Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy

 
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan.

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.


Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”


Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.


Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.


Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.


Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.


Cinta Ilahiah


Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.


Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.


Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.


Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”


Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”


Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.


Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”


Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.


Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”


Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.


“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.


Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”


“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.


Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.


Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.


Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”


Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”


Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Dialog Spiritual Haji


Dialog ini terjadi antara Imam Ali Zainal Abidin  dengan Asy-Syibli. Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dan terkenal hingga sekarang, khususnya di kalangan para sufi. Imam Ali Zainal Abidin  adalah putera Al-Husein cucu Rasulullah saw. Dialog ini saya terjemahkan dari kitab Al-Mustadrak. Berikut ini dialognya:

Saat pulang ke Madinah usai menunaikan ibadah haji, Asy-Syibli datang kepada gurunya Ali Zainal Abidin  untuk menyampaikan pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog antara seorang guru dengan muridnya.

Ali Zainal Abidin : Wahai Syibli, Anda sudah menunaikan ibadah haji?

Asy-Syibli: Ya, sudah yabna Rasulillah (wahai putra Rasulillah)

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah berhenti miqat, kemudian menanggalkan semua pakaian terjahit yang dilarang bagi orang yang menunaikan ibadah haji, kemudian Anda mandi sunnah untuk memakai baju ihram?

Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Apakah ketika berhenti di miqat Anda menguatkan niat, dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat Anda menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah Anda sudah menghilangkan perasaan riya’, munafik, dan semua subhat (yang diragukan hukumnya).

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mandi sunnah dan membersihkan diri sebelum memakai pakaian ihram, apakah Anda juga berniat membersihkan diri dari segala macam noda-noda dosa?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum berhenti miqat, belum menanggalkan pakaian yang yang terjahit, dan belum mandi membersihkan diri.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mandi, berihram dan mengucapkan niat untuk memasuki ibadah haji, apakah Anda sudah menguatkan niat dan tekad hendak membersihkan diri dan mensusikannya dengan pancaran cahaya taubat dengan niat yang tulus karena Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Apakah pada saat memakai baju ihram Anda berniat untuk menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Apakah ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji, Anda telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri dengan Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri Anda dalam menunaikan ibadah haji.

Ali Zainal Abidin : Bukankah Anda telah memasuki miqat, shalat ihram dua rakaat, kemudian mengucapkan talbiyah?

Asy-Syibli: Ya, semua itu sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika memasuki miqat apakah Anda berniat akan melakukan ziarah untuk mencari ridha Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat melaksanakan shalat ihram dua rakaat, apakah Anda berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tekad akan memperbanyak shalat sunnah yang sangat tinggi nilainya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memasuki miqat, belum mengucapkan talbiyah, dan belum menunaikan shalat ihram dua rakaat.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda telah memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah dan melakukan shalat disana?

Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Pada saat memasuki Masjidil Haram, apakah Anda bertekad untuk mengharamkan diri Anda dari mengunjing orang-orang islam?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika sampai di kota Mekkah, apakah Anda menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah-lah tujuan hidup?

Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memasuki Masjidil Haram, belum memandang Ka’bah, dan belum melakukan shalat di dekat Ka’bah.

Asy-Syibli:

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah melakukan thawaf, dan sudah menyentuh sudut-sudut Ka’bah?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukan thawaf.

Ali Zainal Abidin : Ketika thawaf, apakah Anda berniat untuk lari menuju ridha Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum melakukan thawaf, dan belum menyentuh sudut-sudut Ka’bah.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah berjabatan tangan dengan hajar Aswad, dan melakukan shalat sunnah di dekat Maqam Ibrahim?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Mendengar jawaban Asy-Syibli, Ali Zainal Abidin (ra) menangis dan memandangnya seraya berkata:

“Ya sungguh benar, barangsiapa yang berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, ia telah berjabatan tangan dengan Allah. Karena itu, ingatlah baik-baik wahai manusia, janganlah sekali-kali kalian berbuat sesuatu yang menghinakan martabatmu, jangan menjatuhkan kehormatanmu dengan perbuatan durhaka dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, jangan melakukan apa saja yang diharamkan oleh Allah swt sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang bergelimang dosa.

Ali Zainal Abidin : Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, apakah Anda menguatkan tekad untuk berdiri di jalan kebenaran dan ketaatan kepada Allah swt, dan bertekad untuk meninggalkan semua maksiat?

Asy-Syibli: Tidak, saat itu tekad tersebut belum kusebutkan dalam niatku.

Ali Zainal Abidin : Ketika melakukan shalat dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim, apakah Anda berniat untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim (sa), dalam shalat ibadahnya, dan kegigihannya dalam menentang bisikansetan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim, dan belum melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah memperhatikan sumur air Zamzam dan minum airnya?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Ketika memperhatikan sumur itu, apakah Anda mencurahkan semua perhatian untuk mematuhi semua perintah Allah. Dan apakah saat itu Anda berniat untuk memejamkan mata dari segala kemaksiatan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memperhatikan sumur air Zamzam dan belum minum air Zamzam.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Apakah saat itu Anda mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah, dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah pergi ke Mina?

Asy-Syibli: Ya, tentu sudah.

Ali Zainal Abidin : Apakah saat itu Anda telah sunggu-sungguh bertekad agar semua manusia aman dari gangguan lidah, hati dan tangan Anda sendiri?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum pergi ke Mina.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah wuquf di padang Arafah? Sudahkah Anda mendaki Jabal Rahmah? Apakah Anda sudah mengunjungi lembah Namirah dan berdoa di di bukit-bukit Shakharat?

Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di Padang Arafah, apakah Anda benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Dan apakah Anda menyadari hakekat ilmu yang dapat mengantarkan diri Anda kepada-Nya? Apakah saat itu Anda menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan suara nurani?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah Anda tulus ikhlas mengharapkan rahmat Allah untuk setiap mukmin, dan mengharapkan bimbingan untuk setiap muslim?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di lembah Namirah apakah Anda punya tekad untuk tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum terlebih dahulu Anda menyuruh diri Anda berbuat baik? Apakah Anda bertekad tidak melarang orang lain berbuat maksiat sebelum Anda mencegah diri Anda dari perbuatan tersebut?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda berada di bukit-bukit itu, apakah Anda benar-benar menyadari bahwa tempat itu merupakan saksi atas segala kepatuhan kepada Allah swt. Dan Tahukah Anda bahwa bukit-bukit itu bersama para malaikat mencatatnya atas perintah Allah Penguasa tujuh langit dan bumi?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu Anda belum berwuquf di Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum mengunjungi lembah Namirah dan belum berdoa di tempat-tempat itu.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda melewati dua bukit Al-Alamain dan menunaikan shalat dua rakaat sebelumnya? Apakah setelah itu Anda melanjutkan perjalanan menuju Muzdalifah, mengambil batu di sana, kemudian berjalan melewati Masy’aril Haram?

Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda melakukan shalat dua rakaat, apakah Anda meniatkan shalat itu sebagai shalat Syukur, shalat untuk menyampaikan rasa terima kasih pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, dengan harapan agar tersingkir dari semua kesulitan dan mendapat kemudahan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika melewati dua bukit itu dengan meluruskan pandangan, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah Anda benar-benar bertekad tidak akan berpaling pada agama lain, tetap teguh dalam agama Islam, agama yang hak yang diridhai oleh Allah swt? Benarkah Anda memperkuat tekad untuk tidak bergeser sedikitpun, baik dalam hati, ucapan, gerakan maupun perbuatan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di Muzdalifah dan mengambil batu di sana, apakah Anda benar-benar bertekah untuk melempar jauh-jauh segala perbuatan maksiat dari diri Anda, dan berniat untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat Anda melewati Masy’aril Haram, apakah Anda bertekad untuk menjadikan diri Anda sebagai keteladan kesucian agama Islam seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum melewati Al-Alamain, belum melakukan shalat dua rakaat, belum berjalan menuju Muzdalifah, belum mengambil batu di tempat itu, dan belum melewati Masy’aril Haram.

Ali Zainal Abidin : Wahai Syibli, apakah Anda telah sampai di Mina, telah melempar Jumrah, telah mencukur rambut, telah menyembelih binatang kurban, telah menunaikan shalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Mekkah dan melakukan thawaf ifadhah?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Setelah tiba di Mina, apakah Anda menyadari bahwa Anda telah sampai pada tujuan, dan bahwa Allah telah memenuhi semua hajat Anda?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat melempar Jumrah, apakah Anda bertekad untuk melempar musuh Anda yang sebenarnya yaitu iblis dan memeranginya dengan cara menyempurnakan ibadah haji yang mulia itu?

Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mencukur rambut, apakah Anda bertekad untuk mencukur semua kehinaan diri Anda sehingga diri Anda menjadi suci seperti baru lahir perut ibu Anda?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika melakukan shalat di masjid Khaif, apakah Anda benar-benar bertekad untuk tidak merasa takut kepada siapaun kecuali kepada Allah swt dan dosa-dosa yang telah Anda lakukan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda menyembelih binatang kurban, apakah Anda bertekad untuk memotong belenggu kerakusan diri Anda dan menghayati kehidupan yang suci dari segala noda dan dosa? Dan apakah Anda juga bertekad untuk mengikuti jejak nabi Ibrahim (sa) yang rela melaksanakan perintah Allah sekalipun harus memotong leher puteranya yang dicintai?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda kembali ke Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah, apakah Anda berniat untuk tidak mengharapkan pemberian dari siapapun kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum mencapai Mina, belum melempar Jumrah, belum mencukur rambut, belum menyembelih kurban, belum melaksanakan manasik, belum melaksanakan shalat di masjid Khaif, belum melakukan thawaf ifadhah, dan belum mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena itu, kembalilah ke Mekkah, sebab Anda sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji.

Mendengar penjelasan Ali Zainal Abidin , Asy-Syibli menangis dan menyesali kekurangannya yang telah dilakukan dalam ibadah haji. Sejak itu ia berusaha keras memperdalam ilmu Islam agar pada tahun berikutnya ia dapat menunaikan ibadah haji secara sempurna. (Al-Mustadrak 10: 166 )

Cinta oleh Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy


Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”

(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

Saling Mencintai


Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
(Q.s. Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.)

Ucapan Kaum ‘Arifin


Rasulullah Saw bersabda:
“Seseorang itu berada dalam lindungan sedekahnya sampai ditunaikan kepada sesama atau bersabda: “(sehingga) dipastikan bagiannya terhadap sesamanya.”

Hal demikian, karena seseorang harus meninggalkan sedikit apa yang dicintainya bagi Tuhannya. Bagaimana (alangkah bagusnya) seandainya semuanya dikeluarkan?
Allah Swt berfirman kepada Nabi Dawud as, “Berilah kabar gembira kepada para pendosa, bahwa Aku Maha ampun. Dan berilah kabar kepada kaum shiddiqin bahwa sesungguhnya Aku Maha Cemburu.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Yusuf as, ketika dilemparkan ke dalam sumur seakan-akan berkata, “Siapa yang bermain-main dalam khidmah pada Tuhannya, maka tempatnya adalah terlempar dalam sumur.”

Ada sejumlah petikan wacana dari kaum sufi, yang membangkitkan semangat mereka yang berserasi dengan Allah Swt, antara lain:
  • Sungguh, bagi orang yang kenal Tuhan, tidak layak mengeluh dari cobaan. Karena setiap orang yang tidak mengenal Tuhan, setiap ucapan adalah pengakuan. Sedangkan bagi orang ‘arif tidak ada lagi pengakuan, dan bagi pecinta tidak ada lagi keluhan.
  • Bila pertolongan Allah mendahuluinya, segala luka nestapa akan roboh karenanya.
  • Bila pertolonganNya tiba, kewalian menjadi keharusan baginya. Karena pertolongan itulah kewalian ada, dan kewalian merobohkan luka duka.
  • Yang urgent bukanlah kewalian, tetapi yang penting adalah pertolongan. Siapa pun tak akan meraih kewalian manakala kehilangan pertolongan.
  • Orang yang teguh adalah orang yang merahasiakan rahasia.
  • Wujud Allah telah membuang wujud makhluk, maka buanglah pengakuan diri, engkau temukan maknanya.
  • Siapa yang batinnya benar, maka seluruh ucapannya manis.
  • Jangan tertipu oleh indahnya waktu, karena di baliknya ada sejumlah bencana.
  • Jangan tertipu oleh indahnya ibadah, karena di dalamnya ada kealpaan dirimu pada sifat RububiyahNya.
  • Singkirkan dua rumah (dunia dan akhirat) dan berbahagialah dengan Allah Robbul ‘alamin.
  • Mohon petunjuklah kepada Allah, sebab Dia adalah sebaik-baik bukti. Berserahlah kepadaNya, sebab Dia sebaik-baik tempat berserah diri.
  • Sepanjang qalbu hamba bergantung pada selain Allah, maka pintu kebeningan hati tertutup.
  • Kemesraan bersama Allah adalah cahaya yang memancar, dan mesra dan gembira dengan makhluk adalah kesusahan.
  • Sumber rahasia adalah qalbu orang-orang yang abik bersama Allah, sedangkan hati orang yang dekat dengan Allah adalah benteng rahasia-rahasiaNya.
  • Qalbu, ketika gagal diberi cobaan Tuhan ia akan lepas dari wilayah Sang Kekasih.
  • Sebaik-baik rezeki adalah yang sesuai dengan kebutuhan. Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (dalam hati).
  • Tawakallah, engkau dapatkan kecukupan. Mohonlah, engkau diberi.
  • Bukan orang yang jiwanya cerdas, orang yang membuat pilihan, tetapi tidak menurut pilihan Sang Kekasih.
  • Menurut apa yang yang berarti bagimu, engkau raih cita-citamu.
  • Sang hamba, jika Allah membencinya, para makhluk akan membencinya. Jika Allah meridloi-nya, selain Allah akan meridloinya.
  • Permintaan maaf pecinta pada Sang Kekasih adalah kebajikan. Sedangkan perbuatan dosa pecinta pada Kekasihnya adalah terampuni.
  • Siapa yang berhasrat menuju Tuhan, berarti menghamparkan diri untuk cobaan.

Kalam Hikmah : Ketentuan Allah dan Penghidupan Manusia


Dalam Kalam Hikmah  kedua  Imam Ibnu Athaillah Askandary menyatakan " Kehendak anda kepada tajrid di samping Allah SWT mendirikan (meletakkan) anda didalam asbaab(causes) adalah merupakan syahwat yang tidak nampak dilihat. Kehendak anda kepada asbab disamping Allah mendirikan anda didalam tajrid bererti turun dari himmah(determination) Yang Maha Tinggi."

Pengertian Kalam Hikmah diatas sebagai berikut :-

Perkataan " Al-Asbaab " (causes), maksudnya ialah: " Sesuatu yang sampai dengannya kepada maksud yang dicapai di dalam dunia."

Yakni segala sesuatu dimana dengannya kita boleh sampai untuk maksud-maksud yang diperlukan di dalam kehidupan duniawi. Misalnya mencari rezeki yang halal atau bekerja dalam sifat yang diridhai Allah SWT.

Perkataan "At-Tajrid " (divestment) ialah " Melepaskan diri dari Al-Asbaab (causes).

Manusia dalam penghidupan terbahagi kepada dua macam;

1." Manusia yang ditentukan Allah dalam status Al-Asbaab". Manusia dalam status ini untuk menghasilkan penghidupannya dalam dunia adalah dengan jalan bekerja. Manusia distatus ini perlu bekerja untuk hidup. Bekerja dengan perkerjaan yang Allah redhai.
Jika tidak bekerja,ia tidak boleh menjalani kehidupan dengan sewajarnya. Apabila kehidupan selamat, tenteram dengan pekerjaan yang dilakukan ini, menurut akhlak ilmu tasawuf, dia tidak boleh meninggalkan pekerjaan tersebut untuk berpindah kepada status yang lain, yakni meninggalkan pekerjaan yang sudah berkat itu kerana tujuan semata-mata melaksanakan ibadat kepada Allah SWT. Dengan maksud yang mudah difahami " Orang ini telah berkerja dengan pekejaan yang Allah redha , kemudian dia berhenti dari bekerja untuk melakukan ibadat sahaja seperti mahu beriktikaf di masjid dengan berhenti berniaga". Bila dia meninggalkan pekerjaan dan beribadat sahaja tanpa menghiraukan penghidupan, menurut akhlak ilmu tasawuf, terdapat syahwat yang tersembunyi di dalam dirinya. Disebut dengan " syahwat " kerana tidak mau menuruti atau tidak mahu sejalan dengan dengan kehendak Allah. Sedangkan Allah berkehendak pada kemaslahatan setiap manusia itu dalam hidup dan kehidupannya agar bekerja, beramal dan berusaha.

Arti " tersembunyi " yakni syahwat itu disebut dengan syahwat yang tersembunyi (the closed desire), ialah bercita-cita besar untuk menghampirkan diri semata-mata kepada Allah untuk kebahagiaan ukhrawi tetapi kehidupan duniawi menjadi kucar-kacir dan menyusahkan orang (kerana berhenti bekerja). Bercita-cita begini pada dasarnya baik, tetapi pada hakikatnya sudah menyimpang dari ketentuan Allah.

2. " Manusia yang ditentukan Allah dalam status Tajrid ". Manusia dalam tingkatan status ini sudah tinggi nilainya pada sisi Allah. Penghidupannya telah dipermudahkan oleh Allah, sehingga ia tidak sulit lagi dalam hidup dan kehidupan. Dia tidak perlu lagi bekerja dan berusaha mencari rezeki, tetapi rezekilah yang datang kepadanya.

Terdapat dua gambaran manusia yang berada distatus ini.

(a) Manusia ini bekerja dan berusaha tetapi seolah-olah dia bekerja sebagai iseng-iseng belaka, kerana hatinya tertuju selalu bagaimana ia dapat melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya dan bagaimana ia selalu taqwa kepada Allah SWT. Maka manusia semacam ini meskipun ia beramal dan bekerja, tetapi tidak memberatkan otaknya, bahkan Allah memudahkan rezekinya dan memberikan keberkatan pada usahanya yang tidak terkiranya sama sekali.

Lihat Surah At-Thalaq: Ayat 2 - 3

"Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar (dari kesulitan-kesulitan) untuk orang itu. Dan Allah akan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber-sumber) yang tidak pernah difikirkan. Dan barang siapa yang tawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Tuhan itu melaksanakan kehendakkanya. Sungguh Tuhan itu melaksanakan kehendakNya. Syngguhnya Allah telah menqadarkan bagi tiap-tiap sesuatu".

b) Ada manusia yang sama sekali tidak bekerja dan berusaha, selain hanya beribadat saja kepada Allah Yang Maha Esa. Beribadat ini ad macam-macam sifatnya.Contohnya Tuan Guru yang mengajar di pondok-pondok. Mereka mengajar tanpa memungut upah tetapi mendidik dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran agama. Mereka tidak bekerja hanya menuntun manusia kepada kebaikkan sahaja. Mereka tidak bertani, berniaga atau bersawah, tetapi rezeki mereka sentiasa ada. Mereka juga tidak memiliki harta. Segala rezeki datang kepada mereka, dihantar oleh petani, atau nelayan atau pedagang atau sesiapa saja mengikut tempat dimana tuan guru itu tinggal.

Hamba-hamba Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Allah ke makam tajrid seperti di bahagian dua di atas, maka akhlak tasawuf menganjurkan kepadanya supaya jangan turun ke maqam Al-Asbaab. Jika ia turun ke makam asbaab bererti ia menurunkan nilai dirinya dari himmah(tekad) yang bermutu tinggi. Maksudnya ia jangan turun untuk bekerja dan berusaha seperti orang-orang biasa, kerana jika ia turun ke tingkat ini, maka ibadatnya akan terganggu, keberkahan yang telah diberikan Allah kepadanya akan dicabut Allah SWT.

Maka tiap-tiap status yang telah ditentukan oleh Allah kepada manusia mesti diterima dengan redha dan ikhlas. Meskipun maqam-maqam antara kita sesama manusia berlainan, kita tidak boleh cuba-cuba memindahkan diri dari satu maqam ke maqam yang lain. Samada ke maqam yang lebih tinggi atau ke maqam yang lebih rendah, seperti dari asbaab ke tajrid atau tajrid ke asbaab kecuali Allah yang memindahkan. Seperti Allah tidak lagi memberkati kita pada satu-satu maqam hingga kita harus berpindah daripadanya.

Contoh, pekerjaan yang dilakukan sehari-hari tidak lagi menguntungkan baik pada dunia atau pada agama, namun dia tetap berkewajiban membereskan duniawi dan ukhrawi sebagaimana sepatutnya. Dengan itu telah ada keinginan Allah untuk memindahkan maqam orang tersebut.

Apabila kita berada pada hidup dan kehidupan, selalulah berpegang kepada Allah, bertawakkal, menyerahkan diri dan tidak melupakanNya. Maka Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menuntun kita ke jalan yang benar. Seperti surah Ali Imran ,ayat 101:

" Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya orang itu telah diberikan petunjuk kepada jalan yang lurus (benar) ".

Ambil lah manafaat daripada kata-kat hikmah di atas, moga-moga Allah selalu menuntun kita kepada jalan yang benar dan lurus.

SHALAWAT FATIH

Shalawat Fatih Lil Imamil Ahlas Surban Assulthonul Awliya Assyekh Assayid Abdul Qadir Al-Jilani Al-Hasani QS.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَي سَيِّدِ نَا مُحَمَّدِِ نِ اْلفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ اْلخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَ النَّاصِرِ اْلحَقِّ بِااْلحَقِّ وَ اْلهَادِيْ اِلَي صِرَاطِكَ اْلمُستَقِيْمْ. وَ صَلَي اللَّهُ عَلَي اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ حَقّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ اْلعَظِيْم.

Ya Allah, Limpahilah Rahmat ke atas Junjungan Nabi Muhammad, yang membukakan apa yang tertutup, yang menamatkan apa yang terdahulu, yan  membela kebenaran dengan kebenaran, yang memberi petunjuk kepada jalan-Mu yang lurus. Dan ke atas keluarganya bersesuaian dengan pangkat dan kedudukannya yang tinggi."

SALAM ADZIMAH


اَلصّالاَهُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِ يَا رَسُوْ لَ اللَّهْ وَ جَمِيْعِ اْلاَنْبِيِءِ وَ اْلمُرْسَلِيْنَ. اَلصّالاَهُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِ يَا رَسُوْ لَ اللَّهْ وَ جَمِيْعِ اْلاَوْ لِيَءِ اْلمُتَّقِيْنَ. اَلصّالاَهُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِ يَا رَسُوْ لُ الّلَّهْ وَ جَمِيْعِ اْلملاَ ءِكَهْ اْلمُقَرَّبِيْنَ

AHLADZ-DZIKRI

 
Allah telah menganugerahkan pengetahuan yang mendalam kepada ahli dzikir. Ahli dzikir yang dianugerahi pengetahuan oleh Allah disebut ahli dzikir yang ahli hikmah. Al-Hikmah telah ditegaskan oleh Allah  di dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 269). Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana menganugerahkan Al-Hikmah kepada orang-orang yang telah mengikuti kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki oleh Allah untuk orang-orang berakal? Al-Qur’an ayat 190 – 191 surat Ali Imron menyatakan adanya kehendak Allah dengan mempertegas pemahaman akan tujuan penciptaan langit dan bumi bagi orang-orang berakal. Ditegaskan dalam ayat tersebut mengenai siapakah orang-orang berakal (yang telah menggunakan akalnya) itu? Allah menyatakan orang-orang berakal (QS. Ali Imron : 190 - 191) adalah orang-orang yang senantiasa berdzikir (didalam hatinya, QS. Al-A’raaf : 205, menyebut asma Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya, QS. Al-Ahzab : 41) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (merenungkan) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata di dalam hatinya): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari Kufurnya akan Ni'mat-Mu.

Oleh karena itu, ahli dzikir termasuk orang-orang yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS. Al-Maidah : 54). Ahli dzikir yang ahli hikmah telah menerima penjelasan-penjelasan akan kekuasaan Allah untuk dipakai sebagai pegangan dalam perjalanan menuju kepada-Nya. Kualitas jiwa sangat dipengaruhi oleh keberadaan jiwa itu sendiri. Sekiranya jiwanya kosong dari
kerinduan akan perjumpaan dengan Tuhannya, maka si pemilik jiwa tentu tak ada gairah untuk bertemu menjumpai-Nya.

Sebagai rahmat Allah yang tercurahkan ke dalam jiwanya, para ahli dzikr yang ahli hikmah sangat bergairah untuk berjumpa dengan Tuhannya. Mereka begitu yakin akan kebenaran firman-Nya, bahwa Allah hendak menerangkan dan menunjuki
jalan-jalan orang sebelumnya (jalan para Nabi dan kaum soleh) dan hendak menerima tobatnya (QS.An-Nisa : 26). Mereka diajak oleh Allah untuk berthariqah. Ajakan Allah kepada orang-orang yang senantiasa merindukan-Nya (ahli dzikir) menempuh perjalanan menuju kepada-Nya sangat mengundang gairah jiwa untuk melakukannya. Allah pun telah menurunkan pertolongan-Nya melalui pengajaran Al-Hikmah. Ahli dzikir yang ahli hikmah sangat antusias bersegera melakukan perjalanan spiritual menyambut tawaran Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 110.

Seorang ahli dzikir yang ahli hikmah tidak menyia-nyiakan tawaran yang mulia tersebut. Ada semangat jiwa yang begitu menentramkan seorang ahli dzikir yang ahli hikmah ketika perjalanan tersebut harus segera dimulai. Hanya Dia yang menjadi tujuan yang hendak dituju. Dengan bekal keyakinan akan kasih sayang Allah, mereka pun sangat khidmat melakukan perjalanan tersebut. Ahli dzikir yang ahli hikmah kini telah menjadi seorang ahli tasawuf (para penempuh jalan menuju perjumpaan dengan Tuhannya Azza wa Jalla). Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qulubana Min Tawhidika Ila Mahabbatika Ya Allah

'IBADALLAH RIJALALLOH

عِبَا دَ اللَّهُ رِجَالَ اللَّهُ اَغِيْثُنَا لِاَجْلِ اللَّهِ وَ كُوْ نُوْ عَوْنَنَا  الِلَّهِ عَسَ نَحْظَي بفَضْلِ اللَّهِ

Wahai hamba Allah (para awliya allah), wahai para pejuang Allah Berilah kami pertolongan karena Allah Jadilah engkau penolong kami dalam segala ibadah kepada Allah Semoga kami beruntung dengan karunia Allah

وَيَا اَ قْطَبْ وَيَا اَنجَا بْ وَيَا سَا دَا تْ وَيَا اَحْبَا بْ وَاَنْتُمْ يَا اُولِي اْلاَ اْلبَا بْ تَعَا لَوَّوَالنْصُرُوْ لِلَّهِ

Wahai para wali Qutub, wahai para wali Anjab Wahai para pemimpin kami dan para kekasih Allah Kalian semua wahai ahli-ahli ibadah Datanglah dan tolonglah kami karena Allah

سَاَ لْنَا كُمْ سَاَ لْنَا كُمْ وَ لِلزُّلْفَي رَجَوْنَكُمْ وَ فِي اَمْرِِ قَصَدْ نَاكُمْ  فَشُدُّ وْ عَزْ مَكُمْ لِلَّهِ.

Kami memohon, memohon kepada kalian Untuk mendapatkan kedekatan kepada rahmat Allah Kami harapkan kalian Dalam persoalan (masalah), kami bermaksud kepada kalian, Maka mantaplah tekad kalian untuk menolong kami karena Allah

فَيَا رَبِّي بِسَا دَا تِي تَحَقَّقْ لِي اِشَا رَاهِ عَسَ تَاْ تِي بِشَا رَاتِي  وَ يَشْفُوْ وَ قْتُنَا لِلَّهِ

Wahai Tuhanku, dengan pangkat para pembesarku, Buktikanlah semua keinginan-keinginan itu, Semoga datang semua yang menggembirakanku Dan menjadi suci (tenang) waktu (kehidupan kami) untuk Allah

بِكَشْفِ اْلحُجْبِ عَنْ عَيْنِي وَ رَفْعِ لْبَيْنِ مِنْ بَيْنِي وَ طَمْسُ اْلكَيْفَ وَ اْلاَيْنِ بِنُوْرِاْلوَجْهِ يَا اَللَّهُ.

Dengan terbukanya bukti pada pandangan kami Terangkatnya jarak pemisah antara aku dengan Engkau Terhapusnya cara (tanpa menggambarkan, tanpa menempatkan) Berkat cahaya Dzat-Mu ya Allah

صَلَا هُ اللَّهِ مَوْلَانَا عَلَي مَنْ بِ اْلهُدَاجَنَا وَ مَنْ بِا اْلحَقِّ اَوْلَانَا شَفِيْعِ اْلخَلْقِ عِندَ اللَّهُ.
Semoga Rahmat Allah Tuhan kami, Dilimpahkan atas Nabi yang datang kepada kami dengan hidayah petunjuk Dan kepada orang yang telah menunjukkan kebenaran agama Yang memberikan pertolongan kepada makhluk nanti di Sisi Allah
-------------------------------------------------------------------------
لَا اِلَهَ الّاَ اَللَّهُ مُحَمَّدُ رَسُوْلَ اللَّهُ.

Tiada Tuhan selain Allah & Nabi Muhammad utusan Allah

4 Nasehat


4 Nasehat Rasulullah SAW kepada Siti Ai’syah RA : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau :

1. MENGHATAMKAN AL-QUR’AN….
2. MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI….
3. MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN….
4. MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI …..

Siti Ai’syah lalu bertanya Kepada Rasulullah SAW, Ya Rasulullah… Bagaimana caranya agar saya bisa
mendapatkan empat fadhilah tersebut dalam satumalam ? Rasulullah SAW tersenyum lalu menjawab….Wahay  Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau :

1. MENGHATAMKAN AL-QUR’AN adalah : Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SURAH AL-IKHLAS TIGA KALI….Karena bila engkau membaca Surah Al-Ikhlas 3X
sebelum tidur, itu sama halnya engkau membaca seluruh Al-Qur’an.

2. MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI adalah ; Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SHALAWAT bukan hanya kepadaku tapi juga kepada para Nabi dan Rasul… “Allohumma sholli ‘ala Saydina Muhammadin… wa’ala Sya-iril Ambiyaa wal Mursaliin, wa ‘ala alihim wa shohbihim ajma’in” (artinya Ya Allah Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad, dan kepada seluruh para Nabi dan Rasul, serta kepada keluarga-keluarga mereka dan sahabat-sahabat
mereka). 

3.MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN, adalah dengan cara memohon AMPUN kepada ALLAH atas segala dosa-dosamu dan dosa-dosa seluruh Kaum Muslimin. yaitu dengan senantiasa membaca ” Robbighfirli…wali walidayya… waliman haqqun alayya.. wali jami’il muslimin wal muslimat… wal mu’miniin wal mu’minat… al ahya’i wal amwaat…” (artinya Ya Tuhan kami ampuni aku, ampuni kedua orangtuaku dan siapa2 yang memiliki nasab keturunannya, dan kepada seluruh muslimin dan muslimat, dan mu’minin dan mu’minat… baik yang masih hidup maupun yang sudah mati).

4. MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI, yaitu dengan senantiasa membaca Tashbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir… ”Subhanallah.. wal hamdulillah, Wala ilaha illallah Huwallohu Akbar” (artinya Maha Suci Allah… Segala Puji bagi Allah, Tiada sesembahan kecuali Allah, Allah yang Maha Besar).

ANTARA RIDHO & KERIDHOAN



Ketika Ibunda Rabiatul 'Adawiyah RA ditanya tentang bagaimanakah seorang hamba dipandang telah Ridho? Lalu beliau pun menjawab, “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakan dengan anugerah.”.  Maksudnya ialah apabila seorang hamba dapat memandang suatu penderitaan itu adalah anugerah maka disanalah final dari penilaian akan Ridhonya akan Tuhan-Nya. Semua manusia pasti akan mendapat ujian karna janji Allah :"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (QS. Al-Baqarah : 155-156).

Yang menjadi masalah saat ini, terkadang manusia selalu menginginkan ke-Ridhoan, tetapi begitu diberikan Allah Ujian maka ia tidak Ridho akan Kehendak/Ketentuan Allah, dimanakah letak Ridho itu sekarang ? Bagaimana Allah ridho jika kita tidak ridho akan kehendak-Nya, jika saja seseorang mengetahui akan hikmah dibalik ujian itu dan diharuskannya kita tuk Ridho, maka niscaya akan damailah bumi ini dari panasnya adzab allah,


Oleh karna itulah Rosululloh SAW memberikan kunci jawaban akan hal tersebut didalam Hadistnya : “Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhariy ).


Abu Musa Al-Asyari RA, berkata : “Segala kebaikan terletak di dalam keridhoan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang Ikhlash; jika tidak mampu, jadilah orang yang Sabar.”


Subhanalloh ! ! !. Justru itulah mari kita bersama berjalan dan meniti dalam Ridho-Nya diatas Kuasa-Nya. Semua yang melekat pada kita hanya pinjaman, Ridholah akan semua Ketentuan-Nya, karna sebenarnya kita tiada memiliki apa-apa, Disinilah Adab seorang Abdi kepada Tuan-Nya. Hati yang lapang karna ridho akan Tuhan-Nya maka akan membekas pada kesabarannya & wajah yang cemerlang.


Jika kita ridho disaat lapang atau derita maka yang nampak hanyalah rahmat Allah, ini dikarenakan bentuk kasih sayang allah akan hamba-hambanya yang lulus dalam tahap ridho menjadi tahap taqwa. Sesuai janji-Nya "Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, Maka akan Aku (Allah) tetapkan Rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa. Maka jika sudah mencapai taraf Taqwa niscaya Ridho-mu tiada mengaharap suatu imbalan syurga, dan tidak pula berlinduang akan siksa neraka. Tetapi Allah lah yang mengisi setip ridhomu menuju dekat disamping-Nya (Kedekatan). 
-------------------------------------------
Subhanaka La 'Ilmalana Illa Ma 'Allamtan Innaka Anta 'Alimul Hakim Wa La Hawla Wa La Quwwata Illa Billahil 'Aliyyil 'Adzim

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati