Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff: Fitnah Menerpa Umat


Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang.

Pemandangan yang begitu mempesona terhampar ketika kita memasuki kawasan pesantren Darul Habib, yang terletak di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. Penataan bangunan dan tanaman serta tanah-tanah yang berbukit-bukit tampak begitu asri dan segar. Kesan pertama yang muncul, pesantren itu tak ubahnya taman yang indah dan menyenangkan.

“Padahal dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,” tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun pesantren pada tahun 1998.

Dia menceritakan, ketika mengadakan pengajian di daerah Bogor ada seorang jama’ah yang ingin mewakafkan tanahnya untuk bisa dimanfaatkan di jalan Allah. “Beliau itu Haji Ujang. Tanah di sini ini beliau wakafkan. Ketika saya melihat, langsung jatuh hati. Sekarang kita sudah menambah sampai dua hektare, dan insya Allah di seberang jalan ada pula tiga hektare untuk rencana pondok putri. Doakan ya?” ujar Habib Naufal, santun.  

Tak Perlu Ijazah

Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff adalah cucu seorang ulama besar Palembang, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff, yang haulnya diadakan secara besar-besaran pada akhir Jumadil Akhir di Palembang.

Ia, yang lahir di Palembang pada 27 Maret 1964, mendapat pendidikan pertama dari keluarganya dalam dasar-dasar ilmu agama. Ayahnya, Habib Abdullah, adalah seorang pendakwah yang gigih di Kota Empek-empek itu.

Habib Naufal, yang namanya juga sering ditulis “Habib Nopel”, dimasukkan oleh orangtuanya ke Pesantren Ar-Riyadh ketika memasuki usia sekolah dasar. “Di Pesantren Ar-Riyadh saya mendapat didikan dari dai besar dan pendakwah tangguh, Ustadz Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau alumnus Pesantren Darul Hadits, Malang,” ujarnya. 

Salah satu kelebihan Pesantren Ar-Riyadh menurutnya adalah kemampuan berbahasa Arab yang amat ditekankan kepada santrinya. Hal itu juga dijadikannya prioritas di Pesantren Darul Habib yang diasuhnya sekarang. “Semua komunikasi di Pesantren Darul Habib harus berbahasa Arab, kalau ada yang melanggar akan dihukum,” ujarnya tegas.

Pada umur lima belas tahun, dia mendapat beasiswa untuk meneruskan pelajaran ke Makkah di pesantren Habib Muhammad Alwi Al-Maliki.

Dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih dia tidak canggung sampai di Makkah, walau menurutnya perlu juga adaptasi karena masalah dialek.

Yang amat berkesan bagi dia adalah ketika pertama kali berjumpa dengan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki, yang juga sering dipanggil “Buya”. “Waktu itu santri yang paling muda saya, dan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki sempat marah kepada yang mengirim, kenapa yang dikirim anak kecil. Tapi setelah itu dia sangat sayang kepada saya. Saya ditempatkan di kamar istirahatnya, saya jadi khadamnya, jadi waktu itu saya tidak punya kamar,” ujar Habib Naufal mengenang. 

Menurut Habib Naufal, sistem belajar di sana adalah sistem belajar salafiyah, seperti yang juga diterapkannya kepada santri Darul Habib saat ini. “Para pengajar yang membantu Habib Muhammad datang dari berbagai negara. Ada yang dari Mesir, Yaman, Palestina, dan lainnya. Hambatan yang saya alami waktu itu adalah soal cuaca, terutama saat bulan Ramadhan, wah panasnya luar biasa, sampai 50 derjat,” ujar ayah sepuluh anak ini.

Tingkatan belajar di sana hampir sama dengan di Indonesia. Ada ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Evaluasi dan ujian juga ada, tapi tidak resmi dan tidak tercatat. “Buya juga mengeluarkan ijazah tapi hanya berlaku untuk kalangan internal.”

Menurut Habib Muhammad, ijazah atau syahadah tidak perlu, karena sudah cukup syahadah dari Allah SWT. Teman-teman angkatan pertama saja yang mendapat syahadah, setelah itu tidak ada lagi.

“Alhamdulillah yang telah selesai belajar dari sana berhasil berdakwah, mereka menyebar ke seantero penjuru. Ada yang membuka pesantren, ada yang mendirikan majelis ta’lim, ada yang jadi pengajar,” kata Habib Naufal.

Tarbiyatul Akhlaq

Hal yang paling utama didapatkannya di pesantren Buya Muhammad Alwi Al-Maliki adalah tarbiyatul akhlaq, pendidikan akhlaq. “Jiwa kita dididik di sana, sopan santun, rendah hati, merasa diri hina di hadapan Allah SWT dan sesama. Tidak boleh sombong, arogan. Kalau ilmu bisa di mana saja kita tuntut, tapi tidak semua tempat mendidik akhlaq. Nah, saya juga menerapkan hal itu di Pesantren Darul Habib saat ini,” tutur Habib Naufal meyakinkan.

Menurutnya, akhlaq tidak cukup dinasihatkan, tapi harus dengan teladan. Dan Habib Naufal melihat sendiri teladan itu selama sembilan tahun pada diri Buya Muhammad. “Beliau bekerja keras mencontohkannya, beliau sendiri yang bangun tiap malam membangunkan santri untuk shalat malam. Apa pun yang beliau lakukan tidak terlepas dari teladan yang juga beliau contoh dari Rasulullah SAW. Di Pesantren Darul Habib ini, hal itu juga kita terapkan. Santri dengan alasan apa pun tidak boleh keluar kawasan pesantren kecuali yang darurat. Mereka hanya pulang pada saat bulan Ramadhan, dan 10 hari setelahnya setelah itu mereka kembali ke pondok. Kita tidak menerima santri luar atau yang tidak bermukim.

Mereka tidak boleh memiliki HP, shalat jama’ah harus terjaga, shalat malam terus dilakukan,” kata Habib Naufal.

Menurutnya, keberhasilan santri itu ditopang oleh tiga faktor. Yaitu, santri harus rajin, gurunya juga harus rajin, orangtua pun harus rajin. Orangtua juga harus mengontrol anaknya ketika mereka libur di rumah. Semuanya harus bersinergi, akan gagal kalau salah satu pincang.

“Yang diharapkan dari wali murid adalah kontrol dan filter. Perlu memang melihat dunia luar, tapi harus selektif.

Di pondok ini kita buka tayangan khusus dua kali sepekan berisi cerita tarikh, kita bisa belajar sejarahnya, juga bahasa Arab-nya.

Kita bekerja keras membina, menanamkan hal-hal yang utama, kita siapkan bekal sebaik-baiknya, mudah-mudahan mereka mendapat hidayah dan taufik ke depan,” ujar Habib Naufal.

“Setelah dari sini mereka bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang mereka suka. Ada beberapa santri yang telah diterima di Yaman, di Al-Ahkaff, juga di Makkah, tahun ini ada lima orang yang ke Rubath, Tarim, dan juga ke Turki.” 

Sedangkan dengan perguruan tinggi yang didirikan oleh Habib Umar Bin Hafidz, yaitu Jami’ah, salah satu saratnya adalah harus hafal Al-Qur’an dan kitab Riyadhus Shalihin, anak-anak belum siap. Ada yang hafal Al-Qur’an tapi Riyadhus Shalihin belum siap.

Menurutnya, walau di Pesantren Darul Habib tidak diharuskan hafal Al-Qur’an, alhamdulillah sudah ada lima puluh santri yang sudah hafal Al-Qur’an saat ini dari 300 santri. “Dan setiap tahun bertambah. Ada yang hafal 25 juz, 20 juz, tidak kita paksakan,” ujarnya.

Allah Selalu Memberi Rizqi

Setelah menuntut ilmu di Makkah dari tahun 1979, pada tahun 1986 Habib Naufal pulang ke tanah air.
Banyak hal yang dia dapatkan selama tujuh tahun bermukim di Tanah Suci. Menurutnya, jiwanya sudah terdidik bagaimana menghadapi masyarakat, bagaimana menghadapi tantangan.

“Di Tanah Suci Makkah, perlawanan, konfrontasi, terasa sekali terhadap Ahlusunnah wal Jama’ah. Buya orang yang terdepan gigih melawan Wahabi, sampai beliau diuber-uber. Bahkan kita diikuti terus oleh seseorang.

Suatu saat ketika Buya menghadiri Maulid, karena dikuntit terus, orang itu diajak untuk ikut Maulid. Dia jadi malu sendiri.

Memang ada perjanjian untuk tidak boleh mengadakan Maulid, tapi masyarakat di sana suka memperingati Maulid. Wahabi menganggap bahwa mengadakan Maulid itu syirik.

Buya menentang ketika belum ada ulama yang mau terang-terangan menentang,” cerita Habib Naufal.
Setelah pulang dari Makkah, Habib Naufal mengajar di almamaternya, Ar-Riyadh, juga mengajar di Madrasah Darul Muttaqin, Palembang.

Ia juga membuka Madrasah Haramain, jembatan bagi anak-anak untuk masuk pesantren. Belajarnya malam hari. Siang hari mereka belajar di SD. “Alhamdulillah, alumnusnya sudah ada yang pulang dari Hadhramaut,” ujar Habib Naufal berbinar.

Beberapa lama mengajar di Palembang, ia lalu diajak mengajar ke Bekasi oleh Habib Naquib B.S.A. dan Habib Ahmad Fad’aq.

Sebelum menjatuhkan pilihannya itu ia melakukan shalat Istikharah, karena di Palembang ia juga sudah punya tanah dua hektare untuk melanjutkan pembangunan pesantren, tapi dia merasa belum sreg. Setelah shalat Istikharah, dia mendapat jawaban, bermimpi pindah ke Madinah, artinya harus hijrah.
“Saya sowan ke Ustadz Umar bin Ahmad Bin Syech, seorang ulama dan wali di Palembang, beliau menganjurkan shafar, melakukan perjalanan. Maka, bismillah, saya pun berangkat.”

Setelah lima tahun mengajar di Bekasi, kepadanya diwakafkan tanah di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. “Untuk membangun satu bangunan saja waktu itu butuh waktu dua tahun, sebata demi sebata. Lalu tahun 2000 saya pindah ke sini, dan mulai membuka Pesantren Darul Habib,” ujarnya mengenang.

“Sekarang saya fokus di pesantren, karena mengurus mereka ini perlu konsentrasi penuh, perlu kesabaran yang luar biasa, apalagi santri berasal dari seluruh Indonesia dengan latar budaya yang berbeda-beda. Kalau saya berdakwah juga di luar, anak-anak nanti bisa kacau. Sekali atau dua kali sebulan saya pergi ke Jakarta bertemu dengan habaib dan alim ulama, agar ada penyegaran terus.”

Ketika ditanya soal dana untuk menghidupi santri yang berjumlah 300 dan juga guru dan karyawan yang semuanya dalam satu kompleks, Habib Naufal tersenyum dan mengatakan bahwa kalau dihitung secara akal tidak akan bisa, tapi dia merasa bahwa Allah selalu memberi rizqi. “Kalau hanya diharapkan dari bayaran santri, tidak sampai. Bahkan ada juga yang gratis, anak yatim dan dhuafa’. Tapi kami yakin dengan janji Allah,” ujarnya mantap.

Kehilangan Ghirah

Persoalan yang dihadapi oleh umat, menurutnya, banyak yang punya ilmu tapi akhlaqnya masih bermasalah. Makanya pesantren sekarang jadi pilihan, karena persoalan akhlaq itu.

Menurut Habib Naufal, di akhir zaman fitnah dan tantangan itu akan banyak. “Itu sudah lama diisyaratkan, makanya kita perlu membekali anak-anak dengan ilmu yang benar, ilmu yang jelas silsilahnya, mata rantai yang benar, sekarang banyak penyusupan melalui ajaran agama. Juga melalui kitab, makanya dalam hal kitab, kita juga harus bertanya kepada mereka yang berkompeten dalam masalah itu,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tantangan dakwah adalah sunatullah. “Justru tantangan itu adalah alamat keberhasilan dakwah. Tidak ada yang mulus. Ingat sejarah dakwah Rasulullah, yang begitu dahsyat. Kalau dakwah dulu, mereka berkorban sendiri, dengan harta benda sendiri. Kalau sekarang, banyak kemudahan, bahkan berdakwah dapat uang, tapi semoga itu tidak merusak keikhlasan para pendakwah.” 

Ia melanjutkan, “Tantangan dakwah memang berat, tapi memang harus begitu, karena pahala yang dijanjikan juga besar. Bukankah Rasulullah SAW telah memberi contoh dan tidak ada tantangan yang lebih hebat dibanding yang dialami Rasulullah SAW?

Saya tekankan kepada santri-santri saya agar dalam berdakwah tidak memikirkan uang, karena banyak dai yang rusak karena uang. Giat dan terus belajar serta mengajar dengan ikhlas, karena rizqi itu Allah SWT yang menjamin. Dakwah harus karena Allah, nanti pasti Allah akan mengasih.”

Habib Naufal mengingatkan, “Kita harus berhati-hati. Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang. Umat Islam sudah kehilangan ghirahnya. Akibatnya fitnah mudah menerpa umat.”

Di akhir perbincangan, Habib Naufal minta didoakan agar bisa membeli tanah yang akan digarap menjadi sawah untuk memenuhi kebutuhan logistik santri, yang semakin lama semakin banyak. Insya Allah.

Ihsan M Rusli
Sumber : Majalah Al-Kisah

BIOGRAFI RINGKAS AL-FADHIL AL-WALID SHEIKH MUHAMMAD NURUDDIN MARBU ABDULLAH AL-BANJARI AL-MAKKI


Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan Indonesia. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Harus, Amuntai pada tanggal 1 September 1960M. Beliau anak yang ketiga dari tujuh bersaudara, dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Berhijrah ke Tanah Suci Makkah

Beliau mendapat pendidikan awal di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di pondok pesantren Normal Islam. Belum pun sempat menamatkan pengajiannya di pondok tersebut seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah. Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di madrasah Shaulathiah sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.
Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di madrasah Shaulathiah. Di samping itu juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas ‘Aliyah.
Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajaknya untuk menemani Tuanguru beliau ke Madinah menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
[Ketika aku di Bogor untuk menghadiri pengajian bersama Shaikh Nuruddin, beliau kelihatan agak sebak bila menceritakan guru kesayangannya ini. Matanya merah berair …. ya… mengingati guru kesayangannya ini. Beliau juga menunjuk gambar gurunya yang mulia ini kepada aku …..]
Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama’ yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama’ yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama’, Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfenani, as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”. Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanad hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.
Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma’had ‘Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat ‘Ulya” pada tahun 1990

Antara guru-gurunya ketika belajar di Mekah dan Mesir adalah:

* asy-Syaikh al-‘Allamah Hasan al-Masyath رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله,
* asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله,
* asy-Syaikh ‘Abdullah Said al-Lahji رحمه الله,
* asy-Syaikh al ‘Alaamah al-Jalil as-Sayyid ‘Amos رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad ‘Iwadh al-Yamani رحمه الله
* asy-Syaikh Zakaria Bila al-Indonesia رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Syibli al-Banjari رحمه الله
* asy-Syaikh Karim al-Banjari رحمه الله
* asy-Syaikh ‘Abdul Karim al-Bukhari رحمه الله
* asy-‘Adnan al-Afnani رحمه الله
* asy-Syaikh Saifurrahman رحمه الله
* asy-Syaikh Sahili al-Anfanani رحمه الله
* asy-Syaikh Said al-Bakistani رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits al-Kabir Muhammad Zakaria al-Kandahlawi رحمه الله
* asy-Syaikh al-Jalil al-Habib ‘Abdul Qadir as-Saggaf حفظه الله
* asy-Syaikh Muhammad Muntashir al-Katani al-Maghribi رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits al-Habib as-Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah Muhammad Makki al-Hind رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Makhluf رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah ‘Abdullah bin Hamid رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Kabir Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi رحمه الله
* asy-Syaikh al-Imam al-Akbar ‘ali Jadul Haq رحمه الله
* asy-Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim رحمه الله
* al-Ustaz ad-Doktor asy-Syaikh Muhammad Tayyib an-Najjar رحمه الله
* asy-Syaikh al-Jalil ar-Rabbani Muhammad ‘Abdul Wahid رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘allamah al-Kabir Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah al-Faqih ‘atiyyah Saqr رحمه الله
* asy-Syaikh al-‘Allamah Hussin رحمه الله
* asy-Syaikh ‘Abdul Hafidz al-Hind رحمه الله
* al-Ustadz ad-Doktor Ahmad umar Hasyim حفظه الله,
* al-Ustadz ad-Doktor ‘Abdusshobur Syahin
* al-Ustadz ad-Doktor ‘Abdul Fattah asy-Syaikh,
* al-Ustadz ad-Doktor Nashr Farid,
* asy-Syaikh al-‘Arifbillah Yusuf Mahyuddin al-Hasani asy-Syadhuli ad-Darqawi حفظه الله dan ramai lagi. 

MENABUR JASA & MENYANDANG GELAR AZHARUS TSANI

Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat universiti al Azhar sendiri.
Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di masjid Jamik al Path di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama’ muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta’lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke’afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

MENGHASILKAN KARYA ILMIAH

Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu’tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Kitab tulisan beliau:

* الإحاطة بأهم مسئل الحيض والنفاس والاستحاضة
* تساؤلات وشبهات وإباطيل حول معجزة الإسراء والمعراج والرد عليها
* المختار من نوادر العرب وطرائفهم
* آدب المصافحة
* من هو المهدى المنتظر؟
* المجال الإقتصاد في الإسلام
* بيان مفتى جمهورية مصر العربية حول فوائد البنوك في ميزان أهل العلم
* سفر المرأة (احكامه و آدابه)
* الدرر البهية في إيضاح القواعد الفقهية
* معلومات تهمك
* أسماء الكتاب الفقهية لسادتنا الأئمة الشافعية
* أحكام العدة في الإسلام
* آراء العلماء حول قضية نقل الأعضاء
* أدلة بحريم نقل الأعضاء الآدمية
* الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر في الكتاب والسنة
* العبر ببعض معجزات خير البشر صلى الله عليه وسلم
* محمد نور الدين مربو البنجاري المكي والأحاديث المسلسة
* الجوهر الحسن من أحاديث سيدنا عثمان عفان رضي الله عنه
* اسمى المطالب من بعض أحاديث سيدنا على بن أبي طالب رضي الله عنه
* مراقي الصعود من بعض أحاديث سيدنا عبدالله بن مسعود رضي الله عنه
* إفادة العام والخاص من بعض أحاديث سيدنا عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما
* الكواكب الدري من أحاديث سيدنا أبي سعيد الخدري رضي الله عنه
* الكواكب الأغر ببعض أحاديث سيدنا عبدالله بن عمر رضي الله عنهما
* زاد السلك من أحاديث سيدنا أنس بن مالك رضي الله عنه
* الإقتباس من أحاديث سيدنا عبدالله بن عباس رضي الله عنهما
* فيض الباري حول بعض أحاديث سيدنا أبي موسى الإشعري رضي الله عنه
* الردة أسبابها وأحكامها
* توفيق الباري لتوضيح وتكميل مسائل الإيضاح للامام النووي
* مكانة العلم والعلماء وآداب طالب العلم
* dan banyak lagi

Antara kitab yang beliau tahqiq dan ta’liq:

* رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة
* قرة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل عثمان زين
* رفع الأستار عن دماء الحج والاعتمار
* شروط الحج عن الغير
* الحسن البصري
* إقامة الحجة غلى أن الإكثار في التعبد ليس ببدعة
* خصوصيات الرسول صلى الله عليه وسلم
* يستان العارفين
* dan banyak lagi

MAJLIS PENGAJIAN BELIAU Dl TANAH AIR MALAYSIA

Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat Bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad ‘Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.
Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah beliau telah pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau menubuhkan Maahad az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Dan disinilah beliau menetap dan mendiri bakal ulama.

KELEBIHAN BELIAU

Yang pertama dan utama adalah beliau selalu istiqamah dalam apa jua yang dikerjakannya. Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu. Diantara kelebihan beliau lagi walaupun banyak kelebihan beliau yang lain iaitu beliau tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar, banyak tempat pengajian yang beliau hadiri dan juga kelebihannya lagi pasti ada perkara baru yang disampaikan oleh beliau dalam pengajarannya. Adapun kehebatan beliau dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat member kesan sekali kepada para hadirin. Beliau bukan sahaja mencurahkan ilmu kepada muridnya bahkan terlebih utama lagi beliau memberi didikan adab semasa belajar. Itu merupakan fadhlun minallah kepada hamba-hambanya yang bertaqwa kepadanya.

IRSYADAT AL FADHIL

(Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma’hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah – pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)
* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul ‘All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah ‘abidan lillah (hamba kepada Allah jangan ‘abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

Sufi Jawa : Mencari Sang Maha Ghoib

- "GUSTI ALLOH, Panjenengan panggenanipun dhateng pundi?
+ "AKU ono ning teleging ati"
- "GUSTI ALLOH. Kulo sampun nyusul Panjenengan dumugi dhateng teleging ati.

Panjenengan kok mboten wonten. Panjenengan dhateng pundi?

+ "Kowe ora bakal biso nggoleki AKU.
AKU ono ning teleging urip.
Kowe bisa ketemu kelawan AKU yen wis titi mongsone"


Terjemahan:

- "GUSTI ALLOH, dimanakah ENGKAU?
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "GUSTI ALLOH. Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati.

ENGKAU kok tidak ada. Dimanakah ENGKAU?

+ "Kamu tidak bakal bisa mencari AKU.
AKU ada di dasar hidup.
Kamu bisa ketemu AKU jika sudah saatnya"

Gambaran dialog di atas menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu

dengan Sang Hyang Urip atau GUSTI ALLOH.
Kita tidak akan bisa bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLOH jika belum saatnya.
Namun, dari dialog itu kita bisa tahu bahwa ALLOH itu dekat.
Seperti yang dijelaskan GUSTI ALLOH sendiri dalam Al'Quran
"AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."

Namun orang Jawa memiliki falsafah tersendiri agar tidak putus asa untuk bisa bertemu

Sang Kholiq.
Falsafah tersebut berbunyi,"Sopo sing temen bakal tinemu."
Yang artinya, "Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya".
Falsafah tersebut sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual.
Setidaknya, kita pasti bisa bertemu dengan GUSTI ALLOH
di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.

Lho hidup di dunia ini kok disebut alam kematian? Karena orang hidup di dunia itu

hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati itu hakekatnya hidup.
Alasannya, kita hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan.
Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit.

Nah, kita makan itu sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian.

Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya,
maka kita ini disebut mati.
Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan.
Yang hidup hanyalah ruh, Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit.
Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh.

"Belajarlah mati sebelum kematian itu datang".

Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu
dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati.
Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLOH.

Mengapa kita mesti belajar mati? Belajar mati sangatlah penting.

Agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah.
Lho...bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari Hyang Maha Agung?
Oh...tidak. Orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Kuasa.
Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,
"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)".
Kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir
yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon.
Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali
melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.

GUSTI ALLOH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat

tentang GUSTI ALLOH.
Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLOH itu jauh ketika sang musafir tersebut
lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI ALLOH.

Pertanyaannya, bagaimana untuk bisa bertemu dengan ALLOH?

Ibarat kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajah sang kekasih hati
sudah terlukis dalam benak kita meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh.
"Jauh di mata, dekat di hati".
Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLOH harus selalu terlukis dalam benak kita.
Artinya, kita harus senantiasa eling.

Kedua, GUSTI ALLOH itu bersifat Ghoib. "Mustahil bagi kita yang nyata ini

bertemu dengan yang Ghoib," begitu kata orang rasional.
Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para pendaki spiritual.
Seseorang bisa bertemu dengan Sang GHOIB dengan menggunakan satu piranti khusus.
Apakah itu? Piranti itu adalah mata batin.
Sebab GUSTI ALLOH tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.

Dari kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua cara tersebut

lebih mengandalkan pada piranti yang lebih halus lagi untuk bisa bertemu
dengan GUSTI ALLOH yaitu dengan RASA.
Jika RASA itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang.
Cobalah untuk berlatih mengasah RASA dengan cara belajar mati.

Al-Azhar Adalah Asy`ari


Siapa yang tidak kenal dengan Universiti al-Azhar asy-Syarif. Pusat pengajian ulung yang telah melahirkan ramai ulama yang berjasa di seluruh pelusuk dunia Islam. Alhamdulillah, dalam menghadapi serangan kaum salafi gadungan yang menuduh aqidah al-Asy`ari dan al-Maaturidi sebagai sesat dan keluar daripada Ahlus Sunnah wal Jama`ah, maka para ulama al-Azhar turut dengan lantang mempertahankan pegangan majoriti umat Islam tersebut. Bahkan Syaikhul Azhar, Prof. Dr. Ahmad ath-Thayyib hafizahUllah menegaskan bahawa al-Azhar berpegang dengan `aqidah al-Asy`ari dan al-Maaturidi, fiqh para Imam yang empat dan tasawwuf Imam Junaid. Bahkan, al-Azhar asy-Syarif akan tetap kekal atas `aqidah al-Asy`ari dan pemikiran sufi yang shahih. Inilah antara pernyataan beliau di hadapan ratusan pelajar antarabangsa yang mengikuti pengajian di al-Azhar sebagaimana dilaporkan dalam akhbar "al-Hayat". Beliau juga menyifatkan puak-puak yang mengaku "salafi" yang ada pada masa kita ini, yang suka menyesatkan secara sembrono umat Islam yang tidak sefaham dengan mereka sebagai "Khawarij al-`Ashri" - puak Khawarij zaman moden.

Maka kepada puak-puak "Khawarij al-`Ashr", bersederhanalah, perkara furu` yang menjadi khilaf fiqh janganlah dijadikan sebagai perkara `aqidah pula sehingga tergamak menyamakan umat yang bersyahadah dengan kaum musyrikin. Janganlah mudah-mudah menyesatkan pegangan majoriti umat Islam. Sungguh puak-puak ekstrem ini telah menanam dakyah mereka dalam negara kita sehingga ada yang telah secara terang - terangan memproklamir bahawa al-`Asyairah sebagai sesat dan bukan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.... Allahu ... Allah... tanggung depan Allah nanti. Ada jugak balaci mereka yang tergamak menyesatkan Imam-Imam Muslimin sebesar Imam Ibnu Hajar al-`Asqalaani
rahimahUllah kerana beliau berpegang dengan `aqidah al-Asy`ari. Mereka mencanangkan ke sana ke mari akan fatwa-fatwa songsang sesetengah puak badwi "Khawarij al-Ashr" yang menjajah bumi Hejaz tempat al-Haramain. Mereka kini juga tidak segan silu membawa tokoh-tokoh mereka ke tempat kita dengan menempelkan gelar-gelar tertentu untuk mengelirukan orang awam. Maka berhati-hatilah wahai ikhwah sekalian dan tetap teguhlah kita atas pegangan `aqidah yang sebenar. Janganlah didengar dakyah-dakyah puak "Khawarij al-Ashr" yang bertopengkan pegangan Salaf. Sesungguhnya kitalah pengikut salaf yang sebenar, tiadalah khalaf itu melainkan kesinambungan bagi salaf.

Oleh itu, diharap para ulama kita, teristimewanya para Azhariyyun, agar semakin gigih memperjuang dan mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama`ah yang sebenar yang berteraskan `aqidah al-`Asyairah yang mubarakah yang menjadi anutan majoriti umat Islam di seluruh dunia sepanjang masa. Janganlah dibiarkan puak-puak "Khawarij al-`Ashr" mencemuh dan menuduh `aqidah kita ini sebagai bid`ah dan sesat.

BELAJAR PADA WALI ABDAL (PEMIMPIN KAFILAH RUHANI MENUJU ALLAH) DENGAN MEMBUANG KE'AKU'AN

Dalam kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. sangat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu.

Dalam literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman ruhani yang mereka rasakan disebut hal. Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya', kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir,

انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ

"Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu" (QS 57:13).

Dalam kelompok awliya' juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.

lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah menolak bencana --karena kehadiran Muslim yang saleh-- dari seratus keluarga tetangganya." Kemudian ia membaca firman Allah:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ

"Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini" (QS 2: 251).

Penghulu para awliya' adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. "Bumi tidak pernah sepi dari mereka," ujar Rasulullah Saw., "Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong" (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).


Abu Nu'aim dalam Hilyat Al-Awliya' meriwayatkan sabda Nabi Saw., "Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana." Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas'ud bertanya, "Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?"' Rasulullah Saw. bersabda, "Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana." Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka.

Kata Rasulullah Saw., "Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa." Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi awliya', kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, "Ya Rasulullah, fima adrakuha?" Beliau bersabda, "Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin" (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim). Dalam hadis lain, Nabi berkata, "Bishidqil wara', wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami'il muslimin" (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).


Jadi, yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita?


Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha (kedermawanan). Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit --keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada "aku" sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk "aku". Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi "milikku." Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan "aku." Ia sudah bergeser ke falsafah "Untuk Dia".


Karena itu Nabi Saw. bersabda, "Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka". Tanpa kedermawanan, shalat, shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan. Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.


Kedua, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim. Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka'bah yang suci, Nabi Saw. berkata, "Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan."


Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan golongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi agamanya masih berkutat dalam keakuannya.


An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.


Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.

Habib Kramat Bangil


Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ia menuntut ilmu dari beberapa ulama, kuat beribadah, dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ulama yang dikenal sangat alim, dan karenanya dikenal sebagai waliyullah itu lahir pada 4 Safar 1261 Hijriyah atau 12 Februari 1840 M. di kota Hawi, Tarim, Hadramaut, Yaman.
Habib Abdullah yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan Habib Kramat Bangil, terkenal di kalangan muslimin sebagai ulama yang konsisten memperjuangkan kebenaran. Di masa hidupnya, tak jemu-jemunya ia mengajak umat untuk selalu hidup di jalan yang benar, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Habib Abdullah juga menulis sejumlah kitab, yang tidak hanya kitab-kitab agama, tapi juga menulis syair yang bermuatan hikmah. Kumpulan syairnya di bukukan dalam diwan (antologi) berjudul Qalaid al-Lisan fi Ahl al-Islam wa Al-Iman.
Kitab yang ia tulis antara lain, Suliamuthalib li alal Muratib, Syarah Ratib Haddad, Hujjatul Mukminin  fi Tawasul Bisayid al-Mursalin, dan kitab Maulid Al-Haddad, dan lain-lain. Sebagai penghormatan kepadanya, setiap tanggal 27 Safar digelar acara Haul di makamnya di Sangeng Kramat Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Ia dibesarkan dalam keluarga yang akrab dengan nuansa kenabian, kewalian, dan keilmuan. Sejak kecil ia mendapat bimbingan membaca, mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dari ayahnya, Habib Ali bin Hasan Al-Haddad, sehingga alam pikirannya selalu terpaut pada Al-Qur’an.
Menjelang dewasa ia meneruskan studinya di kota kelahirannya, Tarim. Disanalah ia mempelajari beberapa cabang ilmu, seperti fikih, tafsir hadis, dan laian-lain dari para ulama terkemuka. Mufti Habib Allamah Abdurrahman Al-Mansyur, pengarang kitab Buhgyatul Mustarsyidin, Habib Umar bin Hasan Al-Haddad di Ghurfah, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi di Seiwun, Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih.
Dalam hal tasawuf, ia berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang terkenal sebagai pendiri tarekat Haddadiyah. Beberapa tahun setelah belajar kepada guru tasawufnya itu, ia juga dikenal sebagai sufi terkemuka dan seorang mursyid di kalangan tarekat Haddadiyah.
Pada 1281 H / 1800 M ia meninggalkan kampung halaman menuju kota Do’an dan Gidun untuk berguru kepada beberapa ulama, seperti Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Syekh Muhammad bin Abdullah Basuwaidan. Kepada mereka ia mempelajari kitab Minhaj Al-Thalibin karya Imam Nawawi. Tak lama kemudian, ia mendapatkan ijazah untuk beberapa cabang ilmu, seperti Akidah, Nas (pegangan dalam hukum Islam), ilmu Ushul Fiqh (pokok–pokok dalam ilmu pengetahuan tentang fiqh), periwayatan hadis dan logika.
Sebagai ulama yang haus ilmu, pada 12 94 H / 1813 M, ia meneruskan perjalanan ke Guairah untuk berguru kepada Habib Ahmad bin Muhammad  Al-Mukhdar. Dari ayahnya Habib Muhammad bin Ahmad Al-Mukhdar, Bondowoso, Jawa Timur, ia mendapat ijazah untuk beberapa cabang ilmu pengetahuan.
Bertemu Hansip
Pada salah satu mukaddimah ijazahnya disebutkan, “Aku berikan ijazah kepada keturunan Al-Quthb Al-Ghaouts, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad sebagai ahli ibadah yang tampak di wajahnya cahaya ulama salaf. Kelak dia akan menggantikan kedudukan salaf pendahulunya, dan aku anggap dia sebagai anakku.”
Pada 1295 H / 1814 M ia menunaikan ibadah haji berziarah ke makam Rasulullah SAW. Selama berada di Mekah, ia tinggal di rumah Mufti Habib Muhammad bin Husien Al-Habsyi, ayahanda Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthut Durar. Sementara di kota Jarwal, ia mempelajari ilmu Nahwu dan Mantiq, sehingga memperoleh ijazah dari Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
Tak lama kemudian ia menuju Madinah, tinggal 4 bulan di sana, berguru kepada Syekh Muhammad Abdul Mukti bin Muhammad Al-Azab, seorang fakih dan pakar bahasa Arab, tapi ia tidak mendapat ijazah, sebelum mendapat ijazah dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Setelah mendapat ijazah dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berupa wirid dan kitab-kitab karangannya, barulah ia memperoleh ijazah dari Syekh Muhammad bin Abdul Mkti.
Pada 1297 H / 1819 M ia mulai berdakwah ke tanah Melayu. Mula-mula ke Singapura, lalu ke Johor. Di sana ia bersahabat dengan Sayid Salim bin Thaha Al-Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim yang saat itu menjadi Sultan Johor. Ketika menghadiri peresmian istana kesultanan Johor, ia ditemui oleh Sultan Ahmad dari Padang dan diminta untuk menjadi Mufti di sana. Namun Habib Abdullah menolak dengan halus.
Setelah kurang lebih 4 tahun berdakwah di Johor, ia meneruskan perjalanan dakwahnya ke Jawa, Indonesia mula-mula ia tiba di Batavia, kemudian meneruskan ke Bogor, Solo dan Surabaya. Di kota-kota tersebut, ia merasa kurang nyaman, walaupun kaum muslimin sempat menyambutnya dengan antusias. Pada akhir syawal 1301 H, ia tiba di Bangil, Jawa Timur. Disinilah ia merasakan kenyamanan dan pada akhirnya menetap untuk berdakwah. Setiap hari, selepas asar, ia menggelar pengajian, dan setiap Kamis mengisi Majlis Taklim di Masjid Kalianyar.
Ia mengisi hari-harinya dengan ibadah, sejak maghrib hingga Isya, ia selalu membaca Al-Qur’an dengan hafalan, selepas salat Isya berjema’ah, ia beristirahat selama dua jam, setelah itu membaca Ratib bersama anak dan para sahabatnya. Kemudian ia belajar sampai jam 24.00.
Dua jam kemudian, ia beristirahat, lalu salat sunnah, setelah itu berkeliling Kota Bangil. Pukul 03 dini hari pulang, lalu salah Tahajud hingga menjelang fajar. Setelah salat subuh berjema’ah bersama keluarga, ia membaca wirid sampai menjelang Dhuha, lalu salat Dhuha delapan raka’at. Begitulah amalan ulama besar ini setiap hari.
Pada suatu malam ketika mengelilingi kota Bangil, ia bertemu dengan seorang Hansip, “Kenapa malam-malam begini Habib berkeliling di jalanan?” tanya si Hansip keheranan. “Mengapa kamu juga berada di Pos penjagaan ini?” Habib Abdullah balik bertanya. “Kami ditugasi oleh pak Camat menjaga daerah sekitar sini,” jawab si Hansip. Maka Habib Abdullah pun menimpali, “Saya juga mendapat tugas dari penguasa alam semesta.”
Suatu hari ia membacakan kitab-kitab karangan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad di masjid Kalianyar. Setiap kali hadir di majlis taklim yang dihadiri kurang lebih 60 orang itu, ia biasa membawa ketel kecil berisi kopi, usai pengajian menjelang magrib, dihidangkanlah kopi itu pada para jema’ah. Ternyata kopi itu cukup untuk 60 orang yang hadir.
Ketel Kopi
Suatu hari, tanpa diduga, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Mukhdar bersama rombongan sebanyak 60 orang berkunjung ke majlis taklim tersebut. Habib Abdullah meminta Syekh Mubarak Jabil menuangkan kopi dan menghidangkannya kepada mereka. Setelah menuangkan kop ke beberapa cangkir, ternyata kopinya habis, dan ia berhenti menghidangkan kopi. “Tuangkan lagi kopinya,” kata Habib Abdullah.
Dengan bingung, Syekh Mubarak berbisik kepada Habib Muhammad, putra Habib Abdullah, “Ketelnya sudah kosong.” Tapi kata Habib Muhammad, “Turuti saja perintahnya.” Maka Syekh Mubarak pun kembali mencoba menuangkan kopi ke cangkir-cangkir dari ketel kosong itu. Betapa terkejutnya ia manakala dilihatnya dari ketel kosong itu tetap mengucur kopi hangat hingga seluruh tamu kebagian.
Suatu sore seorang bangsawan Bugis dari Makasar bertandang ke Bangil, dan menghadiahkan sebuah peti dari emas berisi kayu Gaharu dan sejumlah besar uang untuk Habib Abdullah. Sebelum menerima hadiah, ia bertanya, ”Apakah di negaramu ada orang yang berhak menerima sedekah?” bangsawan  itu menjawab, “Ya, ada.” Maka Habib Abdullah minta agar hadiah itu di bagi-bagikan kepada fakir miskin di Makasar.
“Alhamdulillah, kami dalam keadaan mampu,” ujar Habib Abdullah seraya menunjukkan sebuah kantung penuh berisi uang emas. Maka sang bangsawan bugis itu segera mohon maaf dan berjanji akan melaksanakan amanatnya. Habib Abdullah memang terkenal sangat dekat dengan fakir miskin. Setiap bulan, ia membantu sekitar 70 keluarga fakir miskin.
Suatu hari, Residen Pasuruan datang ke Bangil, begitu ia turun dari kereta berkuda, semua orang berdiri menghormatinya. Kebetulan saat itu, Habib Abdullah berada di situ, mengantar pamannya, Habib Ahmad bin Hasan Al-Haddad, hendak pulang ke Surabaya. Ketika sang Residen lewat persis di depan Habib Abdullah, ia tidak mengindahkannya, ia tetap duduk santai, tidak berdiri menghormatinya.
Maka datanglah seorang anggota polisi memerintahkan datang ke kantor Residen Pasuruan. Tanpa pikir panjang ia berangkat kesana. Sampai disana, ia menunggu di ruang depan, tapi tak seorang petugas pun menemuinya. Anehnya, bahkan ada beberapa orang petugas yang lari ketakutan ketika melihat kehadiran Habib Abdullah.
Akhirnya, seorang pegawai keresidenan menemuinya sambil berkata gemetaran, “Sebaiknya Habib kembali saja, sebab Residen dan semua stafnya takut melihat kedatangan Habib yang di dampingi dua ekor harimau dengan mulut terbuka.” Setelah kejadian itu, sang Residen meletakkan jabatan.
Suatu hari Sayid Umar Syatta, Mufti Haramain dari Mekah, menerima Ru’yah (penampakan dalam mimpi) bahwa Rasulullah menganjurkan untuk menemui Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad. “Dia adalah cucuku yang sebenarnya,” kata Nabi dalam Ru’yah tersebut. Dalam pertemuan itu, Sayid Umar Syatta menciumi lutut dan kaki serta mohon maaf kepada Habib Abdullah kerena tidak tahu kedudukan Habib Abdullah, seandainya Nabi tidak memberitahukannya.
Ada satu hal yang selalu ia tekankan kepada murid-muridnya, juga dalam tulisan di beberapa kitabnya ia selalau mengajarkan untuk berperilaku tawadu’ (rendah hati), tidak takabur, sombong dan riya’. Sebab kata Habib Abdullah, semua itu adalah sifat-sifat setan.
Referensi Kisah Alkisah no. 21 / 11-24 Okt 2004

Abdul Shamad Al-Palimbani: Wong Kito Yang Moderat


Dia termasuk sufi moderat, karena menggabungkan paham wujudiyah dengan tasawuf Al-Ghazali.
Palembang terkenal sebagai pusat maritim dan bandar yang banyak disinggahi para pedagang pada abad ke-17 dan 18. Kejayaan kota ini sebagai jalur lalu lintas internasional saat itu diikuti dengan tingginya mobilitas anak negeri, termasuk dalam menuntut ilmu. Dalam perkembangan tasawuf, salah satu putra Palembang yang namanya sangat harum adalah Abdul Shamad Al-Palimbani.
Abdul Shamad adalah ulama Palembang paling menonjol, terutama karena karya-karyanya yang dikenal luas di Nusantara. Nama lengkapnya adalah Abdul Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Dilahirkan pada 1704 M / 1116 H di Palembang. Ayahnya seorang Sayyid, sedang ibunya seorang wanita Palembang asli. Sang ayah berasal dari Sana’a, Yaman, bernama Syekh Abdul Jalil bin Abdul Wahab, dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah, Malaysia.
Selanjutnya ayahandanya ditunjuk menjadi Kadi kesultanan Kedah. Sekitar tahun 1700 dia pergi ke Palembang, menikah dengan wanita setempat dan kembali ke Kedah dengan putranya yang baru lahir, yang Abdul Shamad. Pendidikan awalnya dijalani di Madrasah di Kedah.
Meskipun Abdul Shamad banyak menghabiskan hidupnya di Haramain, dia tetap selalu mempunyai hubungan yang baik dengan Nusantara. Dia meninggal pada tahun 1789 dalam usia 85 tahun setelah menyelesaikan karya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr al-Salikin. Selama di Haramain, ia terlibat dalam komunitas Kawi (komunitas orang Indonesia di Arab), dan menjadi kawan seperguruan Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Keterlibatannya dengan komunitas Jawi membuat tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.
Kelihatannya Abdul Shamad baru menghasilkan karya pada usia 60 tahun. Banyak bukunya yang berbicara tentang iman dan tasawuf. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menyebarkan ajaran neosufi, tapi juga mengimbau kaum muslimin untuk melancarkan jihad melawan penjajahan orang Eropa. Guru Abdul Shamad antara lain Muhammad Murad Al-Muradi, Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari atau Al-Mishri, juga Athaillah. Abdul Shamad mempelajari ilmu-ilmu fiqh, hadits tafsir, syariah, kalam, dan tasawuf. Kecenderungannya sangat kuat terhadap mistisisme. Dia mempelajari tasawuf terutama kepada Syekh Samman dan memperoleh ijazah tarikat Sammaniyah. Ia belajar kepada Syekh Samman selama lima tahun di Madinah. Selama belajar dia juga menjadi asistendan mengajar murid-murid Syekh Samman yang lain, terutama orang asli Arab.
Melalui Abdul Shamad, tarekat Sammaniyah menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah kelahirannya, Palembang. Karya tulis Abdul Shamad berjumlah delapan buah, empat berupa manuskrip, dan dua buah hanya diketahui namanya, dua buah diantaranya berbahasa Melayu, diantaranya Ratib As-Shamad, tentang Ratib dan Dzikir, lalu hidayat As-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Sair as-Salikin ila ibadat Rabb al-Amin.

Jalan Tengah
Dalam bukunya, Hidayat as-Salikin, disajikan ajaran-ajaran para sufi lain dari bermacam-macam sumber, termasuk ajaran Wahdatul Wujud dari Ibnu Arabi. Dari penyajiannya itu terlihat, ia mempunyai pandangan bahwa tasawuf Al-Ghazali dan tasawuf Ibnu Arabi merupakan dua aliran tasawuf yang saling melengkapi.
Seperti diketahui, bahwa tasawuf Al-Ghazali memusatkan perhatian pada upaya pencapaian ma’rifat, mengenal Allah secara langsung tanpa hijab, melalui penyucian hati dan penghayatan akidah menurut ajaran syariat Islam. Sedangkan tasawuf Ibnu Arabi memusatkan perhatian pada pembahasan metafisika ketuhanan yang bertumpu pada ide dasar bahwa wujud hakiki hanya satu, yaitu Allah, dan alam semesta yang serba ganda bukanlah wujud hakiki, melainkan bayang-bayang-Nya.
Saling melengkapi di atas lebih kurang mengandung arti bahwa, untuk mencapai ma’rifat, orang perlu mengamalkan tasawuf Al-Ghazali, sedang Allah yang dikenal dalam ma’rifat itu tidak lain dari Allah seperti paham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi (Manunggaling Kawula-Gusti), bersatunya Makhluk dan Khalik. Dalam konsep Abdul Shamad yang memadukan kedua konsep tasawuf tersebut, terlihat betapa ia berusaha mengambil jalan tengah untuk dua hal yang oleh para sufi sering dianggap tidak bisa disandingkan. Sikap moderat ini merupakan bukti betapa Abdul Shamad lebih mengedepankan toleransi yang bermula dari ketinggian akhlaknya.
Dalam bukunya, ia juga menyajikan ajaran-ajaran Tarikat Khalwatiyah Sammaniyah, yang menempatkan guru tarekat bukan saja sebagai pembimbing kerohanian, tetapi bahkan sebagai perantara yang harus dilalui muridnya yang ingin mengenal Tuhan secara langsung. Tarikat Sammaniyah merupakan ajaran berbagai tarekat yang diracik oleh Syekh Amman dengan memadukan teknik-teknik zikir, bacaan-bacaan lain dan ajaran mistis.
Ratib Samman
Di kalangan masyarakat Tarikat Sammaniyah sangat dikenal ritus pembacaan Ratib Samman. Ratib tersebut sangat populer di nusantara, termasuk di daerah perkotaan, seperti Bekasi, Jakarta, Depok, dan Bogor. Biasanya mereka melakukan pembacaan Ratib selama enam hingga tujuh jam.
Meski ritus ini harus dipimpin oleh salik, murid tarikat yang telah mendapat Baiat, orang yang ikut dalam pembacaan ini bisa saja berasal dari luar anggota tarikat. Mereka membuat sebuah lingkaran yang mengelilingi pemimpin dan para pengikutnya, menyanyikan zikir serta mempertunjukkan berbagai sikap tubuh dan gerakan dengan cara seperti yang ditunjukkan pemimpinnya.
Praktik zikir dalam Tarikat Sammaniyah terdiri dari Dzikir Nafi Itsbat, Dzikir Ismal Jalalah, dzikir Ism al Isyarah, dan dzikir khusus. Zikir Nafi Itsbat dilakukan dengan membaca La ilah Illa Allah. Kata La ilaha bermakna nafi atau meniadakan. Sementara kata iIla Allah bermakna itsbat atau penegasan, yang merupakan satu-satunya yang abadi. Dzikir Nafi Itsbat biasanya diberikan kepada murid yang berada pada tingkat permulaan. Biasanya mereka latihan berzikir nafi Itsbat sebanyak 100 kali setiap hari. Namun bisa ditambah 300 kali setiap hari apabila tingkat atau maqamnya sudah lebih tinggi.
Zikir Ism al Jalalah, dengan membaca Allah, Allah. Zikir ini biasanya diajarkan kepada murid yang telah mencapai tingkat khusus, dan dibaca 40, 100, atau 300 kali sehari.
Zikir Ism al Isyarah diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkat tinggi atau yang sudah menjadi menjadi mursyid. Jumlah zikirnya antara 100 hingga 700 kali setiap hari.
Zikir khusus hanya diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi karena ma’rifatullah. Tarikat Sammaniyah mempunyai aturan atau tata cara berzikir dan lafadz yang khas. Sebelum berzikir, ada lima adab yang harus dilakukan, yaitu bertobat dari segala dosa, berwudu atau mandi jika junub, diam, tidak berbicara, kecuali berzikir, berdoa kepada Allah SWT, dan ketika masuk ke dalam zikir dibimbing oleh mursyidnya.
Sumber Kisah: Alkisah No. 02 / 16-29 Jan 2006

Cara Abu Nawas Merayu Tuhan


Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.
Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.
***
Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.
Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
Sumber Gambar: http://www.nasa.gov/images/content/122623main_k_star.jpg

Jalaluddin Rumi, Menggapai Cinta Ilahi dengan Menari


Ia sufi besar, Penyair besar, dan Fuqaha yang Handal. Ia mendirikan tarekat Darwisy Berputar yang terkenal dengan tarian ritualnya.
Puisi karya Jalaluddin Rumi dikenal luas, dan menjadi sumber rujukan bagi setiap kajian mengenai dunia sufi selama beberapa abad terakhir. lahir pada 30 September 1207 M di Balkh (kini Afganistan) dari keluarga Bangsawan. Ayahnya Baha’ Walad, adalah seorang Fuqaha (ahli Fiqih) yang juga sufi dan mengajar syariat di masjid dan tempat umum lainnya.
Meski Baha’ menikah dengan wanita Bangsawan, ia menentang kibijakan Sultan Kharazmashan ketika itu. Mula-mula Sultan selalu menghadiri pengajian Baha’, tetapi karena pembelotan Baha’ dan cemburu, gara-gara Baha’ kian populer di mata rakyat. Sultan tidak lagi hadir . belakangan Sultan mencurigai ajaran Baha’ dan akhirnya Baha’ dianggap sebagai musuh.
Ketika Rumi berusia 12 tahun, pada tahun 1219 M, bangsa Mongol menguasai Balkh, sehingga Baha’ sekeluarga hijrah sekaligus menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan tidak pernah kembali ke Balkh. Dalam perjalanannya, Baha’ mampir ke Nishapur dan bertemu dengan ulama dan penyair sufi, Fariduddin Athar. Melihat Rumi kecil Athar berkomentar, “Anakmu tidak lama lagi akan menjadi api yang membakar para pecinta Allah diseluruh dunia.” Athar menghadiahi Rumi sebuah kitab karyanya, Asrarnama (kitab rahasia), yang berisi prinsip-prinsip sufisme melalui kisah dan Fabel, yang kelak sangat mempengaruhi karya-karya Rumi.
Usai menunaikan ibadah haji, Baha’ singgah di kota kecil Larnada di Konya, Turki. Raja Konya, yang sangat menghargai ilmu pengeatahuan dan filsafat serta mendukung kegiatan kaum terpelajar, menulis surat kepada Baha’ , isinya, tawaran bagi keluarga Baha’ untuk tinggal sekaligus mengajar di perguruan tinggi Konya. Baha’ menerima taearan tersebut.
Berkat keahliannya dalam ilmu agama dan kedekatannya dengan penguasa, Baha’ menjadi orang terhormat dan mendapat gelar “Sulthan al-Ulama”. Sementara itu Rumi yang mulai menginjak usia remaja terus belajar berbagai ilmu: Tata Bahasa dan Sastra Arab, sejarah, logika, matematika, Astronomi, Filsafat dan Tasawuf.
Baha’ Walad wafat pada tahun 1231 M, ketika Rumi sudah menguasai berbagai ilmu. Ketika berusia 24 tahun, Rumi sudah menggantikan tugas-tugas almarhum ayahnya sebagai Muballigh dan Fuqaha. Namanya pun segera masuk ke dalam daftar para Fuqaha yang menjadi rujukan para ulama mazhab Hanafi.

Sultan  Al-Faqir

Perkenalan Rumi dengan Tasawuf berkat bimbingan ayahandanya. Belakangan salah seorang murid kesayangan ayahnya, Burhanuddin Tirmizi, datang ke Konya untuk mengunjungi gurunya, tetapi Baha’ sudah wafat. Akhirnya, Tirmizi mengajarkan Tasawuf kepada Rumi hingga ia meninggal pada tahun 1240 M.
Tak lama kemudian Rumi menduduki jabatan terhormat di Universitas Konya. Meski diakui juga sebagai guru sufi, kehidupan sehar-harinya tetap seperti biasanya. Kadang-kadang ia membahas materi spritual dalam khotbahnya, namun dalam kehidupan sehari-hari ia tidak pernah menunjukkan kelebihannya dibanding para Fuqaha yang lain. Tetapi ketika Syam Tabrizi yang mendapatkan gelar Sultan al-Faqir datang, semuanya berubah. Ada beberapa versi yang mengisahkan pertemuan antara Rumi dan Tabrizi. Dua kisah berikut paling sering diceritakan.
Pada suatu hari, sesosok kumal mengikuti pelajaran Rumi masuk ke ruang kelas tempat Rumi mengajar di Universitas Konya. Tanpa basa basi, Tabrizi yang kumal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Bayazid Bistami atau Nabi Muhammad?”
Rumi menjawab, “Nabi Muhammad adalah orang lebih agung.” Lalu kata Tabrizi, “Bukankah Nabi bersabda, “Ya Allah, aku belum mampu memuji-Mu dengan pujian sebagaimana engkau memuji diri-Mu”, Sedangkan Bayazid berkata, “Betapa Agung muaraku, kemuliaan datang kepadaku ketika aku diangkat, akulah yang derajatnya ditinggikan.”
Tabrizi, yang melihat Rumi tidak mampu menjawab pertanyaan itu, kemudian menjelaskan bahwa kehausan Bayazid akan sifat-sifat ketuhanan dipuaskan ketika ia minum seteguk air, sedangkan hausnya Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah terpuaskan karena Nabi selalu haus akan air pengetahuan ketuhanan yang lebih banyak. Mendengar itu Rumi menjatuhkan diri di kaki Tabrizi, lalu menangis tak sadarkan diri. Ketika sadar, kepalanya tergeletak di pangkuan Tabrizi yang sedang duduk. Tak lama kemudian, kedua lelaki ini mengasingkan diri bersama-sama selama tiga bulan.
Versi lain, agak berbeda, tetapi punya arti serupa. Suatu hari Rumi sedang duduk di perpustakaan pribadi bersama sekelompok murid yang berkumpul di sekelilingnya mendengar pelajarannya. Tiba-tiba seseorang berpakaian kumal masuk dan duduk. Ia menunjuk buku-buku di sudut ruangan, katanya, “Apa itu?”
Rumi yang mengira orang itu adalah pengemis, menjawab, “Engkau tidak akan mengerti.” Mendadak, muncul api berkobar dari rak buku. “Apa itu?” Rumi berteriak panik. Dengan tenang Tabrizi berkata, “Engkau pun tidak akan mengerti,” lalu ia pergi. Rumi kembali berteriak dan mengejar Tabrizi. Rumi kemudian meninggalakn tugasnya mengajar, dan bertapa bersama Tabrizi.

Tarian Sufi

Tak seorangpun tahu apa yang diajarkan Tabrizi kepada Rumi di pengasingan. Yang kemudian diketahui orang ialah, Rumi yang ketika itu berusia 38 tahun, muncul dengan segala keanehan. Dia tidak lagi memberi ceramah agama dan memimpin doa melainkan membimbing tarian sufi. Rumi yang semula tidak punya latar belakang kepenyairan, mulai menulis puisi yang sangat indah, untuk mengekspresikan cintanya kepada Allah.
Puisi-puisinya sangat menyentuh, ciri khasnya secara jelas menunjukkan, penampakan luar hanyalah selubung yang menutup makna di dalam. Karya utama yang diakui sebagai salah satu buku luar biasa di dunia ialah Matsnawi-I-Ma’nawi (untaian puisi dua baris) yang terdiri dari enam jilid, terdiri dari 25 ribu puisi panjang dan merupakan mutiara ajaran sufi.
Matsnawi-I-Ma’nawi ditulis atas permintaan Husainuddin Khalabi, murid kesayangannya. Rumi mengucapkan puisi dan Khalabi yang menuliskannya. Setelah selesai ditulis selama dua tahun, Khalabi membacakannya kembali  dihadapan Rumi. Beberapa karya Rumi merupakan kumpulan anekdok dan kisah sehari-hari yang berkaitan dengan moral Islam, yang juga merupakan repsentasi spritual yang tenang dalam memaparkan berbagai  dimensi kehidupan dan latihan rohani.
Rumi menulis Diwan-I-Tabrizi, terdiri dari 3.200 Ghazal (bait), meliputi 35 ribu puisi, 44 ribu Ta’rifat (puisi yang terdiri dari dua gahzal atau lebih). Diwan dan Matsnawi merupakan buku wajib bagi murid-murid Rumi. Sebagian besar puisi dalam Diwan menggambarkan pengalaman spritual Rumi. Misalnya, persatuan dan perpisahan dengan Allah, yang dilukiskan melalaui berbagai simbol dan perumpamaan metafisik. Rumi menggambarkan pengalaman pendakian terjal ke langit (pencapaian dan kedekatan dengan Allah) melalui “Mabuk Spritual.”
Karya monumental lainnya ialah kumpulan pelajaran yang disampaikan oleh Rumi kepada murid-muridnya di meja makan. Di tulis dalam bentuk prosa, Fihi ma Fihi. Isinya menjelaskan berbagai dimensi ajaran sufi secara terperinci melalui sejumlah analogi dan perbandingan. Karya prosa lainnya. Majlis-I-Sab’ah (tujuh pertemuan), kumpulan khotbah pendek yang ditujukan kepada masyarakat umum. Kitab lainnya, Mahatib, kumpulah 145 surat untuk para Pangeran dan Bangsawan Konya.

Madonna Dan Demi Moore

Karya-karya Rumi banyak diterjemahkan oleh penulis barat. Dalam Amazon.Com, situs toko buku on-line terbesar, hanya dalam hitungan bulan tak kurang dari ratusan buku puisi Rumi di terbitkan, dan sangat laris. tidak hanya itu, sudah beberapa kali festival baca puisi Rumi di gelar. Tak tanggung-tanggung, bintang-bintang Hollywood seperti Pop Star Madonna, Aktris Demi Moore dan Goldie Hawn, ikut membacakan puisi sufi tersebut.
Yang termasuk laris antara lain The Essential Rumi, kumpulan puisi terjemahan Coleman Barks. Kemudian sebuah buku suntingan pasangan suami-istri Camille Adams Helminski dan Edmund Kabir Helminski yang telah diterjemahkan ke dalasm bahasa Indonesia dengan judul: Rumi, pesona suci dunia Timur.
Beberapa karya Rumi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (melalui bahasa Ingris), antar lain, Dunia Rumi: Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, karya Annemare Schimmel (pustaka Sufi), Jalan cinta sang sufi, karya William C. Chittick (penerbit Qalam), Firdaus Para Sufi, karya Dr. Javad Nurbaksh, Rajawali Sang Raja, ditulis oleh Jhon Renard (serambi), Menari bersama Rumi, oleh Denise Breton dan Christoper Legent, dan masih banyak lainnya.
Sebagai guru sufi, Jalaluddin Rumi dikenal dengan tarekat yang menjalani ritusnya dengan berputar-putar menari, karena proses pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan menari berputar-putar, di iringi musik, instrumen musiknya bisa berupa Gitar khas sufi, atau bisa juga semacam Drum. Untuk mencapai “Cinta Prima kepada Allah”, mereka terus berputar ratusan kali dalam waktu cukup lama. Mereka ternyata tidak merasa pusing, justru semakin cepat dan lama berputar, mereka akan semakin menemukan “Cinta Alahi”.
Hingga kini ritus kaum tarekat ajaran Rumi dengan berputar menari itu masih diamalkan oleh para pengikutnya, dan berkembang ke Afganistan, Pakistan, Timur Tengah, Afrika, Eropa,bahkan Kuba. Beberapa koreografer tari modern dan teater Kontemporer juga mengemas tarian berputar dalam karya-karya mereka. Namun, nuansanya sudah berbeda.

Inspirator Kebangkitan Spiritual

Ada yang mengenalnya sebagai penyair, ada yang mengenalnya sebagai penari, ada yang mengenalnya sebagai ulama, ada yang mengenalnya sebagai sufi, namun lebih dari semua itu, Jalaluddin Rumi adalah seorang Maestro
Kendati sudah lebih dari 700 tahun setelah meninggalnya, namanya hingga kini masih mampu memberi warna bagi kehidupan masyarakat dunia yang sudah serba canggih ini. Bahkan sejak satu dekade belakangan  ini puisi-puisi Rumi menjadi karya seni yang paling banyak dibaca di Amerika Serikat. Karya Rumi yang dihimpun oleh Coleman Barks dalam buku yang berjudul The Essential Rumi menjadi buku puisi terlaris di Amerika Serikat pada tahun 1997, menurut The Christian Science Monitor.
Dona Karan, perancang mode terkemuka asal New York, menjadikan Rumi sebagai sumber inspirasinya ketika menggelar peragaan busananya musim panas tahun 1998 lalu. Sampai saat ini, karya-karya Rumi telah diterjemahkan ke berbagai bahasi di dunia, termasuk Rusia, Jerman, Prancis, Italia dan Spanyol, bahkan telah dikembangkan secara kreatif dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti Konser, pertunjukan tari, berbagai bentuk bacaan dan sebagainya.
Kini ketika berkembang pemahaman yang keliru terhadap dunia Islam, peranan Rumi sebagai simbol pengusung nilai-nilai universal dalam Islam menjadi semakin relevan.
Walaupun kecemerlangannya bag cerita-cerita dongeng, namun sesungghnya terdapat begitu banyak tantangan dan kepahitan hidup yang harus di lalui sebelum Rumi tumbuh menjadi sosok seperti yang di kenal orang sekarang.
Dalam usia 24 tahun Rumi tumbuh tidak saja sebagai intelektual Islam terkemuka, tetapi juga ahli di bidang hukum, sejarah dan sastra. Sesudah ayahnya mwninggal, pada 1231, Rumi menggantikan ayahnya sebagai profesor dalam ilmu-ilmu agama.
Namun, manjadi tokoh intelektual penting, ternyata tidak menjadi titik akhir pencapaian dalam hidup bagi Rumi. Dalam dirinya masih bergolak kegelisahan yang amat dahsyat.
Ketika itulah saat Rumi berusia kira-kira 37 tahun, muncul sang Darwish, Syam dari Tabriz. Syamsuddin At-Tabrizi, yang namanya kira-kira berarti, “Surya keagamaan”, ternyata mampu membawa pencerahan bagi jiwa Rumi yang sedang bergolak. Selama lebih dari 2 tahun, sang Mursyid dan sang Murid, mabuk dalam cinta Ilahi. Ibarat api, kedekatan dengan sang Mursyid sanggup “Membakar” Rumi hingga sang muridpun ikut menyatu dalam nyala api Ilahi.
Sejak saat itulah Rumi tidak lagi dikenal sebagai ahli tentang agama dan ketuhanan. Ia tidak lagi mengandalkan pemahaman rasional belaka untuk menjelaskan tentang Tuhan, melainkan mengajak pengikutnya untuk langsung merasakan kebesaran Tuhan dengan masuk kedalam cinta.
Kedakatan Rumi dengan sang Guru, tidak mudah dipahami oleh banyak kalangan, termasuk bagi mantan pengikut-pengikut Rumi serta mereka yang tidak memahami hubungan spritual antara Mursyid dan Murid. Bagi kaum sufi, hubungan istimewa semacam itu merupakan ajakn dari seorang guru untuk membuyka hati seorang murid agar merasakan kehadiran Tuhan. Namun tidak sedikit yang menganggap keputusan Rumi tinggal serumah dengan sang Guru sebagai sebuah percintaan yang di dasari ketertarikan seksual belaka.
Rumi membuktikan bahwa hubungannya dengan sang Mursyid bukan sebuah hubungan rendahan, terutama setelah secara misterius Syams menghilang pada sekitar tahun 1247. Berbagai dugaan mengatakan bahwa Syams di bunuh oleh pengikut atau bahkan anak Rumi sendiri yang tidak mau Rumi terus berhubungan dengan sang Guru itu. Lewat karya-karyanya sepeninggal Syams, Rumi menunjukkan tingginya nilai spritual dari hubungannya dengan sang Mursyid. Misalnya dalam sajak berikut:
Siapapun yang pernah mendengar tentangKu,
Biarlah ia menyiapkan diri dan menemuiKu
Siapapun yang menginginkanKu,
Biarlah ia mencariKu
Ia akan menemukanKu
Lalu biarkan ia untuk tidak memilih yang lain selain Aku
Syams dari Tabriz
Divani Syamsi Tabrizi atau “Sajak-sajak Syams dari Tabriz” serta Masnawi adalah karya-karya monomental Rumi yang dilahirkan setelah kepergian Syams. Masnawi yang terdiri dari 6 jilid menjadi salah satu leteratur dan pemikiran yang amat berpengaruh dalam dunia Islam.
Semua karya Rumi, dari Sajak hingga Tarian Sufi (Whirling dance) yang dipopulerkannya, sebetulnya merupakan berbagai bentuk kreatif dari sebuah ide yang mendasarinya, cinta Ilahi.
Cinta bagi sebagian orang dianggap sebagai “Tema Usang” dapat dibuat segar lewat karya-karya Rumi, bahkan mampu membakar mereka yang mendengarkan atau yang membacanya. Di tengah situasi perang dan kekacauan pada zaman Rumi, sajak-sajak cintanya sungguh menguatkan tali persaudaraan. Tariannya sanggup meleburkan ego mereka yang menarikannya.
Bagi Leslie Wines, penulis Rumi A Spritual Biography (lives I Legacies), misalnya, sajak-sajak Rumi memungkinkan kita menjalani hidup keseharian dengan penuh rasa bahagia. Hal ini sebenarnyasangat relevan dalam masyarakat modern sekarang ini, yang menurut Leslie, “Meskipun canggih secara teknologi, tapi terpecah belah secara sosial.”
Rumi tidak hanya bicara lewat karya, tetapi terutama lewat kehidupannya. Pemahamannya akan citra Ilahi yang universal membuatnya tak lagi dapat mengkotak-kotakkan manusia. Ia berhubungan baik dengan berbagai macam orang dengan aneka ragam latar belakang. Saat kematiannya, selama 40 hari penuh warga Muslim, Kristen, Yahudi, Yunani dan Persia tak henti-henti menangisi kepergiannya.
Dialah tokoh yang utuh, yang memberikan tempat bagi cinta untuk mewarnai seluruh hidup dan karyanya. Karya-karyanya dapat menjadi inspirasi, seperti kata Andrew Harvey, seorang penulis, “Rumi merupakan penunjuk jalan utama bagi zaman kebangkitan baru yang sedang berjuang untuk bangkit saat ini. Ia adalah inspirasi spiritual di abad ke 21.”
* (Referensi Kisah dari Alkisah Nomor 03 / 2-15 Februari 2004)

Sekilas Jama'ah An-nadzir

Tiada lain tulisan ini di buat selain untuk lebih mengenal keanekaragaman kelompok2 maupun haraqah dalam islam sebagai khazanah dan keindahan islam .  Tulisan dibawah diberitakan oleh salahsatu televisi swasta pada tahun lalu, disaat perdebatan kontroversi penetapan shalat idhul fitri tahun 2007.
Dibawah ini adalah salah satu kutipan mengenai jamaah ini.
Ajaran An-Nadzir ini masuk ke Kabupaten Gowa melalui Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, imam kaum An-Nadzir pada tahun 1998. Jamaah ini, berbeda dengan jemaah lainnya karena mereka mengenakan jubah dan sorban berwarna hitam yang dipadukan dengan ikatan kepala berwarna putih.
Jamaah kelompok ini mudah dikenali dari penampilannya seperti berambut pirang dengan panjang rambut sebatas bahu, menggunakan sorban, mengenakan jubah hitam,sedangkan penduduk sekitar hanya mengenakan baju koko dan jubah berwarna putih.
Demikian pula jemaah wanita An-Nadzir, sebagian diantara mereka, ada yang mengenakan cadar dan jubah sedangkan yang lainnya, terlihat hanya mengenakan mukenah seperti yang dipakai orang-orang muslim pada umumnya.
Menurut salah satu pimpinan jamaah ini mengatakan bahwa “Kami konsisten menjalankan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW,” ujarnya. Dalam khutbahnya, ustadz Lukman mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai kekuatan dan daya tapi dia bisa memiliki itu bila bersatu padu.
Dia juga menambahkan, Islam bukan sekedar agama, tetapi suatu tatanan hidup bagi kaum yang ingin hidup dengan selamat.
Dengan mengenakan jubah warna hitam, para jamaah An Nadzir tampak khusyuk mengikuti salat.
Dalam melaksanakan salat Idul Fitri, mereka mengaku mempunyai dasar dalam menentukan waktu salat Ied ini. Mereka mendasarkan perhitungannya pada bulan yang terbit (Syawal) juga ditunjang faktor alam lainnya seperti hujan dan guntur
Dalam sholat Ied ini, anak-anak berumur 10 tahun ke bawah yang juga mengenakan jubah dan sorban terlihat dipisah dalam satu barisan tersendiri.
Jamaah An Nadzir juga memiliki penampilan fisik yang berbeda dengan banyak umat muslim lainnya. Mereka mengecat ramburtnya dengan warna pirang, merah dan keemasan serta berpeci lancip
Para kaum wanita jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam dengan cadar menutupi wajah. Sekitar 90 kepala keluarga anggota jamaah An Nadzir mendiami Kelurahan Buttadidia denngan rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap berasal dari rumbai-rumbai
Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel
Tinggal di Tepi Danau, Pilih Rambut Pirang dan Jubah Hitam Sudah delapan tahun jamaah An Nadzir membangun permukiman di tempat terpencil, tepi Danau Mawang, Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka memilih menetap jauh dari keramaian dengan harapan bisa lebih khusyuk beribadah.
MESKI hanya 20 kilometer dari Kota Makassar, jalan menuju ke Danau Mawang, tempat permukiman itu, masih jelek. Lokasinya yang terpencil mengakibatan harian Fajar (Jawa Pos Group) harus bertanya beberapa kali. Akibatnya, setelah sekitar sejam mencari baru sampai ke tujuan.
Nama An Nadzir berarti pemberi peringatan. Sekilas perilaku mereka memang unik, termasuk gaya berbusana. Tapi, jamaahnya menolak dikatakan ikut aliran atau komunitas eksklusif. Seperti umat muslim yang lain, mereka mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan Al Hadis.
Jamaah An Nadzir untuk wilayah Sulsel tersebar di Makassar, Kabupaten Maros, Kota Palopo, dan Kabupaten Gowa. Selain itu, juga terdapat di Medan (Sumut), Jakarta, dan sebagian kecil di luar negeri. Khusus Gowa, jamaahnya ada 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Seperti kebanyakan umat Islam, jamaah An Nadzir mengisi Ramadan dengan berbagai kegiatan, kecuali salat tarawih berjamaah. Alasannya, hal ini sesuai dengan tuntunan Rasul. “Salat tarawih ditiadakan untuk menghindari jadi wajib,” jelas Ustad Rangka, pimpinan An Nadzir Gowa, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Menurut Ustad Rangka, pada zamannya Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27. Namun, setelah itu tidak dilaksanakan lagi. “Ketika para sahabat Nabi bertanya, Rasulullah menjawab itu dilakukan karena takut nanti salat tarawih menjadi kewajiban,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, para jamaah berbuka puasa dengan patokan alam. Yakni, ketika tergelincirnya matahari. “Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan jam karena sangat membantu,” paparnya.
Untuk pelaksanaan salat Isya, lanjut Ustad Rangka, juga mengikuti kebiasaan Nabi, yakni di dua pertiga malam. ” Sekitar pukul 03.00 Wita, karena memang tidak memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada. Intinya memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasullullah,” katanya. Pada malam hari Ramadan ini juga ada jamaahnya yang tafakur di alam terbuka.
Meski menetap di lokasi terpencil, jamaah An Nadzir tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar Kelurahan Mawang, Kecamatan Somba Opu. Untuk mencari nafkah, jamaah An Nadzir berkebun dan bertani. Mereka menggarap lahan seluas dua hektare yang ditanami cabai kecil dan adi.
Ustad Rangka mengakui, dia dan jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam, sorban, dan rambut yang dibuat pirang ini untuk menjalankan sunah Rasul. “Kami di sini tak mengembangkan ajaran sesat,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran serta bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten,” katanya.
Salah seorang jamaah An Nadzir, Iwan, mengaku memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan swasta di Palopo. Pada 2006 dia memilih hijrah ke Gowa bersama keluarga demi proyek keyakinan itu. “Saya memilih masuk An Nadzir semata untuk menegakkan kebenaran itu,” ujarnya.
Tiadakan Tarawih, Berbuka Setelah Salat Magrib
Jemaah An Nadzir, bahkan mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan hadis. Jemaah ini tersebar di Makassar, Maros, Palopo, dan Kabupaten Gowa.
Khusus di Gowa, jemaahnya sebanyak 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga, keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Pada Ramadhan tahun ini, jemaah An Nadzir mengaku melaksanakan ibadah berdasarkan sunah Rasul. Karena itu, mereka tidak melaksanakan salat tarawih seperti kebanyakan umat muslim lainnya.
Shalat tarawih ditiadakan dengan argumen menghindari jemaahnya menjadikannya sebagai sesuatu kewajiban.
“Seperti umumnya umat muslim, kami juga memiliki banyak kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan ini. Hanya saja, salat tarawih ditiadakan karena menghindari jadi wajib,” tandas pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Alasan Rangka tak melaksanakan salat tarawih bersama jemaahnya, lantaran mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada zamannya, kata dia, Rasulullah memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27.
Setelah itu, Rasulullah berhenti selama-lamanya. “Nah, ketika itu para sahabat nabi bertanya, kenapa berhenti. Lalu, Rasulullah menjawab, itu dilakukan semata karena takut nanti salat tarawih kemudian dijadikan kewajiban.
Kenyataan yang terjadi sekarang ini, seakan-akan tarawih di bulan Ramadan itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Makanya, kami putuskan tak melaksanakan tarawih sejak hari pertama Ramadan sampai sekarang ini,” jelas Rangka.
Rangka menambahkan, mereka cukup berpuasa saja dan melakukan buka puasa sesuai waktu yang diyakini pada malam hari. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rangka merujuk pada surah Al Baqarah ayat 187.
“Makanya, kami rata-rata salat magrib dulu baru berbuka puasa, yang waktunya pada waktu malam ketika tergelincirnya matahari.
Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan yang namanya jam itu karena sangat membantu,” paparnya.
Adapun pelaksanaan salat isya, lanjut Rangka, juga mengikuti kebiasaan nabi di mana suatu ketika melakukan salat isya di dua pertiga malam. Ketika itu, dikisahkan Rangka, Aisyah meraba kaki Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Engkau melaksanakan salat apa?”
Rasulullah lalu menjawab, ”Sekiranya tidak memberatkan umatku maka inilah waktu (dua pertiga malam, Red) yang paling tepat melaksanakan salat isya.”
“Itu pula yang kami lakukan di sini. Rata-rata melaksanakan salat isya pada pukul 03.00 Wita, karena memang tidaklah memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada.
Intinya, memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasulullah. Kami makan dan minum sesuai petunjuk Alquran,” kilah Rangka sembari menyebutkan, di malam hari pada bulan Ramadhan ini ada juga jemaah yang tafakur di alam terbuka.
Soal pelaksanaan salat isya itu, Rangka lalu menyebutkan tercantum pada Surah Huud ayat 114 yang berbunyi ”Dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang), dan pada bagian permulaan malam”. Serta Surah Al Israa ayat 78, “Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir (lohor dan asar) sampai gelap malam (magrib dan isya), serta salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan malaikat”.
Dominan Berkebun Aktivitas sehari-hari jemaah An Nadzir adalah berkebun dan menambak ikan. “Di waktu pagi hingga sore hari, kami memang lebih banyak berkebun dan memelihara ikan mas yang ada di tambak atau kolam dekat permukiman,” kata Rangka, yang mengaku sudah 22 tahun menetap di tepi Danau Mawang.
Jemaah An Nadzir sendiri cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang majelis itu. Tapi, jangan coba-coba untuk menyinggung perasaan jemaahnya.
“Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An Nadzir. Sudah banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An Nadzir,” ungkap Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir. (*/bersambung)
Paling Cepat Gelar Salat Idulfitri
PADA bulan Ramadan ini, jemaah An Nadzir melakukan aktivitasnya di siang hari hingga sore. Mereka menggarap sebuah lahan seluas dua hektare yang disiapkan untuk ditanami cabai kecil mulai awal November mendatang.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam padi.
Bahkan, baru-baru ini, jemaah An Nadzir memanen padi yang digarapnya. Satu hektare sawah yang digarap mampu menghasilkan berkarung-karung gabah. “Untuk perkebunan, kami punya lahan sendiri. Sedangkan areal persawahan yang digarap, secara keseluruhan luasnya hampir tujuh hektare. Saat ini, kami memanennya,” jelas Pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui Rabu malam lalu, di kediamannya.
Sekadar informasi, Rangka disebut-sebut yang memiliki lahan pertanian itu. Namun, lahannya tersebut diolah bersama-sama dengan para jemaahnya. Nah, hasilnya itu kemudian dibagi bersama jemaahnya untuk kelangsungan hidup mereka.
Rangka mengaku, dia bersama jemaahnya, hanya semata-mata menjalankan sunah Rasul. Mereka juga memilih hidup secara sederhana. “Kami di sini tidak mengembangkan ajaran sesat. Kami justru menegakkan kebenaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah. Nah, yang mengajari saya dan para jemaah An Nadzir masuk ke lokasi ini (tepi Danau Mawang, red) adalah Al Mahdi Abdullah, imam akhir zaman yang kita tunggu-tunggu selama ini,” ungkapnya.
Rangka menambahkan, ia sebenarnya pernah bergabung dengan Muhammadiyah sebelum memutuskan masuk majelis An Nadzir. “Kebenaran itu akan muncul. Nah, Imam Mahdi sendiri juga akan muncul di belahan timur,” katanya.
Menyinggung tentang belahan timur, kata dia, Kabupaten Gowa berada persis di belahan timur.
Atas dasar itu, Rangka mengaku memilih sebuah lokasi terpencil di Gowa untuk memulai perjalanan menegakkan kebenaran itu.
Secara tegas, Rangka berkali-kali mengatakan bahwa ia dan jemaahnya tak mengembangkan ajaran sesat. Mereka, kata Rangka, hanya menjalankan ajaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, yang dijadikan imamnya.
“Untuk apa saya meninggalkan keramaian di luar sana dan masuk ke tempat terpencil kalau hanya mengembangkan ajaran sesat. Sekalipun beberapa rekan saya di Muhammadiyah menghujat dan mencibir saya, tapi saya hanya tersenyum,” akunya.
Perlu diluruskan, lanjutnya, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran, bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten. Sudah jelas, An Nadzir itu sebuah majelis (perjalanan),” paparnya.

(sumber : aroweli tenggara)

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati