Manaqib Tuan Guru Zainal Ilmi Albanjari

 
Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari dilahirkan pada Jum'at malam  sekitar pukul 04.30 wita, 7 rabiaul awal 1304 H. Di desa dalam pagar Martapura.Beliau merupakan dzuriat dari Tuan Wali Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari dimana ayahnya bernama H. Abdus Shamad bin H. Muhammad Said Wali merupakan keturunan ke empat Syeikh yang lebih terkenal dengan nama datu kalampayan, sedangkan ibunya bernama Hj. Qamariyah.

Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari sejak kecil sampai dewasa mendapatkan bnyak bimbingan ilmu dari keluarganya yang sangat kental dengan tradisi religius islam, sehingga iman dan tauhid terbina dan terpelihara dalam dirinya, mempunyai ahlak yang terpuji santun dalam berbicara serta benteng yang kokoh dalam menegakkan perintah Allah SWT. Dan senantiasa terhindar dari perbuatan sia sia dikala itu. Selain itu dari sejak kecil Tuan Guru Zainal Ilmi sudah mempunyai ciri menjadi ulama sebab beliau memiliki akhlak yang mulia yang tercermin dalam sikap dan perbuatan.

Sejak kecil itu pula, beliau menyibukkan diri dengan mengisi hari harinya dengan menuntut ilmu dan beribadah memelihara waktu dan mengerjakan ibadah-ibadah,memelihara dan mengerjakan ibadah iabadah sunat, menghindari diri dari perbuatan syubath. Adapun diantara Gurunya adalah orang tuanya sendiri Tuan Guru Abdus Shamad, padanya beliau belajar Arabiyah, fiqih,dan hadist selama kurang lebih 6 tahun, kemudian kepada Tuan Guru Muhammad Amin bin Qadhi H. Mahmud, Syeikh Abdurahman Muda.Tuan Guru H. Abbas bin Mufti H. Abdul Djalil, Tuan Guru Abdullah bin Guru H. Muhammad Shaleh,Tuan Guru H. Muhammad Ali bin Abdullah Al-Banjari, Tuan Guru H. Khalid, Tuan Guru H. Ahmad Nawawi, serta Tuan Guru H. Ismail dalam pagar martapura (ayah dari KH. Rahman Ismail mantan kepala menteri agama kabupaten banjar), Tuan Guru Ahmad Wali kuin bajarmasin (murid H. Masaid Wali, kakek dari Tuan Guru KH Zainal Ilmi).

Dari guru gurunya tersebutlah Tuan Guru  Zainal Ilmi mendapatkan ilmu pengetahuan agama yang kemudian beliau amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Muenurut suatu Riwayat Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari adalah Khalifah dari Mufti Indaragiri Riau, yakni Syeikh Abdurrahman Siddiq Al-Banjari atau lebih dikenal dengan (datau sapat). ketika Syeikh Abdurrahman Siddiq Al-Banjari hendak berangkat ke Tembilah Riau, beliau ditanya oleh seseorang dikampung dalam pagar "siapakah pengganti Guru dikampung ini"..?kemudian Syeikh Abdurahman Siddiq menjawab : Anang Ilmi ( Tuan Guru  Zainal Ilmi penggantiku. Sambi menepuk bahu Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari.

Kedermawanan Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari
       
Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari memiliki perawakan gemuk dan tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian beliau sangat di hormati dikalangan msayarakat dan kalangan ulama sendiri, sebab bukanlah ukuran jasmani yang mereka liat melainkan kedalaman ilmu yang dimiliki dan ahlak yang terpuji yang sungguh mempesona dan membuat orang orang memuliakan nya. Kemudian dari pada itu  Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari pun memiliki jiwa sosial  yang sangat tinggi, hal ini terlihat bahwasanya beliau suka menyantuni fakir miskin dan janda janda tua. Sunggguh betapa tinggi ilmu beliau hingga menyembunyikan sifat kedermawanan nya semasa hidup hingga tiada orang lain mengetahuinya ,kecuali hanya Allah dan orang orang tertentu saja yang mengetahuinya. Konon diceritakan Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari membagi bagikannya ketika malam tiba secara sembunyi sembunyi dan ketika  pagi menjelang, fakir miskin dan janda janda tua yang diberikan sedekah kaget dengan rezki yang ada didepan rumah mereka. Hal demikian terus menerus terjadi selama beliau masih hidup, namaun setelah beliau wafat, para fakir miskin dan janda janda tua tidak pernah lagi mendapatkan sedekah seperti biasanya. Maka masyarakat pun menyadari akan kemulian jiwa sosial sang Guru yang dalam memberi sedekah saja ia tak mau menyebutkan namanya dan memperlihatkan.

Karomah  Tuan Guru Zainal Ilmi Albanjari

Memadamkan api dari jarak jauh

Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari tidak saja memiliki keilmuan tinggi dan ahlak yang mulia, namun beliau memiliki segudang keistmewaan diantaranya karomah  yang biasanya nampak pada wali wali Allah, diantarnya terjadi pada saat beliau mengajar murid murid nya  di kediaman beliau, di tengah pengajian beliau berkata "berhenti sebentar" kemudian sang Guru masuk kedalam dan melepakan baju jubahnya kemudian beliau bergegas mengambil dua buah timba dan menuju sungai di depan rumah beliau,Timba itu diisi dengan air dan disiram ke jalan raya, satu timba itu disiramkan kesebelah kanan dan satu timba lainnya beliau siram ke arah kiri, selesai melakukan hal tersebut Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari kembali masuk kedalam rumah dan bertemu dengan ibunya. Ibunya yang keheranan dengan tingkah laku sang anak pun bertanya kelakuan beliau tersebut, kemudian beliau pun menjawab dengan lemah lembut bahwa beliau telah menolong  orang yang terkena musibah  kebakaran. Berselang beberapa hari setelah kejadian diluar akal tersebut datanglah seseorang yang sengaja berkunjung kepada beliau dengan ungkapan yang mengagetkan orang lain yang mendengarnya, bahwa Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari lah yang telah menolong memadamkan kebakaran suatu kampung, di kampung Marga Sari Babupaten Tapin, dengan karomah beliau,...

Memenuhi hajat petani durian..

Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari memiliki banyak karomah yang masih disimpan orang orang yang masih sezaman dengan beliau, begitu pula dengan cerita turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya, diantaranya di ceritakan suatu hari ada seorang petani yang mempunyai banyak pohon durian, namun pohon duriannya tersebut tak kunjung berbuah, hingga beliau pun berhajat apabila durian miliknya berbuah, maka akan dihadiahkannya kepada   Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari. Tak berselang lama kebun tukang petani durian itu pun berbuah. Namun pohon duriannya hanya berbuah 3 buah saja, maka si petani masih saja ingin menunaikan hajatnya untuk memberikan semua buahnya kepada   Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari. Kendati demikian maksud hati ingin berjumpa dengan Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari ternyata tidak kesampaian kerena banyaknya kesibukan si petani tersebut. Dia pun kemudian menitipkan 3 buah durian tersebut kepada seseorang tetangganya yang kebetulan mau bersilaturahmi kepada  Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari.

Ditengah perjalan orang yang di amanahi buah tersebut rupanya tidak tahan menahan keinginan untuk mencicipi buah durian tersebut, Akhirnya orang itupun memakan satu buah durian yang diamanahkan. Agar aksinya tidak ketahuan, ketika sampai di Martapura ia pun membeli satu buah durian untuk mengganti buah yang diamakannya. Sesampai dirumah Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari orang tersebut menitipkan buah yang diamanahkan oleh si petani, yakni 3 buah durian yang satunya telah di ganti olehnya, Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari pun menyambut baik tamu tersebut dan mengambil hadiah titipan dari petani, Uniknya Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari hanya mengambil 2 buah durian, dan1 buah dibelah dan disuguhkan kepada tamunya tadi. Ketika beliau menyugukan itulah Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari berkata "Bagaimana rasanya dengan durian yang kamu belah dan kamu makan dalam perjalanan tadi,,,?" manis mana dengan yang ini..?"

saat itulah sang tamu menyadari bahwa orang yang ditemuinya bukan orang sembarangan. Bahwasanya beliau adalah orang yang kasyaf dan diberi keistimwewaan oleh Allah SWT. Walaupun dirinya memakan dan mengganti durian itu menjadi 3 biji namun  Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari mengetahuinya,...Subhanallah..

Wafatnya Tuan Guru Zainal Ilmi Albanjari 
           
Menjelang Wafat nya Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari masih menyempatkan waktu berdakwah, sebagaimana diceritakan, pada waktu itu beliau ada jadwal mengisi ceramah di Karang Intan, padahal Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari sudah tau kewafatannya kian dekat. Sebab beliau menyuruh seseorang untuk datang kepada mertuanya, mengabarkan kepada istrinya yang telah menginap disana agar segera pulang kerumah. Dengan pesan singkat dari  Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari : lakasi bulik kena kada sampat. Selain itu pula sebelum berangkat ke Karang Inatan untuk berdakwah, beliau berkata kepada orang yang ada diwaktu sekitar itu "nanti banyak orang. Tak lama setelah itu beliau berangkat ke Karang intan sampai acara tersebut pun selesai. Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari mendadak sakit dan berunjung wafatnya ditempat dakwahnya, Karang Intan, pada hari Jum'at pada Tanggal 13 Djulqo'dah 1375 H bertepatan dengan 21 Juni 1956 pada pukul 12 siang.. Subhanallah...
               
Ketika wafatnya Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari tersebut musim kemarau, tanah dan sungai kering, sehingga untuk dimakamkan di desa Kalampayan disamping orang tuanya mendapatkan kendala, sebab untuk ke Kalampayan pada saat itu harus menggunakan jalur sungai sedangkan sungai sebagai sarana transportasi itu idak bisa digunakan kerena kekeringan yang melanda, Dengan demikian muncullah inisiatif untuk memakamkan Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari ditempat lain, seperti di Desa Dalam Pagar, adapun juga ingin dimakamkan ditaman makam Pahlawan Bumi kencana oleh inisiatif ABRI, sebab dianggap sesepuh angkatan bersenjata. Semua usulan tersebut disambut oleh ahli waris, namun ahli waris tetap menginginkan jasad beliau dimakamkan dengan datuknya Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Kendati dengan hal yang mendekati tidak mungkin pada saat itu. Allah SWT berkehedak lain, tak disangka dan tak diduga Jum'at malam hujan turun dengan derasnya sehingga sungai yang mulanya kering menjadi berair hingga bisa dilewati perahu yang membawa jenasah dan rombongan sanak keluarga yang mengiri jenazah   Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari. Dan pada hari Sabtu 14 Djulqo'dah 1375 H dengan suasana yang penuh Hikmat jasad beliau dikebumikan disamping makam orang tuanya Tuan Guru H. Abdu Shamad di Kalampayan berdekatan dengan Datuknya Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah  Al-Banjari.

 Akhiru kalam .... itulah sepenggal kisah dari Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari yang kita cintai semoga Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari ditinggikan derajat beliau dan diterima segala Amal kebajikan beliau semasa hidup. Dan Akhirnya ulun dari penulis Muhammad Rasyidi yang fakir dan haus akan rahmat Allah SWT memohon ampun dan maaf apabila didalam penulisan terdapat kata kata yang salah atau janggal mohon dimaafkan. Dan tak lupa pula kita haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Sayyidina Muhammad yang atas beliaulah kita dapat memeluk agama islam yang membawa kita kejalan yang benar. Wassalam ..
 
Sumber :  http://rindurasul2.blogspot.com/

Sebuah Pesan Rahasia


Saya menemukan sebuah tulisan yg menarik dan perlu diperhatikan oleh NAA ataupun yg
lainnya. Yaitu : Sebuah Rahasia

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim ... Allaahumma Sholli Wa Salim Wa Baarik ‘Ala Sayyidina Wa Nabiyyina Wa Jaddina Muhammadin Thibbil Quluub Wa Dawaa-iha Wa Syifaa-iha, Wa Nurril Anwaar Wa Sirriil Asrar Wa ‘Ala Aalihi Wa Shohbihi Ajma’in.

Kami adalah keturunan dari nya SAW, kami memegang kunci kunci rahasia dari nya saw kami anak anak dan cucu nya saw, kami memiliki nur nya saw, darah kami adalah darah nya saw, tiap gerakan kami diperhatikan nya Saw, tangisan kami bersambut pelukannya saw, kebahagiaan kami adalah bagian dari risalahnya saw, kami adalah salah satu dari kekuatan agama ini, agama sempurna yang selalu menghadapi hasil kedengkian orang orang pendengki, dan musuh bagi orang orang yang menghendaki kehancuran di muka bumi, sejak awal permulaan, hingga hari kiamat. 

Para wali-Nya, sebagian ada yang masyhur atau diketahui orang lain tentang kewaliannya, dan sebagian dari wali-Nya yang lain adalah mastur atau tidak diketahui orang lain tentang kewaliannya, begitu pula dengan kami, para keturunan nya saw. Sebagian dari kami diketahui manusia, dan disambut dengan ciuman umat, mulai dari pecinta nya saw hingga para penjilat munafik yang menginginkan hal hal tersembunyi dibaliknya. 

Semua orang yang mengetahui hal ini kemudian memberi gelar mereka dengan sayid atau habib atau syarif atau segala sebutan kemuliaan untuk mereka karena hubungan pertalian nasab mereka dengan sang kekasih utama saw. Hanya saja, sebagian dari umat, dan bahkan dari kalangan masyhur ini tidak mengetahui keberadaan, maupun keadaan kami, keturunan mastur nya saw. 

Sebagian dari kami penyapu jalanan, sebagian dari kami membasuh piring piring umat di rumah mereka, sebagian dari kami adalah sopir, sebagian dari kami adalah pejuang pejuang tersembunyi yang tidak dikenal, sebagian dari kami tinggal di hutan, digunung gunung, di jalan jalan, dan sebagian kami tinggal di istana, maupun gedung gedung. Akan tetapi kami mengetahui siapa kami, dan siapa saudara saudara masyhur kami. Keinginan kami sama dengan mereka, membawa agama ini kepada kejayaan yang telah dijanjikan. Tidak ada rasa iri dalam hati kami kepada mereka yang masyhur, kami membantu mereka, mendukung mereka dengan jiwa dan raga kami, semampu kami. 

Tidak ada dari kami yang menyuarakan tentang eksistensi diri kami kepada khalayak umat atau harapan kemasyhuran dengan memegang nasab keturunannya saw karena kami dikehendakiNya menjadi mastur, terhindar dari hiruk pikuk kemuliaan silsilah. Selama ratusan tahun, kami bergerak tanpa diketahui bahwa kami adalah keturunannya saw, dan kami menjaga diri kami, dan diri yang masyhur. Kami turut memegang segala aib dan kesalahan kalian yang dengan bangga mengatakan keturunannya saw, dan tanpa tau konsekwensi dari pernyataan itu.

Sebagaimana manusia, kita semua memiliki kesalahan, kekhilafan, dan kelupaan. Hanya saja umat hanya mengetahui bahwa kalian adalah keturunan nya saw, dan setiap tingkah kalian yang tidak sesuai dengan tuntunan nya saw, tidak lain mereka menyalahkan nasab kalian dengan mengatakan, “keturunan Rasul kok kaya gitu dan segala perkataan dan pernyataan yang menyalahkan kalian karena kalian diketahui sebagai keturunannya saw. 

Selama ratusan tahun, kalangan masyhur yang amat sangat taat dan memegang teguh legasi kenabian saw, mengetahui keberadaan kami, mengetahui keadaan kami, mencintai kami, dan kami pun mencintai mereka, dan beberapa dari mereka menyebutkan kami di kitab mereka, dan beberapa dari mereka menjelaskan tentang kami kepada anak cucu mereka. Hanya saja, saat ini, sebagian dari kalangan masyhur muda, kalangan masyhur akhir zaman, kalian yang bahkan belum mengetahui bagaimana kerasnya hidup mempertahankan umat agar tidak tercerai berai hanya terfokus kepada urusan silsilah di robithah, perkumpulan kalangan masyhur yang menuliskan rantai emas silsilah yang berisikan tidak sampai seperempat dari jumlah kita yang sesungguhnya. Sebagian dari kami sudah merasakan dipukuli, dihajar, seperti layaknya penjahat, karena dianggap mengaku keturunannya Saw tanpa memiliki bukti tertulis berupa buku maupun kartu, dan tidak tertulis di perpustakaan silsilah keluaran kalangan masyhur. Tentu saja kami tidak memilikinya, apa yang kalian ingin kan ? kami mastur, kami tersembunyi, kami berbaur dengan umat, sebagian dari kami bahkan mengelap sepatu kalian di rumah kalian sendiri, dan kami tidak mengaku, sebenar benar kami, tidak akan mengaku, hanya saja Dia yang menunjuk kepada salah satu umat untuk menyaksikan nur kami, siapa kami, dan kemudian Dia pula yang membuka nya kepada yang lain, dan kemudian kalian mendatangi pintu pintu rumah kami, menatap kami seperti kami makhluk najis, kalian abaikan hati dan nurani kalian bahwa kalian melihat nur kami, kalian abaikan hati dan nurani kalian bahwa kami saudara kalian, dan kemudian kalian permalukan kami dihadapan keluarga kami, tetangga kami, kawan kawan kami. Amat banyak perlakuan kalian, diskriminasi, pengasingan, sampai penghujatan dan pemukulan terhadap kami dikarenakan ketidak pahaman kalian terhadap kami. Selama ratusan tahun, kami telah menjalani hidup kami dengan menjadi penutup aib kalian. Tidak terhitung lagi keluhan umat saat ini terhadap kelakuan kalian, tapi kami selalu menutup nya.

Selama ratusan tahun, darah kami tidak diketahui, ada dari kami yang menjadi pimpinan dikalangan manusia, dari Afrika, Inggris, Jerman, Perancis, sampai Indonesia. Sebagian kami yang benar benar terlena dengan harta dan kekuasaan menjadi murtad, iya, banyak dari kami yang memiliki orang tua yang bukan dari agama ini, raja raja Kristen, Katolik yang diagungkan di dunia barat, sampai raja raja Budha, Hindu di dunia timur, banyak dari mereka yang memiliki darah darinya saw, dan beberapa dari kami menjadi mualaf setelah mengetahui bahwa kami adalah keturunan dari nya saw, dan menyadari tugas yang harus diemban berikutnya. Dan ya, kami pun mengetahui dari kalangan masyhur pun beberapa memiliki kakek ataupun buyut yang bukan dari islam. Tapi bagaimana pun, tanpa mereka, kalian tidak akan ada di dunia ini. Kami sudah cukup lelah menghadapi kelakuan kalian yang semakin jauh dari yang seharusnya. Mulai dari yang muda yang ingin hura hura, sampai yang tua yang memanfaatkan kemasyhuran nya untuk mendapatkan harta yang tidak berarti demi kehidupan dunia dengan cara cara yang sangat kami sesali. 

Saudaraku, kami ada, kami disisi kalian, selama ratusan tahun, buyut buyut kami turut mendukung kalian dengan cara yang tidak akan pernah dimengerti kalangan masyhur seperti kalian. Tiap cabang ilmu yang kalian ketahui dan pelajari tidak akan membuka tentang siapa kami, hanya ilmu yang datang dari sisi Nya lah yang akan membuka mata hati kalian tentang kami. Karena kami mastur, kami tersembunyi di kalangan umat, dan sebagian kami adalah tetangga kalian yang kadang kalian sebut dengan sebutan yang seharusnya bukan merendahkan, hanya saja cara kalian tersenyum mencibir menyebutnya lah menjadikan hati kami tersakiti. Ya, kami tau siapa kami, kalangan datuk datuk kalian sendiri yang masyhur dengan kewaliannya, mendatangi kami dalam tidur tidur kami, dan menjelaskan segala sesuatunya. Kami memliki tulisan tulisan datuk kami yang dipegang secara turun temurun untuk membantu kami, membimbing kami, untuk menemukan siapa dari kalangan masyhur yang harus kami jaga, kami tutup aibnya, dan kami dukung perjuangannya. Sudah banyak keluhan dari kalangan kami sendiri atas perlakuan kalian yang makin jauh dari harapan dan doa datuk datuk kalian, kami lelah. 

Dulu, datuk datuk kami mengisahkan tentang bersatu nya kalangan masyhur dan mastur untuk mempersatukan umat, dan masing masing memiliki tugas yang harus dikerjakan, kalangan masyhur pun menjaga pertalian nasab dengan menikahkan anak anak mereka dengan kalangan mastur, wanita, laki laki, agar menjaga persaudaraan dengan kami. Dan sekarang, kalangan masyhur menjadi sangat eksklusif, dan dengan mudah menyatakan kami tidak sekufu’ atau tidak sepadan dengan kalian, dan akhirnya menjadikan kalian semakin jauh dari kami. Kami saudara kalian, apa yang ada dalam darah kalian juga mengalir dalam darah kami, cobalah untuk istikharah dan minta lah petunjukNya, maka kalian akan mengetahui dengan jelas siapa kami, bagaimana berat beban yang kami pikul. Jika kalian merasa berat beban menghadapi umat, maka kami merasakan beratnya beban kami menghadapi umat, dan kalian. 

Kalian tidak sendiri di muka bumi ini, kalian selalu bersama kami, dan datuk datuk kami pun sangat menyadari pentingnya keberadaan kami secara tersembunyi ini dan tidak pernah mengharapkan pengakuan kalian terhadap kami. Namun perlakuan kalian kepada kami, saudara saudara kami, keluarga kami yang tidak lain adalah saudara dan keluarga kalian juga, benar benar menyakitkan kami lahir dan batin. Semakin pergantian jaman, sebagian kalian semakin eksklusif, dan rasis, kalian mengagungkan silsilah kalian yang jelas dan tertulis itu dengan ekstrim, dan menghadapi umat dengan wajah ulama, padahal kami mengetahui apa apa yang kalian lakukan dibelakang, karena kami selalu bersama kalian. Tangisan kami atas doa doa kepada kalian selalu diperhatikan Nya, sebagian besar dari kami bertemu dengan kakek kita yang termulia Saw, kami selalu bersama kalian, membaur dengan umat, membantu kalian, dan menutup aib aib kalian. Tolonglah kami, bukan dengan harta ataupun ketenaran, tolonglah kami, ringankan beban kami, jadilah diri kalian dengan kembali kepada kesucian yang diinginkan Nya, dan diinginkan kakek kita saw.

Selama ratusan tahun, dua kubu saudara, masyhur dan mastur, selalu ada di muka bumi ini, berjalan dengan tugas masing masing, dan entah kenapa sekarang beban itu amat sangat terasa berat di pundak kami. Kalangan sufi yang lurus amat banyak membantu kami, karena mereka adalah salah satu mercusuar cahaya Nya di muka bumi, mereka melihat dengan hati, mendengar dengan hati, merasakan dengan hati, dan mereka mengetahui bagaimana berat yang kami rasakan, mereka biasanya menemani kami dibelakang ataupun ditengah deretan umat yang duduk di majlis majlis kalian. Sadarilah, bahwa ilmu yang kita miliki ini hanya sedikit, dengan begitu hati kita akan dibimbing untuk mendapat ilmu yang tidak terdapat di buku ataupun kitab tertulis, dan sadarilah, kesombongan itu amat sangat halus dan tidak terasa, hanya saja, saat kehancuran itu tiba, barulah kita sadar bahwa selama ini kita hidup dalam kesombongan. Banyak dari kami pun mendapati beberapa dari kalian memandang rendah ulama ulama dari kalangan selain keturunannya saw, padahal apa yang mereka sampaikan benar benar berasal dari nya saw juga. 

Kita bukan lah orang yang mulia, hanya saja kakek kita lah saw yang mulia, dan kemudian Dia memuliakan kita karena darahnya saw terdapat dalam diri kita, dan Dia pula yang melukiskan wajah wajah kita. Banyak dari kami berwajah arab, asia, eropa, melayu, dan banyak pula dari kami yang berkulit hitam, hanya saja darah kami sama dengan kalian, jadi jangan lah kalian merendahkan orang yang tidak berwajah arab, bernama arab, atau menggunakan pakaian arab. Banyak dari kami menggunakan pakaian kehinaan, mengais sampah didepan rumah kalian, banyak juga dari kami yang menggunakan jas, menandatangani proyek proyek kalian, dan banyak juga dari kami yang mengantar anak anak kalian sekolah dengan becak yang kami kayuh. Lihatlah kami dengan hatimu, dan kalian akan mendapati cahaya kakek kita Saw pada diri kami. Tolonglah kami saudara kami yang kami cintai, kalianlah yang dilihat umat, bukan kami, kalianlah yang muncul didepan umat dengan imamah dan gamis, kalian pula yang berteriak dalam khutbah kalian untuk dakwah kepada umat, kami mengamati dan kami pula lah yang maju dibarisan paling depan untuk memimpin umat melakukan apa yang kalian teriakkan, dan kemudian kami pula lah yang harus berurusan dengan keluhan keluhan perlakuan kalian terhadap umat. 

Beberapa dari kami menyerah, karena kami hanya manusia biasa seperti kalian, dan dari yang menyerah itu, meninggalkan urusan dan tugas ini, dan bahkan tidak lagi menjelaskan siapa dirinya kepada anak anaknya lagi, kami semakin lemah disini, dan kalian semakin menjadi jadi. Dan tidak mungkin kami menuliskan ini, kecuali telah seizinNya, untuk mengingatkan kalian, karena kami benar benar telah tertindas dan terzhalimi dari ulah kalian, tidak semuanya tentu saja, beberapa dari kalian yang mengetahui hal ini, amat sangat baik kepada kami, dan bahkan mengatakan seandainya aku masih muda, dan dengan izin kalian, diriku sendiri, dan aku akan perintahkan anak anak ku untuk mengabdi kepada kalian, tapi tentu saja bukan itu yang kami inginkan. Kami tersembunyi, kami mengabdi, dan kami punya tugas yang tidak bisa kalian para masyhur lakukan. Dan kami tidak akan berhenti, dengan izinNya, kami akan selalu ada, dan selalu mengerjakan tugas kami, dengan izinNya pula kami menyebar dan membaur dengan umat selama ratusan tahun, turun temurun dan hanya mengharap kepada cintaNya dan cinta kakek kita saw.

Untuk saudara saudaraku yang mastur, yang tersembunyi dalam balutan kaus dan celana jeans, dalam jas, dalam sarung, ataupun kain bekas yang tidak layak untuk dipakai budak sekalipun, maupun yang telah menyadari tugas dan kewajibannya sebagai keturunannya saw, kami akan menemukan kalian dimanapun kalian berada, tenangkan hatimu, hapuskan semua tangisanmu, Dia mengetahui, Dia melihatmu, pun kakek kita saw juga selalu bersama kita, kalian tidak sendiri di muka bumi ini, pejamkan matamu, tenangkan dirimu, insyaAllah dengan izinNya, kami akan menemukan kalian dan menjelaskan risalah ke-mastur-an ini kepada kalian, risalah yang telah turun temurun selama ratusan tahun dijaga dan dijalankan dengan sangat baik, insyaAllah. Tersenyumlah saudaraku, Dia selalu bersama orang orang yang hatinya hancur karenaNya, ketersembunyian kita di dunia ini, akan menjadi kemasyhuran yang luarbiasa di hari kiamat nanti, sambutanNya, sambutan kakek kita saw, sambutan para malaikatNya lah yang kita tunggu. Jaga dirimu, jaga keluargamu, insyaAllah Dia akan membimbing kita semua. Yaa Rabb, sholli wa salim wa baarik ‘ala sayidina wa nabiyyuna wa jadduna Muhammad tibbil quluub wa dawaa-iha wasyifaa-iha, nuuril anwar wa sirril asrar wa ‘ala aalihi masyhuuran wa mastuuraan wa ‘ala ashaabihi ajma’in.

Wallahu A'lam.

Dzikrul Jalaalah


Dzikrul Jalaalah adalah satu doa yang biasa diamalkan oleh para ulama kita. ini merupakan amalan zikir dengan menyebut lafaz tahlil yang diikuti dengan permohonan untuk keamanan dari hilangnya keimanan dan keamanan dari fitnah godaan syaithan yang terkutuk. Dan ini diakhiri dengan memohon keampunan dan rahmat Allah s.w.t. Almarhum Buya al-Maliki rahimahUllah dalam "Khulaashatu Syawaariqil Anwaari min ad`iyatis Saadatil Akhyaar" menganjurkan agar dzikir ini dibaca setelah membaca asma-ul husna. Akan tetapi bisa saja dzikir dan doa ini dibaca tanpa didahului dengan asma-ul husna sebagaimana diamalkan oleh para ulama. Dzikir ini bisa diamalkan kapan saja, sebaiknya dengan dawam. Mudah-mudahan bisa terkabul dan terpelihara dari hilangnya iman tatkala menghembuskan nafas kita yang terakhir.... Allahumma aamiin.

Tiada tuhan selain Allah,yang wujud sepanjang zaman


Tiada tuhan selain Allah yang disembah setiap tempat


Tiada tuhan selain Allah yang disebut setiap lidah


Tiada tuhan selain Allah yang dikenali dengan keihsanan


Tiada tuhan selain Allah yang setiap masa sentiasa mentadbir 'alam


Tiada tuhan selain Allah.

(Kami mohon) keamanan, keamanan dari kehilangan iman dan dari fitnah godaan syaithan. Wahai Tuhan yang sifat keihsananNya kekal abadi, telah banyak keihsananMu terhadap kami, keihsananMu yang berkekalan. Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Wahai Tuhan yang Maha Penganugerah, Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Wahai Tuhan yang Maha Pemurah, Wahai Tuhan yang Maha Pengampun, Wahai Tuhan yang Maha Pemaaf, ampunkanlah kami dan rahmatkanlah kami, Engkaulah sebaik-baik Pengasih

Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy

 
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan.

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.


Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”


Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.


Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.


Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.


Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.


Cinta Ilahiah


Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.


Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.


Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.


Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”


Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”


Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.


Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”


Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.


Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”


Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.


“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.


Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”


“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.


Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.


Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.


Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”


Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”


Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Dialog Spiritual Haji


Dialog ini terjadi antara Imam Ali Zainal Abidin  dengan Asy-Syibli. Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dan terkenal hingga sekarang, khususnya di kalangan para sufi. Imam Ali Zainal Abidin  adalah putera Al-Husein cucu Rasulullah saw. Dialog ini saya terjemahkan dari kitab Al-Mustadrak. Berikut ini dialognya:

Saat pulang ke Madinah usai menunaikan ibadah haji, Asy-Syibli datang kepada gurunya Ali Zainal Abidin  untuk menyampaikan pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog antara seorang guru dengan muridnya.

Ali Zainal Abidin : Wahai Syibli, Anda sudah menunaikan ibadah haji?

Asy-Syibli: Ya, sudah yabna Rasulillah (wahai putra Rasulillah)

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah berhenti miqat, kemudian menanggalkan semua pakaian terjahit yang dilarang bagi orang yang menunaikan ibadah haji, kemudian Anda mandi sunnah untuk memakai baju ihram?

Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Apakah ketika berhenti di miqat Anda menguatkan niat, dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat Anda menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah Anda sudah menghilangkan perasaan riya’, munafik, dan semua subhat (yang diragukan hukumnya).

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mandi sunnah dan membersihkan diri sebelum memakai pakaian ihram, apakah Anda juga berniat membersihkan diri dari segala macam noda-noda dosa?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum berhenti miqat, belum menanggalkan pakaian yang yang terjahit, dan belum mandi membersihkan diri.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mandi, berihram dan mengucapkan niat untuk memasuki ibadah haji, apakah Anda sudah menguatkan niat dan tekad hendak membersihkan diri dan mensusikannya dengan pancaran cahaya taubat dengan niat yang tulus karena Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Apakah pada saat memakai baju ihram Anda berniat untuk menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Apakah ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji, Anda telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri dengan Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri Anda dalam menunaikan ibadah haji.

Ali Zainal Abidin : Bukankah Anda telah memasuki miqat, shalat ihram dua rakaat, kemudian mengucapkan talbiyah?

Asy-Syibli: Ya, semua itu sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika memasuki miqat apakah Anda berniat akan melakukan ziarah untuk mencari ridha Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat melaksanakan shalat ihram dua rakaat, apakah Anda berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tekad akan memperbanyak shalat sunnah yang sangat tinggi nilainya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memasuki miqat, belum mengucapkan talbiyah, dan belum menunaikan shalat ihram dua rakaat.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda telah memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah dan melakukan shalat disana?

Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Pada saat memasuki Masjidil Haram, apakah Anda bertekad untuk mengharamkan diri Anda dari mengunjing orang-orang islam?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika sampai di kota Mekkah, apakah Anda menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah-lah tujuan hidup?

Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memasuki Masjidil Haram, belum memandang Ka’bah, dan belum melakukan shalat di dekat Ka’bah.

Asy-Syibli:

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah melakukan thawaf, dan sudah menyentuh sudut-sudut Ka’bah?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukan thawaf.

Ali Zainal Abidin : Ketika thawaf, apakah Anda berniat untuk lari menuju ridha Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum melakukan thawaf, dan belum menyentuh sudut-sudut Ka’bah.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah berjabatan tangan dengan hajar Aswad, dan melakukan shalat sunnah di dekat Maqam Ibrahim?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Mendengar jawaban Asy-Syibli, Ali Zainal Abidin (ra) menangis dan memandangnya seraya berkata:

“Ya sungguh benar, barangsiapa yang berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, ia telah berjabatan tangan dengan Allah. Karena itu, ingatlah baik-baik wahai manusia, janganlah sekali-kali kalian berbuat sesuatu yang menghinakan martabatmu, jangan menjatuhkan kehormatanmu dengan perbuatan durhaka dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, jangan melakukan apa saja yang diharamkan oleh Allah swt sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang bergelimang dosa.

Ali Zainal Abidin : Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, apakah Anda menguatkan tekad untuk berdiri di jalan kebenaran dan ketaatan kepada Allah swt, dan bertekad untuk meninggalkan semua maksiat?

Asy-Syibli: Tidak, saat itu tekad tersebut belum kusebutkan dalam niatku.

Ali Zainal Abidin : Ketika melakukan shalat dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim, apakah Anda berniat untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim (sa), dalam shalat ibadahnya, dan kegigihannya dalam menentang bisikansetan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim, dan belum melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah memperhatikan sumur air Zamzam dan minum airnya?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Ketika memperhatikan sumur itu, apakah Anda mencurahkan semua perhatian untuk mematuhi semua perintah Allah. Dan apakah saat itu Anda berniat untuk memejamkan mata dari segala kemaksiatan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum memperhatikan sumur air Zamzam dan belum minum air Zamzam.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Apakah saat itu Anda mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah, dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah pergi ke Mina?

Asy-Syibli: Ya, tentu sudah.

Ali Zainal Abidin : Apakah saat itu Anda telah sunggu-sungguh bertekad agar semua manusia aman dari gangguan lidah, hati dan tangan Anda sendiri?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum pergi ke Mina.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda sudah wuquf di padang Arafah? Sudahkah Anda mendaki Jabal Rahmah? Apakah Anda sudah mengunjungi lembah Namirah dan berdoa di di bukit-bukit Shakharat?

Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di Padang Arafah, apakah Anda benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Dan apakah Anda menyadari hakekat ilmu yang dapat mengantarkan diri Anda kepada-Nya? Apakah saat itu Anda menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan suara nurani?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah Anda tulus ikhlas mengharapkan rahmat Allah untuk setiap mukmin, dan mengharapkan bimbingan untuk setiap muslim?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di lembah Namirah apakah Anda punya tekad untuk tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum terlebih dahulu Anda menyuruh diri Anda berbuat baik? Apakah Anda bertekad tidak melarang orang lain berbuat maksiat sebelum Anda mencegah diri Anda dari perbuatan tersebut?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda berada di bukit-bukit itu, apakah Anda benar-benar menyadari bahwa tempat itu merupakan saksi atas segala kepatuhan kepada Allah swt. Dan Tahukah Anda bahwa bukit-bukit itu bersama para malaikat mencatatnya atas perintah Allah Penguasa tujuh langit dan bumi?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu Anda belum berwuquf di Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum mengunjungi lembah Namirah dan belum berdoa di tempat-tempat itu.

Ali Zainal Abidin : Apakah Anda melewati dua bukit Al-Alamain dan menunaikan shalat dua rakaat sebelumnya? Apakah setelah itu Anda melanjutkan perjalanan menuju Muzdalifah, mengambil batu di sana, kemudian berjalan melewati Masy’aril Haram?

Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda melakukan shalat dua rakaat, apakah Anda meniatkan shalat itu sebagai shalat Syukur, shalat untuk menyampaikan rasa terima kasih pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, dengan harapan agar tersingkir dari semua kesulitan dan mendapat kemudahan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika melewati dua bukit itu dengan meluruskan pandangan, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah Anda benar-benar bertekad tidak akan berpaling pada agama lain, tetap teguh dalam agama Islam, agama yang hak yang diridhai oleh Allah swt? Benarkah Anda memperkuat tekad untuk tidak bergeser sedikitpun, baik dalam hati, ucapan, gerakan maupun perbuatan?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika berada di Muzdalifah dan mengambil batu di sana, apakah Anda benar-benar bertekah untuk melempar jauh-jauh segala perbuatan maksiat dari diri Anda, dan berniat untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat Anda melewati Masy’aril Haram, apakah Anda bertekad untuk menjadikan diri Anda sebagai keteladan kesucian agama Islam seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Kalau begitu, Anda belum melewati Al-Alamain, belum melakukan shalat dua rakaat, belum berjalan menuju Muzdalifah, belum mengambil batu di tempat itu, dan belum melewati Masy’aril Haram.

Ali Zainal Abidin : Wahai Syibli, apakah Anda telah sampai di Mina, telah melempar Jumrah, telah mencukur rambut, telah menyembelih binatang kurban, telah menunaikan shalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Mekkah dan melakukan thawaf ifadhah?

Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin : Setelah tiba di Mina, apakah Anda menyadari bahwa Anda telah sampai pada tujuan, dan bahwa Allah telah memenuhi semua hajat Anda?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Pada saat melempar Jumrah, apakah Anda bertekad untuk melempar musuh Anda yang sebenarnya yaitu iblis dan memeranginya dengan cara menyempurnakan ibadah haji yang mulia itu?

Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda mencukur rambut, apakah Anda bertekad untuk mencukur semua kehinaan diri Anda sehingga diri Anda menjadi suci seperti baru lahir perut ibu Anda?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika melakukan shalat di masjid Khaif, apakah Anda benar-benar bertekad untuk tidak merasa takut kepada siapaun kecuali kepada Allah swt dan dosa-dosa yang telah Anda lakukan.

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda menyembelih binatang kurban, apakah Anda bertekad untuk memotong belenggu kerakusan diri Anda dan menghayati kehidupan yang suci dari segala noda dan dosa? Dan apakah Anda juga bertekad untuk mengikuti jejak nabi Ibrahim (sa) yang rela melaksanakan perintah Allah sekalipun harus memotong leher puteranya yang dicintai?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Ketika Anda kembali ke Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah, apakah Anda berniat untuk tidak mengharapkan pemberian dari siapapun kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya?

Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin : Jika demikian, Anda belum mencapai Mina, belum melempar Jumrah, belum mencukur rambut, belum menyembelih kurban, belum melaksanakan manasik, belum melaksanakan shalat di masjid Khaif, belum melakukan thawaf ifadhah, dan belum mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena itu, kembalilah ke Mekkah, sebab Anda sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji.

Mendengar penjelasan Ali Zainal Abidin , Asy-Syibli menangis dan menyesali kekurangannya yang telah dilakukan dalam ibadah haji. Sejak itu ia berusaha keras memperdalam ilmu Islam agar pada tahun berikutnya ia dapat menunaikan ibadah haji secara sempurna. (Al-Mustadrak 10: 166 )

Cinta oleh Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy


Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.”

(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

Saling Mencintai


Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
(Q.s. Al-Maidah: 54).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman:

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).

“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.)

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati