PENJELASAN HADITS TENTANG NIAT

فبتقصيرعلمي و قلة فهمي القي اليكم اول حديث في الاربعين النووية اروي ذالك بالاجازة عن سيدي سلطان العلماء سالم بن عبد الله بن عمر الشاطري عن شيخه العلامة الجليل كامل عبدالله صالح عن السيد العلامة عبدالله بن حامد الصافي عن السيد علي بن محمد البطاح عن السيد داود بن عبد الرحمن حجر عن القاضي محمد بن علي العمراني عن القاضي صفي الدين أحمد بن محمد فاطن عن عماد الدين السيد يحى عن عمر مقبول الاهدل عن عبدالله بن سالم البصري عن محمد بن علاء الدين البابلي عن نور الدين علي بن يحى الزيادي عن الجمال السيد يوسف بن عبدالله الارميوني عن الحافظ ابي الفضل جلال الدين عبدالرحمن السيوطي عن علم الدين صالح بن عمر بن رسلان البلقيني عن والده سراج الدين عمر بن رسلان البلقيني عن أبي الحجاج يوسف بن عبدالرحمن المزني عن الامام القطب محي الدين أبي زكريا يحى بن شرف النووي رحمه الله ورضي عنه : عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Dengan kekurangan ilmuku dan sedikitnya pemahamanku, aku tampilkan untuk kalian hadits pertama di dalam kitab Arba’in Nawawi yang saya riwayatkan dari sayyid Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, dari gurunya sayyid Al-‘Allamah al-Jalil Kamil Abdullah Sholih dari sayyid al-Allamah Abdullah bin Hamid Ash-Shofi dari sayyid Ali bin Muhammad Al-Baththoh, dari sayyid Dawud bin Abdurrahman bin Hjar, dari Qodhi Muhammad bin Ali Al-Imroni, dari Qodhi Shofiyuddin Ahmad bin Muhammad bin Fathin, dari Imaduddin sayyid Yahya bin Umar Maqbul Al-Ahdal, dari Abdullah bin Salim Al-Bashri dari Muhammad bin ‘Alauddin Al-Babili, dari Nuruddin Ali bin Yahya Az-Ziyadi, dari Al-Jamal sayyid Yusuf bin Abdullah Al-Armiyuni, dari Al-Hafidz Abil Fadhl Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, dari Ilmuddin Sholih bin Umar bin Ruslan Al-Balqini dari ayahnya Srirojuddin Umar bin Ruslan Al-Balqini dari Abil Hajjaj Yusuf bin Abdurrahman Al-Muzanni, dari imam Al-Quthub Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi Rahimahullah wa rodhiya ‘anhu :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “ Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niyatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan “.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).
Penjelasan :
Dari sisi Lughoh :
“إنما”: “إن” حرف توكيد ونصب و”ما” كافة ل”إن” عن العمل,
“الأعمال” : مبتدأ مرفوع وعلامة رفعه الضمة الظاهرة,
“بالنيات” جار ومجرور متعلقان بخبر محذوف تقديره كائنة أو مستقرة,
“وإنما”: الواو استئنافية و”إن” حرف توكيد ونصب و”ما” كافة ل”إن” عن العمل,
“لكل” جار ومجرور متعلقان بمحذوف خبر مقدم،
“امرئ” مضاف إليه مجرور بالكسرة الظاهرة،
“ما” اسم موصول بمعنى الذي مبني على السكون في محل رفع مبتدأ مؤخر،
“نوى” فعل ماض مبني على الفتح المقدر منع من ظهوره التعذر، والفاعل ضمير مستتر تقديره هو عائد على الاسم الموصول،
“فمن”: الفاء استئنافية ، “من” اسم شرط مبني على السكون في محل رفع مبتدأ وخبره جملتا فعل الشرط وجوابه
“كانت”: فعل ماض ناقص مبني على الفتح،
“هجرته”: اسم كان مرفوع بالضمة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الضم في محل جر مضاف إليه،
“إلى الله”: جار ومجرور متعلقان بمحذوف خبر كان،
“ورسوله”: الواو حرف عطف، رسول: معطوف على لفظ الجلالة مجرور بالكسرة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الكسر في محل جر مضاف إليه،
“فهجرته”: الفاء واقعة في جواب الشرط، هجرته: مبتدأ مرفوع بالضمة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الضم في محل جر مضاف إليه،
“إلى الله”: جار ومجرور متعلقان بمحذوف خبر كان،
“ورسوله”: الواو حرف عطف، رسول: معطوف على لفظ الجلالة مجرور بالكسرة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الكسر في محل جر مضاف إليه،
“ومن”: الواو استئنافية ،
“من” اسم شرط مبني على السكون في محل رفع مبتدأ وخبره جملتا فعل الشرط وجوابه.
“كانت”: فعل ماض ناقص مبني على الفتح،
“هجرته”: اسم كان مرفوع بالضمة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الضم في محل جر مضاف إليه،
“إلى دنيا”: جار ومجرور متعلقان بمحذوف خبر كان،
“يصيبها”: فعل مضارع مرفوع وعلامة رفعه الضمة الظاهرة، والفاعل ضمير مستتر تقديره هو، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على السكون في محل نصب مفعول به، والجملة الفعلية صفة ل”دنيا”،
“أو امرأة”: أو حرف عطف ، امرأة : معطوف على “دنيا” مجرور بالكسرة الظاهرة،
“ينكحها”: فعل مضارع مرفوع وعلامة رفعه الضمة الظاهرة، والفاعل ضمير مستتر تقديره هو، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على السكون في محل نصب مفعول به، والجملة الفعلية صفة ل”امرأة”،
“فهجرته”: الفاء واقعة في جواب الشرط، هجرته: مبتدأ مرفوع بالضمة الظاهرة، هاء الغيبة ضمير متصل مبني على الضم في محل جر مضاف إليه،
“إلى”: حرف جر، “ما”: اسم موصول بمعنى الذي مبني على السكون في محل جر اسم مجرور،
“هاجر”: فعل ماض مبني على الفتح، الفاعل ضمير مستتر تقديره هو، “إليه”: جار ومجرور متعلقان ب”هاجر”.
Pendapat para ulama :
Imam Syafi’i berkata “ Hadits ini mencangkup sepertiga ilmu “.
Abu Ubaid berkata “ Tidak ada di antara hadits-hadits Nabi Saw yang lebih mencangkup sesuatu, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya selain hadits ini “.
Kenapa bisa dikatakan sepertiga ilmu ? karena sesungguhnya perbuatan seorang hamba adakalanya dari hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, maka niat merupakan salah satu dari tiga bagian tsb dan lebih kuat karena niat terkadang menjadi ibadah yg tersendiri sedangkan selainnya butuh terhadap niat. Oleh karenanya ada hadits yg mengatakan “ Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya “.
Asbabul wurud Hadits :
Ketika Rasul Saw tiba di Madinah untuk hijrah, beliau berkhutbah dengan hadits tersebut, karena beliau mengetahui ada seorang sahabat yang melakukan hijrah untuk menikahi seorang wanita yang bernama Muhajir Ummu Qois, maka Nabi Saw mengingatkannya dan semua sahabatnya akan pentingnya niyat di dalam berhijrah.
Rasulullah Saw menghkhususkan hijrah adalah تنبيها على الكل بالبعض (sebagai peringatan untuk keseluruhan dengan menggunakan kata khusus) atau istilah ushul fiqihnya خاص معموم (khusus namun umum jangkauannya).
Fiqhul Hadits :
Ada banyak faedah dan hikmah yang bisa di ambil dalam hadits tsb, di antaranhya :
- Sesungguhnya tidak ada amalan yang diterima kecuali berdasarkan niyat, misalnya tidak sah melakukan wudhu atau sholat jika tidak di awali dengan niatnya masing-masing.
- Sesungguhnya manusia diberi pahala dan siksa menurut niyatnya, jika niyatnya baik, maka amalnya baik. Jika niyatnya buruk maka amalnya buruk walaupun bentuknya baik.
- Segala perbuatan manusia terdiri dari tiga bagian yaitu; keta’atan, kema’shiatan dan perkara mubah.
Pertama:
Kema’shiatan ; Perbuatan maksyiat tidak bisa dirubah sama sekali dengan niyat baik. Seperti seseorang yang mencuri harta orang lain dengan niat untuk disedahkan ke faqir miskin, maka ini hukumnya tetap dosa dan haram. Atau membangun masjid dengan biaya dari hasil riba atau berangkat haji dengan biaya hasil korupsi, maka ini semua hukumnya haram dan berdosa karena itu perbuatan maksyiat dan tidak bisa dirubah dengan niat baik. Maka apa yg sering kita dengar dari saudara kita yang melakukan perbuatan maksyiat tapi dia berasalan “ Yang penting niatnya baik “, misalnya tidak memakai kerudung dengan niat beradaptasi dengan warga yg ada dilingkungannya yg tdk memakai kerudung, maka ini adalah suatu kesalahan. Atau duduk bersama teman-temannya yang sedang menggunjing orang lain dengan niatan idkhoolus surur (supaya menyenangkan hati teman), walaupun idkholus surur itu merupakan ibadah yg baik maka ia tetap berdosa karena ia telah salah meletakkan niat. Bahkan orang yang seperti ini mendapatkan dua dosa karena niatnya yang baik dengan perbuatan buruk merupakan satu keburukan lainnya. Dan jika ia sudah mengetahui hal ini, maka ia berarti sengaja menentang syare’at dan jika ia tidak mengetahui hal ini, maka ia berdosa sebab ketidaktahuannya. Karena menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setriap oran Islam. Dari sinilah pentingnya belajar ilmu karena segala bentuk kebaikan dan keburukan bisa diketahui dengan syare’at. Maka orang bodoh sudah pasti steiap waktunya condong menuju kesetan dan kehancuran.
Oleh karena itu Sahl At-Tusturi Rh berkata “ Tidak ada maksyiat kpd Allah yg lebih besar daripada kebodohan. Kemudian seseorg bertanya “ Wahai Abu Muhammad, apakah engkau mengetahui sesautu yang lebih berbahaya daripada kebodohan ? beliau menjawab “ Ya ada yaitu bodoh dengan kebodohannya “.
Nabi Saw bersabda “ Orang bodoh tidak ditoleran atas kebodohannya dan tidaklah halal orang bodoh berdiam atas kebodohannya dan tidaklah halal orang alim berdiam atas ilmunya “.
Kedua :
Keta’atan ; segala perbuatan ta’at berkaitan dengan niat di dalam kebsahan dan kelipatan pahalanya. Misalnya ia berbuat ta’at dengan niat karena Allah Swt bukan karena riya (pamer) untuk org lain maka keta’atannya diterima oleh Allah Swt dan sebaliknya jika niat riya maka keta’atannya akan berubah menjadi maksyiat.
Dan jika di dalm satu kebaikan atau keta’atan memungkinkan untuk mendapatkan pahala yang berlipat jika niat baiknya di perbanyak, misalnya duduk di masjid, dari duduk di masjid ini kita bisa memperoleh pahala yg banyak dan berlipat dengan niat :
1. Berkeyakinan masjid adalah rumah Allah, maka org yang masuk ke dalamnya adalah pengunjung atau tamu Allah. Maka dia berniat mengunjungi Allah Swt. Nabi Saw telah menjanjikan org yg niat bertamu ke rumah Allah dalam sabdanya “ Barangsiapa yg duduk di masjid maka ia berarti telah ziarah ke Allah Swt, maka berhak bagi yg diziarahi memuliakan tamunya “.
2. Menunggu sholat, maka duduknya di masjid ditulis sholat oleh Allah Swt.
3. Menghindari anggota tubuh dari perbuatan dosa
4. Memfokuskan pikiran untuk Allah dan bertafakkur tentang nikmat Allah.
5. Untuk berdzikir kpd Allah Swt atau untuk mendngarkan dzikir. Nabi Saw bersabda “ Barangsiapa yang berangkat ke masjid untuk berdzikir kpd Allah Swt atau untuk mendengarkan dzikir, maka ia seperti mujahid di jalan Allah “.
6. Niat mendapat faedah ilmu dgn amar makruf nahi munkar, karena di dalam masjid terkadang ada orang yang salah dalam sholatnya atau ada org yang melakukan kesalahan, maka dia member petunjuk kepdanya maka ia pun mendapat pahala yg berlipat, karena orang yg menunjukkan kebaikan pada orang lain seperti orang yg melakukannya.
7. Niat mencari teman untuk bersaudara kerena Allah
Dan seterusnya…
Ketiga :
Perkara Mubah ; bisa menjadi pahala atau qurbah (kedkatan kpd Allah) dengan niat yang baik atau bisa memperoleh pahala yg berlipat dengan niat baik yang banyak. Misalnya makan, ini adalah hal mubah dan bisa mndpat pahala dgnnya jika diniatkan dengan niat yang baik, misalnya melaksanakan perintah Allah dan supaya kuat dalam beribadah.
Masih banyak lagi yang saya ingin jabarkan berkenaan dengan hadits niat ini, namun saya rasa yg sedikit ini bisa menambah ilmu dan wawasan bagi diri saya pribadi khususnya dan bagi ihkwan fillah di group ini umumnya. Apa bila ada kesalahan di dalam penjelasannya, maka saya mohon dibenarkan. Wallahu a’lam bish showab..
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

RUANG KOSONG PADA ATOM


Untuk diketahui, bagian terbesar dari sebuah atom terdiri dari ruang kosong. Mungkin kita bertanya-tanya dalam hati: “Mengapa mesti ada ruang kosong ini?” Marilah kita merenung sejenak. Secara sederhana, atom terdiri atas sebuah inti yang dikelilingi oleh elektron-elektron. Antara inti dan orbit elektron ini tidak dijumpai partikel atau benda kecil apapun. Jarak mikroskopis (yang padanya tidak dijumpai partikel apapun) ini ternyata sangat besar jika dilihat dari skala atom. Kita dapat memisalkan skala ini sebagaimana berikut: jika sebutir kelereng berdiameter 1 cm mewakili elektron yang terdekat dengan inti atom, maka inti atom tersebut berada pada jarak 1 km dari kelereng ini. Di bawah ini sebuah kutipan yang memberikan gambaran yang lebih jelas kepada kita tentang dimensi ruang kosong pada atom:
Terdapat ruang kosong besar [yang mengisi ruang] antara partikel-partikel dasar [penyusun atom]. 

Jika saya umpamakan proton dari inti atom oksigen sebagai kepala jarum yang tergeletak di atas meja di depan saya, maka elektron yang berputar mengelilinginya akan membuat orbit lingkaran yang melalui negeri Belanda, Jerman dan Spanyol (disini bila mejanya adadi Perancis). Oleh karenanya, jika semua atom yang menyusun tubuh saya saling mendekatkan diri satu sama lain, hingga semua atom ini saling bersentuhan, maka anda tidak akan mampu melihat saya lagi. Anda benar-benar tidak akan pernah dapat melihat saya dengan mata telanjang. [Tubuh] saya akan [menjadi] sekecil partikel debu berukuran seper sekian ribu milimeter.


(Jean Guitton, Dieu et La Science: Vers Le Métaréalisme, Paris: Grasset, 1991, hal. 62)


Sampai di sini, kita telah memahami bahwa terdapat kemiripan antara ruang kosong pada sistem paling kecil seperti atom dengan ruang kosong pada sistem paling besar seperti alam semesta. Ketika kita arahkan penglihatan kita pada bintang-bintang, akan kita lihat ruang hampa sebagaimana ada pada atom. Terdapat ruang hampa berjarak milyaran kilometer di antara berbagai bintang dan di antara galaksi-galaksi. Namun, di kedua macam ruang hampa ini, terdapat sebuah keteraturan yang luar biasa yang sulit dipahami akal manusia.


Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. 
(QS. Al-Mulk, 67:3-4)


Wallaahu a’lam bisowab..
Selamat istirahat berselimut dzikrullah…
Yaa.. Allah.. Ajari aku akan Ilmu-Mu.. Rahmati disetiap Gerakku.. Khusukkan Ibadahku…

Qabilah (Dzuriyyat Rosululloh)



Hasan :

Dialog Rasulullah saw dengan Malaikat saat Isra Mi’raj


Diriwayatkan bahwa dalam peristiwa Mi’raj, terjadi dialog antara Nabi Muhammad saw dengan para Malaikat tentang penciptaan keluarga Rasulullah saw dan kecintaan para Malaikat kepada Rasulullah saw, sebagai berikut :

Nabi saw :
Wahai para malaikat Tuhanku, apakah engkau benar-benar mengenal kami (ahlu bait) ?
Malaikat :
Wahai Nabi Allah, bagaimana kami tidak mengenal kalian (ahlu bait) sedangkan engkau adalah makhluq pertama yang diciptakan Allah saw. Kalian telah dijadikan berupa cahaya yang berasal dari cahaya-Nya, cahaya kemuliaan-Nya, cahaya kebesaran-Nya. Dan dijadikan pula bagimu kedudukan di antara alam malakut dan Arsy-Nya sebelum terciptanya langit dan bumi.

Kemudian dijadikan langit dan bumi dalam enam hari, sesudah itu diangkatnya Arsy sampai langit ke tujuh, maka bersemayam di atas Arsy-Nya dan kalian berada di depan Arsy-Nya dalam keadaan disucikan dan diagungkan, kemudian dijadikan malaikat pertama dari nur yang telah terbagi-bagi. Dan kami adalah bagian dari kalian (ahlu bait) yang selalu bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, maka kami pun selalu bertasbih, bertahmid, bertahlil dan bertakbir dengan tasbih, yahmid, tahlil dan takbir kalian. Maka apa saja yang diturunkan dan ditambahkan oleh Allah kepada kalian, maka kami pasti mengenalnya.

Kemudian Nabi saw mi’raj ke langit ke tujuh dan ketika para malaikat melihat Nabi saw, terdengar suara para malaikat berkata : ‘Maha suci Allah yang benar janjinya’. Kemudian para malaikat menemui nabi dan memberi salam.

Nabi saw :
Wahai para malaikat Tuhanku, saya mendengar kalian berkata : ‘Maha suci Allah yang benar janjinya’, mengapa demikian ?
Malaikat :
Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Allah swt ketika menciptakan cahaya dari cahaya kemuliaan-Nya dan kebesaran dari kebesaran-Nya, dan dijadikan bagimu kedudukan di alam malakut yang merupakan kekuasaan kalian atas kami, cahaya yang meneguhkan hati kami. Oleh sebab itu kami mengadu kepada Allah swt akan cinta kami kepadamu, maka Allah swt menepati janjinya dengan memperlihatkan engkau kepada kami di langit ini. Itulah sebabnya kami berkata demikian.

 Oleh: benmashoor

Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid


Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :


IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.


Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.


Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.


Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.


Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.

Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.


HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.

Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.


Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. 


SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.


Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman. 


Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. 

Oleh: benmashoor

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati