Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid


Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :


IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.


Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.


Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.


Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.


Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.

Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.


HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.

Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.


Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. 


SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.


Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman. 


Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. 

Oleh: benmashoor

Air Mata Kerinduan Uwais AlQarani Kepada Rasul SAW


Di negeri Yaman, hiduplah seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarani yang berasal dari kabilah Qaran. Uwais Al-Qarani mempunyai jiwa yang bersih dan mulia. Dia seorang yang pintar dan selalu melakukan pencarian makna hidup. Meskipun saat itu dia masih belum mengenal ajaran Islam yang mulia, dia sangat menghormati nilai-nilai mulia kemanusiaan. Di antara sikap dan perilaku Uwais yang paling menonjol sekali ialah penghormatan yang besar terhadap ibunya. Dia bersikap amat lemah-lembut kepada ibunya yang sudah tua dan dia amat mengerti tanggung jawabnya sebagai anak. Dia dapat merasakan kesulitan seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Oleh karena itu, dia melayani ibunya seperti seorang pelayan yang taat dan patuh. Uwais sama sekali tidak melupakan jerih payah ibunya.

Suatu saat, Uwais Al-Qarani mendengar kabar bahwa ada seorang nabi yang berhijrah dari kota Mekah ke Madinah dan sebagian dari masyarakat mengikuti ajaran nabi tersebut. Uwais dengan perenungannya, sampai kepada kesimpulan bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang benar-benar diutus oleh Tuhan karena perintah dan ajaran yang disampaikan beliau berlandaskan kepada akal dan sesuai dengan nilai-nilai tinggi insani. Uwais mempercayai kenabian Muhammad saaw dan dia ingin sekali bertemu dengan beliau. Dia ingin melakukan perjalanan ke Madinah dan melihat sendiri keindahan hati Muhammad dari dekat. Tetapi, kondisi ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuatnya mengurungkan niatnya itu. Berbulan-bulan lamanya Uwais memendam harapan dan impiannya tersebut. Sampai suatu hari, dia mengambil keputusan untuk menceritakan keinginannya itu kepada ibunya.

Uwais dengan sopan duduk di hadapan ibunya dan berkata, “Wahai ibu, aku tidak dapat menahan hati untuk bertemu dengan seorang lelaki yang telah diutus sebagai nabi. Engkau pun tahu bahwa anakmu ini tidak pernah berfikir tentang hal-hal selain dari kebaikan dan kebenaran. Jika ibu mengizinkan, aku ingin sekali pergi menemui Rasul Tuhan itu dari dekat.”
Ibu Uwais yang amat terkesan melihat kesungguhan dan gelora keinginan anaknya untuk bertemu dengan Nabi, berkata, “Wahai anakku, aku izinkan engkau untuk pergi ke Madinah, tetapi aku minta supaya setelah engkau bertemu dengan Nabi segeralah engkau pulang ke Yaman dan janganlah engkau berlama-lama di sana.”

Dengan penuh gembira, Uwais menerima permintaan ibunya itu dan dia pun melakukan perjalanan untuk pergi ke Madinah. Meskipun perjalanan begitu jauh dan menyulitkan, namun semangat dan keinginannya yang besar untuk bertemu Nabi menyebabkan dia merasa begitu gembira hingga tidak merasa lelah dalam perjalanan. Siang dan malam dia tempuh perjalanan tanpa menghiraukan kesulitan dan kelelahan yang menderanya.

Akhirnya, sampailah Uwais Al-Qarani ke kota Madinah. Dengan tidak sabar lagi, dia bertanya ke sana kemari untuk mencari Nabi Muhammad. Tetapi, berita yang didapatkannya amat mengecewakan. Orang-orang Madinah memberi tahu Uwais bahwa Nabi sedang keluar dari kota untuk beberapa hari. Begitu Uwais mendengar berita ini, dia mengeluh panjang dan terduduk di atas tanah. Segala kelelahan terasa menimpa seluruh tubuhnya. Sedemikian besar rasa kecewa yang menyelubunginya sehingga dia menangis sejadi-jadinya. Orang-orang membujuknya dengan mengatakan bahwa dia bisa tetap tinggal di Madinah dan menjadi tamu mereka sampai Rasulullah kembali dari perjalanannya. Tetapi Uwais berkata bahwa dia mempunyai seorang ibu tua yang sedang menanti kepulangannya.

Uwais mengambil keputusan untuk segera pulang ke Yaman meskipun dia belum berhasil menemui Nabi, demi melaksanakan janjinya kepada sang ibu. Dia berkata kepada para sahabat dan keluarga Nabi, “Aku terpaksa pulang ke Yaman. Aku minta pada kalian, jika Rasulullah pulang, sampaikanlah salamku kepadanya.”

Beberapa hari kemudian Rasulullah saaw pulang ke Madinah. Ketika beliau mendengar kisah Uwais, beliau memujinya dan berkata, “Uwais telah pergi, namun cahayanya tetap tinggal di rumah kami. Angin sepoi dan aroma wewangian syurga bertiup ke arah Yaman. Wahai Uwais! Aku juga ingin sekali menemuimu. Sahabat ku, siapapun di antara kalian yang bertemu dengan Uwais, sampaikanlah salamku kepadanya.” Dalam sejarah dikatakan bahwa memang Uwais tidak pernah dapat bertemu dengan Rasulullah. Tetapi, karena pengorbanan yang telah dilakukannya buat ibunya, namanya tercatat abadi dalam sejarah.

“Tuhan memanjangkan usia orang-orang yang melakukan kebaikan kepada orang tua mereka.”
“Siapa saja yang menggembirakan hati ibu dan bapaknya, Tuhan juga akan menggembirakan mereka dan siapa saja yang membuat ibu bapa mereka marah, Tuhan juga akan murka terhadap mereka.”

 

Renungan "Seorang Hamba"

 
kala kebenaran terkalahkan kemungkaran,
kala kemungkaran menghiasi kehidupan,
kala khidupan penuh tarian kemaksiatan
kala kemaksiatan diagung-agungkan hamba
kala setan melantunkan lagu kenikmatan
kala kenikmatan menyilaukan mata kekuasaan
kala kekuasaan menjadi ladang kesesatan
kala kesesatan menjadi panduan
maka :

tegakkanlah kebenaran
teguhkan keyaqinan
ragukan keraguan
walau,

gigit erat gigi geraham
maka

jangan menyerah pada kemungkaran,
walau

nyawa jadi taruhan
hingga

Malaikat maut datang menjemput.

Pernyataan cinta

Bila tak kunyatakan keindaha-Mu dalam kata, maka akan kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu, maka segera berubah laksana duri.
Meskipun aku diam seperti ikan,tapi aku tetap gelisah laksana ombak di lautan.
Kau yang tlah menutup rapat bibirku, maka tariklah pula aku di dekat-Mu.
Aku terbang mencari-Mu lalu aku terpanah oleh pemanah dan akupun cidera.
Adakah begini keadaan para pencari-Mu ?
Jikalau Engkau bertanya apakah yang auku mau? Maka jawabku hanya satu:hanya Engkau semata.
Selamatkan aku dari segala macam panah panah yg akan menghadang, agar aku terus kuat terbang kepada-Mu.
Engkau pemilik keteguhan, masukkanlah aku kedalam benteng ketegyhan-Mu.
Janganlah siapapun yang mengganggu aku untu bersama-Mu

Lubabah Al-Muta'abbidah


Ia adalah penduduk Baitul Maqdis, tergolong ahli ma'rifat dan mujahadah.Muhammad bin Rauh mengatakan: Lubabah al-Muta'abbidah mengatakan, "Aku sungguh malu pada Allah Ta'ala, jika ia memandangku sedangkan aku sibuk dengan yang lainNya…"Lubabah pernah mengatakan, "Sepanjang aku tekun ibadah hingga aku bersenayawa dengan ibadah. Jika aku lelah bertemu sesame makhluk, tiba-tiba muncul rasa suka cita mengingat Allah. Bila aku terdorong untuk bicara tentang makhluk, tiba-tiba ada dorongan untuk beribadah kepada Allah, dan khidmah kepadaNya."
"Mohonlah kepada Allah dua hal," kata Lubabah, "Hendaknya Dia ridlo kepadamu, dan menempatkan dirimu di kalangan ahli ridlo, dan kedua, hendaknya bersembunyi deari disebut diantara para kekasihNya."

FIRASAT

"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda,(QS Al-Hijr 75)

RasuluLloh SAWW bersabda, : "Takutlah kalian dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan cahaya Alloh".

Ustadz Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, "Firasat adalah suara bathin yang masuk ke dalam hati dan meniadakan kontradiksi. Setiap suara hati memiliki nilai hukum yang menguasai hati. Kata firasat merupakan pecahan dari kata farasa yang mengandung makna menerkam atau memburu. Farisah as-sabu'u memiliki makna terkaman binatang buas. Akan tetapi makna pembandingnya tidak bisa diartikan dalam konteks hati secara apa adanya. Keberadaannya mengukuti kualitas iman. Setiap orang yang imannya lebih kuat, pasti firasatnya lebih tajam."

    Abu Said Al-Kharaz mengatakan "Barang siapa melihat dengan cahaya firasat berarti dia melihat dengan cahaya Al-Haq. Sumber ilmu yang dipakai memandang berasal dari Al-Haq. Dia dapat melihat dengan tanpa lupa dan lalai. Hukum kebenaran Tuhan mengiringi gerakan lidah. Manusia semacam ini berbicara dengan menggunakan pancaran sinar kebenaran Tuhan. Ucapanya yang menyatakan dia memandang dengan cahaya Al-Haq artinya melihat dengan cahaya yang dikhususkan Alloh kepadanya."
    Muhammad Al-Washiti mengatakan, "firasat adalah pancaran cahaya yang memancar ke dalam hati, dominasi ma'rifat yang membawa rahasia-rahasia ke dalam hati, dari sesuatu yang gaib menuju yang gaib sehingga dia mampu melihat sesuatu menurut sisi mana Tuhan memandang. Dia bisa berbicara dengan hati makhluk."

    Abul Hasan Ad Dailami mengatakan, : Saya pernah memasuki kota Antakiya wilayah Turki, karena sebab seorang pria yang berkulit sangat hitam. Menurut kabar yang saya terima, dia bisa berbicara yang sifatnya sangat rahasia. Sayapun tinggal bersamanya sampai dia keluar dari daerah pegunungan Lukam. Sewaktu keluar, dia membawa sesuatu yang mubah yang hendak dijualnya. Sementara keadaan saya sudah dua hari tidak makan apa-apa. Saya lihat apa yang dibawanya bisa dimakan.
    "Berapa hargnya ?" tanya saya.
    Saya membayangkan bisa membeli sesuatu yang berada di tangannya.
    "Duduklah sampai saya selesai berjualan dan memberikan kamu apa yang hendak kamu beli." Dia memberi saran kepada saya.

    Saya tidak mempedulikan omongannya. Saya biarkan dia menyelesaikan urusannya, sementara saya berjalan ke penjual lain yang saya kira akan menawarkan dagangannya. Akan tetapi penjual itu tidak membutuhkan penawaran saya, sehinga membuat saya harus kembali kepada lelaki hitam tersebut. Saya mengulangi tawaran saya dengan suara yang agak keras,"Jika engkau menjual barang ini, maka katakan pada saya berapa harganya ".

    "Engkau telah kelaparan selama dua hari. Duduklah hingga saya menjual dan memberikan kepadamu apa yang hendak engkau beli." Dia kembali memberi saran kepada saya. Sayapun akhirnya duduk. Ketika dia menjual dan memberikan sesuatu kepada saya, kemudian dia pergi. Saya penasaran lalu mengikutinya. Dia menoleh kepada saya dan mengatakan," Jika kamu ditimpa keperluan, maka Alloh pasti menurunkannya kecuali jika nafsumu meminta bagian yang dapat menutupi keterkabulan dari Alloh."

    Muhammad Al-Kattani mengatakan, "Firasat adalah ketersingkapan keyakinan, kemampuan melihat ghaib, dan dia merupakan bagian dari derajat iman." Dikatakan, Imam Syafi'i dan Muhammad bin Hasan berada di Masjidil Haram. Kemudian seorang pria measuki masjid. Muhammad bin Hasan mengatakan, "Menurut firasatku dia adalah tukang kayu.' Namun Imam Syafi'i megatakan, "Menurutku dia adalah seorang tukang besi." Keduanya lantas mendatangi orang tesebut dan menanyakan statusnya. Lelaki itu menjawab, "Saya sebelum tahun ini memang tukang besi, tetapi sekarang saya bekerja dalam perkayuan".

    Abu Sa'id Al-Kharraz mengatakan, "Orang yang memiliki sumber adalah orang yang meneliti hal-hal ghaib selamanya dan hal-hal ghaib tidak tertutup dari pandngannya. Tidak ada yang tersembunyi darinya. Dialah gambaran orang yang ditunjukkan Alloh dengan firman-Nya :
لعلمه الدين يستنبطونه منهم

    ...tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS An-Nisa 83).
    Orang yang mencari tanda atau firasat adalah orang yang mengetahui tanda. Dai mengetahui sesuatu yang tersimpan dalam kemurungan hati. Kemampuannya didukung dengan petunjuk-petunjuk dan alamat-alamat. Alloh SWT berfirman :

إنّ في ذلك لآيةٍ للمتوسمين

    Sesungguhnya yang demikian ini benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda). (QS Al-Hijr 75).

    Artinya orang-orang yang mengerti apa yang ditampakkan oleh Tuhan dengan berbagai alamat / tanda-tanda. Mereka terbagi menjadi dua golongan : para wali Alloh dan para musuh-Nya. Orang yang mempunyai firasat melihat dengan cahaya Alloh. Demikian itu merupakan pancaran cahaya yang memancar ke dalam hati, sehingga ia dapat melihat berbagai makna atau niali-nilai yang termanifestasikan dalam alam semesta. Hal itu merupakan keistimewaan iman. Kebanyakan mereka adalah Rabbany. Alloh SWT berfirman :
كونوا ربّانيين

    Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbany (QS Ali Imran 79).
    Rabbany artinya para ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan akhlak Tuhan dan berpikiran dengan pandangan Tuhan. Mereka kosong dari pengaruh makhluk, Kecenderungan dari melihat mereka dan kosong dari kesibukan dengan mereka.

    Abul Qasim Al-Munadi, seorang ulama sufi dari Naisabur terbesar di zamannya menderita sakit. Banyak ulama yang menjenguknya, diantaranya Abul Hasan Al-Busanji dan Hasan Al-Hadad. Sebelum tiba ditempat tujuan, keduanya sempat membeli beberapa buah apel di tengah jalan secara kredit. Keduanya kemudian membawanya kepada Abul Qasim. Ketika kedua tamu ini masuk dan duduk di sisi pembaringan. Abul Qasim berkata, " Kenapa suasana menjadi gelap ?"

    Kedua tamu itu terkejut. Seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka berdua. Keduanya gelisah dan kemudian mereka keluar dan bergumam, "Apa yang telah kita perbuat ?" Keduanya mencoba berfirir.
    "Barangkali kita belum membayar penuh harga apel," Kata mereka. Keduanya lantas pergi ke tempat penjual apel dan melunasi pembayarannya, kemudian kembali ke rumah Abul Qasim. Ketika pandangan beliau jatuh kepada mereka berdua, maka beliau bergumam, "Mungkinkah secepat ini kegelapan yang menyelimuti seseorang keluar darinya. Kabarkan pada saya ada apa yang terjadi pada kalian ."
    Keduanyapun menuturkan kisah tentang apel, tentang harga dan tentang pemenuhan janjinya. Ulama itu diam mendengarkan. Beliau menemukan penyebab kegelapan ruang tidurnya.

    "Memang benar seseorang dari kalian terlalu percaya pada temannya untuk tidak membayar penuh harga apel. Dia percaya dengan kebaikan penjual apel, sementara penjual apel itu malu untuk tidak memenuhi tawarannya. Dia sungkan dan takut berperkara karena sadar bahwa yang dihadapinya adalah ulama. Dia takut menagih. Sedangkan saya adalah penyebab utama. Engkau datang dengan membawa apel karna saya. Itulah yang saya lihat pada diri kalian."

    Semenjak saat itu, Abul Qasim AL-Munadi masuk pasar setiap ada pelelangan. Dan ketika tangannya menjamah sesuatu yang sekiranya mencukupi harga senilai seperenam hingga setengah dirham, maka dia keluar dan kembali pada pangkal waktunya dan meniti-niti hatinya.

    Husain bin Manshur berkata, "Al-Haqq" Telah menguasai rahasia (hati), maka rahasia-rahasia itu akan menguasainya, mengurusi dan memberitahukan kepadanya rahasia-rahasia itu".
    Seorang sufi ditanya tentang makna firasat, lalu dijawab, "Beningnya nurani yang berputar-putar di dalam kerajaaan (alam jasad, alam ruhani, dan alam ghaib) sehingga dia dimuliakan dengan kemampuan melihat makna-makna ghaib, berbicara trentang rahasia-rahasia penciptaan dengan pembicaraan yang nyata, dan dia tidak berbicara dengan dugaan atau persangkaan."

    Dikatakan bahwa antara Zakariya Asy-Syahtani sebelum dia tobat, dan seorang wanita terjalin hubungan asmara. Suatu hari dia menghadap gurunya, Abu Utsman, setelah menjadi salah seeorang murid seniornya. Abu Utsman duduk sambil menekurkan kepalanya, sementara Zakariya duduk bersila di depan gurunya dengan pikiran melayang mengkhayalkan keasihnya. Abu Utsma mengangkat kepalanya dan menatap muridnya. "Mengapa engkau tidak merasa malu ?" tanya gurunya.

    Syaikh Abul Qasim menceritakan kisah awal perjalanan sufinya, dia mengatakan, "Ketika di awal perjumpaan saya dengan ustadz Abu Ali, beliau mengikat saya dalam suatu acara di majlis ta'lim di masjid Al-Mathuraz. Saya meminta izin beliau untuk keluar sebentar ke kota Nasa dan beliau mengizinkannya. Kemudian saya berjalan bersamanya. Di tengah jalan menuju majlis ta'lim, hati saya berbisik,"Sekiranya beliau mau menggantikan saya di majlis selama saya tidak ada...' belum selesai hati saya berbicara, Ustadz Abu Ali menoleh dna mengatakan kepda saya, "Saya akan menggantikanmu selama kamu tidak ada.: Kemudian kami berjalan, "hati saya kembali berbisik, "seandainya beliau sakit dan mengalami kesulitan untuk menggantikan saya selama dua hari dalam seminggu atau paling tidak sekali seminggu.' Tiba-tiba beliau menoleh kepada saya dan mengatakan, "Jika tidak mungkin menggantikan kamu dua hari seminggu, paling tidak saya akan menggantikanu seminggu sekali." Kami kembali berjalan dan ketika hati saya berbisik lagi dengan hal yang lain, beliau juga menoleh dan memberitahukan kepada saya apa yang telintas di hati saya".

    Syah AL-Kirmani seorang ulama yang terkenal memiliki ketajaman firasat mengatakan, "Barang siapa yang mengatupkan pandangannya dari sesuatu yang haram, mencegah dirinya dari syahwat, menetapi bathinnya dengan keabadian perasaan diawasi Alloh, meneguhkan zahirnya untuk tetap mengikuti sunah RasuluLloh SAWW, dan membiasakan makan halal, maka firasatnya tidak mungkin salah".

    Abul Husin An-Nuri pernah ditanya, "dari mana firasat orang-orang yang ahli firasat itu lahir ?"
    :Dari firman Alloh yang berbunyi :

وَنَفَحْتُ فيْهِ روْحيْ

    Dan Kami tiupkan Ruh-Ku ke dalamnya (QS Al-Hijr 29)

    Barang siapa cahayanya lebih sempurna maka kesaksian hukumnya lebih tepat. Hukumnya dengan penglihatan firasatnya lebih benar. Mengapa kamu tidak melihat bagaimana peniupan ruh itu menjadikan keharusan sujud kepada-Nya ? Firman Alloh SWT :

فإذاسَوَيْتُهُ وَنَفَحْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِيْ فقعُوا لَهُ ساجدين

    Ketika Aku sempurnakan penciptaannya, dan aku tiupkan ruh Ku ke dalamnya, maka mereka bertiarap sujud kepadanya (QS Al-Hijr 29)

    Uatadz Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, "Tafsiran berikut ini dari Abul Hasan An-Nuri yang menerangkan bahwa ayat teersebut mengandung kesamaan pengertian dengan penyebutan peniupan roh, bukan pembenaran seseorang yang mengatakan dengan pijakan kaki ruh, dan tidak sebagaimana ruh yang menyinari hati orang-orang yang lemah.jika benar baginya peniupan, penyambungan dan pemisahan, maka dia adalah orang yang menerima pengaruh dan perubahan. Itulah diantara beberapa ketinggian sesuatu yang baru. Alloh SWT telah mengkhususkan orang-orang mukmin dengan penglihatan dan cahaya yang dengan cahaya itu mereka berfirasat. Pada hakikatnya hal ini merupakan pengetahuan yang didasarkan sabda RasuluLlah SAWW, " Sesungguhnya Dia melihat dengan cahaya Alloh". Artinya dengan ilmu dan penglihatan yang dikhususkan kepadanya. Dia diistemawakan Alloh dengan kedua anugerah tersebut dan dipisahkan dari yang bukan bentuk-bentuknya. Penamaan ilmu dan penglihatan dengan istilah cahaya adalah bukan sesuatu yang diada-adakan. Sifat demikian itu tidak dijauhkan dengan penipuan karena maksud dari ayat tersebut adalah penciptaan."

Rabiah Al Adawiyah ( Ibu para Sufi besar dan Ajaran "Cinta" nya)

BISMILAHI ROHMANI ROHIM

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan….

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati