IBADAH HAMBA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENGANTARKANMU PADA KEMA’RIFATAN HAQ



Secara lahiriyah Seorang hamba wajib memulai terlebih dahulu untuk wushul kepada tuhannya. Mereka harus mendaki ke atas, dengan ibadah lahir untuk mengembarakan ruhaniyah. Namun demikian ibadah lahir itu hanya sebagai perwujudan pengabdian yang hakiki kepada-Nya. Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah.

Mereka mensucikan diri baik lahir maupun batin dari segala kotoran basyariyah (sifat” kemanusiaan) yang menjadikannya terhalang wushul kepada Allah Rabbul Alamiin. Dengan mujahadah tersebut, seperti orang melaksanakan khulwah menyendirikan diri dari khalayak ramai tanpa meninggalkan keramaian itu, mereka berusaha mengembalikan seluruh kehendak perkara yang bersifat hudust (baru) secara manusiawi untuk dipertemukan kepada kehendak Allah yang azaliyah.

Ini adalah kelemahan kita …

Ungkapan ini adalah ungkapan kelalaian yang sangatlah halus dan keluar dari REL dalam wilayah UBUDIYAH dan itu yang di wajibkan oleh allah swt .

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ

“(allah menghendaki) bagi siapa di antara kamu, yang mau menempuh jalan yang lurus.”

وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”Jika usaha seorang hamba dibiarkan saja tanpa ada fasilitas HAIYUN (hidup) bisa manusia, dan penerimaan diri dari kesadaran diri akan keutamaan dan RahmatNya sebagai karunia Allah semata niscaya itu fana’ muthlaq itu takkan bisa di capainya.
 


نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – (QS.24:35)

Jika ada manusia / mahluk yang bisa Washil kepada allah dengan usahanya sendiri Maka tertolaklah pengakuannya itu dan lalai jika usahanya itu telah menyerupai usahanya allah yang maha berkehendak dan menggerakkan . dan dia itu tidak sadar dengan kesyirikan murni … jika diri ini bisa menyembah atau beribadah kepadaNya apakah kita tidak sadar jika yang kita akui atu menyerupai keADAanNya .

وصولك الى الله وصولك الى العلم به وإلاّ فجلّ ربنا أن يتصل به شيئ أو ان يتصل هو بشئ

“Tersambungnya dirimu kepada Allah, berarti sampainya dirimu kepada kemampuan untuk mengerti Allah secara Hakiki. Jika bukan seperti itu, maka. Maha Agung Allah terhadap sesuatu yang tersambung dengan-Nya dan menyambungkan Dzat-Nya kepada sebuah pekara.”  Dengan itu mereka harus membersihkan segala pengakuan nafsu dan keresahan-keresahan hatinya, maka selamanya mereka tidak akan dapat wushul kepada tuhannya. Apabila di dalam perjalanan itu Allah berkehendak membuka pintu hati hamba-Nya, maka kehendak-Nya yang azali itu akan diturunkan ke bawah sehingga dua kehendak yang berbeda itu bertemu di tengah jalan. Kehendak yang satu mendaki dan yang satunya menurun.

لَوْاَنَّكَ لَاتَصِلُ اِلَيْهِ اِلَّا بَعْدَ فَنَاءِ مَسَاوِيْكَ وَمَحْوِ دَعَاوِيْكَ لَمْ تَصِلُ اِلَيْهِ اَبَدًا وَلَكِنْ اِذَا اَرَادَ اَنْ يُوَصِّلَكَ اِلَيْهِ غَطَّى وَصْفَكَ بِوَصْفِهِ وَنَعْتَكَ بِنَعْتِهِ فَوَصَّلَكَ اِلَيْهِ بِمَا مِنْهُ اِلَيْكَ لَابِمَا مِنْكَ اِلَيْهِ.

Jika sekiranya engkau tidak dapat wushul kepada Allah kecuali setelah fana’nya diri semua keinginan syahwat dan bersihnya sifat pengakuanmu, maka engkau tidak akan dapat wushul selama-lamanya. Akan tetapi jika Allah berkehendak mewushulkanmu kepada-Nya, maka Allah menutup sifatmu dengan sifat-Nya dan kebiasaanmu dengan kebiasaan-Nya.
Allah mewushulkanmu kepada-Nya dengan sesuatu dari-Nya kepadamu bukan dengan sesuatu darimu kepada-Nya. Dengan demikian, yang menjadikan sebab wushulnya hamba itu bukan kehendak dan Buah dari amal ibadah seorang hamba / usaha kerasnya seorang hamba, tetapi karena kehendak dan amal ibadah itu sejatinya hanya terbit dari kehendak Allah yang azali. 

سبح يسبح علي نفسه

dan maha suci allah swt yang akan mensucikan pada diriNya sendiri …..

suci dan mensucikan pada diriNya. kesucianNya bukan karena di puja / pun dari ketaatan mahluk. Tanda-tandanya, ketika seorang hamba telah masuk pada ketiadaan dirinya dan alam semesta ini … yang ada hanyalah hanyalah yang maha ADA .

kehendaknya yang yang baru (hudust) kepada kehendak Allah yang qodim dalam kesatuan amal yang dilakukan itu tidak ada mungkin, berarti jelas jika amal yg dilakukan oleh seorang hamba yang akalnya di bumi dengan menggunakan konsep bumi sedangkan hatinya di langit dengan menggunakan konsep langit. Itulah tanda-tanda manusia yang sempurna.

Kisah Ulama Sufi




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
 
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad  SAW. keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.

Sahabat yang dirahmati Allah, Sifat buruk sangka, bangga diri, ujub dan sombong adalah sifat-sifat mazmumah yang perlu kita jauhi. Tanpa kita sedari bahawa apabila sifat-sifat ini  telah bertapak dalam hati kita akan menyebabkan hati kita berpenyakit dan akan merosakkan amalan kita kepada Allah SWT.

Terdapat satu kisah seorang ulama sufi bernama Hassan al-Basri dengan seorang pemuda berdua-duaan dengan seorang wanita. Suatu hari di tepi sungai Dajlah, Hassan al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua-duaan dengan seorang wanita. Di sisi mereka terletak sebotol arak. Lalu Hassan berbisik "Alangkah jahatnya orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!"

Tiba-tiba Hassan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas. Enam dari tujuh penumpang itu berjaya diselamatkan. 

Kemudian dia berpaling ke arah Hassan al-Basri dan berkata, "Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang saya telah menyelamatkan enam orang."

Bagaimanapun Hassan al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya padanya. "Tuan, sebenarnya wanita yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan arak. Ini hanya untuk menguji tuan."

Hassan al-Basri terpegun lalu berkata, "Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan."

Orang itu menjawab, "Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan."

Semenjak itu, Hassan al-Basri selalu merendahkan diri bahkan ia menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih dari orang lain.

Sahabat yang dimuliakan,
Sebagai pengajaran untuk di ambil sebagai iktibar kisah diatas, terdapat dua cara untuk mengatasinya.

Pertama : Jangan berburuk sangka dengan orang lain serta memandang rendah padanya. Apabila kita melihat orang lain membuat maksiat kepada Allah jangan menghinanya atau reda dengan perbuatannya dan cuba mencari aibnya. Berilah nasihat yang baik penuh hikmah. Anggaplah berkemugkinan orang itu jahil tentang perbuatannya. Sebagai muhasabah diri sendiri pula, kita patut malu pada diri sendiri yang dikurniakan oleh Allah SWT ilmu ini tetapi masih juga melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su' u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. .Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada mempunyai asas dan tiada alasan yang benar. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada bukti yang kukuh merupakan perkara yang terlarang. 

Kedua : Perkara yang patut kita ingat adalah tentang diri kita iaitu perbuatan baik orang pada kita dan perbuatan jahat kita pada orang lain. Perkara yang patut kita lupakan adalah kebaikan kita pada orang dan kejahatan orang pada kita. Barulah hati kita akan menjadi bersih dan terhindar daripada sifat bangga diri dan menghargai kebaikan orang lain.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :

"Sesungguhnya orang-orang yang percaya pada keterangan Kami, ialah orang yang apabila dibaca ayat-ayat itu kepada mereka, mereka sujud, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka meninggalkan tempat tidurnya menyeru Tuhannya dengan perasaan penuh kecemasan dan pengharapan dan mereka membelanjakan (di jalan kebaikan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka," (Surah as-Sajadah ayat 15-16)

Wallahu A'lam Bis-Showab Min Kulli 'Aalimiin.

Para Wali Allah menurut penjelasan Nabi Isa AS



Wahab bin Munabbih meriwayatkan, bahwa para Hawariyyun telah bertanya pada nabi Isa tentang siapa para Wali Allah yang tiada merasa takut dan berduka cita? Nabi Isa menjawab: ”Mereka adalah para hamba yang selalu memandang kepada bathin dunia ini, padahal pada umumnya manusia melihat dari sisi lahirnya. Mereka mempersiapkan ajal (habisnya usia) dunia ini, ketika manusia melihat kehidupan yang kini saja. Mereka menjauhkan diri dari sesuatu yang akan menodai kehambaan mereka. Pengingkaran mereka terhadap dunia merupakan suatu kemerdekaan dan kegembiraan terhadap apa yang mereka capai daripadanya (dunia ini) merupakan duka cita".

Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi sebagai berikut:

”Wahai para aulia-Ku, pemberian-Ku adalah sebaik-baiknya pahala. Derma-Ku padamu adalah sebaik-baik pendermaan, anugerah-Ku kepadamu adalah sebanyak-banyaknya anugerah. Pergaulan-Ku kepadamu adalah setepat-tepatnya pergaulan. Tuntutan-Ku padamu adalah sekeras-kerasnya tuntutan. Akulah pemilih setiap hati-sanubari. Akulah yang maha mengetahui segala yang ghaib. Akulah pemandang segala gerak-gerik. Akulah pengawas segala lirikan mata. Akulah yang melihat atas lintasan-lintasan hati. Akulah yang mengetahui gerakan pikiran. Dengan demikian hendaknya kalian menjadi para pemanggil demi untuk-Ku. Janganlah kamu merasa takut kepada raja dan penguasa selain-Ku. Barangsiapa yang berani memusuhi kamu, niscaya Akulah yang menjadi lawannya. Barangsiapa yang menyakiti hati kamu, niscaya Aku-lah yang akan membinasakannya. Barangsiapa yang berbuat baik kepadamu, niscaya Akulah yang akan memberinya pahala dan barangsiapa yang meninggalkan kamu, niscaya Akulah yang membencinya”.

Demikianlah penjelasan Nabi Isa tentang para Wali Allah, diperkuat dengan Hadist Qudsi.

Munajat



يَا رَبِّ عَالِمَ الْحَـالْ
Wahai Allah yang mengetahui hal hamba
إِلَيْكَ وَجَّهْتُ اْلآمـَالْ
Kepada-Mu aku hadapkan segala cita-cita
فَامْنُنْ عَلَيْناَ بِاْلإقْبـَالْ
Kurniakanlah kami nikmat perkenan dari-Mu
وَكُنْ لَناَ وَاصْلِحِ الْبـَالْ
Serta belas kasihan dan tenteramkan hati kami
يَارَبِّ يَا خَيـْرَ كـَافِي
Wahai Allah yang Maha mencukupi
اُحْلُـلْ عَلَيْنـَا الْعَـوَافِي
Berilah kami sihat afiat
فَلَيْسَ شَيْء ثَمَّ خـَافِي
Kerana tiada yang sulit atas-Mu
عَلَيْكَ تَفْصِيْلُ وَاجْمـَالْ
Segala sesuatu dalam pengetahuan-Mu
وَقَـْد أَتـَاكَ بِعُـذْرِه
Ia telah datang pada-Mu dengan dosa
وَبِانْكِسـَارِهِ وَفَقْـرِه
Dan kesedihan dan kefakirannya
فَاهْزِمْ بِيُسْـرِكَ عُسْـره
Angkatlah dengan kemudahan-Mu segala kesusahannya
بِمَحْضِ جُوْدِكَ وَاْلإِفْضَالْ
Dengan Berkat kemurahan dan kurnia-Mu
وَامْـنُنْ عَلَيـْهِ بِتَوْبـَةْ
Kurniakanlah padanya taubat
تَغْسِلْهُ مِنْ كُلِّ حَوْبـَةْ
Yang dapat menghapus segala dosa
وَاعْصِمْهُ مِنْ شَرِّ أَوْبـَةْ
Jagalah ia dari segala bahaya
لِكُلِّ مَا عَنْهُ قَدْ حـَالْ
Dari segala yang akan menimpa padanya
فَأَنْتَ مَـوْلَى الْمَـوَالِي
Engkau adalah Tuhan seluruh hamba
الْمُنْـفَرِدُ بِـالْكَمـَالِ
Yang Esa dalam kesempurnaanMu
وَبِـالْعُـلَى وَالتَّعـَالِي
Dalam ketinggian dan keagunganMu
عَلَوْتَ عَنْ ضَرْبِ الأَمْثَالْ
Maha suci Allah dari semua keserupaan
جُوْدُكَ وَفَضْلُكَ وَبِـرُّكَ
Kemurahan, kurnia, dan kebaikan-Mu
يُرْجَى وَبَطْشُكَ وَقَهْـرُكَ
Sungguh sangat di harapkan. Murka dan marah-Mu
يُخْشَى وَذِكْرُكَ وَشُكْـرُكَ
Sungguh sangat di takutkan. Berdzikir dan bersyukur pada-Mu
لاَزِمْ وَحَمْدُكَ وَاْلإِجْـلاَلْ
Adalah lazim, demikian pula memuji dan mengagungkan-Mu
وَصَـلِّ فِي كُلِّ حَالَـةْ
Selawat pada setiap masa
عَلَى مُزِيْـلِ الضَّلاَلـَةْ
Di atas nabi penghapus kesesatan
مَـنْ كَلَّمَتْـهُ الْغَزَالـَةْ
Kepadanya rusa bercakap
مُحَمَّدِ الْهـَادِي الـدَّالْ
Iaitu Muhammad penunjuk jalan
وَالْحَمْـدُ لِلّـه شُكْـرًا
Segala puji bagi Allah sebagai tanda syukur
عَلَى نِعَمٍ مِنْـهُ تَتْـرَى
Atas nikmatNya yang tidak putus
نَحْمَـدُهُ سِـرًّا وَجَهْـرًا
Kami memuji padaNya dengan rahsia dan terang
وَبِـالْغَـدَايَـا وَاْلآصـَالْ
Siang malam setiap waktu

Syair


يا سيدي يا رسول الله

يا سيدي يا رسولَ الله - يا من له الجَاهُ عند الله

إنّ الْمُسِيْئِيْنَ قدْ جَاءُوك - بالذّنْبِ يَسْتَغْفِرُونَ الله

يا سيّد الرُّسْل هَادِيْنـا - هَيـّا بِغَارة إِلَيْنا الآن

يا هِِمَّة السّادات الأقْطاَب- مَعَادِن الصِّدْقِ والسِّرّ

نَادِ المُهَاجِرصَفِيّ الله -ذاك ابْنُ عيسى أبَا السَّادات

ثُمّ المُقَدّم ولِيّ الله - غَوْث الوَرَى قُدْوَة القَادات

ثمّ الوَجِيْـه لِديْنِ الله - سَقّافَنا خَارِق الْعَادَات

والسّيّد الكامِل الأَوّاب - العَيْدرُوس مَظْهَر القُطْر

قُومُوا بِنا واكْشِفُوا عَنّا - يا سَاداتِي هذِه الأَسْوَ

وَاحْمواُ مَدِيْنَتْكُم الغَنَّا - مِنْ جُمْلةِ الشَّرّ والْبَلْوَى

Qasidah ini menceritakan tentang tawassul kepada Rasulullah SAW dan para salaf, di antara mereka: Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Al-Faqih Al-Muqaddam, Abdurrahman Al-Saggaf, Abdullah Al-idrus untuk kita mendapat pengampunan dari Allah SWT dan di jauhkan dari segala kejahatan dan musibah

PENCINTA RASULULLAH SAW.

As Sayyid Ahmad bin Tsabit al-Maghriby adalah salah satu ahli Tharekat dan gemar melakukan suluk yang pada akhirnya beliau memutuskan sebagai pengamal shalawat Nabi setelah merasakan kegembiraan luar biasa dan dan cahaya Rasul yang dilimpahkan Allah kedalam relung hatinya disebabkan cintanya pada Rasulullah saw. 
Didalam kitab al-Tafakkur wa al-I'tibar fi fadhli al-Shalat ala an-Nabiyy al-Mukhtar (180 halaman) Sayyid Ahmad bin Tsabit menceritakan perjalanan ruhani nya. Pada satu malam aku bermimpi menyaksikan dua orang laki-laki bertengkar hingga saling cekik. Kemudian salah satunya berkata : "ayo kita menghadap Rasulullah untuk mencari keputusan". Mereka pun berjalan dan aku membuntutinya dari belakang. Sampailah kami di sebuah tempat yang agak tinggi, lalu salah satunya berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang ini menuduhku membakar rumahnya". Maka Rasul saw bersabda : "Apakah kamu ingin melihat dirimu dibakar api neraka?" Lalu aku terbangun tanpa sempat berkata sepatah pun dalam mimpiku itu.
Aku kemudian berdoa pada Allah agar Ia memperlihatkan padaku kelanjutannya. Maka aku tertidur, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah tanah lapang. Sayup-sayup terdengar suara :
 "Wahai orang-orang yang ingin melihat Rasulullah, ayolah ikut kami". Tiba-tiba ada rombongan orang yang mengikuti kami, mereka berpakaian serba putih, maka aku berkata kepada salah satu dari mereka : "Hai kamu, aku minta padamu dengan nama Allah Yang Maha Agung dan dengan kemuliaan Nabi-Nya yang mulia, agar kamu beritahukan kepadaku dimanakah Rasulullah saw? " Ia menjawab bahwa Rasulullah berada di tempat seseorang. Maka aku berdo'a kepada Allah dengan kemuliaan shalawat kepada NabiNya agar Allah menyampaikan diriku di hadapan Rasulullah sebelum sampainya rombongan itu, agar aku dapat berduaan dengan beliau dan mengutarakan keperluanku. Tiba-tiba aku terangkat oleh sesuatu bagaikan kilat membawaku kehadapan Beliau, kudapati Beliau sedang menghadap kiblat sementara cahayanya memancar dari wajahnya. Aku pun mengucapkan salam.

"Ash-Shalatu Wassalamu 'Alaika Ya Rosulallah (salam sejahtra kepadamu wahai Rasulullah)"
Lalu Beliau menjawab : "Selamat datang bagimu". 
Wajahku terlihat bimbang di dalam biliknya itu, lalu aku berkata "Wahai Rasulullah, aku ingin engkau berwasiat padaku dengan satu nasihat yang Allah berikan manfaat bagiku". 
Maka beliau berkata : "Tambahkan shalawatmu padaku". 
Kemudian aku berkata : "Wahai Rosulallah, berilah jaminan padaku agar aku menjadi wali Allah". 
"Sungguh aku menjaminmu mati dalam husnul khatimah". Jawab Nabi saw.
Aku berkata lagi :"Berilah jaminan agar aku menjadi wali Allah wahai Rasulullah". 
Beliau bersabda :"Aku menjamin dirimu pasti mati dalam husnul khatimah". 
Aku berkata lagi :"Wahai Rasulullah berilah garansi padaku agar menjadi salah satu wali Allah". 
Maka Beliau bersabda : "Tidakkah kau tahu bahwa sesungguhnya seluruh wali Allah memohon kepada Allah agar mati husnul khatimah, dan aku benar-benar menjamin dirimu akan mati dalam husnul khatimah".
Kemudian aku berkata :"saya terima wahai Rasulullah dari dirimu". Lalu muncullah dalam benakku agar Allah memperlihatkan padaku Nabi Khidir as, namun Rasulullah berkata sebelum aku meminta. "Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku dan berkunjung kesebuah makam, maka apa yang kamu niatkan akan kami tunaikan bagimu". 
Pada saat itu muncullah di hatiku rasa malu kepada Rasulullah karena aku berjumpa dan melihat pemimpin penduduk langit dan bumi ini sementara aku belum cukup dengan dirinya. Maka aku berkata: "Wahai Raasulullah tidak satupun Nabi dan Rasul ataupun satu dari wali Allah dan juga Nabi Khidir as. Melainkan mereka terlahir dari cahayamu, dan dari samudramu mereka menimba, dan tatkala aku melihatmu maka seolah-olah aku melihat mereka semua. Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah". 
Kemudian datanglah rombongan yang dibelakangku mereka semua mengucapkan serentak dengan meriah : "Ash-Shalatu Wassalamu 'Alaika Ya Rasulallah (salam sejahtera bagimu wahai Rasul Allah)". 
Merekapun masuk ke dalam ruangan, sementara aku tetap duduk disamping Rasul saw. Maka beliau menyambutnya dengan gembira, kecuali terhadap satu orang yang beliau usir dengan sabdanya : "Hai pergi jauhlah dariku, wahai tampang neraka". Aku melihatnya, yang ternyata orang itu posturnya tidak seperti rombongan itu, sepertinya ia syetan. Ketika perbincangan Beliau dengan rombongan tersebut telah selesai, maka beliau berkata : "Silahkan kembali semoga Allah memberkati kalian (barakallahu fikum), tinggalkan aku bersama kekasihku ini". Sambil beliau menunjuk diriku. Maka aku bersyukur kepada Allah atas hal itu. Kemudian "Berilah kepadaku nasihat yang berguna bagiku di sisi Allah".
Beliau menjawab : "Tambahkan shalawatmu kepadaku serta bersikap zuhudlah di dalam dunia dan hindarilah permainan atau senda gurau".
Lalu aku terbangun dari tidur sembari berkata dalam diriku "Aduh permainan apakah gerangan yang harus kutinggalkan?". Kuhabiskan waktuku untuk memikirkan hal itu tapi permainan tersebut tidak tampak bagiku, maka kuserahkan semua pada Allah seraya berkata dalam diriku, "Jika senda gurau ini menimpaku, maka kuucapkan tiada upaya menolak keburukan tiada daya mendatangkan kebaikan melainkan atas izin Allah dan tidak ada yang terpelihara dari urusan Allah melainkan orang yang dikasihi Allah ".
Semoga Allah membuka celah bagi kita agar kita istiqamah lahir bathin dalam menyanjung hati Kekasih Allah tersebut, semoga pula Allah memberikan Ridho_Nya kepada segala sholawat kita kepada Nabi Muhammad saw. Aamiin

Kisah Adzan Terkahir Bilal bin Rabbah RA



Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya : ”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya :” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.

Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata : ”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku : ”Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku :” Engkau wahai Fathimah, adalah keluargaku yang pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.

Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda :” Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda :” Mendekatlah kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata :” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda :” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.

Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata :” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya :” Izinkan untuknya wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata :” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu : para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”

‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a :

“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yang ridha dan tidak murka.”

Sayyidah ‘Aisyah berkata :”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata :”Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata :” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yang paling tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata :”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”

Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata :” Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.” Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. 

Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.

Waktu shalat telah tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan. 

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.

“Asy…ha..du. .annna…”

Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong. Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya”. 

Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak. Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”

Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.

Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan. “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…” 

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.

“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”

Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.” Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” 

Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.

Secangkir Hikmah




Dibawah ini adalah beberapa ungkapan atau mungkin secercah petunjuk dalam hidup yang mungkin bisa kita petik satu demi satu i'tibar dibalik itu semua. adapun ungkapan ini merupaka sebuah nasehat dari Al-Imam 'Ali Zainal 'Abidin QS.

“Wahai anakku! Waspadalah terhadap lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan 
 seperjalanan dengan mereka:

“Jauhilah bersahabat dengan pendusta, karena dia seperti fatamorgana; mendekatkan sesuatu yang jauh darimu dan menjauhkan sesuatu yang dekat denganmu.

“Jauhilah bersahabat dengan orang fasik, karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.

“Jauhilah bersahabat dengan orang kikir, karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.

“Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol), karena dia akan mencelakakanmu padahal semestinya ia ingin menolongmu.

“Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di dalam kitab Allah.”

Barangsiapa yang mulia jiwanya maka dunia akan tampak rendah dalam pandangannya. 

Betapa indah hidup dan sungguh sangatlah berarti jika kita bisa berbagi bersama dalam memetiki'tibar pada sebuah kalam maupun nasehat dari para kekasih allah. semoga allah ridho kepada kita semua lantaran keridhoan allah kepada mereka pula. Aamiin

REALITI



Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.

Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.

Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!"

Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."

Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."

Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."

Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.

Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."

"Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."

Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.

Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati