Al-Imam Alwi Al-Ghoyur

 
 
Al-Imam Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Ghuyur (yang cemburu), yaitu yang cemburu atas namanya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun dari keluarga Bani Alawy di jaman beliau yang bernama Alwi. Jika ada seseorang yang berniat memberi nama Alwi, pasti ia akan tercegah untuk menamakan dengan nama itu, sehingga memberikan nama lain.

Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau dididik langsung oleh ayahnya. Beliau mengambil dari ayahnya berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Beliau juga menempuh jalan ayahnya, baik secara syariah, thariqah maupun haqiqah. Ibu beliau adalah Hababah Zainab binti Ahmad bin Muhammad Shahib Mirbath, seorang wanita yang termasuk al-’arif billah.

Beliau adalah seorang keturunan Rasul SAW yang agung, seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya, serta seorang ahli zuhud. Beliau adalah seorang al-’arif billah, mempunyai maqam yang tinggi dan karomah yang luar biasa. Beliau banyak mendapatkan ilmu-ilmu laduniyyah dan asrar ghaibiyyah.

Beliau jika berkata terhadap sesuatu, “Kun (jadilah),” maka sesuatu itu jadi sebagaimana yang dikehendakinya dengan ijin Allah. Banyak para ulama besar dan auliya di jamannya menukilkan ucapan beliau yang berkata, “Aku berada dalam maqam Al-Junaid.” Beliau dapat mendengar tasbih dari benda-benda mati.

Beliau bisa mengenali orang-orang yang ahli celaka dan yang ahli bahagia. Pada suatu hari ayahnya, Al-Faqih Al-Muqaddam, berkata kepada beliau pada saat beliau masih kecil, “Engkau dapat mengenali mana orang yang ahli celaka dan mana yang ahli bahagia. Maka lihatlah yang demikian itu di dahiku (aku termasuk yang mana)?.” Lalu beliau melihatnya dan mendapatkannya sebagai orang yang termasuk ahli bahagia, kemudian beliau sampaikan hal tersebut kepada ayahnya.

Suatu saat beliau berziarah ke datuknya, Rasulullah SAW, dan di sampingnya ada Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi keduanya). Beliau berkata kepada datuknya SAW, “Dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai kakek?.” Menjawab Rasulullah SAW, “Di kedua belah mataku.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada beliau, “Dan dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai Syeikh Alwi?.” Lantas beliau menjawab, “Di atas kepalaku.” Kemudian Abubakar berkata, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian?. Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada para fakir miskin 100 dinar.” Setelah beliau pulang, beliau pun bersedekah 100 dinar sebagai tanda syukur.

Pada saat beliau berlambat-lambat dalam menikah, berkatalah calon keturunannya dari punggungnya, “Kami telah berada di punggungmu. Cepatlah menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu!.” Ketika beliau telah menikah dan istrinya mengandung, berkatalah si jabang bayi dari rahim istrinya, “Aku anak sholeh. Aku hamba Sholeh.”

Beliau, Al-Imam Alwi Al-ghuyur, seorang yang cepat memberikan pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. As-Sayyid Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi Al-Khirid Ba’alawy berkata di dalam kitabnya Al-Ghurar, “Mengabarkan kepadaku Asy-Syeikh Abdurrahman bin Ali bahwa para al-’arif billah berkata, ‘Ada 3 orang dari keluarga Bani Alawy yang senantiasa semangatnya terpelihara. Sifatnya yang merespon pertolongan dengan cepat selalu semakin baik dan terjaga. Seorang yang meminta pertolongan kepada mereka, selalu cepat mereka bantu. Mereka adalah Alwi Al-Ghuyur, dan anaknya yaitu Ali, serta Asy-Syeikh Umar Al-Muhdhor.’ “

Ayah beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, memuji kepada beliau dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya itu akan menjadi seorang wali yang agung. Banyak para ulama mengatakan bahwa sirr ayahnya pindah kepada diri beliau. Sebagian di antara mereka berkata, “Beliau pengganti dari orang-orang yang terdahulu.”

Beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Hababah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Melalui istrinya tersebut, beliau dikaruniai dua orang putra, yaitu Ali dan Abdullah. Beliau wafat pada hari Jum’at, 12 Dzulqaidah 669 H. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal Tarim dan diletakkan di sebelah timur dari makam ayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati