”

Menurut Habib Muhammad, ijazah atau syahadah tidak perlu, karena sudah cukup syahadah dari Allah SWT. Teman-teman angkatan pertama saja yang mendapat syahadah, setelah itu tidak ada lagi.

“Alhamdulillah yang telah selesai belajar dari sana berhasil berdakwah, mereka menyebar ke seantero penjuru. Ada yang membuka pesantren, ada yang mendirikan majelis ta’lim, ada yang jadi pengajar,” kata Habib Naufal.

Tarbiyatul Akhlaq

Hal yang paling utama didapatkannya di pesantren Buya Muhammad Alwi Al-Maliki adalah tarbiyatul akhlaq, pendidikan akhlaq. “Jiwa kita dididik di sana, sopan santun, rendah hati, merasa diri hina di hadapan Allah SWT dan sesama. Tidak boleh sombong, arogan. Kalau ilmu bisa di mana saja kita tuntut, tapi tidak semua tempat mendidik akhlaq. Nah, saya juga menerapkan hal itu di Pesantren Darul Habib saat ini,” tutur Habib Naufal meyakinkan.

Menurutnya, akhlaq tidak cukup dinasihatkan, tapi harus dengan teladan. Dan Habib Naufal melihat sendiri teladan itu selama sembilan tahun pada diri Buya Muhammad. “Beliau bekerja keras mencontohkannya, beliau sendiri yang bangun tiap malam membangunkan santri untuk shalat malam. Apa pun yang beliau lakukan tidak terlepas dari teladan yang juga beliau contoh dari Rasulullah SAW. Di Pesantren Darul Habib ini, hal itu juga kita terapkan. Santri dengan alasan apa pun tidak boleh keluar kawasan pesantren kecuali yang darurat. Mereka hanya pulang pada saat bulan Ramadhan, dan 10 hari setelahnya setelah itu mereka kembali ke pondok. Kita tidak menerima santri luar atau yang tidak bermukim.

Mereka tidak boleh memiliki HP, shalat jama’ah harus terjaga, shalat malam terus dilakukan,” kata Habib Naufal.

Menurutnya, keberhasilan santri itu ditopang oleh tiga faktor. Yaitu, santri harus rajin, gurunya juga harus rajin, orangtua pun harus rajin. Orangtua juga harus mengontrol anaknya ketika mereka libur di rumah. Semuanya harus bersinergi, akan gagal kalau salah satu pincang.

“Yang diharapkan dari wali murid adalah kontrol dan filter. Perlu memang melihat dunia luar, tapi harus selektif.

Di pondok ini kita buka tayangan khusus dua kali sepekan berisi cerita tarikh, kita bisa belajar sejarahnya, juga bahasa Arab-nya.

Kita bekerja keras membina, menanamkan hal-hal yang utama, kita siapkan bekal sebaik-baiknya, mudah-mudahan mereka mendapat hidayah dan taufik ke depan,” ujar Habib Naufal.

“Setelah dari sini mereka bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang mereka suka. Ada beberapa santri yang telah diterima di Yaman, di Al-Ahkaff, juga di Makkah, tahun ini ada lima orang yang ke Rubath, Tarim, dan juga ke Turki.” 

Sedangkan dengan perguruan tinggi yang didirikan oleh Habib Umar Bin Hafidz, yaitu Jami’ah, salah satu saratnya adalah harus hafal Al-Qur’an dan kitab Riyadhus Shalihin, anak-anak belum siap. Ada yang hafal Al-Qur’an tapi Riyadhus Shalihin belum siap.

Menurutnya, walau di Pesantren Darul Habib tidak diharuskan hafal Al-Qur’an, alhamdulillah sudah ada lima puluh santri yang sudah hafal Al-Qur’an saat ini dari 300 santri. “Dan setiap tahun bertambah. Ada yang hafal 25 juz, 20 juz, tidak kita paksakan,” ujarnya.

Allah Selalu Memberi Rizqi

Setelah menuntut ilmu di Makkah dari tahun 1979, pada tahun 1986 Habib Naufal pulang ke tanah air.
Banyak hal yang dia dapatkan selama tujuh tahun bermukim di Tanah Suci. Menurutnya, jiwanya sudah terdidik bagaimana menghadapi masyarakat, bagaimana menghadapi tantangan.

“Di Tanah Suci Makkah, perlawanan, konfrontasi, terasa sekali terhadap Ahlusunnah wal Jama’ah. Buya orang yang terdepan gigih melawan Wahabi, sampai beliau diuber-uber. Bahkan kita diikuti terus oleh seseorang.

Suatu saat ketika Buya menghadiri Maulid, karena dikuntit terus, orang itu diajak untuk ikut Maulid. Dia jadi malu sendiri.

Memang ada perjanjian untuk tidak boleh mengadakan Maulid, tapi masyarakat di sana suka memperingati Maulid. Wahabi menganggap bahwa mengadakan Maulid itu syirik.

Buya menentang ketika belum ada ulama yang mau terang-terangan menentang,” cerita Habib Naufal.
Setelah pulang dari Makkah, Habib Naufal mengajar di almamaternya, Ar-Riyadh, juga mengajar di Madrasah Darul Muttaqin, Palembang.

Ia juga membuka Madrasah Haramain, jembatan bagi anak-anak untuk masuk pesantren. Belajarnya malam hari. Siang hari mereka belajar di SD. “Alhamdulillah, alumnusnya sudah ada yang pulang dari Hadhramaut,” ujar Habib Naufal berbinar.

Beberapa lama mengajar di Palembang, ia lalu diajak mengajar ke Bekasi oleh Habib Naquib B.S.A. dan Habib Ahmad Fad’aq.

Sebelum menjatuhkan pilihannya itu ia melakukan shalat Istikharah, karena di Palembang ia juga sudah punya tanah dua hektare untuk melanjutkan pembangunan pesantren, tapi dia merasa belum sreg. Setelah shalat Istikharah, dia mendapat jawaban, bermimpi pindah ke Madinah, artinya harus hijrah.
“Saya sowan ke Ustadz Umar bin Ahmad Bin Syech, seorang ulama dan wali di Palembang, beliau menganjurkan shafar, melakukan perjalanan. Maka, bismillah, saya pun berangkat.”

Setelah lima tahun mengajar di Bekasi, kepadanya diwakafkan tanah di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. “Untuk membangun satu bangunan saja waktu itu butuh waktu dua tahun, sebata demi sebata. Lalu tahun 2000 saya pindah ke sini, dan mulai membuka Pesantren Darul Habib,” ujarnya mengenang.

“Sekarang saya fokus di pesantren, karena mengurus mereka ini perlu konsentrasi penuh, perlu kesabaran yang luar biasa, apalagi santri berasal dari seluruh Indonesia dengan latar budaya yang berbeda-beda. Kalau saya berdakwah juga di luar, anak-anak nanti bisa kacau. Sekali atau dua kali sebulan saya pergi ke Jakarta bertemu dengan habaib dan alim ulama, agar ada penyegaran terus.”

Ketika ditanya soal dana untuk menghidupi santri yang berjumlah 300 dan juga guru dan karyawan yang semuanya dalam satu kompleks, Habib Naufal tersenyum dan mengatakan bahwa kalau dihitung secara akal tidak akan bisa, tapi dia merasa bahwa Allah selalu memberi rizqi. “Kalau hanya diharapkan dari bayaran santri, tidak sampai. Bahkan ada juga yang gratis, anak yatim dan dhuafa’. Tapi kami yakin dengan janji Allah,” ujarnya mantap.

Kehilangan Ghirah

Persoalan yang dihadapi oleh umat, menurutnya, banyak yang punya ilmu tapi akhlaqnya masih bermasalah. Makanya pesantren sekarang jadi pilihan, karena persoalan akhlaq itu.

Menurut Habib Naufal, di akhir zaman fitnah dan tantangan itu akan banyak. “Itu sudah lama diisyaratkan, makanya kita perlu membekali anak-anak dengan ilmu yang benar, ilmu yang jelas silsilahnya, mata rantai yang benar, sekarang banyak penyusupan melalui ajaran agama. Juga melalui kitab, makanya dalam hal kitab, kita juga harus bertanya kepada mereka yang berkompeten dalam masalah itu,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tantangan dakwah adalah sunatullah. “Justru tantangan itu adalah alamat keberhasilan dakwah. Tidak ada yang mulus. Ingat sejarah dakwah Rasulullah, yang begitu dahsyat. Kalau dakwah dulu, mereka berkorban sendiri, dengan harta benda sendiri. Kalau sekarang, banyak kemudahan, bahkan berdakwah dapat uang, tapi semoga itu tidak merusak keikhlasan para pendakwah.” 

Ia melanjutkan, “Tantangan dakwah memang berat, tapi memang harus begitu, karena pahala yang dijanjikan juga besar. Bukankah Rasulullah SAW telah memberi contoh dan tidak ada tantangan yang lebih hebat dibanding yang dialami Rasulullah SAW?

Saya tekankan kepada santri-santri saya agar dalam berdakwah tidak memikirkan uang, karena banyak dai yang rusak karena uang. Giat dan terus belajar serta mengajar dengan ikhlas, karena rizqi itu Allah SWT yang menjamin. Dakwah harus karena Allah, nanti pasti Allah akan mengasih.”

Habib Naufal mengingatkan, “Kita harus berhati-hati. Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang. Umat Islam sudah kehilangan ghirahnya. Akibatnya fitnah mudah menerpa umat.”

Di akhir perbincangan, Habib Naufal minta didoakan agar bisa membeli tanah yang akan digarap menjadi sawah untuk memenuhi kebutuhan logistik santri, yang semakin lama semakin banyak. Insya Allah.

Ihsan M Rusli
Sumber : Majalah Al-Kisah

BIOGRAFI RINGKAS AL-FADHIL AL-WALID SHEIKH MUHAMMAD NURUDDIN MARBU ABDULLAH AL-BANJARI AL-MAKKI


Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan Indonesia. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Harus, Amuntai pada tanggal 1 September 1960M. Beliau anak yang ketiga dari tujuh bersaudara, dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Berhijrah ke Tanah Suci Makkah

Beliau mendapat pendidikan awal di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di pondok pesantren Normal Islam. Belum pun sempat menamatkan pengajiannya di pondok tersebut seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah. Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di madrasah Shaulathiah sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.
Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di madrasah Shaulathiah. Di samping itu juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas ‘Aliyah.
Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajaknya untuk menemani Tuanguru beliau ke Madinah menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
[Ketika aku di Bogor untuk menghadiri pengajian bersama Shaikh Nuruddin, beliau kelihatan agak sebak bila menceritakan guru kesayangannya ini. Matanya merah berair …. ya… mengingati guru kesayangannya ini. Beliau juga menunjuk gambar gurunya yang mulia ini kepada aku …..]
Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama’ yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama’ yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama’, Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfenani, as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”. Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanad hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.
Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma’had ‘Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat ‘Ulya” pada tahun 1990

Antara guru-gurunya ketika belajar di Mekah dan Mesir adalah:

* asy-Syaikh al-‘Allamah Hasan al-Masyath رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله,
* asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله,
* asy-Syaikh ‘Abdullah Said al-Lahji رحمه الله,
* asy-Syaikh al ‘Alaamah al-Jalil as-Sayyid ‘Amos رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad ‘Iwadh al-Yamani رحمه الله
* asy-Syaikh Zakaria Bila al-Indonesia رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Syibli al-Banjari رحمه الله
* asy-Syaikh Karim al-Banjari رحمه الله
* asy-Syaikh ‘Abdul Karim al-Bukhari رحمه الله
* asy-‘Adnan al-Afnani رحمه الله
* asy-Syaikh Saifurrahman رحمه الله
* asy-Syaikh Sahili al-Anfanani رحمه الله
* asy-Syaikh Said al-Bakistani رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits al-Kabir Muhammad Zakaria al-Kandahlawi رحمه الله
* asy-Syaikh al-Jalil al-Habib ‘Abdul Qadir as-Saggaf حفظه الله
* asy-Syaikh Muhammad Muntashir al-Katani al-Maghribi رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits al-Habib as-Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah Muhammad Makki al-Hind رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Makhluf رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah ‘Abdullah bin Hamid رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Kabir Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi رحمه الله
* asy-Syaikh al-Imam al-Akbar ‘ali Jadul Haq رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim رحمه الله
* al-Ustaz ad-Doktor asy-Syaikh Muhammad Tayyib an-Najjar رحمه الله
* asy-Syaikh al-Jalil ar-Rabbani Muhammad ‘Abdul Wahid رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah al-Kabir Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Faqih ‘atiyyah Saqr رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Hussin رحمه الله
* asy-Syaikh ‘Abdul Hafidz al-Hind رحمه الله
* al-Ustadz ad-Doktor Ahmad umar Hasyim حفظه الله,
* al-Ustadz ad-Doktor ‘Abdusshobur Syahin
* al-Ustadz ad-Doktor ‘Abdul Fattah asy-Syaikh,
* al-Ustadz ad-Doktor Nashr Farid,
* asy-Syaikh al-‘Arifbillah Yusuf Mahyuddin al-Hasani asy-Syadhuli ad-Darqawi حفظه الله dan ramai lagi. 

MENABUR JASA & MENYANDANG GELAR AZHARUS TSANI

Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat universiti al Azhar sendiri.
Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di masjid Jamik al Path di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama’ muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta’lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke’afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

MENGHASILKAN KARYA ILMIAH

Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu’tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Kitab tulisan beliau:

* الإحاطة بأهم مسئل الحيض والنفاس والاستحاضة
* تساؤلات وشبهات وإباطيل حول معجزة الإسراء والمعراج والرد عليها
* المختار من نوادر العرب وطرائفهم
* آدب المصافحة
* من هو المهدى المنتظر؟
* المجال الإقتصاد في الإسلام
* بيان مفتى جمهورية مصر العربية حول فوائد البنوك في ميزان أهل العلم
* سفر المرأة (احكامه و آدابه)
* الدرر البهية في إيضاح القواعد الفقهية
* معلومات تهمك
* أسماء الكتاب الفقهية لسادتنا الأئمة الشافعية
* أحكام العدة في الإسلام
* آراء العلماء حول قضية نقل الأعضاء
* أدلة بحريم نقل الأعضاء الآدمية
* الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر في الكتاب والسنة
* العبر ببعض معجزات خير البشر صلى الله عليه وسلم
* محمد نور الدين مربو البنجاري المكي والأحاديث المسلسة
* الجوهر الحسن من أحاديث سيدنا عثمان عفان رضي الله عنه
* اسمى المطالب من بعض أحاديث سيدنا على بن أبي طالب رضي الله عنه
* مراقي الصعود من بعض أحاديث سيدنا عبدالله بن مسعود رضي الله عنه
* إفادة العام والخاص من بعض أحاديث سيدنا عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما
* الكواكب الدري من أحاديث سيدنا أبي سعيد الخدري رضي الله عنه
* الكواكب الأغر ببعض أحاديث سيدنا عبدالله بن عمر رضي الله عنهما
* زاد السلك من أحاديث سيدنا أنس بن مالك رضي الله عنه
* الإقتباس من أحاديث سيدنا عبدالله بن عباس رضي الله عنهما
* فيض الباري حول بعض أحاديث سيدنا أبي موسى الإشعري رضي الله عنه
* الردة أسبابها وأحكامها
* توفيق الباري لتوضيح وتكميل مسائل الإيضاح للامام النووي
* مكانة العلم والعلماء وآداب طالب العلم
* dan banyak lagi

Antara kitab yang beliau tahqiq dan ta’liq:

* رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة
* قرة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل عثمان زين
* رفع الأستار عن دماء الحج والاعتمار
* شروط الحج عن الغير
* الحسن البصري
* إقامة الحجة غلى أن الإكثار في التعبد ليس ببدعة
* خصوصيات الرسول صلى الله عليه وسلم
* يستان العارفين
* dan banyak lagi

MAJLIS PENGAJIAN BELIAU Dl TANAH AIR MALAYSIA

Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat Bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad ‘Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.
Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah beliau telah pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau menubuhkan Maahad az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Dan disinilah beliau menetap dan mendiri bakal ulama.

KELEBIHAN BELIAU

Yang pertama dan utama adalah beliau selalu istiqamah dalam apa jua yang dikerjakannya. Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu. Diantara kelebihan beliau lagi walaupun banyak kelebihan beliau yang lain iaitu beliau tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar, banyak tempat pengajian yang beliau hadiri dan juga kelebihannya lagi pasti ada perkara baru yang disampaikan oleh beliau dalam pengajarannya. Adapun kehebatan beliau dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat member kesan sekali kepada para hadirin. Beliau bukan sahaja mencurahkan ilmu kepada muridnya bahkan terlebih utama lagi beliau memberi didikan adab semasa belajar. Itu merupakan fadhlun minallah kepada hamba-hambanya yang bertaqwa kepadanya.

IRSYADAT AL FADHIL

(Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma’hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah – pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)
* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul ‘All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah ‘abidan lillah (hamba kepada Allah jangan ‘abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati