Lempeng Bumi
Lempeng Bumi
Sudah sering disebutkan bahwa wilayah Indonesia terletak di antara 3 lempeng bumi yang aktif,
yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Lempeng aktif artinya lempeng
tersebut selalu bergerak dan saling berinteraksi. Lempeng Pasifik bergerak relatif ke Barat, lempeng
Indo-Australia relatif ke utara dan lempeng Eurasia bergerak relatif ke tenggara. Dari teori tektonik
diketahui, secara keseluruhan lempeng bumi ada delapan selain ketiga lempeng tersebut di atas,
yaitu lempeng Amerika Utara, lempeng Afrika, lempeng Amerika Selatan dan lempeng Nazca. Ketiga
lapisan ini berbeda jenis material penyusunannya sehingga berpengaruh pada sifat fisiknya. Ia antara
lain mempengaruhi kecepatan gelombang air yang merambat pada setiap lapisan.
Para pakar membagi struktur bumi menjadi tiga bagian, yaitu kerak bumi, selimut bumi dan inti
bumi. Kerak bumi terbagi menjadi dua bagian, masing-maisng kerak samudera (permukaan yang ada
di dalam samudera) dan kerak benua atau permukaan daratan. Kerak bumi memiliki ketebalan yang
variatif. Antara 0 kilometer sampai dengan 50 kilometer. Pada setiap lokasi, berbeda ketebalannya.
Sementara Kerak Samudera memiliki ketebalan yang variatif tapi lebih tipis daripada kerak bumi,
yaitu antara 10-12 kilometer (Geologi dan Mineralogi Tanah, 1996).
Di dalam lapisan selimut bumi tersebut terdapat lapisan yang dikenal dengan astenosfer
(asthenosphere) yang bersifat cair kental dengan suhu mencapai ribuan derajat celcius. Lempeng-
lempeng bumi tadi bergerak mengambang di atas cairan kentalk dan panas tadi dan selalu
berinteraksi satu sama lain. Kecepatan pergerakan lempeng-lempeng bumi ini antara 1 centimeter
sampai dengan 13 centimeter setiap tahunnya dengan arah tertentu untuk setiap lempengnya.
Pertemuan antar-lempeng dapat berupa subduksi (penunjaman), seperti antara lempeng Indo-
Australia yang menunjam ke lempeng Eurasia, atau saling tarik menarik (divergensi), atau saling
bergeser. Daerah penunjaman dua lempeng bumi inilah yang disebut dengan zona subduksi
.
Daerah batas antar-lempeng ditandai dengan adanya palung, punggungan samudera (deretan
gunung dan pegunungan di laut) dan pengunungan yang sejajar pantai, seperti pegunungan Bukit
Barisan di Sumatera. Dengan memperhitungkan daerah-daerah antar-lempeng tersebut dapat
dibuat zonasi daerah rawan bencana gempa bumi. Daerah yang berdekatan dengan daerah
pertemuan dua lempeng, seperti zona subduksi, adalah termasuk daerah rawan bencana gempa
bumi.
Daerah rawan bencana gempa bumi di Indonesia berderet sesuai dengan jalur zona subduksi itu.
Masing-masing diketahui; di sebelah barat Pulau Sumatera, Selatan Pulau Jawa, Nusatenggara,
MAULID TANDA KEGEMBIRAAN UMAT
Dan ketika hampir tiba saatnya kelahiran insan tercinta ini, gema ucapan selamat datang yang hangat berkumandang di langit dan bumi. Hujan kemurahan Ilahi tercurah atas penghuni alam dengan lebatnya,
Lidah malaikat bergemuruh mengumumkan kabar gembira kuasa Allah menyingkap tabir rahasia tersembunyi, membuat cahaya Nur-Nya terbit sempurna di alam nyata;
” CAHAYA MENGUNGGULI SEGENAP CAHAYA ”
Ketetapan-Nya pun terlaksana atas orang pilihan yang ni’mat-Nya disempurnakan bagi mereka; yang menunggu detik-detik kelahirannya; sebagai penghibur pribadinya yang beruntung; dan ikut bergembira mereguk ni’mat berlimpah ini.
Maka hadirlah dengan taufik Allah; As-Sayyidah Maryam dan As-sayyidah Asiah, bersama sejumlah bidadari surga yang beroleh kemuliaan agung yang di bagi-bagikan oleh Alloh atas mereka yang di kehendaki.
Dan tibalah saat yang telah di atur Allah bagi kelahiran (maulud) ini. Maka menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah terang benderang menjulang tinggi……
Dan lahirlah insan pemuji dan terpuji tunduk khusyu’ di hadapan Allah SWT,dengan segala penghormatan tulus dan sembah sujud.
demikianlah syair yang ditujukan atas peristiwa di detik-detik kelahiran Nabi Saw yang di gubah oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Imam Nawawy Al-Banteny Al-Jawy didalam kitabnya yang berjudul “Madaarij” menyatakan : “ bahwa orang yang mementingkan aktif didalam peringatan maulid Nabi Muhammad S.a.w. itu adalah dari pada sebesar-besarnya ibadah dengan diisi pembacaan Al-Qur’an, bersedekah, dan menerangkan sejarah kelahiran Nabi S.a.w.
Sabda Nabi S.a.w. :
“Barang siapa yang membesarkan maulidku akan aku tolong baginya di hari kiamat dan barang siapa yang membelanjakan satu dirham buat peringatan maulidku seolah-olah membelanjakan satu gunung emas untuk sabilillah”.
Sayyidina Abu Bakar A-Shiddiq R.a. berkata : “Barang siapa yang membelanjakan uang satu dirham buat maulid Nabi maka aku sahabatnya di hari kiamat”.
Sayidina Umar Bin Khattab R.a. berkata : “Barang siapa yang membesarkan maulid Nabi Muhammad S.a.w sesungguhnya orang itu menghidupkan agama Islam”.
Sayidina Ustman Bin Affan R.a. : “Barang siapa yang membelanjakan uang satu dirham buat maulid Nabi S.a.w. maka sesungguhnya orang tersebut seperti hadir di perang Badar dan Hunain”.
Sayidina Ali bin Abi Tholib K.w.h. : ” barang siapa yang membesarkan maulid Nabi Muhammad S.a.w maka apabila mati masuk sorga”.
Imam Syafi’I r.h.m. : “ siapa yang mengumpulkan saudaranya buat hadir di tempat maulid Nabi S.a.w. lalu menyediakan makanan serta berbuat baik di dalamnya maka orang tersebut di hari kiamat akan di bangkitkan bersama para shidiqin, Syuhada dan Sholihin dan berada di surga An-Na’im. Namun apa penertian maulid itu ?”.
Maulid secara bahasa berarti adalah hari kelahiran adapun maulid yang biasa kita kenal adalah suatu perayaan/peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.a.w. yang di selenggarakan secara berjamaah dibacakan ayat-ayat Alqur’an dan riwayat hidup kekasih Alloh Nabi Muhammad Saw serta sholawat dan pujian-pujian kepada beliau Saw, dengan maksud mengagungkan martabat Nabi Muhammad SAW dan memperlihatkan kegembiraan Kaum muslimin menyambut kelahiran beliau S.a.w.
Assayid Al-Hafizd Al-musnid Prof.Dr. Muhammad Bin Alwy Al-Maliky Al-Hasaniy mufti Mekkah mengutarakan tentang ja’iznya/bolehnya perayaan atau peringatan maulid Nabi SAW didalam kitabnya yang berjudul “Mafahim Yajibu An Tusahhah” , yang kita sebutkan beberapa diantaranya:
a) peringatan maulid memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka, Nabi Muhammad SAW. bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau seperti Abu Lahab, misalnya. sebuah hadist didalam Shohih Bukhori menerangkankan, bahwa tiap hari senin Abu Lahab diringankan adzabnya, karena memerdekakan budak perempuannya, tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya. ‘abdulloh bin abdulmutholib, yaitu Nabi Muhammad Saw, jadi jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Nabi Muhammad Saw apalagi orang beriman.
b) Rasululloh S.a.w. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah S.W.T. atas karunia ni’mat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan di alam wujud sebagai hamba Alloh yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh wajud. Cara beliau menghormati hari kelahirannya ialah dengan berpuasa. Sebuah Hadist dari Abu Qotadah menuturkan, bahwa ketika Rosululloh S.a.w. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari senin, beliau menjawab: “pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Alloh menurunkan wahyu kepadaku” ( diriwayatkan oleh Muslim didalam “Shahih”_nya ).
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu peringatan. Peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada fihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berzikir dan bersholawat, atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia.
C) pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad S.a.w. merupakan tuntunan Al_Qur’an. Alloh berfirman:
“ Katakanlah : dengan karunia Alloh dan rahmat_Nya, hendaklah (dengan itu ) mereka bergembira “. (S. Yunus:58)
\Alloh S.W.T memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya, dan Nabi Muhammad S.a.w. jelas merupakan rahmat terbesar bagi kita dan alam semesta :
“Dan kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta “ . (S. Al_Anbiya : 107).
D) Memuliakan Rosululloh S.a.w. adalah ketentuan syari’at yang wajib dipenuhi. Memperingati ulang tahun kelahiran beliau dengan memperlihatkan kegembiraan, menyelenggarakan walimah, mengumpulkan jama’ah untuk berzikir mengingat beliau, menyantuni kaum fakir miskin dan amal-amal kebajikan lainnya adalah bagian dari cara kita menghormati dan memuliakan beliau. Itu semua menunjukan pula betapa betapa besar kegembiraan dan perasaan syukur kita kepada Alloh atas hidayat yang dilimpahkan kepada kita melalui seorang Nabi dan Rosul pilihan-Nya.
E) Perayaan atau peringatan maulid Nabi dipandang baik oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negri, dan diadakan oleh mereka. Menurut kai’dah hukum syara’ kegiatan demikian itu adalah Mathlub syar’an ( menjadi tuntutan syara’ ). Hadist mauquf dari Ibnu Mas’ud R.a. megaskan : “ apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, di sisi Alloh itu adalah baik, dan apa yang di pandang buruk oleh kaum muslimin, disisi Alloh itu adalah buruk “ (Hadist di keluarkan oleh Imam Ahmad).
BEBERAPA PANDANGAN PARA ULAMA MENGENAI MAULID.
• Telah berkata Sulthanul-’Arifin Jalaluddin as-Sayuthi dalam kitabnya berjudul “al-Wasaail fi syarhisy Syamaail”:- “Tidak ada sebuah rumah atau masjid atau tempat yang dibacakan padanya Mawlidin Nabi s.a.w. melainkan akan dikitari/dikelilingi/diselubungi tempat itu oleh para malaikat akan ahli yang hadir di tempat tersebut serta dirantai mereka oleh Allah dengan rahmat. Para malaikat yang diselubungi/diliputi/dikalungi cahaya yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun, maka bahwasanya mereka berdoa bagi siapa-siapa yang menjadi sebab untuk pembacaan Mawlidin Nabi s.a.w. ”
Imam as-Sayuthi berkata: “Tidak ada seseorang Islam yang diperbacakan dalam rumahnya akan Mawlidin Nabi s.a.w. melainkan diangkat Allah kemarau, wabah, kebakaran, malapetaka, bala bencana, kesengsaraan, permusuhan, hasad dengki, kejahatan ‘ain (sihir pandangan) dan kecurian daripada ahli rumah tersebut, maka apabila dia mati, Allah akan mempermudahkan atasnya menjawab soal Munkar dan Nakir dan adalah dia ditempatkan pada kedudukan as-Shidq di sisi Allah Raja yang Maha Berkuasa.”
Mungkin ada yang bertanya kenapa ada orang baca mawlid tetapi masih menerima malapetaka dan bencana. Apa mau dikata, bahkan para Nabi pun mendapat musibah duniawi sebagai ujian daripada Allah s.w.t., karena semuanya berlaku atas kehendak Allah semata-mata. namun musibah duniawi adalah ringan dibanding musibah berbentuk maknawi. Keselamatan dari musibah maknawi ini yang diutamakan, biar rumah kita dicuri asalkan iman dan kesabaran serta tawakkal kita pada Allah tidak turut dicuri . Mungkin juga Allah belum menerima amalan kita, sehingga tidak menjadi sebab mendapat rahmat Allah tersebut, oleh itu teruskan usaha dan tingkatkan amal. Yakin kepada kemurahan Allah yang tiada terbatas dan carilah syafaat daripada Junjungan s.a.w.
Lebih lanjut Imam jalaluddin As-suyuty menjelaskan dalam risalahnya yang berjudul “Husnul-Maqosid fi A’malil-Maulid : “orang pertama yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi SAW ialah Sultan Al-Mudzaffar, penguasa arbil (suatu tempat di Iraq sebelah timur / selatan kota mausil).peringatan tersebut dihadiri oleh para ulama terkemuka dan orang-orang sholeh dari kaum sufi. tiap tahun Al-Mudzaffar mengeluarkan biaya sebesar 300.000 dinar untuk peringatan maulid, dengan niat semata-mata untuk taqorrub kepada Alloh SWT Menurut kenyataan, tak seorang pun dari ulama dan orang-orang saleh yang hadir dalam peringatan itu mengingkari kebajikan dan fadilah peringatan maulid, bahkan semua merestui dan memuji prakarsa Sultan Mudzaffar, atas permintaan Sultan Mudzaffar, Ibnu Dahyah menulis sebuah kitab khusus mengenai maulid Nabi SAW dengan judul: “At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir An-Nazdir”. kitab itu ditulis pada tahun 604 H. dan ternyata diakui kebaikannya oleh para ulama pada masa itu.
• Syaikh DhiyaUddin Ahmad bin Sa`id ad-Darini dalam kitabnya ” Thaharatul Qulub wal Khudu’ li Allamil Ghuyub ” menulis antara lain:-
Mengingat atau memuji-muji Junjungan Nabi s.a.w. akan menambahkan keimanan, menerangi hati dan menyingkap rahasia kebijaksanaan Tuhan. Allah s.w.t. telah menetapkan cinta kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagai syarat untuk mencintai-Nya dan taat kepada-Nya sebagai ukuran kepatuhan kepada-Nya. Mengingat Junjungan Nabi s.a.w. juga berhubungan dengan mengingat Allah s.w.t. sebagaimana bai’ah kepada Junjungan Nabi s.a.w. juga berkait dengan bai’ah kepada-Nya.
• Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya “I`anatuth-Tholibin” jilid 3 halaman 414 menyatakan antara lain:-
Telah berkata Imam al-Hasan al-Bashri qaddasaAllahu sirrah: “Aku berikan jika ada padaku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul.”
Telah berkata Imam al-Junaidi al-Baghdadi rhm.: “barang siapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan derajat baginda, maka telah sempurna imannya.”
Telah berkata Syaikh Ma’ruuf al-Karkhi qds.: “barang siapa yang menyediakan untuk pembacaan mawlid ar-Rasul akan makanan, menghimpunkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu-lampu, berpakaian baru, berwangi-wangian, berhias-hias, demi membesarkan mawlid Junjungan s.a.w., niscaya dia akan dihimpunkan oleh Allah ta`ala pada hari kiamat bersama-sama kumpulan pertama daripada para nabi dan jadilah dia berada pada derajat yang tinggi di syurga. Dan barang siapa yang telah membaca mawlid ar-Rasul s.a.w. di atas dirham-dirham perak atau emas, dan mencampurkannya bersama dirham-dirham lain, maka akan turun keberkahan dan tidaklah akan miskin pemiliknya serta tidak akan kosong tangannya dengan berkah mawlid ar-Rasul s.a.w.” Seterusnya Sidi Syatha dalam “I`anatuth-Tholibin” menyambung:-
Dan telah berkata al-Imam al-Yafi`i al-Yamani (sesetengah kitab tersilap cetak di mana huruf “ya” berubah kepada “syin” menyebabkan perkataan ini dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i):- “barang siapa yang menghimpunkan untuk Mawlidin Nabi s.a.w. saudara-saudaranya, menyediakan makanan dan tempat serta berbuat ihsan sehingga menjadi sebab untuk pembacaan Mawlidir Rasul s.a.w., dia akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat berserta dengan para shiddiqin, syuhada` dan sholihin serta dimasukkan dia ke dalam syurga-syurga yang penuh keni’matan.”
• Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya “al-Mawlid asy-Syarif al-Mu`adzdzham”, Syaikh Ibnu Zahira al-Hanafi dalam “al-Jami’ al-Lathif fi Fasl Makkah wa ahliha”, ad-Diyabakri dalam “Tarikh al-Khamis” dan Syaikh an-Nahrawali dalam “al-I’lam bi a’lami Bait Allah al-haram”, menulis senario sambutan Mawlid Nabi s.a.w. di Makkah seperti berikut:-
Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, selepas sembahyang Maghrib, keempat-empat qadhi Makkah (yang mewakili mazhab yang empat) bersama-sama orang banyak termasuk segala fuqaha, fudhala` (orang kenamaan) Makkah, syaikh-syaikh, guru-guru zawiyah dan murid-murid mereka, ru`asa’ (penguasa-penguasa), muta`ammamin (ulama-ulama) keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat Junjungan Nabi s.a.w. dilahirkan. Mereka berarak dengan maelantunkan zikir dan tahlil. Rumah-rumah di Makkah diterangi cahaya pelita dan lilin. Orang yang turut serta amat banyak dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak mereka. Setiba di tempat kelahiran tersebut, ceramah yang berkaitan Mawlidin Nabi disampaikan, serta kebesaran, kemuliaan dan mu’jizat Junjungan diceritakan. Setelah itu, doa untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu’ dan khudu`. Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka berarak semula pulang ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Isya`.
• Imamul Mujtahiddin Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “kemulian hari mauled Nabi Muhammad S.a.w. dan diperingatinya secara berkala (berlanjut) sebagaimana yang di lakukan kaum muslimin tentu mendatangkan pahala besar, mengingat maksud dan tujuannya yang sangat baik, yaitu menghormati dan memuliakan kebesaran Nabi dan Rosul pembawa hidayat bagi semua ummat manusia”.
Ringkasannya peringatan maulid Nabi adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat, karena itu kesempatan itu wajib digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik. Lalu penyelenggaraan peringatan maulid tidak harus tepat pada tanggal 12 Rabi”ul awal dan tidak harus tepat pada hari senin, meskipun tanggal dan hari itu lebih afdhol. peringatan maulid dapat di lakukan kapan saja mengingat syari’at islam sama sekali tidak melarang bahkan menganjurkan serta memandangnya sebagai kebajikan yang perlu dilestarikan pengamalannya, karena besarnya manfaat yang dapat diambil dari kegiatan tersebut, baik bagi kepentingan agama islam maupun bagi kepentingan kaum muslimin.
Wallahu 'Alam Bis-Showaf.
Manaqib Al Maghfurlah Al Habib Umar bin Hud Al Atthas
Habib Umar Bin Hud Al Atthas ( Cipayung, Bogor) adalah seorang ulama dan konon beliau juga seorang wali quthub usianya lebih dari 100 tahun dilahirkan di penghujung abad ke 19 di Hadramaut, Yaman Selatan. Sejak usia muda beliau telah datang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat. Beliau berdakwah sambil berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar tahun 1950-an, Beliau ke Mekkah dan bermukim selama beberapa tahun dan selama di mekkah beliu menggunakan kesempatan tersebut untuk belajar kepada ulama-ulama setempat. Tapi, sayangnya, saat hendak kembali ke Indonesia, ia tertahan di Singapura.
Pasalnya, pada awal 1960-an terjadi konfrontasi antara RI dan Malaysia, sementara Singapura masih merupakan bagian negara itu. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air setelah usai konfrontasi, pada awal masa Orde Baru. Tapi, rupanya banyak hikmah yang diperoleh di balik kejadian tersebut. Karena, selama lebih dari lima tahun di Malaysia dan Singapura, ternyata beliau sangat dihormati oleh umat Islam setempat, termasuk Brunei Darussalam.
Karenanya tidak heran kalau orang menyebut Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Umar di Cipayung sebagai maulid internasional. Maulid ini dihadiri sekitar 100.000 jamaah, termasuk ratusan jamaah dari mancanegara. Untuk perjamuan makanan untuk para jamaah yang menghadiri maulid ini diperlukan ribuan ekor kambing dan berton-ton beras. Kalau ditanya orang dari mana dananya, maka Habib Umar selalu bilang dari Allah.
Sesuatu yang mungkin lain dibandingkan dengan acara-acara maulud di majelis lain adalah, tidak ada ceramah-ceramah setelah baca maulud. Acaranya langsung saja yakni baca maulud, zikir dan ditutup dengan do’a. Tidak adanya ceramah-ceramah yang sudah tradisi sejak lama itu, karena Habib Umar khawatir akan menimbulkan saling serang dan fitnah.
Kegiatan rutin Habib Umar yang lain yang memasyarakat adalah shalat subuh berjamaah di kediamannya di Condet. Setiap hari terdapat sekitar 300 jamaah subuh yang datang. Khusus pada hari Jumat, jamaahnya meningkat menjadi sekitar 1.000 orang. Setiap Sabtu mereka para jama’ah diberikan pelajaran Fiqih sedangkan di Cipayung bogor tiap kamis malam diadakan pembacaan maulid diba’ dan yang menarik adalah setelah diadakan kegiatan tersebut para jama’ah dijamu oleh Habib Umar Bin Hud seperti nasi uduk lengkap dengan lauk-pauknya. Habib Umar meninggal dunia pada bulan Agustus 1999 di rumahnya dan dimakamkan di Wakaf al-Hawi dekat dengan pusat perbelanjaan PGC cililtan sesuai dengan wasiat beliau.
Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf
Seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa dikeluarkan.
Makkah, kota di tengah gurun pasir nan tandus, selalu menjadi tujuan kaum muslimin setiap tahunnya untuk berhaji. Meski jarak jauh membentang, harus mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Bukan hanya demi sebuah kewajiban, yang harus ditunaikan bagi yang mampu, tapi lebih dari itu, demi kerinduan yang memuncak kepada Sang Pemilik Makkah, Pemilik Ka’bah, Allah Azza Wajallah.
Khusus bagi seorang muballigh yang alim dan shalih, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf, Makkah mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia tak ‘kan pernah melupakan kota ini. Di sinilah ia tumbuh dewasa, digembleng dalam taburan ilmu dan hikmah, di bawah asuhan dan bimbingan ulama besar kota Makkah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasany.
Saat ditemui alKisah di Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain, pesantren yang dibangunnya sejak tujuh tahun lalu, di Jalan Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada tanggal 2 November, sebelum ia pergi ke Tanah Suci Makkah pada 7 November, dengan senang hati habib yang berperawakan gagah itu menceritakan bagaimana pengalamannya saat belajar bersama gurunya tercinta di tanah yang dimuliakan dan disucikan Allah SWT.
“Alhamdulillah, tiada duka. Semuanya sangat menyenangkan.... Ini nikmat Allah yang luar biasa,” katanya.
Berikut penuturan Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf yang begitu mempesona:
Begitu Dekat dengan Nabi
Saya lahir dan tinggal di kota Tegal. Kedua orangtua saya berharap, anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, menjadi orang yang alim dalam ilmu agama. Sebab dengan menjadi orang alim, bisa bermanfaat, terutama untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat umum.
Alhamdulillah, berkat usaha orangtua, saya dan kakak saya, Habib Thohir, diberangkatkan ke Makkah Al-Mukarramah, untuk berguru kepada Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasani, atau sering disapa “Abuya”.
Abuya adalah ulama yang bersungguh-sungguh menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Beliau berusaha membentengi Aswaja, walaupun di sana tersebar Wahabi. Karena itu, murid-muridnya pun mempunyai semangat yang sama. Di tempatnya masing-masing, mereka gigih membentengi aqidah Aswaja, karena kita berkeyakinan bahwa Aswaja adalah satu-satunya aqidah yang benar.
Kami menuntut ilmu dengan senang. Mulai dari berangkat dari tanah air, hingga pulang ke tanah air, semua biaya ditanggung Abuya. Bahkan beliau memberi uang saku kepada kami. Pakaian, kitab, makanan, semua dijamin Abuya. Ruang tidur kami pun ber-AC. Jadi semua serba nikmat.
Tapi ada syarat utama yang beliau berikan kepada murid-muridnya. Yaitu, kami harus gigih menuntut ilmu, selalu menjaga akhlaq yang baik, wirid harus diperhatikan betul, dan selalu shalat berjama’ah.
Akhlaq yang mulia ini sangat penting dan harus diperhatikan sampai hal yang kecil, mulai dari perkataan, berpakaian, bagaimana berinteraksi dengan guru, orangtua, menghadapi murid, tamu, dan lain-lain.
Akhlaq ini sangat penting, lebih penting daripada kebanyakan ilmu. Ilmu banyak, tapi adabnya sedikit, jelek....
Selain mengenai masalah akhlaq, kami juga diajari bermacam-macam ilmu, seperti tafsir, hadits, fiqih, faraidh, tasawuf.
Jadi, murid-murid lulusan dari sana mempunyai keistimewaan tersendiri. Kalau bicara tafsir, mereka siap. Bicara hadits, mereka pun siap. Karena semua ilmu didalami.
Guru saya bukan hanya seorang alim, tapi juga ‘abid, ahli ibadah, yang luar biasa, baik dari segi bangun malam maupun wiridan. Beliau juga sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Beliau sering bermimpi bertemu Nabi Muhammad. Bahkan murid-muridnya atau teman-temannya, baik yang ada di pesantren maupun di luar pesantren, sering memberikan kabar gembira untuk Abuya dari Rasulullah lewat mimpi mereka. Ini sering terjadi.
Beliau juga tak pernah lepas dari shalat Istikharah. Bahkan jika hendak bepergian, beliau tidak akan berangkat kecuali setelah shalat Istikharah terlebih dahulu. Kadang persiapan sudah dilaksanakan, tapi kemudian mendapat kabar “lebih baik jangan pergi”, maka beliau membatalkannya.
Semua ini berkah dari hubungan dekat beliau dengan Nabi SAW. Kecintaan beliau kepada Nabi SAW luar biasa.
Rekreasi Islami
Jika ada waktu luang, beliau mengajak muridnya pergi ke tempat lain, misalnya ke Thaif, atau Hada, tempat yang dingin, untuk berekreasi. Tapi rekreasi ini rekreasi Islami. Di sana kami diajak membaca Maulid, setelah itu membaca ktiab, lalu shalat dan wirid berjama’ah. Kalau ada waktu kosong, beliau mempersilakan kami untuk bermain atau sekadar jalan-jalan. Tapi ketika waktu shalat tiba, kami harus tetap shalat berjama’ah.
Jika kami mempunyai waktu luang, beliau memerintahkan kami untuk selalu membawa kitab. Kata beliau, “Jangan pergi ke mana saja kecuali membawa kitab. Waktu kosong jangan dibuang begitu saja, tapi gunakanlah untuk menelaah kitab. Manfaatkan waktu untuk belajar dan beribadah.”
Waktu pertama kali saya datang, saya disyaratkan untuk belajar minimal lima tahun lamanya. Tidak boleh kurang. Abuya berkata, “Kamu nggak boleh pulang sebelum lima tahun. Sudahlah, kamu jangan mirikin apa-apa. Di sini saja belajar.”
Saya pun menerimanya dengan ikhlas. Ketika itu sekitar tahun 1982.
Murid-murid yang datang setahun kemudian, syarat lamanya belajar naik menjadi 10 tahun. Dan setahun kemudian, syarat itu bertambah lagi....
Abuya menerapkan sistem demikian karena beliau ingin murid-muridnya tidak pulang sebelum berhasil. Beliau sering mengatakan, “Kalau belajar, jangan suka pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Belajar di satu tempat terlebih dahulu sampai pintar. Jika sudah pintar atau sudah ahli, silakan pindah ke tempat lain.”
Sebelum murid-muridnya pulang, beliau akan mengevaluasi mereka.
Saya sendiri bisa pulang ke tanah air setelah tujuh setengah tahun. Beliau mengizinkan saya pulang dan ridha. Alhamdulillah.
Berkhidmah kepada Guru
Dalam menuntut ilmu, akhlaq terhadap guru harus diperhatikan. Kita berusaha bukan hanya untuk belajar, tapi juga berkhidmah, artinya melayani guru.
Bahkan berkhidmah di pesantren bukan hanya melayani guru, tapi juga teman. Kita membersihkan halaman, kamar mandi, dan sebagainya. Jadi pesantren kami tidak membutuhkan pegawai, semuanya dikerjakan santri.
Dikatakan, man khadam, khudim, orang yang melayani, pasti akan dilayani. Apalagi yang kita layani orang alim, orang shalih, seorang waliyullah.
Ada satu contoh dari Imam Al-Ghazali semasa beliau belajar. Beliau datang kepada seorang syaikh, orang alim.
“Wahai Syaikh, saya akan berkhdimah, tolong bagikan tugas kepada saya,” kata Imam Al-Ghazali.
Syaikh menjawab, “Semua sudah dipegang oleh para murid. Air wudhu saya sudah ada yang nyiapin, sandal saya sudah ada yang nyiapkan, semuanya sudah. Tinggal satu.”
“Apa itu?”
“Batu untuk istinja saya.”
Dulu, kalau orang buang air besar, menggunakan batu untuk membersihkan. Batu itu, setelah digunakan, ditaruh, kan najis. Supaya bisa dipakai lagi, harus dibersihkan, disiram, disucikan, dijemur. Nah, pekerjaan ini yang masih ada.
Maka, pekerjaan itu pun diterima Imam Al-Ghazali.
Hasilnya, dengan khidmah semacam itu, derajat Imam Al-Ghazali naik. Beliau menjadi orang alim, shalih, seorang wali, pengikutnya pun para wali besar. Masya Allah.... Inilah hikmah dari berkhidmah kepada guru.
Dan alhamdulillah, ketika saya pulang ke Indonesia, semua itu terbukti. Banyak yang melayani saya. Ketika saya hendak berdakwah, banyak yang membantu saya. Saya berpikir, ini semua berkah dari guru saya. Jadi, orang yang membantu, pasti akan dibantu.
Nikmat yang Luar Biasa
Di Makkah, selain belajar, kami juga bisa haji setiap tahun. Bisa juga umrah berulang-ulang, khususnya pada bulan Ramadhan, kami bisa hampir tiap hari umrah. Abuya mendapat jadwal mengajar di Masjdil Haram. Setiap berangkat, beliau selalu mengajak beberapa muridnya. Beliau mengizinkan kami untuk umrah.
Setiap tahun diajak haji. Haji juga dengan beliau, dengan orang alim. Di Indonesia orang pengin haji dituntun oleh kiai dan ustadz. Ini dengan orang alim yang hidupnya di Makkah.
Ketika beliau membaca doa di Arafah, bukan hanya muridnya yang datang, tapi juga kiai, ikut kumpul di kemah tersebut. Ya Allah, nikmatnya luar biasa....
Sungguh nikmat luar biasa. Mempunyai guru orang baik, tempat belajarnya baik, sarana dan prasarana di sana pun menyenangkan. Tapi syaratnya juga berat, seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa dikeluarkan.
Abuya adalah orang yang sangat tegas. Namun begitu, semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada murid-muridnya. Ada satu kesukaan beliau, yaitu dipijat oleh santrinya. Tapi bukan sembarang pijat, beliau mempunyai maksud agar ketika dipijat terjadi hubungan yang sangat dekat dengan muridnya.
Semua murid ingin memijat beliau. Setiap murid senantiasa menunggu panggilan beliau. Kami sangat mencintai guru kami. Hubungan dengan guru bukan hanya dunia, tapi juga akhirat. Kami semua ingin mendapat doanya dan syafa’atnya.
Suatu ketika, beliau memangil saya. Saya pun langsung meloncat, kegirangan, dan langsung cepat-cepat mendatangi beliau.
Ketika itu beliau bertanya, “Abah kamu punya anak berapa?”
“Dua belas, Abuya,” kata saya.
“Abah kamu kan anaknya banyak, satu untuk saya saja. Kamu untuk saya saya ya...,” kata Abuya.
Mendengar harl itu saya diam saja. Siapa yang tidak ingin menjadi putra Abuya. Tinggal dan berkhidmah kepadanya. Tapi saya juga ingat orangtua saya. Jadi, ketika Abuya mengatakan demikian, saya diam saja.
Saya merasa begitu dekat dan disayang Abuya. Tapi, bukan saya saja yang merasa demikian. Semua murid merasa disayang Abuya. Sungguh, beliau menyayangi kami semua.
Pada tahun 1989, Abuya mengizinkan saya pulang. Namun, sebelum mengizinkan muridnya pulang, beliau beristikharah.
Beliau mengizinkan saya pulang dengan memberikan banyak ijazah amalan kepada saya, beliau juga memakaikan imamah kepada saya. Dan tak lupa beliau memberi uang saku untuk saya pulang.
Ponpes Al-Haromain Asy-Syarifain
Sepulang dari Makkah, saya tinggal di Tegal. Pada tahun 1992, saya menikah dengan adik bungsu Habib Abdul Qadir Alatas, pengasuh Pesantren Al-Hawi, Condet.
Kemudian saya mulai bolak-balik Jakarta-Tegal, dan mulai mengajar di beberapa tempat. Hingga akhirnya orangtua saya mengizinkan saya tinggal di Jakarta, tepatnya di Kebon Nanas.
Setelah itu saya merintis pendirian pesantren. Saya mendapat izin dari Abuya, lalu mencari-cari tanah, dan mendapatkannya di Jln. Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Maka, pada 21 April 2003, berdirilah pesantren yang saya namai “Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain”.
Nama ini sesuai dengan tempat belajar saya, yaitu Makkah dan Madinah. Dua tempat yang disucikan dan dimuliakan.
Sedikit demi sedikit tanah di sekitar pesantren saya bebaskan. Kini luas tanah pesantren sekitar 7.150 meter. Guru-guru di pesantren ini sebagian berasal dari Pesantren Al-Anwar, Rembang, pimpinan K.H. Maimun Zubair, seorang kiai sepuh yang sangat alim dan shalih.
Setelah beberapa waktu, alhamdulillah, masyarakat di sini, Pondok Ranggon, menyambut dakwah saya dengan baik. Semua itu karena kami sepaham dan seaqidah.
Dalam berdakwah, saya mengikuti metode para habib dan ulama shalihin. Yaitu tidak memulai pengajian dengan langsung mengkaji kitab, tapi memulai dengan Maulid, dilanjutkan dengan pembacaan wirid, seperti ratib, kemudian pengajian, dan diakhiri dengan doa.
Mengapa harus Maulid dan wirid terlebih dahulu?
Ilmu ini sangat mahal. Lebih mahal daripada intan berlian. Ibarat orang menjual barang mahal, barang itu harus ditempatkan di tempat yang bagus dan apik. Jika tidak, dagangannya tidak akan laku. Tapi kalau ditempatkan di tempat yang bagus, insya Allah orang pun akan tertarik.
Contoh lainnya, bila kita hendak makan. Makanannya sangat lezat, tapi ditempatkan di piring yang kotor dan bau. Apakah kita mau memakannya? Tentu tidak. Karena itu, sebelum makan, piring tempat kita makan harus dibersihkan dulu.
Begitu pula dengan ilmu. Supaya ilmu meresap ke dalam hati, hati harus dibersihkan dahulu. Yaitu dengan cara membaca Maulid dan wirid. Dan supaya ilmu itu tidak keluar lagi, setelah pengajian kita membaca doa, supaya ilmu yang diajarkan ketika itu melekat ke hati dan menjadi penerang jalan hidup kita.
Alhamdulillah, dengan cara seperti ini, dakwah saya meluas ke mana-mana. Undangan untuk mengisi pengajian pun semakin banyak. Yang tadinya saya mengisi sebuah majelis di sebuah wilayah seminggu sekali, karena waktunya harus dibagi, untuk satu majelis hanya bisa satu bulan sekali. Hari-hari selebihnya kami serahkan kepada ustadz atau guru-guru yang sudah saya tunjuk, yang tentunya paham dan aqidahnya sama.
Dalam waktu satu bulan, paling tidak hanya 30 tempat atau majelis yang bisa saya datangi. Sementara kampung-kampung yang tersebar di sekitar sini ada ratusan kampung.
Majelis Mahabbaturrasul
Lalu, bagaimana supaya kampung-kampung yang masih “gersang” ini bisa tersirami dengan dakwah Aswaja dengan baik?
Saya pun membentuk majelis dakwah keliling bernama “Majelis Mahabbaturrasul”. Mahabbaturrasul artinya cinta Rasulullah, dan insya Allah cinta ini akan mendatangkan kecintaan Rasulullah kepada kita.
Majelis ini diawali dengan konvoi dari Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain lalu berakhir di sebuah tempat. Di tempat itulah jama'ah berkumpul, dan didakan acara ceramah. Penceramah tidak hanya saya, tapi juga kiai-kiai dan ustadz-ustadz yang datang ketika itu.
Awalnya, majelis ini hanya berlangsung satu bulan sekali. Namun karena permintaan semakin banyak, akhirnya diadakan seminggu sekali.
Setiap pengajian, alhamdulillah, jama’ah yang datang tidak hanya dari kalangan muhibbin, tapi juga para ulama, kiai, pejabat, orang awam, para pemuda. Ini sebagai tahaddusan binni'mah, menyebut-nyebut nikmat Allah, yang dianjurkan oleh Rasulullah.
Al Habib Ali Zainal Abidin Al Jufri
Berwajah tampan dengan sosoknya yang tinggi besar dan berbadan tegap. Jubah dan sorban yang dikenakan membuatnya lebih berwibawa. Saat ini beliau menjadi idola dan panutan para kawula muda di negara-negara Timur Tengah. Dialah Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri. Ayah beliau pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Yaman Selatan, saat negeri Yaman belum menjadi Negara kesatuan seperti sekarang ini. Sejak kecil Habib Ali berguru kepada Al Maghfurlah Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah, Saudi Arabia. Beliau mendapatkan nadzrah (pandangan) khusus dari Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf. Kemudian Al Imam Al Habib abdulqadir bin Ahmad Assegaf memerintahkan beliau untuk mengikuti Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz bin Syeikh Abibakar dan beliau termasuk generasi awal murid-murid Habib Umar bin Hafidz. Sejak awal keistimewaan Habib Ali Al Jufri sudah nampak baik bakat suluknya maupun keistimewaan akalnya yang tajam dan cerdas melampaui murid-murid lainnya.
Beliau berdakwah menyeru manusia kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berjalan di atas manhaj salafunasshalihin dengan thariqah ba`alawi dan madzhab Syafi`i. Karena keikhlasannya yang tinggi, maka Allah pun mengangkat namanya. Kini beliau aktif berdakwah kesegala penjuru dunia, masuk dikalangan yang paling bawah, diantaranya suku-suku di pedalaman Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran di Uni Emirat Arab. Bakan sekarang di Uni Emirat Arab beliau diangkat menjadi Rais Musytasyar Dini, di Indonesia setingkat dengan jabatan ketua MUI. Beliau diterima mulai dari kalangan awam, hingga kalangan cendekiawan seperti: Assyeikh Ali Jum`ah (Mufti Mesir), Assyiekh Muhammad Sa`id Ramadhan(Mufti Syuria), Assyeikh Bayyah, serta ulama-ulama besar lainnya di zaman ini. Usianya belum mencapai 40 tahun, namun ilmua dan budi pekertinya sangatlah agung. Beliau berdakwah kebeberapa negara didunia, diantaranya di Timur Tengah, Uni EMirat Arab, Saudi Arabia, Yaman, Oman, Syuria, Libanon, dll. Kawasan Asia diantaranya India, Pakistan, Brunai, Malaysia, Thailand, Indonesia, dll. Kawasan Afrika diantaranya Mesir, Sudan, Somalia, dll. Negara-negara kawasan Eropa TImur, hingga negara-negara barat, diantaranya: Inggris, Denmark, Jerman, Amerika Serikat, dll. Terutama Inggris, hamper setiap tahun dikunjunginya. Di Timur Tengah siapa tidak kenal Habib Ali Al Jufri, beliau menapaki jejak inernasionalnya mulai dari Negara Mesir, banyak sekali para artis dan seniman yang bertaubat ditangannya, hingga pemerintah Mesir merasa khawatir bahwa hal ini akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman di Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama negri Mesir setelah pariwisata. Artis yang dulunya terbuka jadi berjilbab, yang dulunya aktor menjadi da`I,seperti Wajdi Al `Arabi, aktor kawakan di Mesir, dan masih banyak lagi lainnya. Pemerintah Mesir akhirnya melarang Habib Ali Al Jufri untuk berdakwah di Mesir. Namun itu tidak menyurutkan langkah dakwahnya, beliau malah meluaskan dakwahnya keberbagai negeri arab lainnya. Maka meluaslah pengaruhnya,karena cara dakwah beliau yang sejuk, simpatik, dengan pandangan-pandangannya yang cerdas, tajam serta pembawaannya menarik hati dan akhlak luhurnya yang dapat mempengaruhi orang yang duduk dengannya. Pada akhirnya beliau menjadikan ABU DHABI sebagai tempat tinggal dan aktifitas dakwahnya dan secara rutin beliau tampil dibeberapa stasiun televise di negara-negara Arab.
Dalam penyampaiannya, kata-kata Habib Ali Al Jufri menyentuh akal dan hati manusia. Di Jerman, beliau membuat jama`ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengaar ceramahnya, di Inggris beliau punya andil besar dalam pelaksanaan Maulid Nabi di Stadion Wembley, di Denmark, beliau mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa saat memanasnya peristiwa kartun Nabi Muhammad SAW. SSetiap tahunnya beliau menjadi pembicaraan rutin dalam Dauroh (Pesantren kilat) Internasional yang diadakan oleh Al Habib Umar bin Hafidz di Pondok Pesantren Darul Mustafa Tarim, Hadramaut. Dalam Daurah tersebut Habib Ali menyampaikan Fikrah Dakwah (ide-ide baru dan cemerlang dalam dunia dakwah). Al Habib Umar bin Hafidz mempercayakan topik ini kepada beliau karena keluasan wawasan Habib Ali tentang metode dakwah internasional. Berbagai aktifitas dakwah Habib Ali Al Jufri selengkapnya dapat di ikuti di website beliau: www.alhabibali.org. Website ini memberitakan sebagian aktivitas beliau yang sangat padat.
Para da`i muda di Timur Tengah beliau rangkul, para pemuda yang berbakat beliau bimbing dan diarahkan kepada manhaj salafuna shalihin. Beliau sangat suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.
Metode dakwah Habib Ali Al Jufri merupakan salah satu bentuk representasi dari manhaj dakwah Ahlussunnah wal jama`ah dengan berjalan diatas jalan para salafunasshalihin dari kalangan keluarga ba`alawi, yaitu dakwah bil hikmah wal mauidhotil hasanah serta di iringi dakwah `ala bashiroh atau dakwah dengan menggunakan pandangan mata hati yang jernih.
Semoga Allah SWT menjaga kesehatan beliau, memudahkan segala urusan beliau dan memanjangkan usia beliau amin….dan semoga para da`i muda dapat bercermin pada metode dakwah beliau. Wallahu a`lam.
Biografi Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Biografi Habib Zein bin Ibrahim bin Smith
Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Muhammad Al-Haddar (mertuanya).
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan
Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada
sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah
lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim.
Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan
(mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin
Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan
kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya
Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri.
Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh
Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah
As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.
Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah
ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id
Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin
Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin
Ahmad Al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar
bin Abdullah Al-Atthas.
Selain menimba ilmu di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para
ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi Assaqof,
Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki,
Habib Umar bin Ahmad bin Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha
Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin
Ahmad Assyatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat
disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu
pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana,
yaitu kurang lebih delapan tahun.
kemudian salah seorang gurunya bernama Habib
Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah,
salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath
sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti
Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.
Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang
teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri,
yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana
Habib Zain tinggal beberapa saat.
Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya
di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang
tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia
mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz
selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.
Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar.
Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin.
Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib.
Manaqib Al Habib Muhammad bin Husein Alaydrus (Habib Neon)
Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf
Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main! Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya, yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal.
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.
Sulthonul `Ilim, Al Habib Salim Bin Abdullah Bin Umar Assyatiri Pengasuh Rubath Tarim-Yaman.
NASAB BELIAU
Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husin bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alwi Asy-Syathiry bin Al-Fagih Ali bin Al-Qodhi Ahmad bin Muhammad Asaadulloh bin Hasan At-Turobi bin Ali bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.
Garis nasab beliau adalah pohon nasab yang penuh petunjuk dan hidayah. Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam perkataan Al-Habib Abdulloh bin Alwi Alhaddad :
“Mereka mengikuti jejak Rasululloh dan para sahabatnya
serta para tabi’in maka berjalanlah kamu dan ikutilah mereka
Mereka berjalan menuju suatu jalan kemuliaan
generasi demi generasi dengan begitu kokohnya”
NASAB IBU DAN AYAH BELIAU
Adapun nasab ibu beliau yang sholihah afifah adalah Nur binti Umar bin Abdullah bin Husin bin Syihabuddin.
Ayah beliau adalah Al-Habib Umar bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiry. Beliau Al-Habib Umar meninggal di kota Tarim pada tanggal 2 atau 4 Syawal 1350 H. Beliau adalah merupakan salah seorang pembesar kota Tarim yang terpandang, kaya raya, jenius dan pendapat-pendapatnya jitu dan diikuti.
Al-Habib Umar mempunyai andil yang cukup besar didalam mendidik anak-anaknya, memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu dan menyebarluaskannya dalam dakwah fisabilillah. Kemuliaan dan keutamaan beliau yang terbesar adalah didalam mendidik dan mendorong putra-putranya agar menjadi orang besar serta kemampuan keuangannya didalam mencukupi putra-putranya.
MASA BELAJAR BELIAU
Ketika Al-Habib Abdulloh bin Umar Asy-Syathiry mencapai usia tamyiz (mampu makan, minum dan istinja’ tanpa dibantu orang lain), beliau diperintahkan oleh ayah dan kakeknya untuk mempelajari ilmu agama, yaitu belajar kitab Syeikh Barosyid. Beliau kemudian belajar membaca dan menulis serta membaca Al-Qur’an kepada 2 orang ulama yang paling terkemuka di jaman itu. Mereka adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Bahalmi dan putranya Syeikh Abdurrahman. Setelah tamat belajar pada Syeikh Muhammad dan putranya, beliau yang masih kecil pada saat itu mengatur waktu belajarnya sendiri di qubah Al-Habib Abdullah bin Syeikh Alaydrus.
Teman akrab beliau saat belajar di qubah Al-Habib Abdulloh bin Syeikh Alaydrus adalah Al-Habib Abdul Bari’ bin Syeikh Alaydrus. Begitu dekat hubungan antara keduanya hingga Habib Abdul Bari Alaydrus berkata, “Al-Habib Abdulloh Asy-Syathiry benar-benar belajar denganku di qubah Al-Habib Abdullah bin Syeikh Alaydrus”.
Guru beliau yang mengajar disana waktu itu adalah Syihabuddin (lentera agama) Habib Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Alkaf. Habib Ahmad adalah orang yang sangat takwa. Selain Habib Ahmad Alkaf, guru beliau yang lain waktu itu adalah Al-Habib Syeikh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus yang terkenal dengan selalu memakai pakaian yang terbaik. Beliau belajar dari kedua guru tersebut dalam bidang figih dan tasawuf, hingga beliau hafal beberapa juz Al-Qur’an. Beliau memiliki semangat belajar yang tinggi dan selalu mencurahkan waktunya untuk mendalami ilmu agama.
Setelah belajar dari kedua guru beliau tersebut, Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry melanjutkan belajar kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur Mufti Dhiyar (pengarang kitab Bughyatul Murtarsyidin) dan juga belajar kepada Al-Habib Al-’Allamah penyebar bendera dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abubakar Almasyhur. Selain itu beliau juga mempelajari dari para ulama yang tinggal di kota Tarim ilmu-ilmu agama seperti figih, tafsir, hadits, tasawuf, mantiq (kalam) dan lain-lain.
Antusias beliau seakan tak pernah surut untuk semakin memperdalam ilmu agama. Untuk itu beliau pergi ke kota Seiwun. Disana beliau belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Alhabsyi (pengarang maulud Simthud Duror) selama 4 bulan. Meskipun tak seberapa lama, beliau benar-benar memanfaatkan waktu dan mengaturnya dengan baik, sehingga dengan waktu yang sedikit tersebut dapat menghasilkan ilmu yang lebih banyak dari yang beliau dapatkan sebelumnya. Selain itu beliau juga belajar kepada saudara Al-Habib Ali, yaitu Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Husin Alhabsyi.
Setelah menamatkan pelajarannya, beliau kembali ke kota Tarim. Beliau tidak pernah merasa cukup untuk menuntut ilmu. Himmah (keinginan kuat) beliau untuk belajar tak pernah pudar, bahkan semakin bertambah, sehingga beliau dapat menghafalkan banyak matan terutama dalam ilmu figih seperti matan Al-Irsyad yang beliau hafalkan sampai bab Syuf’ah.
Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry berguru kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Dhiyar Hadramaut). Setelah itu, beliau pergi ke Seiwun untuk belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi selama 4 bulan. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kota Makkah dan belajar dari para ulama di kota tersebut selama 4 tahun.
Dalam sehari, tidak kurang dari 12 mata pelajaran yang dipelajari oleh beliau, diantaranya Nahwu, Tafsir, Figih, Tauhid dll. Seusai belajar, beliau pergi ke Multazam dan berdoa disana, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar ilmuku dapat bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia dari timur hingga ke barat”. Dan Allah akhirnya mengabulkan doa beliau. Setelah beliau menamatkan pelajarannya, beliau kembali pulang ke kota Tarim dan mengajar di Rubath Tarim selama 50 tahun.
Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri ( putra Habib Abdullah Asy-Syatiri ) di Rubath Tarim.
RUBATH TARIM
Rubath Tarim adalah rubath yang tertua di Hadramaut dan terletak di kota Tarim. Rubath ini usianya mencapai 118 tahun. Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim yang hidup jauh sebelum masa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry setiap kali pergi ke kota Tarim, beliau selalu berhenti di suatu tanah sambil berkata, “Tanah ini nantinya akan menjadi sebuah Rubath…”.
Benarlah apa dikatakan oleh beliau, diatas tanah itu akhirnya terbangunlah Rubath Tarim. Dikatakan di sebagian riwayat bahwa 2 wali min Auliyaillah Al-Fagih Al-Muqoddam dan Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim selalu menjaga Rubath Tarim. Juga dikatakan bahwa setiap harinya arwah para auliya turut menghadiri majlis-majlis taklim di Rubath.
MURID-MURID BELIAU
Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Tidak kurang dari 13.000 ulama tercatat sebagai alumni Rubath (ma’had/ponpes) Tarim yang diasuh oleh beliau. Bahkan riwayat lain menyebutkan lebih dari 500.000 ulama pernah belajar dari beliau. Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Alhaddad sempat berkata, “Tidak pernah aku masuk ke suatu desa, kota atau tempat lainnya, kecuali aku dapatkan bahwa ulama-ulama di tempat tersebut adalah murid dari Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry atau murid dari murid beliau”.
Sebagian ulama alumni Rubath pimpinan Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry diantaranya adalah :
Di Hadramaut
1. Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Bin Syeikh Abubakar
Beliau adalah pimpinan Rubath Syihir. Setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh Al-Habib Kadhim bin Ja’far bin Muhammad Assegaf. Semasa belajar di Rubath Tarim, beliau Al-Habib Ahmad belum pernah tidur. Tempat tidur beliau selalu kosong dan rapi dan hal ini berlangsung selama 10 tahun.
2. Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar
Beliau belajar kepada Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry selama 4 tahun. Semasa belajar, beliau selalu menghafal pelajaran di pinggiran atap (balkon) Rubath Tarim. Beliau pernah berkata, “Kalau saya masih mau hidup, saya harus menghafalkan pelajaran dan tidak boleh tidur”. Kalau hendak tidur, beliau selalu mengikat kakinya dengan tali dan diikatkan ke jendela kecil. Beliau hanya tidur selama beberapa jam. Sisanya dipergunakan untuk mendalami ilmu agama. Jika waktunya bangun, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab menarik tali yang terikat di kaki Al-Habib Muhammad sambil berseru, “Wahai Muhammad, bangunlah…!”, lalu terbangunlah beliau. Itulah sebagian mujahadah beliau sewaktu belajar di Rubath Tarim.
3. Al-Habib Hasan bin Ismail Alhamid
Beliau adalah pimpinan Rubath Inat. Di Rubath Tarim beliau belajar selama beberapa tahun, lalu beliau diperintahkan oleh Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry untuk membuka Rubath di kota Inat. Sampai sekarang Rubath Inat terus berkembang dan berkembang.
Di Indonesia
1. Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.
Beliau adalah seorang wali Qutub dan pimpinan Ma’had Darul Hadits Malang. Dari sebagian murid beliau diantaranya putera beliau sendiri Al-Habib Abdullah, Al-Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan dll.
2. Al-Habib Abdullah bin Husin Al-’Attas As-Syami
Beliau seorang wali min auliyaillah dan tinggal di Jakarta. Sampai sekarang beliau masih ada (semoga Alloh memanjangkan umurnya dan memberikan manfaat kepada kita dari keberadaannya)
3. Al-Habib Abdullah bin Ahmad Alkaf
Beliau tinggal di kota Tegal. Beliau adalah ayah dari Ustadz Thohir Alkaf, seorang dai yang melanjutkan tongkat estafet dakwah ayahnya.
4. Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Alkaf
Beliau adalah pengarang kitab Sullamut Taysir.
Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri ( putra Habib Abdullah Asy-Syatiri ) di Rubath Tarim.
dan masih banyak lagi anak didik beliau Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry yang tak dapat ditulis satu persatu. Putera beliau Al-Habib Salim pernah ditanya oleh seseorang, “Kenapa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry tidak mengarang kitab sebagaimana umumnya para ulama ?”. Beliau Al-Habib Salim menjawab, “Beliau tidak mengarang kitab, tapi mencetak ulama-ulama”.
AL-HABIB ABDULLAH ASY-SYATHIRY
Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry berguru kepada Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (mufti Dhiyar Hadramaut). Setelah itu, beliau pergi ke Seiwun untuk belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi selama 4 bulan. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kota Makkah dan belajar dari para ulama di kota tersebut selama 4 tahun.
Dalam sehari, tidak kurang dari 12 mata pelajaran yang dipelajari oleh beliau, diantaranya Nahwu, Tafsir, Figih, Tauhid dll. Seusai belajar, beliau pergi ke Multazam dan berdoa disana, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar ilmuku dapat bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia dari timur hingga ke barat”. Dan Allah akhirnya mengabulkan doa beliau. Setelah beliau menamatkan pelajarannya, beliau kembali pulang ke kota Tarim dan mengajar di Rubath Tarim selama 50 tahun.
RUBATH TARIM
Rubath Tarim adalah rubath yang tertua di Hadramaut dan terletak di kota Tarim. Rubath ini usianya mencapai 118 tahun. Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim yang hidup jauh sebelum masa Al-Habib Abdullah Asy-Syathiry setiap kali pergi ke kota Tarim, beliau selalu berhenti di suatu tanah sambil berkata, “Tanah ini nantinya akan menjadi sebuah Rubath…”.
Benarlah apa dikatakan oleh beliau, diatas tanah itu akhirnya terbangunlah Rubath Tarim. Dikatakan di sebagian riwayat bahwa 2 wali min Auliyaillah Al-Fagih Al-Muqoddam dan Asy-Syeikh Abubakar Bin Salim selalu menjaga Rubath Tarim. Juga dikatakan bahwa setiap harinya arwah para auliya turut menghadiri majlis-majlis taklim di Rubath.
Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi, (Pendiri Jama'ah Tablig)
Jama’ah Tabligh adl sebuah jama’ah Islamiyah yg dakwahnya berpijak kepada penyampaian tentang keutamaan-keutamaan ajaran Islam kepada tiap orang yg dapat dijangkau. Jama’ah ini menekankan kepada tiap pengikutnya agar meluangkan sebagian waktunya utk menyampaikan dan menyebarkan dakwah dgn menjauhi bentuk-bentuk kepartaian dan masalah-masalah politik. Barangkali cara demikian lbh cocok mengingat kondisi ummat Islam di India yg merupakan minoritas dalam sebuah masyarakat besar.
SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA
Jama’ah ini didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi . Ia dilahirkan di Kandahlah sebuah desa di Saharnapur India. Mula-mula ia menuntut ilmu di desanya kemudian pindah ke Delhi sampai berhasil menyelesaiakan pelajarannya di sekolah Deoband. Sekolah ini merupakan sekolah terbesar utk pengikut Imam Hanafi di anak benua India yg didirikan pada tahun 1283 H/1867 M. PARA SYAIKH JAMA’AH TABLIGH YANG TERKENAL
Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi pendiri jama’ah dan merupakan amir pertamanya. Pertama kali ia belajar kepada kakak kandungnya Syaikh Muhammad Yahya seorang guru di Madrasah Mazhahir al-Ulum Saharnapur.
Syaikh Rasyid Ahmad Kankuhi yg dibai’at menjadi anggota jama’ah pada tahun 1315 H oleh Syaikh Muhammad Ilyas. Kemudian ia memperbaharui bai’atnya kepada Syaikh Khalil Ahmad Saharnapuri. Syaikh ini mempunyai hubungan dekat dgn Syaikh Abdurrahim Ra’i Fauri dan banyak menimba ilmu dan pendidikan darinya. Ia juga berguru kepada Syaikh Asraf Ali al-Tahanawi yg bergelar Hakim Ummat dan kepada Syaikh Muhammad Hasan salah seorang tokoh ulama Madrasah Deoband dan pemimpin Jama’ah Tabligh.
Sedangkan teman-teman dekat Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi antara lain
Syaikh Abdurrahim Syah Deoband al-Tablighi yg menghabiskan waktunya utk urusan tabligh bersama-sama Syaikh.
Syaikh Ihtisyam Kandahlawi yg menikah dgn saudara perempuan Syaikh Muhammad Ilyas. Beliaulah orang kepercayaan khusus Syaikh. Ia menghabiskan usianya utk memimpin Jama’ah dan mendampingi Syaikh Muhammad Ilyas.
Syaikh Abu al-Hasan Ali r.a. al-Hasani al-Nadawi Direktur Dar antara lain-Ulum Nadwah Ulama di Lucknow India. Beliau adl seorang penulis Islam besar dan mempunyai hubungan kuat dgn jama’ah.
Sepeninggal Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi kepemimpinan Jama’ah diteruskan oleh puteranya Syaikh Muhammad Yusuf Kandahlawi . Ia dilahirkan di Delhi. Sering berpindah-pindah mencari ilmu dan menyebarkan dakwah. Berkali-kali ia mengunjungi Saudi Arabia menunaikan haji dan ke Pakistan. Beliau wafat di Lahore dan jenazahnya dimakamkan di samping orang tuanya di Nizham al-Din Delhi.
Kitabnya yg terkenal ialah Amani Akhbar berupa komentar kitab Ma’ani antara lain-Atsar karya Syaikh Thahawi dan Hayat al-Shahabah. Beliau meninggalkan seorang putera yg mengikuti jejak dan langkahnya yaitu Syaikh Muhammad Harun.
Sedangkan teman-teman dekatnya dalam Jama’ah ialah
Syaikh Zakariya Kandahlawi sepupu Syaikh Yusuf dan sekaligus menjadi adik iparnya. Beliau adl ahli hadits dan Musyrif tertinggi Jama’ah Tabligh. Tetapi akhir-akhir ini ia tidak aktif lagi di dalam Jama’ah.
Syaikh Muhammad Yusuf Banuri Direktur sekolah Arab di New Town Karachi ahli hadits direktur majalah bulanan berbahasa Urdu dan salah seorang tokoh ulama Deoband dan Jama’ah Tabligh.
Maulana Ghulam Ghauts Hazardi salah seorang tokoh ulama Jama’ah Tabligh yg menjadi anggota parlemen pusat.
Mufti Muhammad Syafi’i Hanafi mufti agung Pakistan. Pernah menjadi direktur sekolah Dar al-Ulum Landhi Karachi dan pengganti Asyraf Ali Tahnawi serta sebagai tokoh jama’ah terkemuka.
Syaikh Manzhur Ahmad Nu’mani termasuk barisan ulama besar jama’ah pengikut Syaikh Zakariya kawan akrab Ustadz Abu al-Hasan al-Nadawi dan termasuk tokoh ulama Diobond.
Amir jama’ah yg ketiga ialah In’am Hasan. Jabatan ini dia pegang sejak Syaikh Muhammad Yusuf wafat sampai sekarang. Beliau adl teman akrab Syaikh Muhammad Yusuf ketika sama-sama belajar dan perlawatannya. Usia mereka saling berdekatan. Keduanya sangat dekat dalam dakwah dan pergerakan.
Para pendampingnya antara lain
Syaikh Muhammad Umar Bannaburi yg menjadi penasehat khususnya.
Syaikh Muhammad Baasyir pemimpin Jama’ah Tabligh Pakistan yg berpusat di Roywand pinggiran kota Karachi.
Syaikh Abdulwahhab salah seorang tokoh Jama’ah Tabligh di kantor pusat di Pakistan.
PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA Oleh pendiri jama’ah telah ditetapkan 6 prinsip yg menjadi azas dakwahnya yaitu
Kalimah agung.
Menegakkan shalat.
Ilmu dan dzikir.
Memuliakan tiap Muslim.
Ikhlas.
Berjuang fi sabilillah.
Metode dakwah mereka menempuh jalan berikut
Sebuah kelompok dari kalangan jama’ah dgn kesadaran sendiri bertugas melakukan dakwah kepada penduduk setempat yg dijadikan obyek dakwah. Masing-masing anggota kelompok tersebut membawa peralatan hidup sederhana dan bekal serta uang secukupnya. Hidup sederhana merupakan ciri khasnya.
Begitu mereka sampai ke sebuah negeri atau kampung yg hendak di dakwahi mereka mengatur dirinya sendiri. Sebagian ada yg memberihkan tempat yg akan ditinggalinya dan sebagian lagi keluar mengunjungi kota kampung pasar dan warung-warung sambil berdzikir kepada Allah. Mereka mengajak orang-orang mendengarkan cermah atau bayan .
Jika saat bayan tiba mereka semua berkumpul utk mendengarkannya. Setelah bayan selesai para hadirin dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang da’i dari Jama’ah. Kemudian para da’i tersebut mulai mengajari cara berwudhu membaca fatihah shalat atau membaca Al-Qur’an. Mereka membuat halaqat-halaqat seperti itu dan diulanginya berkali-kali dalam beberapa hari.
Sebelum mereka meninggalkan tempat dakwah masyarakat setempat diajak keluar bersama utk menyampaikan dakwah ke tempat lain. Beberapa orang secara sukarela menemani mereka selama satu sampai tiga hari atau sepekan bahkan ada yg sampai satu bulan. Semua itu dilakukan sesuai dgn kemampuan masing-masing sebagai realisasi firman Allah
“Kalian adl sebaik-baik ummat yg ditampilkan ke tengah-tengah manusia.”
Mereka menolak undangan walimah yg diselenggarakan penduduk setempat. Tujuannya agar tidak terganggu oleh masalah-masalah di luar dakwah dan dzikir serta amal-amal perbuatan mereka tulus krn Allah semata.
Dalam materi dakwah mereka tidak memasukkan ide penghapusan kemungkaran. Sebab mereka meyakini bahwa sekarang ini masih berada dalam tahap pembentukan kondisi kehidupan yg Islami. Perbuatan mendobrak kemungkaran selain sering menimbulkan kendala dalam perjalanan dakwah mereka juga membuat orang lari.
Mereka berkeyakinan jika pribadi-pribadi telah diperbaiki satu persatu maka secara otomatis kemungkaran akan hilang.
Keluar tabligh dan dakwah merupakan pendidikan praktis utk menempa seorang da’i. Sebab seorang da’i harus dapat menjadi qudwah dan harus konsisten dgn dakwahnya.
Mereka memandang taqlid kepada madzab tertentu adl wajib.
Dalam beberapa hal mereka terpengaruh oleh cara-cara sufisme yg tersebar di India. Karena itu mereka menerapkan praktek-praktek sufistik seperti berikut
Setiap pengikutnya diharuskan melakukan bai’at kepada syaikhnya. Barang siapa meninggal dan di tengkuknnya tidak ada bai’at maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Sering bai’at kepada syaikh ini dilakukan di tempat umum dgn cara membeberkan selendang-selendang lebar yg saling terkait sambil mengumandangkan bai’at secara serentak. Bai’at semacam ini sering pula dilakukan di hadapan massa wanita.
Menjadikan mimpi-mimpi menduduki kenyataan-kenyataan kebenaran sehingga mimpi-mimpi tersebut dijadikan landasan beberapa masalah yg mempengaruhi perjalanan dakwahnya.
Meyakini tasawuf sebagai jalan terdekat mewujudkan rasa manisnya iman di dalam kalbu.
Metode dakwah mereka berpijak kepada tabligh dalam bentuk targhib dan tarhib serta sentuhan-sentuhan emosi. Mereka telah berhasil menarik banyak orang ke pangkuan iman. Terutama orang-orang yg tenggelam dalam kelezatan dan dosa. Orang-orang tersebut diubah ke dalam kehidupan penuh ibadah dzikir dan baca Al-Qur’an.
Jama’ah Tabligh selalu menjauhi pembicaraan masalah politik. Ini sangat bertentangan dgn perjuangan Hizbut Tahir. Bahkan anggota jama’ahnya dilarang keras terjun ke gelanggang politik. Setiap orang yg terjun ke politik mereka kecam. Barangkali inilah pokok perbedaan mendasar antar Jama’ah Tabligh dgn Jama’ah Islamiyah yg memandang perlu berkonfrontasi menentang musuh-musuh Islam di anak benua tersebut.
BEBERAPA CATATAN DAN MANFAAT YANG DAPAT DI AMBIL Mereka memperluas diri secara horizontal kuantitatif. Tetapi mereka lemah dalam mencapai keunggulan kualitatif. Sebab mencapai keunggulan kualitatif memerlukan pemeliharaan dan ketekunan yg berkesinambungan. Inilah yg tidak dimiliki Jama’ah Tabligh. Sebab orang yg mereka dakwahi hari ini belum tentu akan mereka jumpai sekali lagi. Malah tidak jarang orang yg telah mereka dakwahi kembali lagi ke dalam kehidupan semula yg penuh gemerlapan dan kemewahan.
Orang-orang yg mereka dakwahi tidak diikat dalam satu struktur organisasi yg rapi. Ikatan lbh dititikberatkan kepada semacam kontak antar pribadi dgn da’i yg berlandaskan saling pengertian dan cinta kasih.
Dalam kontek penegakan hukum Islam dalam kehidupan nyata dan dalam menghadapi aliran-aliran berfikir yg telah mengerahkan segala potensi dan kemampuan utk merusak dan memerangi Islam dan ummatnya gerakan ini sama sekali kurang memadai.
Pengaruh dakwahnya lbh membekas secara jelas kepada para pengurus masjid. Sedangkan kepada orang-orang yg sudah mempunyai pemikiran dan idiologi tertentu hampir-hampir pengaruhnya tidak ada. Banyak kalangan para ulama kaum modernis pembaharu menilai gerakan Jama’ah Tabligh ini memiliki beberapa kelemahan
Praktek pelaksanaan agama yg menjurus kepada praktek bid’ah dgn mengadakan acara-acara model khas Jama’ah Tabligh kepada para pengikutnya seperti beberapa hari mengembara berdakwah dgn meninggalakan keluarga dan lain-lain.
Menelantarkan keluarga kedua orang tua dan isteri-isteri dgn menyia-nyiakan hak mereka.
Memalingkan orang-orang yg sedang belajar ilmu yg bermanfaat dalam agama dan dunia.
Melemahkan semangat usaha dan menelantarkan keluarga dgn praktek pengembaraan dakwah yg dinilai kurang memiliki bekal yg cukup.
Gerakan seperti ini lbh cocok utk kondisi dan keadaan orang-orang tertentu yg sudah tidak lagi memiliki tanggung jawab keluarga dan masyarakat di lingkungannya sendiri.
AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA
Jama’ah Tabligh adl jama’ah Islam yg sumber utamanya adl Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan thareqatnya Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Jama’ah ini banyak dipengaruhi ajaran tasawuf dan thareqat seperti thareqat Jusytiyyah di India. Mereka mempunyai pandangan khusus terhadap tokoh-tokoh tasawuf dalam masalah pendidikan dan pengarahan.
Di antara mereka ada yg berkeyakinan bahwa pemikirannya diambil dari Jama’ah antara lain-Nour di Turki.
PENYEBARAN DAN KAWASAN PENGARUHNYA
Pertama kali muncul di India kemudian tersebar ke Pakistan dan Bangladesh negara-negara Arab dan keseluruh dunia Islam. Jama’ah ini mempunyai banyak pengikut di Suriah Yordania Palestina Libanon Mesir Sudan Irak dan Hijaz.
Dakwah mereka telah tersebar di sebagian besar negara-negara Eropa Amerika Asia dan Afrika. Mereka memiliki semangat dan daya juang tinggi serta tidak mengenal lelah dalam berdakwah di Eropa dan Amerika.
Pimpinan pusatnya berkantor di Nizhamuddin Delhi. Dari sinilah semua urusan da’wah internasionalnya diatur. Dana kegiatannya dipercayakan kepada para da’i sendiri. Ada pula dana yg dikumpulkan secara terpisah-pisah tidak terorgnisasi dari beberapa donatur langsung atau dgn cara mengirim da’i atas biaya donatur tersebut.
Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia
.Al Alimmul Al Allamah Al Arrif Billah KH.Syarwani Abdan Al Banjary,Bangil ( Guru Bangil )
Tulisan ini bertujuan untuk memetakan dan mendeskripsikan kiprah keulamaan dan pemikiran keagamaan Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan (Guru Bangil) sebagai bagian penting dari eksplorasi terhadap khazanah intelektual ulama Banjar, dan dilengkapi pula dengan kajian terhadap riwayat hidup beliau. Karena, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) dan masyarakat Bangil (Jawa Timur) khususnya, nama Guru Bangil tidaklah asing lagi.
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul).
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan Bangil.
LATAR BELAKANG
Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran ulama dalam memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah pewaris para Nabi”.
Menurut bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata alim, yang berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar, berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa 197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni orang-orang yang berakal, mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas akan agama serta memiliki kebijaksanaan (men of understanding and men of wisdom).
Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali, antara lain mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai “orang yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain” (Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran 109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah” (As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut kepada Tuhannya”.
Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran) menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata, tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama ulama kata Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.[1]
Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang ulama lain yang akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi juga orang-orang yang ikut bersamanya”.[2]
Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal namanya bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan) khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan. Karenanya, bagi masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil (Pasuruan).
Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang akrab dipanggil Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.
Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan beragama masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji. Karena, aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.
PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL
A. Kelahiran
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3] ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.
B. Pendidikan
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jika kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”.[18] Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.
C. Keluarga
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj. Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula, di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
D. Wafat
“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul[24] Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
KIPRAH DAN PEMIKIRAN
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25] namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.
“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akibat yang tidak diinginkan”[36].
Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang sesat kepada kita.[37] Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran penulis sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.
1. Talqin
Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah bid’ah dhalalah.[38] Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah berkata:
“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga akhirnya”.
Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:
“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu (sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).
Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits itu terdapat perkataan:
“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah kuburku, kemudian berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya[39], sehingga aku mendapat kesenangan dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).
Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan yang Shahih:
“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam atasnya, lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan ditanya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.
Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.
Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur,[40] seperti tersebut di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.
Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[41]
2. Bacaan dan Doa untuk Mayit
Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan beliau ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.
Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”
Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia diantara kamu”.
Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab Fawaid).
Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).
Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan doa untuk mayit ini.
Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah seorang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya setelah ia meninggal dunia.[42]
3. Tawassul
Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu tidak ada larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali Dia.
Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul, antara lain:
Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik, ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.
Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah hadits:
“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku dengan nabi-Mu”.
Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).
Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah wafat, Guru Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam Abiddunia di dalam kitab Addharra).
Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang shaleh).[43]
Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[44] Di mana dalam buku 40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa dengan cara bertawassul.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Unggulan
Maksiat Hati.
Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...
Entri paling diminati
-
Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kem...
-
Foto dari Dokumentasi Perpustakaan MEKKAH, tentang 4 orang Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedan...
-
Rahasia nasehat dari sufi adalah sebuah pahaman menuju "Jejak keagungan", t api terhadap peristiwa ini se...