Tarekat Chisytiyyah


Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qodir Jaelani INDIA, negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film yang populer di Indonesia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam tarekat Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin), Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam Agung), Atha’ al Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di Sanjar, India.

Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20 tahun Chisyti hidup bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India.

Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah labih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103: “…Maka ingatlah Allah di waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring,…”

Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini: Murid mesti duduk bersila, dan menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jali (keras) atau khafi (diam).

Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam tarekat Qodiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir) mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sampil mengucapkan illallaah-dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan makna keagungan dan kebesaran Allah swt. Sebagian orang mengucapkan Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada.

Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-paaya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanya-mengucapkan Allaahu ‘alimun, Allaahu bashirun, Allaahu sami’un. Ini disebut nuzul atau tangga turun. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzul. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.

Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta Allah dan keadaan fana (kesementaraan) diri bisa dikembangkan.

Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir menjaga napas sebagai berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha dalam napas yang dihembuskan, dan illallaah dalam napas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang dzakir itu tidur maupun terbangun.

Bahkan zikir di bawah ini sangat efektif untuk mengobati berbagai penyakit: yaitu sang dzakir memukul sisi sebelah dada kiri dengan Ya Ahad (Wahai Yang Mahaesa), pada sisi sebelah kanan dengan Ya Shamad (Wahai zat tempat meminta), dan Ya Witr (Wahai Yang Mahaganjil) pada hati. Para sufi terkemuka berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud bathiniyahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlan sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.

Kontemplasi yang ditetapkan Sufi Chisytiyyah:

1. Kontemplasi atas nama diri Allah; Sang penempuh jalan spiritual pergi ke suatu tempat terpencil dan merenungkan bahwa kata Allah tertulis dengan tinta emas di hatinya bahwa ia tengah membaca dengan penuh gairah dan semangat, dan berada di hadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu sehingga kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri.
2. Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa Allah bersamanya dan melihatnya.
3. Kontemplasi Nashirah; sang penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bagian hitam matanya sama sekali hilang (tidak terlihat), dan yang tinggal hanya bagian putihnya. Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat dirinya. Berbagai perasaan munafik bisa dihilangkan dengan kontemplasi ini serta kedamaian bias diraihnya.
4. Kontemplasi Mahmudah; dengan membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah.
5. Kontemplasi Aku tidak ada, yang ada hanya Allah; dilakukan dengan dia dan merenungkan hanya untuk Allah.
6. Kontemplasi Mi’raj al-Arifin (kenaikan kaum arif). Di sini mesti menyadari bahwa segenap wujud yang bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka yang bersifat material maupun spiritual di dalamnya tidak lain kecuali cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. Seseorang mesti membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap nama dan sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl al-musyahadah).
7. Kontemplasi Pendekatan (Muqarabah), Penyaksian (Musyahadah), Pengawasan (Mu’ayanah); seseorang duduk seperti salat, bersama syekhnya, merenungkan alim, sami’, bashir (Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat). Kemudian mengarahkan pandangannya ke hati, lalu menutupnya. Dan lalu melihat hatinya dengan mata batin dan berpikir bahwa ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian menengadahkan tangannya ke langit dan tetap membuka tangannya. Lalu ia membayangkan bahwa ruhnya telah meninggalkan tubuhnya dan, sambil menembus langit ia menyaksikan Allah secara bertatap-muka.
8. Kontemplasi atas Ayat al-Quran: “Tidakkah engkau lihat Tuhanmu?… (Al-Furqan; 45). Sesudah merenungkan ayat ini, seseorang yang sedang mengalami ekstase (puncak spiritual) mengungkapkan keadaan mentalnya dalam-bait syair:

Engkaulah yang kucari, wahai kekasihku!
Ke manapun kuedarkan pandangan, yang kucari hanya diri-Mu!
Mataku bermaksud mencar-iMu semata,
Doa ungkapkan Diri-Mu kepadaku, siapapun yang kulihat!
Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu,
Jendela mana saja yang kubuka, tujuanku hanya Diri-Mu!
Kematianlah jika aku tak melihat-Mu,
Jauh lebih baik aku memandang-Mu daripada mati!

Kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat al-Quran ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah:

1. …ke mana pun engkau menghadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah,
       (Albaqarah: 115).
2. …Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (Qaf;:16).
3.   Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat
      (Al-Waqi’ah: 85).
4. …Dia bersamamu di mana pun kamu berada… (Al-Hadid: 4).
5.   Dan juga dalam dirimu, apakah tidak kamu perhatikan?
       (Adzdzaariyat:21). Dan lain sebagainya.

Syekh Kalimullah adalah seorang syekh berkedudukan tinggi dalam tarekat Chisytiyyah. Ia adalah khalihah dan murid syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720 M.


www.sufinews.com

Tarekat Syattariyah


Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.

Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.

Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.

Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).

Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.

Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).

Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.

Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.

Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.

Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah

Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.

Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:

1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.

2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.

3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.

4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.

5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.

6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.

7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.

2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.

3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.

4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.

5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.

7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah

Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahladz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:

Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

http://www.sufinews.com/

Thoriqoh Shiddiqiyyah


Faham Shiddiqiyyah adalah faham Tasawuf, yang dimaksud faham tasawuf adalah faham kebersihan jiwa. Orang-orang Shiddiqiyyah adalah orang-orang Tasawuf, orang-orang yang selalu menjaga kebersihan jiwanya.

Jiwa harus dijaga dan dibersihkan dari sifat-sifat yang kotor, tercela, tak terpuji, dan diisi dengan sifat-sifat suci, bersih, terpuji, sebagaimana perintah Rosululloh di dalam Hadits yang berbunyi,

"Takholakuu bi akhlaaqillaah" artinya: "Berakhlaklah kamu semua dengan akhlaqnya Alloh"

Dan jiwa yang suci, bersih, terpuji itu harus dihayati, diresapi sampai menjadi kenyataan di dalam pergaulan sehari-hari, dimasyarakat. Tanpa memiliki jiwa yang suci, bersih dan terpuji, tak mungkin kita bisa dekat, kenal dan taqwa kepada Alloh, biarpun Dzikrulloh kita kerjakan sebanyak-banyaknya, tersebut di dalam al Qur’an:

"Maka diilhamkan kepadanya sifat Fujur dan sifat Taqwa, sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya". (QS: Assyamsi: 8)

Oleh sebab itu mudah-mudahan Alloh selalu melimpahkan Rohmat dan HidayahNya, sehingga kita warga Shiddiqiyyah selalu dapat membersihkan dan menjaga, kebersihan Jiwa kita, serta akhirnya kita bisa dekat, kenal dan Taqwa kepada Alloh SWT (bisa merasakan adanya Alloh, bisa merasakan limpahan rohmat, berkat dan nikmat dari Alloh)

THORIQOH SHIDDIQIYYAH Apa artinya Thoriqoh Shiddiqiyyah itu ?

Thoriqoh berasal dari kata THORIQ artinya JALAN.

Shiddiqiyyah berasal dari kata SHIDDIQ artinya BENAR.

Thoriqoh Shiddiqiyyah artinya Jalan yang Benar, bukan jalan yang salah.

Dan dikatakan Thoriqoh Shiddiqiyyah sebab :

• Silsilahnya melalui Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a.

• Ajarannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi Besar Muhammad SAW.

Tujuan Ajaran Thoriqoh Shiddiqiyyah :

A. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar dekat kepada Alloh yang sebenar-benarnya dekat (melalui praktek Dzikir Jahar Nafi Itsbat)

B. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar kenal kepada Alloh yang sebenar-benarnya kenal (melalui praktek Dzikir Sirri Ismu Dzat) Untuk tercapainya dekat dan kenal kepada Alloh, praktek Dzikir Jahar dan Sirri harus selalu ditingkatkan secara istiqomah.

C. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar menjadi manusia Taqwalloh, taqwa yang sebenar-benarnya Taqwa. Untuk mencapainya ada 3 jalan pokok yang harus dilaluinya (dikerjakan) :

1. Lewat Jalan Ibadah (Sholat)

Tersebut di dalam al-Qur’an:
"Wahai seluruh manusia beribadahlah (Sholatlah) kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, barangkali kamu menjadi taqwa". (QS: Al Baqoroh : 21)

2. Lewat Jalan Puasa

Tersebut dalam al-Qur’an:
"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, barangkali kamu menjadi Taqwa" (QS: Al Baqoroh : 183)

3. Lewat Jalan Dzikir Kalimat Taqwa

Tersebut dalam al-Qur’an:
"Dan tetapkanlah (hubungkanlah) jiwamu dengan kalimah Taqwa"

Untuk mencapai taqwa, Ibadah sholat, Puasa, Dzikir kalimah Taqwa harus selalu ditingkatkan.

(QS: Al Fath : 26)

Apabila Taqwa telah tercapai tanda-tandanya diantaranya sebagaimana tersebut di dalam al-Qur’an :
"Inna akromakum ‘indalloohi atqookum"
"Sesungguhnya karomahmu bagi Alloh itu karena Taqwamu". (QS. Alhujurat:13)
"Sesungguhnya orang-orang yang taqwa itu berada dalam syurga"
( QS. Al Hijr : 45, Adz dzariat :15 )

D. Manusia dididik, dibimbing, dituntun agar menjadi Manusia yang berSyukur kepada Alloh, tersebut di dalam al-Qur’an:
"Dan bersyukurlah kamu kepadaKu (Allah) dan jangan kamu kufur" (QS: Al Baqoroh: 152)
Apabila kita telah menjadi syukur, Alloh akan meridhoinya, tersebut dalam al-Qur’an:
"Dan sesungguhnya kalau kamu bersyukur, meridhoiNya (Alloh) kepada kamu". (QS: Azzumar: 7)

SILSILAH THORIQOH SHIDDIQIYYAH

Dalam kitab "Tanwirul Qulub Fi Mu'amalati 'allamil Ghuyub" karangan Syaih Muhammad Amin Kurdi Al Arbili, pada bab "Faslun Fi Adaabil Murid Ma'a Ikhwanihi" halaman 539 disebutkan demikian:

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya julukannya silsilah itu berbeda-beda, disebabkan perbedaannya kurun waktu, silsilah dari sahabat Abu Bakar Shiddiq R.A sampai kepada syaih Thoifur bin Isa Abi Yazied Al Busthomi dinamakan SHIDDIQIYYAH."

Silsilah Thoriqoh Shiddiqiyyah melalui Sahabat Salman Al Farisi sampai pada Syekh Muhammad Amin Al Kurdi Al Irbil, dari Kitab Tanwirul Qulub.

1. Alloh Ta’ala.
2. Jibril ‘alaihi Salam.
3. Muhammad Rosululloh SAW.
4. Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A.
5. Salman Al Farisi R.A.
6. Qosim Bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A.
7. Imam Ja’far Shodiq Siwa Sayyidina Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq R.A. ( Silsilah ini Dinamakan Thoriqoh Shiddiqiyyah).
8. Syaikh Abi Yasid Thoifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan Al Busthomi.
9. Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja’far Al Khorqoni.
10. Syaikh Abi Ali Al Fadlol bin Muhammad Ath Thusi Al Farmadi.
11. Syaikh Abi Ya’qub Yusuf Al Hamdani. ( Thoriqoh At Thoifuriyyah).
12. Syaikh Abdul Kholiq Al-Ghojduwani Ibnul Imam Abdul Jalil.
13. Syaikh ‘Arif Arriwikari.
14. Syaikh Mahmud Al-Anjari Faghnawi.
15. Syaikh Ali Ar Rumaitani Al Mansyur Bil’Azizaani.
16. Syaikh Muhammad Baabas Samaasi.
17. Syaikh Amir Kullaali Ibnu Sayyid Hamzah, ( Thoriqoh Al Khuwaajikaaniyyah).
18. Syaikh Muhammad Baha’uddin An-Naqsyabandi bin Muhammad bin Muhammad Syarif Al-Husain Al-Ausi Al-Bukhori.
19. Syaikh Muhammad bin ‘Alaaiddin Al Athori.
20. Syaikh Ya’qub Al Jarkhi, ( Dinamakan Thoriqoh An-Naqsyabandiyyah).
21. Syaikh Nashiruddin Ubaidillah Al-Ahror As-Samarqondi bin Mahmud bin Syihabuddin.
22. Syaikh Muhammad Azzaahid.
23. Syaikh Darwis Muhammad As-Samarqondi.
24. Syaikh Muhammad Al-Khowaajaki Al-Amkani As Samarqondi.
25. Asy-Syaikh Muhammad Albaaqi Billah, (Dinamakan Thoriqoh Ahroriyyah).
26. Asy-Syaikh Ahmad Al Faruqi As-Sirhindi.
27. Asy-Syaikh Muhammad Ma’shum.
28. Asy-Syaikh Muhammad Syaifuddien.
29. Asy-Syaikh Muhammad Nurul Badwani.
30. Asy-Syaikh Habibulloh Jaanijanaani Munthohir.
31. Asy-Syaikh Abdillah Addahlawi, ( Thoriqoh Mujaddadiyyah).
32. Asy-Syaikh Kholid Dliyaa’uddien.
33. Asy-Syaikh Utsman Sirojul Millah.
34. Asy-Syaikh Umar Al-Qothbul Irsyad.
35. Asy-Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbil, ( Thoriqoh Kholidiyyah).

Keistimewaan Pengajian Syeikh Fuad al-Maliki

Kita sering dihidangkan dengan pengajian kitab oleh beberapa penceramah atau ustaz-ustaz di masjid-masjid ataupun surau-surau. Namun pengajian kitab yang disampaikan oleh Al-Fadhil Syeikh Mohd Fuad al-Maliki ada kelainannya dan begitu istimewa sekali jika dibanding dengan pengajian yang disampaikan oleh ustaz-ustaz yang lain.Bukanlah coretan saya kali ini untuk membandingkan kehebatan seseorang tetapi apabila saya sering mengikuti pengajian yang disampaikan oleh ulama muda iaitu Syeikh Fuad al-Maliki, membuatkan kita terasa betapa kerdil dan hinanya kita di sisi Allah swt.
Setiap kali sebelum pengajian kitab dimulakan oleh Syeikh Fuad al-Maliki, kita akan dihidangkan, malah turut serta untuk membaca Hizib Selawat, Bacaan Qasidah memuji Rasulullah s.a.w., malah beliau sendiri turut serta dalam majlis selawat yang diadakan. Ini menunjukkan betapa kasih dan cintanya beliau terhadap junjungan Rasulullah s.a.w maka beliau sering menganjurkan jemaah-jemaah yang duduk dalam majlis pengajian beliau untuk memperbanyakkan selawat ke atas Rasulullah s.a.w. Maka tidak hairan jika beliau begitu lantang menentang golongan-golongan yang menyamatarafkan Rasulullah s.a.w dengan manusia lain yang ada di muka bumi ini. Dalam buku bertajuk “Keistimewaan Rasulullah s.a.w” yang ditulis oleh Syeikh Fuad al-Maliki, diceritakan betapa banyaknya keistimewaan Rasulullah s.a.w dengan mukjizat-mukjizat yang jarang-jarang dinukilkan oleh orang lain. Begitu juga dengan buku tulisan Syeikh Fuad bertajuk “Pohon Nabawiyyah”. Beliau menukilkan tentang Nasab Nabi, isteri-isterinya, putera-putri baginda dan segala-gala yang berkaitan lagsung dengan Rasulullah s.a.w.
Sewaktu pengajian di Pusat Tahfiz Al-Jazari, sebelum beliau memulakan pengajian Kitab Dalail Al-Khairat, bacaan Hizib Selawat ke atas junjungan Rasulullah s.a.w. akan berkumandang dengan begitu indah sekali. Begitu juga sebelum beliau memulakan pengajian Kitab Syamail Muhammadiyah dan Tafsir Surah Yassin, bacaan Qasidah memuji Rasulullah s.a.w akan berkumandang dalam majlis tersebut. Kepetahan dan keilmuan yang dimiliki oleh Syeikh Fuad al-Maliki akan membuatkan para pendengar akan terus berada dalam majlis pengajian beliau sehingga ianya berakhir. Syeikh Fuad al-Maliki bukan sekadar membaca hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab yang diajarnya, malah beliau turut menghuraikan maksud sebenar hadis, malah mengaitkannya dengan hadis-hadis yang seumpama dengan hadis-hadis yang yang dibacanya. Sikap tawadduk dan rendah hati yang ditunjukkan oleh beliau membuatkan kita begitu kasih dan semakin gemar mendengar kepetahan ucapan-ucapan yang disampaikannya.
Kesempatan mengikuti pengajian Syeikh Fuad al-Maliki di beberapa tempat telah saya abadikan dalam paparan video Youtube untuk dimanafaatkan oleh pencinta-pencinta ilmu. Insya’allah dengan izin Allah swt, saya akan terus mengikuti pengajian kitab oleh ulama muda ini dan menyebarkannya pula dalam bentuk video di Youtube dan berharap ia dapat dikongsi oleh seluruh umat Islam di mana jua mereka berada. Semoga Allah memberkati segala usaha murni ini daripada hambaNya yang masih lagi belajar dan terus belajar menuntut ilmu daripada insan yang telah dipilih oleh Allah dengan keilmuannya yang tinggi.

(pondok habib)

Terkuaknya ke-wali-an Kyai Hamid Pasuruan dan Kisah salam Kyai Hamid kepada ‘wali gila’ di pasar kendal



Suatu ketika seorang habaib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), di ijazahi sebuah doa oleh Al Ustadzul Imam Al Habr Al Quthb Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist Malang).

Habib Abdulqadir Blf berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa,orang atau bukan.

Suatu saat Datanglah Habib Baqir menemui seorang Wali min Auliya illah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.

Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang soan kepada baliau, meminta doa atau keperluan yang lain,

Setelah membaca doa tersebut kaget Habib Baqir, ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid, Beliau mengatakan, “Ini bukan Mbah Hamid, khodam ini, Mbah Hamid tidak ada disini” kemudian Habib Baqir mencari dimanakah sebetulnya Mbah Hamid,

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau, “Kyai, Kyai jangan begitu, jawab Mbah Hamid: “ada apa Bib..??” kembali Habib Baqir melanjutkan, “kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam, Panjenengan di mana waktu itu?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam.

Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh (maaf, nama habib ini dirahasiakan),

Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau,

“Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan njenengan, njenengan di mana? Kok tidak ada..?” jawab Mbah Hamid, “hehehee.. kesana sebentar”
Habib sepuh tsb semakin penasaran, “Kesana ke mana Kyai??”

Jawab Mbah Hamid, “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Singkat cerita, habib sepuh tsb kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana
“tempat persembunyian” beliau,

setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi, “Di mana Kyai..?”
Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi, seketika itu, kagetlah Habib sepuh, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah, “di mana ini Kyai..?” Tanya Habib Sepuh, “Monggoh njenengan pirsoni piyambek niki teng pundi..?” jawab Mbah Hamid. Subhanalloh..!!!

Ternyata Habib Sepuh tadi di bawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Harom.

Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid, “Kenapa njenengan memakai doa??” Mbah Hamid kemudian menceritakan,

“Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku,
Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin, melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatnya, dengan rupaku”.

Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang di ceritakan kepada keluarganya.


—————————————————————

Lain waktu, ada tamu dari Kendal soan kepada Mbah Hamid, singkat cerita, Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal.

Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya,

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang di anggap gila oleh dirinya,

Tamu tsb bertanya, “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai..??” kemudian Mbah Hamid menjawab, “Beliau adalah Wali Besar yang njaga Kendal, Rohmat Allah turun, Bencana di tangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku”

Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirinyalah “orang gila” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal,

“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu,

Wali tsb memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar,

“Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri,

berkatalah ia, “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”
Tak beberapa lama, wali tersebut berkata,

“Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras,

“Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan”

“Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia”

Kemudian wali tsb membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “LAA ILAAHA ILLALLOH… MUHAMMADUR ROSULULLOH”

Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang di utus Mbah Hamid agar menyampaikan salam, hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang di cap sebagai orang gila oleh masyarakat Kendal itu adalah Wali Besar, tak satupun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang meninggal di pasar adl seorang Wali,

Malah si tamu juga dicap sebagai orang gila karena meyakini si fulan bin fulan sebagai Wali.

Subhanalloh.. begitulah para Wali-Walinya Allah,

saking inginnya ber-asyik-asyikan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya di ganggu oleh orang-orang ahli dunia,

Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing, oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.

Cerita Mbah Hamid yang saya coba tulis hanyalah sedikit dari kisah perjalanan Beliau, semoga kita, keluarga kita, tetangga kita dan orang-orang yang kita kenal senantiasa mendapat keberkahan sebab rasa cinta kita kepada wali-walinya Allah,

Jadi ingat nasihat Maha Guru kami, Al Quthb Habib Abdulqadir bin ahmad Bilfaqih,

“Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya”

Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadhroh dari guru-guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Amin…….. !!!!


Sumber: Syaikhina wa Murobbi Arwakhina KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id
(Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal)

Hizb Mawlanawiyah




SULTHONUL AWLIYA
 AL-QUTB AL-HUJJATUL ISLAM AL-‘ARIF BILLAH AS-SYEKH AKBAR AS-SAYYID MUHAMMAD THALHAH MAULANA AL-KAF

ALFATIHATA BIL QOBUL,  WA TAMA-MI KULLI SU’L, WA MA’MU-LIN WAS SHOLAHIS-SYA’NI, DZO-HIRON WA BA-THINAN, FIDDUNYA WAL A-KHIROH, DA-FI’ATAN LIKULLI SYARRIN, JA-LIBATAN LIKULLI KHOYR, LANA WALIAHBA-BINA WALIWA-LIDINA WA MASYA-YIKHINA FIDDIN MA’AL-LUTFI WAL ‘A-FIYAH, WA ‘ALA NIYYATI ANNALLOHA YUNAWWIR QULU-BANA, WA QOWA-LIBINA, MA’AT-TUQO WAL HUDA WAL ‘A-FAF, WAL MAUTI ‘ALA DI-NIL ISLAMI WAL I-MAN, BILA MIHNATIN WALA-IMTIHAN, TSUMMA ILA RUHI SAYYIDINA SULTHONUL AWLIYA AS-SAYYIDIL QUTB AL-MIFTAHIL SIRRIL ASROR AS-SYEKH ABDUL QODIR AL-JILANI WA SULTHONUL AWLIYA AL-QUTB AL-HUJJATUL ISLAM AL-‘ARIF BILLAH AS-SYEKH AKBAR AS-SAYYID MUHAMMAD THALHAH MAULANA AL-KAF, TSUMMA ILA RUHI QUTBIL ANFAS AS-SYEKH AS-SAYYID MUHAMMAD AL-AYDRUS, TSUMMA ILA RUHI QUTBI IRSYAD AS-SYEKH AS-SAYYID MUHAMMAD YUSUF ALKAF, ANNALLOHA YATAGOSY-SYAHUM BIR-ROHMAH WAL –MAGFIROH, WA YU’LI DAROJA-TIHIM MA’ASH-SHIDDIQIN, WASY-SYUHADA , WASH-SHOLIHIN, WA ILA HADHROTIL HABIBI MUHAMMAD SHOLALLOHU ‘ALAYHI WA SALLAM, ALFATIHAH………………………….

TABAROKALLADZI BIYADIHIL MULKU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR, AL-LADZI KHOLAQOL MAWTA WAL HAYATA LIYABLUWAKUM IYYUKUM AHSANU ‘AMALAA, WAHUWAL ‘AZIZUL GHOFUR, AL-LADZI KHOLAQO SAB’A SAMA-WA-TIN THIBAQOM-MA TARO FI KHOLQIHIR-ROHMANI MIN TAFAWWUT, FARJI’IL BASHORO KARROTAYNI YANQOLIB ILAYKAL BASHORU KHO-SIAW-WAHUWA HASIR, WALAQOD ZAYYANNAS-SAMA AD-DUNYA BIMASHO-BI-HI WAJA’ALNAHA RUJU-MAL-LIS-SYAYA-THIN, WA A’TADNA LAHUM ADZA-BAS-SAIR. (1)

A’UDZUBIKALIMATILLAHIT-TAMMA-TI MIN SYARRI MA-KHOLAQ (3)

ASTAGHFIRULLOHAL 'ADZIM (3)

GHUFRO-NAKA ROBBANA WA ILAYKAL MASHIR (3)


LA ILAHA ILLALLOH WAHDAHULA SYARI-KALAH, LAHULMULKU WALAHUL HAMDU YUHYI WA YUMITU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIR (7)

LA ILAHA ILLALLOH (40)

HUWALLOHUL-LADZI LA ILAHA ILLA HUWA ‘A-LIMUL GHOYBI WASY-SYAHA-DATI HUWAR-ROHMANUR-ROHIM, HUWALLOHUL-LADZI LA-ILAHA ILLA HUWAL-MALIKUL QUDDUSUS-SALA-MUL MU’MINUL MUHAIMINUL ‘AZI-ZUL JABBA-RUL MUTAKABBIR, SUBHANALLOHI ‘AMMA-YUSYRIKUN, HUWALLOHUL KHO-LIQUL BA-RIUL MUSHOWWIRU LAHUL ASMA-UL HUSNA,  YUSAB-BIHU LAHU MA FIS-SAMA-WA-TI WAL ARDHI WAHUWAL ‘AZI-ZUL HAKIM. (1)

BISMILLAHIL-LADZI LA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI-UN FIL ARDHI WALA FIS-SAMA-I WAHUWAS-SAMI’UL ‘ALIM (3)

BISMILLAHIR-ROHMANIR-ROHIM WALA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘ADZIM (3)


BISMILLAH LILLAH WA BILLAH (3)


HASBUNALLO-HU WANI'MAL WAKI-L, NI;MAL MAWLA- WANI'MAN NASHIR (3)

YA LATHIFAN BIKHOLQIHI YA ‘ALIMAN BIKHOLQIHI YA KHOBIRON BIKHOLQIHI, ULTHUFBINA YA LATHIF YA ‘ALIM YA KHOBIR (3)

YA LATHIFAN LAM TAZAL ULTHUFBINA FI MA NAZAL INNAKA LATHIFUN LAM TAZAL ULTHUFBINA WAL MUSLIMIN (3)

YUSAB-BIHULILLAHI MA FIS-SAMAWATI WAL ARDH, WA HUWAL ‘AZI-ZUL HAKIM (3)

SUBHANALLOH ‘AZ-ZALLOH SUBHANALLOH JAL-LALLOH (3)

SUBHANALLOH WABIHAMDIHI SUBHANALLOHIL ‘AZDIM (3)

SUBHANALLOH WAL HAMDULILLAH WA LA ILAHA ILLALLOH WALLOHU AKBAR (3)

SUBHANAKA LA TUHSHI TSANA-AN ‘ALAYKA, ANTA KAMA ATSNAYTA ‘ALA NAFSIK (3)

INNALLOHA WAMALA-IKATAHU YUSHOLLU NA ‘ALAN-NABIY, YA AYYUHAL-LADZI NA A-MANU SHOLLU ‘ALAYHI WASALLIMU TASLIMA, (1)

ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALAYHI WA SALLIM (3)

ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN FIL AWWALIN (3)

WA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN FIL A-KHIRIN (3)

WA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN FI KULLI WAQTIN WAHIN (3)

WA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN FIL MALA-IL A’LA ILA YAUMID-DIN (3)

WA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN HATTA TARITSAL ARDHI WA MAN ‘ALAYHA WA ANTA KHOYRUL WA-RISIN (3)

BISIRRIN-NABI SIRRIL FA-TIHAH ……………….(alfatiha 1x)

(DO’A)

ALLOHUMMA YA MUHAWWILA AHWAL, HAWWIL HALLANA ILA AHSANI HAL,

ALLOHUMMA ANTA AHAQQU MAN DZUKIRO WA AHAQQU MAN ‘UBIDA WA ANSHORU MANIBTUGHIYA WA AR-AFU MAN MALAKA WA AJWADU MAN SU-ILA WA AWSA’U MAN A’THO

AS-ALUKA YA ALLAH BINU-RIKAL KARIM, WA BIQUDROTIKAL ‘ADZIM YA LA ILAHA ILLA ANTA. AS-ALUKA MIN ‘ILMIKA BIHIDA-YATIK, WARZUQNI MIN KHOZA-INATIK YA DZAL JALALI WAL IKROM. BIROHMATIKA YA ARHAMAR-RO-HIMIN.

Kayfiyah :
dibaca setelah sholat shubuh & magrib.

Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi ra.



Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi, adalah salah seorang pemikir tashawuf Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir dari kota kelahirannya, Tirmidzi. Mengungsi ke Nishapur di mana beliau memberikan ceramah-ceramah pada tahun 285 H/898 M.Karya-karya beliau yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi al-Ghazali, sedang teorinya yang menghebohkan mengenai Manusia Suci diambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis yang kreatif banyak di antara karya-karya beliau, termasuk sebuah sketsa. otobiografi masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
PENDIDIKAN DARI HAKIM AT-TIRMIDZI
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu”, sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu itu. Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya:
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku yang bodoh ini! Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna”.
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Ia menegur Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?”
Tirmidzi menceriterakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”, orang tua itu bertanya kepada Tirmidzi.
“Aku bersedia”, jawab Tirmidzi.
“Maka”, Tirmidzi mengisahkan “setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku.
Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Khidir as. dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada ibuku”.
ooo
Setiap hari Minggu (Abu Bakr al-Warraq mengisahkan) Khidir as. mengunjungi Tirmidzi dan kemudian mereka memperbincangkan berbagai persoalan. Pada suatu hari Tirmidzi berkata kepadaku:
“Hari ini engkau hendak kuajak pergi ke suatu tempat”.
”Terserah kepada guru”, jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir itu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah.
Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan mempersilahkan syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Tirmidzi memohon diri dan meninggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi”; ajak Hakim Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi”.
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku Bertanya kepada Syeikh Tirmidzi:
“Apakah artinya semua kejadian tadi? tempat apakah itu dan siapakah orang itu?”
itulah lembah pemukiman Bani IsraiI”, jawab Tirmidzi. Dan orang tadi adalah PauI”.
”Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?”, tanyaku.
“Abu Bakr”, jawab Tirmidzi.
 “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Tirmidzi bertutur: Betapa pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil Di dalam keputusasaan aku berkata: “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus kupelihara lagi?”, Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi meninggalkanku seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa aku berseru:
“Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!” 
Berkat seruanku di dalam keputusasaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang harus kulakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsuku. Selama hayatku, aku bersyukur terhadap saat saat kebebasan itu.
Abu Bakar al-Warraq juga mengisahkan sebagai berikut ini. Pada suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika kuperiksa ternyata buku-buku itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut kusimpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah kulemparkan ke dalam sungai. Tetapi Tirmidzi bertanya kepadaku: “Apakah yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak sesuatu pun”, jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu”, perintah ‘Tirmidzi.
“Ada dua persoalan”, aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa la ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kuselesaikan nanti setelah mencampakkan buku-buku ini ke dalam air?”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Tirmidzi bertanya; “Sudahkah engkau lemparkan buku itu?”.
Aku menyahut: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?”
Tirmidzi menjelaskan: “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dipahami oleh manusia-manusia biasa.
Saudaraku Khidir as. meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya”.
ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya 
si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya:
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. jika engkau menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”.
Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
ooo
“Apabila guru marah kepada kalian, apakah kalian tahu?”, seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi.“Ya, kami tahu”, mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah: “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”.
ooo
Telah berapa lama Tirmidzi tidak pernah bertemu dengan Khidir. Pada suatu hari seorang pembantu yang masih gadis mencuci pakaian bayi dan kotoran-kotoran bayi itu dimasukkannya ke dalam sebuah baskom. Sementara itu Syeikh Tirmidzi dengan mengenakan jubah dan sorban yang bersih berjalan ke masjid. Karena suatu hal yang sepele, tiba-tiba si gadis mengamuk dan isi baskom itu tertumpah ke atas kepala Tirmidzi. Tirmidzi tak berkata apa-apa dan menelan amarahnya. Tidak berapa lama kemudian bertemulah ia dengan Khidir.
ooo
Ketika Tirmidzi masih remaja, ada seorang wanita jelita minta dilamar olehnya, tetapi Tirmidzi menolaknya. Pada suatu hari, setelah mengetahui bahwa Tirmidzi sedang berada di dalam taman, si wanita segera berdandan dan pergi pula ke sana. Tetapi begitu melihat kedatangannya, Syeikh Tirmidzi segera mengambil langkah seribu. Si wanita mengejar dan berteriak-teriak bahwa Tirmidzi telah mencoba hendak membunuhnya. Tirmidzi tidak perduli, di panjatnya sebuah pagar yang tinggi dan melompat ke seberang.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu. Terpikirlah oleh Tirmidzi: “Apakah salahnya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu? Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat bertaubat?”. Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!”, ia berkata, “Empat puluh tahun yang lalu ketika engkau masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir seperti ini. Tetapi di masa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yang engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah dosa?”
Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan Nabi yang berkata kepadanya:
“Muhammad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah terjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kemajuan spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktuku untuk meninggalkan dunia ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
ooo
Kisah berikut ini diduga berasal dari Tirmidzi.
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”.
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa.
“Mengapa engkau sudi menolongnya?}”, Adam mencela Hawa.
Dengan sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian Iblis datang.
“Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi:
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”.
Si Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya.
“Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”.
Mula-mula Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga akhimya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu.
”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya oleh bujukannya”.
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan ayahnya.
Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa.
”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama anak itu Iagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan kata-kataku”.
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah terjadi:
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”.
“IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang.
“Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”.[]
BIBLIOGRAFI
L. Massignon, Essai, haIaman 256-264.
G. Brockelmann, op.cit., Suppl I, halaman 325-327.
As-Sulami, op.cit., halaman 217-220.
Abu Nu’ai.m, op.cit., X, 233 -235.
Al-Qushairi, op.cit., halaman 26.
Hujwiri, op.cit., halaman 141-142,.210-241.
Adz-Dzahabi, 0p.cit., II, 20.
As-Subki, op.cit., II, 20.
Jami, op.cit., halaman 118-119.
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Pendidikan Hakim at-Tirmidzi”: T.A., II, 91-93. Mengenai kunjungan-kunjungan Khidir setiap Minggu lihat karya Hujwiri, halaman 141. Tentang at-Tirmidzi yang membuang buku-bukunya ke sungai Oxus dikisahkan di dalam karya Hujwiri di atas, halaman 142. Mengenai Abu Bakr al-Warraq Iihat karya Hujwiri, halaman 142-143; dan karya as-Sulami, halaman 221 beserta bibliografinya.
”Anekdot-anekdot Mengenai Diri Tirmidzi”: T.A., II, 93-96. Legenda Adam dan Hawa dikisahkan pula di daIam Ilahi-nama, haIaman 102-104 (didalam karya terjemahannya, halaman 172-175).
Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati