Cara Abu Nawas Merayu Tuhan


Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.
Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.
***
Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.
Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
Sumber Gambar: http://www.nasa.gov/images/content/122623main_k_star.jpg

Jalaluddin Rumi, Menggapai Cinta Ilahi dengan Menari


Ia sufi besar, Penyair besar, dan Fuqaha yang Handal. Ia mendirikan tarekat Darwisy Berputar yang terkenal dengan tarian ritualnya.
Puisi karya Jalaluddin Rumi dikenal luas, dan menjadi sumber rujukan bagi setiap kajian mengenai dunia sufi selama beberapa abad terakhir. lahir pada 30 September 1207 M di Balkh (kini Afganistan) dari keluarga Bangsawan. Ayahnya Baha’ Walad, adalah seorang Fuqaha (ahli Fiqih) yang juga sufi dan mengajar syariat di masjid dan tempat umum lainnya.
Meski Baha’ menikah dengan wanita Bangsawan, ia menentang kibijakan Sultan Kharazmashan ketika itu. Mula-mula Sultan selalu menghadiri pengajian Baha’, tetapi karena pembelotan Baha’ dan cemburu, gara-gara Baha’ kian populer di mata rakyat. Sultan tidak lagi hadir . belakangan Sultan mencurigai ajaran Baha’ dan akhirnya Baha’ dianggap sebagai musuh.
Ketika Rumi berusia 12 tahun, pada tahun 1219 M, bangsa Mongol menguasai Balkh, sehingga Baha’ sekeluarga hijrah sekaligus menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan tidak pernah kembali ke Balkh. Dalam perjalanannya, Baha’ mampir ke Nishapur dan bertemu dengan ulama dan penyair sufi, Fariduddin Athar. Melihat Rumi kecil Athar berkomentar, “Anakmu tidak lama lagi akan menjadi api yang membakar para pecinta Allah diseluruh dunia.” Athar menghadiahi Rumi sebuah kitab karyanya, Asrarnama (kitab rahasia), yang berisi prinsip-prinsip sufisme melalui kisah dan Fabel, yang kelak sangat mempengaruhi karya-karya Rumi.
Usai menunaikan ibadah haji, Baha’ singgah di kota kecil Larnada di Konya, Turki. Raja Konya, yang sangat menghargai ilmu pengeatahuan dan filsafat serta mendukung kegiatan kaum terpelajar, menulis surat kepada Baha’ , isinya, tawaran bagi keluarga Baha’ untuk tinggal sekaligus mengajar di perguruan tinggi Konya. Baha’ menerima taearan tersebut.
Berkat keahliannya dalam ilmu agama dan kedekatannya dengan penguasa, Baha’ menjadi orang terhormat dan mendapat gelar “Sulthan al-Ulama”. Sementara itu Rumi yang mulai menginjak usia remaja terus belajar berbagai ilmu: Tata Bahasa dan Sastra Arab, sejarah, logika, matematika, Astronomi, Filsafat dan Tasawuf.
Baha’ Walad wafat pada tahun 1231 M, ketika Rumi sudah menguasai berbagai ilmu. Ketika berusia 24 tahun, Rumi sudah menggantikan tugas-tugas almarhum ayahnya sebagai Muballigh dan Fuqaha. Namanya pun segera masuk ke dalam daftar para Fuqaha yang menjadi rujukan para ulama mazhab Hanafi.

Sultan  Al-Faqir

Perkenalan Rumi dengan Tasawuf berkat bimbingan ayahandanya. Belakangan salah seorang murid kesayangan ayahnya, Burhanuddin Tirmizi, datang ke Konya untuk mengunjungi gurunya, tetapi Baha’ sudah wafat. Akhirnya, Tirmizi mengajarkan Tasawuf kepada Rumi hingga ia meninggal pada tahun 1240 M.
Tak lama kemudian Rumi menduduki jabatan terhormat di Universitas Konya. Meski diakui juga sebagai guru sufi, kehidupan sehar-harinya tetap seperti biasanya. Kadang-kadang ia membahas materi spritual dalam khotbahnya, namun dalam kehidupan sehari-hari ia tidak pernah menunjukkan kelebihannya dibanding para Fuqaha yang lain. Tetapi ketika Syam Tabrizi yang mendapatkan gelar Sultan al-Faqir datang, semuanya berubah. Ada beberapa versi yang mengisahkan pertemuan antara Rumi dan Tabrizi. Dua kisah berikut paling sering diceritakan.
Pada suatu hari, sesosok kumal mengikuti pelajaran Rumi masuk ke ruang kelas tempat Rumi mengajar di Universitas Konya. Tanpa basa basi, Tabrizi yang kumal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Bayazid Bistami atau Nabi Muhammad?”
Rumi menjawab, “Nabi Muhammad adalah orang lebih agung.” Lalu kata Tabrizi, “Bukankah Nabi bersabda, “Ya Allah, aku belum mampu memuji-Mu dengan pujian sebagaimana engkau memuji diri-Mu”, Sedangkan Bayazid berkata, “Betapa Agung muaraku, kemuliaan datang kepadaku ketika aku diangkat, akulah yang derajatnya ditinggikan.”
Tabrizi, yang melihat Rumi tidak mampu menjawab pertanyaan itu, kemudian menjelaskan bahwa kehausan Bayazid akan sifat-sifat ketuhanan dipuaskan ketika ia minum seteguk air, sedangkan hausnya Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah terpuaskan karena Nabi selalu haus akan air pengetahuan ketuhanan yang lebih banyak. Mendengar itu Rumi menjatuhkan diri di kaki Tabrizi, lalu menangis tak sadarkan diri. Ketika sadar, kepalanya tergeletak di pangkuan Tabrizi yang sedang duduk. Tak lama kemudian, kedua lelaki ini mengasingkan diri bersama-sama selama tiga bulan.
Versi lain, agak berbeda, tetapi punya arti serupa. Suatu hari Rumi sedang duduk di perpustakaan pribadi bersama sekelompok murid yang berkumpul di sekelilingnya mendengar pelajarannya. Tiba-tiba seseorang berpakaian kumal masuk dan duduk. Ia menunjuk buku-buku di sudut ruangan, katanya, “Apa itu?”
Rumi yang mengira orang itu adalah pengemis, menjawab, “Engkau tidak akan mengerti.” Mendadak, muncul api berkobar dari rak buku. “Apa itu?” Rumi berteriak panik. Dengan tenang Tabrizi berkata, “Engkau pun tidak akan mengerti,” lalu ia pergi. Rumi kembali berteriak dan mengejar Tabrizi. Rumi kemudian meninggalakn tugasnya mengajar, dan bertapa bersama Tabrizi.

Tarian Sufi

Tak seorangpun tahu apa yang diajarkan Tabrizi kepada Rumi di pengasingan. Yang kemudian diketahui orang ialah, Rumi yang ketika itu berusia 38 tahun, muncul dengan segala keanehan. Dia tidak lagi memberi ceramah agama dan memimpin doa melainkan membimbing tarian sufi. Rumi yang semula tidak punya latar belakang kepenyairan, mulai menulis puisi yang sangat indah, untuk mengekspresikan cintanya kepada Allah.
Puisi-puisinya sangat menyentuh, ciri khasnya secara jelas menunjukkan, penampakan luar hanyalah selubung yang menutup makna di dalam. Karya utama yang diakui sebagai salah satu buku luar biasa di dunia ialah Matsnawi-I-Ma’nawi (untaian puisi dua baris) yang terdiri dari enam jilid, terdiri dari 25 ribu puisi panjang dan merupakan mutiara ajaran sufi.
Matsnawi-I-Ma’nawi ditulis atas permintaan Husainuddin Khalabi, murid kesayangannya. Rumi mengucapkan puisi dan Khalabi yang menuliskannya. Setelah selesai ditulis selama dua tahun, Khalabi membacakannya kembali  dihadapan Rumi. Beberapa karya Rumi merupakan kumpulan anekdok dan kisah sehari-hari yang berkaitan dengan moral Islam, yang juga merupakan repsentasi spritual yang tenang dalam memaparkan berbagai  dimensi kehidupan dan latihan rohani.
Rumi menulis Diwan-I-Tabrizi, terdiri dari 3.200 Ghazal (bait), meliputi 35 ribu puisi, 44 ribu Ta’rifat (puisi yang terdiri dari dua gahzal atau lebih). Diwan dan Matsnawi merupakan buku wajib bagi murid-murid Rumi. Sebagian besar puisi dalam Diwan menggambarkan pengalaman spritual Rumi. Misalnya, persatuan dan perpisahan dengan Allah, yang dilukiskan melalaui berbagai simbol dan perumpamaan metafisik. Rumi menggambarkan pengalaman pendakian terjal ke langit (pencapaian dan kedekatan dengan Allah) melalui “Mabuk Spritual.”
Karya monumental lainnya ialah kumpulan pelajaran yang disampaikan oleh Rumi kepada murid-muridnya di meja makan. Di tulis dalam bentuk prosa, Fihi ma Fihi. Isinya menjelaskan berbagai dimensi ajaran sufi secara terperinci melalui sejumlah analogi dan perbandingan. Karya prosa lainnya. Majlis-I-Sab’ah (tujuh pertemuan), kumpulan khotbah pendek yang ditujukan kepada masyarakat umum. Kitab lainnya, Mahatib, kumpulah 145 surat untuk para Pangeran dan Bangsawan Konya.

Madonna Dan Demi Moore

Karya-karya Rumi banyak diterjemahkan oleh penulis barat. Dalam Amazon.Com, situs toko buku on-line terbesar, hanya dalam hitungan bulan tak kurang dari ratusan buku puisi Rumi di terbitkan, dan sangat laris. tidak hanya itu, sudah beberapa kali festival baca puisi Rumi di gelar. Tak tanggung-tanggung, bintang-bintang Hollywood seperti Pop Star Madonna, Aktris Demi Moore dan Goldie Hawn, ikut membacakan puisi sufi tersebut.
Yang termasuk laris antara lain The Essential Rumi, kumpulan puisi terjemahan Coleman Barks. Kemudian sebuah buku suntingan pasangan suami-istri Camille Adams Helminski dan Edmund Kabir Helminski yang telah diterjemahkan ke dalasm bahasa Indonesia dengan judul: Rumi, pesona suci dunia Timur.
Beberapa karya Rumi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (melalui bahasa Ingris), antar lain, Dunia Rumi: Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, karya Annemare Schimmel (pustaka Sufi), Jalan cinta sang sufi, karya William C. Chittick (penerbit Qalam), Firdaus Para Sufi, karya Dr. Javad Nurbaksh, Rajawali Sang Raja, ditulis oleh Jhon Renard (serambi), Menari bersama Rumi, oleh Denise Breton dan Christoper Legent, dan masih banyak lainnya.
Sebagai guru sufi, Jalaluddin Rumi dikenal dengan tarekat yang menjalani ritusnya dengan berputar-putar menari, karena proses pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan menari berputar-putar, di iringi musik, instrumen musiknya bisa berupa Gitar khas sufi, atau bisa juga semacam Drum. Untuk mencapai “Cinta Prima kepada Allah”, mereka terus berputar ratusan kali dalam waktu cukup lama. Mereka ternyata tidak merasa pusing, justru semakin cepat dan lama berputar, mereka akan semakin menemukan “Cinta Alahi”.
Hingga kini ritus kaum tarekat ajaran Rumi dengan berputar menari itu masih diamalkan oleh para pengikutnya, dan berkembang ke Afganistan, Pakistan, Timur Tengah, Afrika, Eropa,bahkan Kuba. Beberapa koreografer tari modern dan teater Kontemporer juga mengemas tarian berputar dalam karya-karya mereka. Namun, nuansanya sudah berbeda.

Inspirator Kebangkitan Spiritual

Ada yang mengenalnya sebagai penyair, ada yang mengenalnya sebagai penari, ada yang mengenalnya sebagai ulama, ada yang mengenalnya sebagai sufi, namun lebih dari semua itu, Jalaluddin Rumi adalah seorang Maestro
Kendati sudah lebih dari 700 tahun setelah meninggalnya, namanya hingga kini masih mampu memberi warna bagi kehidupan masyarakat dunia yang sudah serba canggih ini. Bahkan sejak satu dekade belakangan  ini puisi-puisi Rumi menjadi karya seni yang paling banyak dibaca di Amerika Serikat. Karya Rumi yang dihimpun oleh Coleman Barks dalam buku yang berjudul The Essential Rumi menjadi buku puisi terlaris di Amerika Serikat pada tahun 1997, menurut The Christian Science Monitor.
Dona Karan, perancang mode terkemuka asal New York, menjadikan Rumi sebagai sumber inspirasinya ketika menggelar peragaan busananya musim panas tahun 1998 lalu. Sampai saat ini, karya-karya Rumi telah diterjemahkan ke berbagai bahasi di dunia, termasuk Rusia, Jerman, Prancis, Italia dan Spanyol, bahkan telah dikembangkan secara kreatif dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti Konser, pertunjukan tari, berbagai bentuk bacaan dan sebagainya.
Kini ketika berkembang pemahaman yang keliru terhadap dunia Islam, peranan Rumi sebagai simbol pengusung nilai-nilai universal dalam Islam menjadi semakin relevan.
Walaupun kecemerlangannya bag cerita-cerita dongeng, namun sesungghnya terdapat begitu banyak tantangan dan kepahitan hidup yang harus di lalui sebelum Rumi tumbuh menjadi sosok seperti yang di kenal orang sekarang.
Dalam usia 24 tahun Rumi tumbuh tidak saja sebagai intelektual Islam terkemuka, tetapi juga ahli di bidang hukum, sejarah dan sastra. Sesudah ayahnya mwninggal, pada 1231, Rumi menggantikan ayahnya sebagai profesor dalam ilmu-ilmu agama.
Namun, manjadi tokoh intelektual penting, ternyata tidak menjadi titik akhir pencapaian dalam hidup bagi Rumi. Dalam dirinya masih bergolak kegelisahan yang amat dahsyat.
Ketika itulah saat Rumi berusia kira-kira 37 tahun, muncul sang Darwish, Syam dari Tabriz. Syamsuddin At-Tabrizi, yang namanya kira-kira berarti, “Surya keagamaan”, ternyata mampu membawa pencerahan bagi jiwa Rumi yang sedang bergolak. Selama lebih dari 2 tahun, sang Mursyid dan sang Murid, mabuk dalam cinta Ilahi. Ibarat api, kedekatan dengan sang Mursyid sanggup “Membakar” Rumi hingga sang muridpun ikut menyatu dalam nyala api Ilahi.
Sejak saat itulah Rumi tidak lagi dikenal sebagai ahli tentang agama dan ketuhanan. Ia tidak lagi mengandalkan pemahaman rasional belaka untuk menjelaskan tentang Tuhan, melainkan mengajak pengikutnya untuk langsung merasakan kebesaran Tuhan dengan masuk kedalam cinta.
Kedakatan Rumi dengan sang Guru, tidak mudah dipahami oleh banyak kalangan, termasuk bagi mantan pengikut-pengikut Rumi serta mereka yang tidak memahami hubungan spritual antara Mursyid dan Murid. Bagi kaum sufi, hubungan istimewa semacam itu merupakan ajakn dari seorang guru untuk membuyka hati seorang murid agar merasakan kehadiran Tuhan. Namun tidak sedikit yang menganggap keputusan Rumi tinggal serumah dengan sang Guru sebagai sebuah percintaan yang di dasari ketertarikan seksual belaka.
Rumi membuktikan bahwa hubungannya dengan sang Mursyid bukan sebuah hubungan rendahan, terutama setelah secara misterius Syams menghilang pada sekitar tahun 1247. Berbagai dugaan mengatakan bahwa Syams di bunuh oleh pengikut atau bahkan anak Rumi sendiri yang tidak mau Rumi terus berhubungan dengan sang Guru itu. Lewat karya-karyanya sepeninggal Syams, Rumi menunjukkan tingginya nilai spritual dari hubungannya dengan sang Mursyid. Misalnya dalam sajak berikut:
Siapapun yang pernah mendengar tentangKu,
Biarlah ia menyiapkan diri dan menemuiKu
Siapapun yang menginginkanKu,
Biarlah ia mencariKu
Ia akan menemukanKu
Lalu biarkan ia untuk tidak memilih yang lain selain Aku
Syams dari Tabriz
Divani Syamsi Tabrizi atau “Sajak-sajak Syams dari Tabriz” serta Masnawi adalah karya-karya monomental Rumi yang dilahirkan setelah kepergian Syams. Masnawi yang terdiri dari 6 jilid menjadi salah satu leteratur dan pemikiran yang amat berpengaruh dalam dunia Islam.
Semua karya Rumi, dari Sajak hingga Tarian Sufi (Whirling dance) yang dipopulerkannya, sebetulnya merupakan berbagai bentuk kreatif dari sebuah ide yang mendasarinya, cinta Ilahi.
Cinta bagi sebagian orang dianggap sebagai “Tema Usang” dapat dibuat segar lewat karya-karya Rumi, bahkan mampu membakar mereka yang mendengarkan atau yang membacanya. Di tengah situasi perang dan kekacauan pada zaman Rumi, sajak-sajak cintanya sungguh menguatkan tali persaudaraan. Tariannya sanggup meleburkan ego mereka yang menarikannya.
Bagi Leslie Wines, penulis Rumi A Spritual Biography (lives I Legacies), misalnya, sajak-sajak Rumi memungkinkan kita menjalani hidup keseharian dengan penuh rasa bahagia. Hal ini sebenarnyasangat relevan dalam masyarakat modern sekarang ini, yang menurut Leslie, “Meskipun canggih secara teknologi, tapi terpecah belah secara sosial.”
Rumi tidak hanya bicara lewat karya, tetapi terutama lewat kehidupannya. Pemahamannya akan citra Ilahi yang universal membuatnya tak lagi dapat mengkotak-kotakkan manusia. Ia berhubungan baik dengan berbagai macam orang dengan aneka ragam latar belakang. Saat kematiannya, selama 40 hari penuh warga Muslim, Kristen, Yahudi, Yunani dan Persia tak henti-henti menangisi kepergiannya.
Dialah tokoh yang utuh, yang memberikan tempat bagi cinta untuk mewarnai seluruh hidup dan karyanya. Karya-karyanya dapat menjadi inspirasi, seperti kata Andrew Harvey, seorang penulis, “Rumi merupakan penunjuk jalan utama bagi zaman kebangkitan baru yang sedang berjuang untuk bangkit saat ini. Ia adalah inspirasi spiritual di abad ke 21.”
* (Referensi Kisah dari Alkisah Nomor 03 / 2-15 Februari 2004)

Sekilas Jama'ah An-nadzir

Tiada lain tulisan ini di buat selain untuk lebih mengenal keanekaragaman kelompok2 maupun haraqah dalam islam sebagai khazanah dan keindahan islam .  Tulisan dibawah diberitakan oleh salahsatu televisi swasta pada tahun lalu, disaat perdebatan kontroversi penetapan shalat idhul fitri tahun 2007.
Dibawah ini adalah salah satu kutipan mengenai jamaah ini.
Ajaran An-Nadzir ini masuk ke Kabupaten Gowa melalui Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, imam kaum An-Nadzir pada tahun 1998. Jamaah ini, berbeda dengan jemaah lainnya karena mereka mengenakan jubah dan sorban berwarna hitam yang dipadukan dengan ikatan kepala berwarna putih.
Jamaah kelompok ini mudah dikenali dari penampilannya seperti berambut pirang dengan panjang rambut sebatas bahu, menggunakan sorban, mengenakan jubah hitam,sedangkan penduduk sekitar hanya mengenakan baju koko dan jubah berwarna putih.
Demikian pula jemaah wanita An-Nadzir, sebagian diantara mereka, ada yang mengenakan cadar dan jubah sedangkan yang lainnya, terlihat hanya mengenakan mukenah seperti yang dipakai orang-orang muslim pada umumnya.
Menurut salah satu pimpinan jamaah ini mengatakan bahwa “Kami konsisten menjalankan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW,” ujarnya. Dalam khutbahnya, ustadz Lukman mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai kekuatan dan daya tapi dia bisa memiliki itu bila bersatu padu.
Dia juga menambahkan, Islam bukan sekedar agama, tetapi suatu tatanan hidup bagi kaum yang ingin hidup dengan selamat.
Dengan mengenakan jubah warna hitam, para jamaah An Nadzir tampak khusyuk mengikuti salat.
Dalam melaksanakan salat Idul Fitri, mereka mengaku mempunyai dasar dalam menentukan waktu salat Ied ini. Mereka mendasarkan perhitungannya pada bulan yang terbit (Syawal) juga ditunjang faktor alam lainnya seperti hujan dan guntur
Dalam sholat Ied ini, anak-anak berumur 10 tahun ke bawah yang juga mengenakan jubah dan sorban terlihat dipisah dalam satu barisan tersendiri.
Jamaah An Nadzir juga memiliki penampilan fisik yang berbeda dengan banyak umat muslim lainnya. Mereka mengecat ramburtnya dengan warna pirang, merah dan keemasan serta berpeci lancip
Para kaum wanita jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam dengan cadar menutupi wajah. Sekitar 90 kepala keluarga anggota jamaah An Nadzir mendiami Kelurahan Buttadidia denngan rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap berasal dari rumbai-rumbai
Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel
Tinggal di Tepi Danau, Pilih Rambut Pirang dan Jubah Hitam Sudah delapan tahun jamaah An Nadzir membangun permukiman di tempat terpencil, tepi Danau Mawang, Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka memilih menetap jauh dari keramaian dengan harapan bisa lebih khusyuk beribadah.
MESKI hanya 20 kilometer dari Kota Makassar, jalan menuju ke Danau Mawang, tempat permukiman itu, masih jelek. Lokasinya yang terpencil mengakibatan harian Fajar (Jawa Pos Group) harus bertanya beberapa kali. Akibatnya, setelah sekitar sejam mencari baru sampai ke tujuan.
Nama An Nadzir berarti pemberi peringatan. Sekilas perilaku mereka memang unik, termasuk gaya berbusana. Tapi, jamaahnya menolak dikatakan ikut aliran atau komunitas eksklusif. Seperti umat muslim yang lain, mereka mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan Al Hadis.
Jamaah An Nadzir untuk wilayah Sulsel tersebar di Makassar, Kabupaten Maros, Kota Palopo, dan Kabupaten Gowa. Selain itu, juga terdapat di Medan (Sumut), Jakarta, dan sebagian kecil di luar negeri. Khusus Gowa, jamaahnya ada 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Seperti kebanyakan umat Islam, jamaah An Nadzir mengisi Ramadan dengan berbagai kegiatan, kecuali salat tarawih berjamaah. Alasannya, hal ini sesuai dengan tuntunan Rasul. “Salat tarawih ditiadakan untuk menghindari jadi wajib,” jelas Ustad Rangka, pimpinan An Nadzir Gowa, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Menurut Ustad Rangka, pada zamannya Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27. Namun, setelah itu tidak dilaksanakan lagi. “Ketika para sahabat Nabi bertanya, Rasulullah menjawab itu dilakukan karena takut nanti salat tarawih menjadi kewajiban,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, para jamaah berbuka puasa dengan patokan alam. Yakni, ketika tergelincirnya matahari. “Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan jam karena sangat membantu,” paparnya.
Untuk pelaksanaan salat Isya, lanjut Ustad Rangka, juga mengikuti kebiasaan Nabi, yakni di dua pertiga malam. ” Sekitar pukul 03.00 Wita, karena memang tidak memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada. Intinya memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasullullah,” katanya. Pada malam hari Ramadan ini juga ada jamaahnya yang tafakur di alam terbuka.
Meski menetap di lokasi terpencil, jamaah An Nadzir tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar Kelurahan Mawang, Kecamatan Somba Opu. Untuk mencari nafkah, jamaah An Nadzir berkebun dan bertani. Mereka menggarap lahan seluas dua hektare yang ditanami cabai kecil dan adi.
Ustad Rangka mengakui, dia dan jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam, sorban, dan rambut yang dibuat pirang ini untuk menjalankan sunah Rasul. “Kami di sini tak mengembangkan ajaran sesat,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran serta bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten,” katanya.
Salah seorang jamaah An Nadzir, Iwan, mengaku memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan swasta di Palopo. Pada 2006 dia memilih hijrah ke Gowa bersama keluarga demi proyek keyakinan itu. “Saya memilih masuk An Nadzir semata untuk menegakkan kebenaran itu,” ujarnya.
Tiadakan Tarawih, Berbuka Setelah Salat Magrib
Jemaah An Nadzir, bahkan mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan hadis. Jemaah ini tersebar di Makassar, Maros, Palopo, dan Kabupaten Gowa.
Khusus di Gowa, jemaahnya sebanyak 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga, keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Pada Ramadhan tahun ini, jemaah An Nadzir mengaku melaksanakan ibadah berdasarkan sunah Rasul. Karena itu, mereka tidak melaksanakan salat tarawih seperti kebanyakan umat muslim lainnya.
Shalat tarawih ditiadakan dengan argumen menghindari jemaahnya menjadikannya sebagai sesuatu kewajiban.
“Seperti umumnya umat muslim, kami juga memiliki banyak kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan ini. Hanya saja, salat tarawih ditiadakan karena menghindari jadi wajib,” tandas pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Alasan Rangka tak melaksanakan salat tarawih bersama jemaahnya, lantaran mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada zamannya, kata dia, Rasulullah memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27.
Setelah itu, Rasulullah berhenti selama-lamanya. “Nah, ketika itu para sahabat nabi bertanya, kenapa berhenti. Lalu, Rasulullah menjawab, itu dilakukan semata karena takut nanti salat tarawih kemudian dijadikan kewajiban.
Kenyataan yang terjadi sekarang ini, seakan-akan tarawih di bulan Ramadan itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Makanya, kami putuskan tak melaksanakan tarawih sejak hari pertama Ramadan sampai sekarang ini,” jelas Rangka.
Rangka menambahkan, mereka cukup berpuasa saja dan melakukan buka puasa sesuai waktu yang diyakini pada malam hari. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rangka merujuk pada surah Al Baqarah ayat 187.
“Makanya, kami rata-rata salat magrib dulu baru berbuka puasa, yang waktunya pada waktu malam ketika tergelincirnya matahari.
Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan yang namanya jam itu karena sangat membantu,” paparnya.
Adapun pelaksanaan salat isya, lanjut Rangka, juga mengikuti kebiasaan nabi di mana suatu ketika melakukan salat isya di dua pertiga malam. Ketika itu, dikisahkan Rangka, Aisyah meraba kaki Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Engkau melaksanakan salat apa?”
Rasulullah lalu menjawab, ”Sekiranya tidak memberatkan umatku maka inilah waktu (dua pertiga malam, Red) yang paling tepat melaksanakan salat isya.”
“Itu pula yang kami lakukan di sini. Rata-rata melaksanakan salat isya pada pukul 03.00 Wita, karena memang tidaklah memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada.
Intinya, memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasulullah. Kami makan dan minum sesuai petunjuk Alquran,” kilah Rangka sembari menyebutkan, di malam hari pada bulan Ramadhan ini ada juga jemaah yang tafakur di alam terbuka.
Soal pelaksanaan salat isya itu, Rangka lalu menyebutkan tercantum pada Surah Huud ayat 114 yang berbunyi ”Dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang), dan pada bagian permulaan malam”. Serta Surah Al Israa ayat 78, “Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir (lohor dan asar) sampai gelap malam (magrib dan isya), serta salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan malaikat”.
Dominan Berkebun Aktivitas sehari-hari jemaah An Nadzir adalah berkebun dan menambak ikan. “Di waktu pagi hingga sore hari, kami memang lebih banyak berkebun dan memelihara ikan mas yang ada di tambak atau kolam dekat permukiman,” kata Rangka, yang mengaku sudah 22 tahun menetap di tepi Danau Mawang.
Jemaah An Nadzir sendiri cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang majelis itu. Tapi, jangan coba-coba untuk menyinggung perasaan jemaahnya.
“Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An Nadzir. Sudah banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An Nadzir,” ungkap Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir. (*/bersambung)
Paling Cepat Gelar Salat Idulfitri
PADA bulan Ramadan ini, jemaah An Nadzir melakukan aktivitasnya di siang hari hingga sore. Mereka menggarap sebuah lahan seluas dua hektare yang disiapkan untuk ditanami cabai kecil mulai awal November mendatang.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam padi.
Bahkan, baru-baru ini, jemaah An Nadzir memanen padi yang digarapnya. Satu hektare sawah yang digarap mampu menghasilkan berkarung-karung gabah. “Untuk perkebunan, kami punya lahan sendiri. Sedangkan areal persawahan yang digarap, secara keseluruhan luasnya hampir tujuh hektare. Saat ini, kami memanennya,” jelas Pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui Rabu malam lalu, di kediamannya.
Sekadar informasi, Rangka disebut-sebut yang memiliki lahan pertanian itu. Namun, lahannya tersebut diolah bersama-sama dengan para jemaahnya. Nah, hasilnya itu kemudian dibagi bersama jemaahnya untuk kelangsungan hidup mereka.
Rangka mengaku, dia bersama jemaahnya, hanya semata-mata menjalankan sunah Rasul. Mereka juga memilih hidup secara sederhana. “Kami di sini tidak mengembangkan ajaran sesat. Kami justru menegakkan kebenaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah. Nah, yang mengajari saya dan para jemaah An Nadzir masuk ke lokasi ini (tepi Danau Mawang, red) adalah Al Mahdi Abdullah, imam akhir zaman yang kita tunggu-tunggu selama ini,” ungkapnya.
Rangka menambahkan, ia sebenarnya pernah bergabung dengan Muhammadiyah sebelum memutuskan masuk majelis An Nadzir. “Kebenaran itu akan muncul. Nah, Imam Mahdi sendiri juga akan muncul di belahan timur,” katanya.
Menyinggung tentang belahan timur, kata dia, Kabupaten Gowa berada persis di belahan timur.
Atas dasar itu, Rangka mengaku memilih sebuah lokasi terpencil di Gowa untuk memulai perjalanan menegakkan kebenaran itu.
Secara tegas, Rangka berkali-kali mengatakan bahwa ia dan jemaahnya tak mengembangkan ajaran sesat. Mereka, kata Rangka, hanya menjalankan ajaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, yang dijadikan imamnya.
“Untuk apa saya meninggalkan keramaian di luar sana dan masuk ke tempat terpencil kalau hanya mengembangkan ajaran sesat. Sekalipun beberapa rekan saya di Muhammadiyah menghujat dan mencibir saya, tapi saya hanya tersenyum,” akunya.
Perlu diluruskan, lanjutnya, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran, bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten. Sudah jelas, An Nadzir itu sebuah majelis (perjalanan),” paparnya.

(sumber : aroweli tenggara)

Majeis Kwitang


Majlis ta’lim kwitang yang diadakan setiap hari minggu pagi pukul 06:00 sampai jam 09:00 adalah majlis tertua di Indonesia yang didirikan oleh Al habib Ali bin abdurrohman al habsyi orang betawi menyebutnya dengan Habib Ali kwitang, beliau lahir di kwitang pada tanggal 20 april 1870.Sejak usia 10 tahun beliau sudah menjadi yatim ,ayah beliau bernama Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah (Hajjah Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara).menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Di majelis taklim Kwitang inilah Habib Ali, dan juga putranya Habib Muhammad, dan kemudian cucunya Habib Abdurahman kini memimpin majelis taklim lahir., Habib Ali meninggal dunia pada Juni 1968 dalam usia 98 tahun. Dia digantikan putranya Habib Muhammad yang meninggal pada 1993. Dengan demikian Habib Abdurahman telah memimpin pengajian ini selama 14 tahun.

Setelah Habib Ali meninggal, murid-muridnya seperti KH Abdullah Syafiie dan KH Tohir Rohili masing-masing mendirikan Majelis Taklim Syafiiyah, di Bali Matraman, Jakarta Selatan, dan Tohiriah di Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Kedua majelis taklim ini telah berkembang demikian rupa sehingga memiliki perguruan Islam, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Karena punya akar yang sama, tiga majelis ini (Kwitang, Syafiiyah, dan Tahiriyah) selalu merujuk kitab an Nasaih ad-Diniyah karangan Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi terkenal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Ratibnya hingga kini dikenal dengan sebutan rotib al Hadad.

Menurut KH Abdul Rasyid AS, putra almarhum KH Abdullah Syafi’ie yang kini memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah, sekalipun kitab kuning ini telah berusia 300 tahun, tapi masalah yang diangkat masih tetap relevan dan aktual saat ini. Sufi yang kitab karangannya juga dijadikan rujukan di Mesir dan sejumlah negara Arab, memang banyak mengangkat segi akhlak, agar manusia memiliki akhlakul karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Kembali kepada almarhum Habib Ali, ia memiliki banyak murid orang Betawi, termasuk KH Noer Ali, ulama dan tokoh pejuang dari Bekasi, karena pernah memiliki madrasah Unwanul Falah. Madrasah Islam dengan sistem kelas didirikan pada tahun 1918, dan letaknya di Jl Kramat Kwirang II, berdekatan dengan Masjid Al-Riyadh, Kwitang. Untuk pertama kali waktu itu, madrasah ini juga terbuka untuk murid-murid wanita, sekalipun tempat duduknya dipisahkan dengan murid pria. Ratusan di antara murid-murid sekolah ini, kemudian menjadi da’i terkemuka, dan banyak yang memimpin pesantren, termasuk Al-Awwabin pimpinan KH Abdurahman Nawi di Depok, dan Tebet, Jakarta Selatan.

Tabligh dan Maulid
Dengan jubah putih dan janggut rapi, laksana pakaian Pangeran Diponegoro ketika mengibarkan jubahnya melawan Belanda, setelah masa tuanya tiap hari duduk di depan kediamannya di Kwitang. Dia telah menjadikan kediamannya ini sebagai masjid, sekalipun ia juga ikut mendirikan Masjid Kwitang, yang jaraknya sekitar 200 meter dari kediamannya. Dari kediamannya inilah, ia menerima para tamu yang bersilaturahim, maupun murid-muridnya yang kebanyakan ulama untuk lebih menambah ilmu. Sedangkan pada Ahad pagi ia biasa dikelilingi ribuan jamaah yang mendengarkan petuah-petuahnya tentang ilmu agama.
Mohamad Asad (93), penulis banyak buku di Timur Tengah, dan puluhan tahun mengenalnya mengatakan, majelis taklim Kwitang bertahan selama satu abad hingga sekarang, karena inti ajaran Islam yang disodorkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan akhlakul karimah. Ia tidak pernah menanamkan ideologi kebencian, hasad, dengki, ghibah, fitnah, dan namimah. Ia juga menekankan prinsip ukhuwah Islamiyah, sekalipun ia lebih mendekati akidah kelompok NU, tapi majelisnya banyak pula didatangi tokoh Muhammadiyah

Habib Ali yang selama hidupnya hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah, seperti dikemukakan oleh Mr Hamid Algadri, termasuk ikut mendorong Syarikat Islam yang dipimpin HOS Cokroaminoato. Karena itu, ia juga berkawan dengan Haji Agus Salim, dan pernah bersama-sama dipenjarakan pada masa pendudukan Jepang. Dalam rangka prinsip ukhuwah Islamiyah, karenanya di majelis-majelis taklim warga Betawi seperti dianjurkan Habib Ali, hampir tidak ada diantara mereka yang membesar-besarkan perbedaan, apalagi kalau perbedaan itu dalam masalah khilafiah.

Habib Ali memimpin perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Kwitang sejak tahun 1920. Dalam perayaan maulid secara tradisional ini diselingi bacaan-bacaan, berupa pujian akan kebesaran asma Allah, pembacaan sejarah Nabi, juga dihadiri para pembesar dan pejabat negara.Peringatan maulid diadakan setiap tahun pada akhir Kamis di bulan robiul awal, dengan membaca kitab Simtud Duror karangan Habib Ali Muhammad, ulama terkenal dari Sewon, Hadramaut. Peringatan maulid dengan membaca kitab tersebut pertama kali diselenggarakan di Indonesia di kota Jatiwangi, Cirebon. Kemudian berpindah ke kota Tegal, kemudian ke Bogor. Setelah itu ke kota Surabaya di Masjid Ampel.

Pada tahun 1919, Habib Ali yang kala itu berusia 54 tahun mendapatkan wasiat untuk melanjutkan peringatan maulid ini tiap akhir Kamis bulan Rabiulawal. Mula-mula oleh Habib Ali diselenggarakan di Tanah Abang, di sekolah Jamiatul Kheir sekarang ini. Mulai tahun 1937, ketika Masjid Kwitang berada dalam asuhannya, maulid diselenggarakan di tempat ini. Dan kemudian berpindah di majelis taklimnya hingga sekarang

Majelis Al-Anwar


Alhamdulillah atas izin Allah SWT Majelis Ta’lim dan Tadzkir Al-Anwar ini terbentuk pada hari senin malam selasa tgl 21-02-2006,dan Majelis ini diberi nama oleh Guru Mulia Al ‘alim Al ‘allamah Ad Da’iyah ilallah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin As Syekh Abu Bakar bin Salim mudah-mudahan majelis ini selalu mendapat rido dari Allah SWT dan Rosul-Nya hingga bisa bermafaat buat ummat muhammadiyah. Al Habib Muhammad Syahab sebagai pimpinan Majelis Al-Anwar sangat berharap dengan terbentuknya Majelis “Al-Anwar” yang sangat sederhana ini bisa menambahkan syiar agama Allah SWT, selalu membawa sunnah-sunnah Rosulullah SAW dan tidak keluar dari ajaran Salafunasholeh. Betapa sangat pentingnya keberadaan Majelis-majelis yang mengajarkan ilmu Allah SWT, tidak selayaknya bagi manusia jauh dari ilmu Allah SWT, ilmu agama adalah hal yang terpenting didalam kehidupan manusia, para anbiya tidak mewariskan harta, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, ilmu menerangi hati dari kegelapan. Hadir dimajelis ilmu bisa menghidupkan hati yang telah mati, sebagaimana Allah SWT menghidupkan tanah yang telah tandus dengan air hujan

Majelis Nurul Musthofa



 
        Majlis Nurul Musthofa adalah saah satu media untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah SAW, yang didirikan pada tahun 2000 oleh Al Habib Hasan Bin Ja’far Assegaf. Nurul Musthofa diambil dari nama Rasulullah SAW yang artinya “Cahaya Pilihan”. Bermula dari pengajian Al-Qur’an dan Zikir-zikir yang keliling dari rumah-kerumah.  
         Pada tahun 2001 dengan izin Allah SWT, Majlis Nurul Musthofa kedatangan Al Habib Umar Bin Muhammad Bin Hafidz.BSA dan Al Habib Anis Bin Alwi Al Habsyi, nama ini di ijazahkan dan diresmikan oleh beliau-beliau, maka pada tahun yang sama pertama kali dikenalkan sejarah Rasulullah SAW dengan pembacaan Al-Qur’an, Zikir-Zikir dan nasehat agama yang berkembang pesat yang bermula dari 10 orang sehingga menjadi ratusan orang.  
        Maka pada tahun 2002, berdatangan kembali para ulama-ulama dari Saudi Arabia, Yaman, Madinah, Malaysia, dan banyak lagi para ulama yang memberikan ilmu-ilmu Allah diantaranya Al Habib Salim Assyatiri yang memberi ijazah membaca 129 kali Yaa Latif sehabis Sholat kepada para Jama’ah.  
        Pada tahun 2003, Majlis Nurul Musthofa mulai berpindah-pindah tempat yang asalnya dari rumah menuju ke Masjid-Masjid, sehingga hamper kurang lebih 50 Masjid mendakwahkan ilmu-lmu agama dengan pembacaan kitab Nasahadiniyyah, yang dikarang oleh Al Habib Abdulloh Bin Alwi Al Haddad.  
        Pada tahun 2004, Majlis Nurul Musthofa dari yang ratusan menjadi ribuan orang, yang ditambah orang dengan Mo’idzoh Hasanah oleh guru-guru diantaranya, KH. Abdul Hayyie Naim, Ust. Adnan Idris, Ust. Imam Wahyudi, dan mashi banyak lagi yang lain untuk mendakwahkan ilmunya dan menuangkan ilmunya di Majlis Nurul Musthofa.  
        Pada tahun 2005, Majlis nurul Musthofa mengokohkan yayasan “Nurul Musthofa”, yang diketuai oleh saudaranya Al Habib Abdulloh Bin Ja’far Assegaf dan Al Habib Musthofa Bin Ja’far Assegaf, maka mendapatkan izin resmi dari Departemen Agama RI.               Pada tahun 2006, Majlis Nurul Musthofa berkembang pesat dari 50 Masjid menjadi 250 Masjid di Jakarta, Syiar ini diterima oleh semua kalangan, dan pada tahun ini pula berdiri rumah kediaman Al Habib Hasan Bin Ja’far Assegaf di Jakarta sebagai sekretariat Nurul Musthofa. Pada tahun 2007, Majlis Nurul Musthofa mendirikan Majlis sementara yang sdang dibangun seluas 700 meter dibelakang rumah kediaman Al Habib Hasan Bin Ja’far Assegaf, yang Insya Allah akan berdiri pada tahun 2008 sebagai aktifitas pengajar sehari-hari di Majlis Nurul Musthofa yang dihibahkan oleh keluarga besar oleh H. Abdul Ghofar.    Nb : Dukungan dan bantuan do’a kami harapkan dari Jama’ah, Terima Kasih.

Sekretariat :
 "Istana Seggaf " Jl. RM. Kahfi I GG. Manggis RT.01/01 No. 9A Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630, Indonesia. No. Telepon : 021-7865854  

Kordinator :

Bpk Abdulrahman, Telp. 0813-11130261 E-Mail: abdurrahman@nurulmusthofa.org
Zaenal Arifin, Telp. 0813-82996003 E-Mail: zaenal@nurulmusthofa.org

Majelis Rosululloh SAW

Nama "Majelis Rasulullah." dalam aktifitas dakwah ini berawal ketika Hb Munzir Almusawa lulus dari Study-nya di Darulmustafa pimpinan Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh Tarim Hadramaut, Yaman. Beliau kembali ke Jakarta dan memulai berdakwah pada tahun 1998 dengan mengajak orang bertobat dan mencintai nabi saw yang dengan itu ummat ini akan pula mencintai sunnahnya, dan menjadikan Rasul saw sebagai Idola.
Imagehabib Munzir mulai berdakwah siang dan malam dari rumah kerumah di Jakarta, ia tidur dimana saja dirumah-rumah masyarakat, bahkan pernah ia tertidur di teras rumah orang karena penghuni rumah sudah tidur dan ia tak mau membangunkan mereka di larut malam. Setelah berjalan kurang lebih enam bulan, Hb Munzir memulai membuka Majelis setiap malam selasa *(mengikuti jejak gurunya Al Habib Umar bin Hafidz yang membuka Majelis minggu-an setiap malam selasa), dan ia pun memimpin Ma'had Assa'adah, yang di wakafkan oleh Al Habib Umar bin Hud Alattas di Cipayung, setelah setahun, munzir tidak lagi meneruskan memimpin ma'had tersebut dan melanjutkan dakwahnya dengan menggalang majelis-majelis di seputar Jakarta.
Hb Munzir membuka majelis malam selasa dari rumah kerumah, mengajarkan Fiqh dasar, namun tampak ummat kurang bersemangat menerima bimbingannya, dan Hb munzir terus mencari sebab agar masyarakat ini asyik kepada kedamaian, meninggalkan kemungkaran dan mencintai sunnah sang Nabi saw, maka Hb Munzir merubah penyampaiannya, ia tidak lagi membahas permasalahan Fiqih dan kerumitannya, melainkan mewarnai bimbingannya dengan nasehat-nasehat mulia dari Hadits-hadits Rasul saw dan ayat Alqur'an dengan Amr Ma'ruf Nahi Munkar, dan lalu beliau memperlengkap penyampaiannya dengan bahasa Sastra yang dipadu dengan kelembutan ilahi dan tafakkur penciptaan alam semesta, yang kesemuanya di arahkan agar masyarakat menjadikan Rasul saw sebagai idola, maka pengunjung semakin padat hingga ia memindahkan Majelis dari Musholla ke musholla, lalu Musholla pun tak mampu menampung hadirin yang semakin padat, maka Munzir memindahkan Majelisnya dari Masjid ke Masjid secara bergantian.
Mulailah timbul permintaan agar Majelis ini diberi nama, Hb Munzir dengan polos menjawab, "Majelis Rasulullah?", karena memang tak ada yang dibicarakan selain ajaran Rasul saw dan membimbing mereka untuk mencintai Allah dan Rasul Nya, dan pada dasarnya semua Majelis taklim adalah Majelis Rasulullah saw..
ImageMajelis kian memadat, maka Munzir mengambil empat masjid besar yang
bergantian setiap malam selasa, yaitu masjid Raya Almunawar Pancoran Jakarta Selatan, Masjid Raya At Taqwa Pasar minggu Jakarta Selatan, Masjid Raya At Taubah Rawa Jati Jakarta Selatan, dan Ma`had Daarul Ishlah Pimp. KH. Amir Hamzah di Jalan Raya Buncit Kalibata Pulo, Namun karena hadirin semakin bertambah, maka Hb Munzir akhirnya memusatkan Majelis Malam selasa ini di Masjid Raya Almunawar Pancoran Jakarta Selatan, kini acara ini dihadiri berkisar antara 10.000 hadirin setiap minggunya, Hb Munzir juga meluaskan wilayah da'wah di beberapa wilayah Jakarta dan Sekitarnya, lalu mencapai hampir seluruh wilayah Pulau Jawa, Majelis Rasulullah tersebar di sepanjang Pantai Utara Pulau jawa dan Pantai Selatan, dan terus makin meluas ke Bali, Mataram, Irian Barat, bahkan Singapura, Johor dan Kualalumpur, demikian pula di stasion stasion TV Swasta, bahkan VCD, Majalah bulanan dll, dan kini Anugerah ilahi telah merestui Majelis Rasulullah untuk meluas ke Jaringan internet dengan nama asalnya "Website Majelis Rasulullah".
Semoga Allah memberikan anugerah kemudahan pada Hb Munzir Almusawa untuk terus menjadi Khadim Nabinya saw, memberikan padanya kesehatan Jasmani dan Rohani, dan selalu membimbingnya di Jalan yang di Ridhoi Allah swt, dan juga melimpahkan Anugerah Agung pada para aktifis Majelis Rasulullah khususnya, dan semua Pecinta Rasulullah saw pada umumnya, Amin.
Kritik & saran mengenai website ini dapat dikirim ke admin@majelisrasulullah.org
Alamat Majelis Rasulullah: Jl Cikoko Barat V, RT 03/05, No 66, Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (12770). (Telfon 021-7986709)
:

AL HABIB MUHAMMAD BIN HUSEIN BA'ABUD


Habib Muhammad, begitu ia biasa disapa, dikenal sebagai guru para Habib di daerah Malang dan sekitarnya. Karena beliaulah yang pertama kali membuka pesantren dari kalangan habaib pada tahun 1940. Bisa dipastikan, Pesantren Darun Nasyiien yang didirikannya di Lawang, Malang, adalah pesantren kaum habaib yang pertama di Indonesia. Kalaupun sudah banyak lembaga pendidikan para habib yang berdiri sebelumnya, biasanya hanya berbentuk madrasah, bukan pesantren. Sudah tak terhitung lagi banyaknya alumnus Darun Nasyiien yang menjadi ulama di seluruh Indonesia. Rata-rata mereka selalu mengibarkan bendera Ahlussunnah Wal Jamaah ala Thariqah Alawiyin di tempat mereka berada.

Nama Habib Muhammad bin Husein Ba’abud juga tak pernah hilang dari hati kaum muslimin kota Malang. Sampai sekarang. Masa Kecil di Surabaya Al-Ustadz Habib Muhammad bin Husein dilahirkan di daerah Ampel Masjid Surabaya. Tepatnya di sebuah rumah keluarga, sekitar 20 meter dari Masjid Ampel, pada malam Rabu 9 Dzulhijjah 1327 h. Menurut cerita ayahandanya (Habib Husein), saat akan melahirkan, ibunda beliau (Syarifah Ni’mah) mengalami kesukaran hingga membuatnya pingsan. Habib Husein bergegas mendatangi rumah Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Habib Abu Bakar memberikan air untuk diminumkan pada istrinya. Tak lama sesudah diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan Allah, Syarifah Ni’mah melahirkan dengan selamat. Habib Abu Bakar berpesan untuk dilaksanakan aqiqah dengan dua ekor kambing, diiringi pesan agar tidak usah mengundang seseorang pada waktu walimah, kecuali sanak keluarga Syarifah Ni’mah. Terlaksanalah walimah tersebut dengan dihadiri Habib Abu Bakar. Beliau pulalah yang memberi nama Muhammad, disertai pembacaan do’a-do’a dan Fatihah dari beliau. Pada saat berumur 7 tahun, Habib Muhammad berkhitan. Ayahandanya mengadakan walimah berskala besar dengan mengundang para kerabatnya.

Setelah dikhitan, Habib Husein memasukkan putranya itu ke Madrasah al-Mu’allim Abdullah al-Maskati al-Kabir, sesuai dengan isyarat dari Habib Abu Bakar. Akan tetapi anaknya merasa tidak mendapat banyak dari madrasah tersebut. Tidak lama setelah belajar, Habib Husein memasukkannya ke Madrasah Al-Khoiriyah, juga di kawasan Ampel. Pelajaran di Madrasah Al-Khoiriyah waktu itu juga tidak seperti yang diharapkan, disebabkan tidak adanya kemampuan yang cukup dari para pengajarnya. Habib Muhammad pun merasa kurang mendapat pelajaran. Tapi setelah berada di kelas empat, terbukalah mata hatinya, terutama setelah datangnya para tenaga pengajar dari Tarim-Hadramaut.

Di antara para guru itu adalah Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Hasan bin Abdulloh al-Kaf. Juga terdapat guru-guru lain yang mempunyai kemampuan cukup, seperti Habib Abdurrohman bin Nahsan bin Syahab. Semangat Habib Muhammad dalam menimba ilmu semakin bertambah, terutama karena perhatian dari Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlor. Habib Muhammad merasakan berkah dari pandangan dan do’a-do’a Habib Muhammad al-Muhdlor di dalam majelis rouhah (pengajian)-nya. Habib Muhammad sangatlah rajin menghadirinya dan telah membaca beberapa kitab di hadapan beliau, juga bernasyid Rosyafaat gubahan Habib Abdurrohman bin Abdulloh Bilfaqih bersama as-Saiyid Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Habib Muhammad al-Muhdlor sangat menyayangi beliau dan seringkali mendo’akannya. Ketika itulah Habib Muhammad merasa telah mendapatkan futuh, manfaat dan juga barakah dari menuntut ilmu.

Habib Muhammad semakin haus dengan ilmu pelajaran di Madrasah Al-Khoiriyah. Di tengah masa belajar itu beliau seringkali menggantikan para gurunya mengajar, bilamana mereka berudzur datang. Sampai akhirnya nasib baik itu datang padanya setelah menempuh pendidikan hampir enam tahun lamanya. Pada akhir tahun pendidikan, para pelajar yang lulus menerima ijazah kelulusan. Ijazah itu dibagikan langsung oleh Habib Muhammad al-Muhdlor. Ternyata Habib Muhammad menempati peringkat pertama, dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu. Bersamaan dengan itu, Habib Muhammad al-Muhdlor menghadiahkan sebuah jam kantong merk Sima kepadanya. Kebahagiaan semakin bertambah ketika Habib Muhammad al-Muhdlor mengusap-usap kepala dan dadanya sambil terus mendo’akannya. Dalam waktu bersamaan, Habib Agil bin Ahmad bin Agil (pengurus madrasah) memberitahukan bahwa Habib Muhammad pada tahun itu akan diangkat menjadi guru di Madrasah Al-Khoiriyah, tempatnya belajar selama ini. Disamping mengajar pagi dan sore di Madrasah Al-Khoiriyah, Habib Muhammad juga banyak memberikan ceramah agama di berbagai tempat. Ia juga rajin menerjemahkan ceramah-ceramah para mubaligh Islam yang datang dari luar negeri, seperti Syeikh Abdul Alim ash-Shiddiqi dari India, dsb.

Pada tahun 1348 h, tepatnya Kamis sore 22 Robi’utsani, ayahanda beliau menikahkannya dengan Syarifah Aisyah binti Saiyid Husein bin Muhammad Bilfaqih. Bertindak sebagai wali nikah adalah saudara kandung istrinya, Saiyid Syeikh bin Husein Bilfaqih yang telah mewakilkan aqd kepada Qodli Arab di Surabaya masa itu, yaitu Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Walimatul ursy di rumah istrinya, Nyamplungan Gg IV Surabaya. Dalam pernikahan ini Allah SWT telah mengaruniainya enam putra dan delapan putri. Mereka adalah Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah, Sidah, Hasyim, Fathimah, Abdulloh, Abdurrohman, Alwi, Maryam, Alwiyah, Nur dan Ibrohim. Pindah ke Malang Pada bulan Jumadil Akhir 1359 H, bertepatan dengan Juli 1940, Habib Muhammad beserta keluarganya pindah ke Lawang, Malang. Di kota kecamatan inilah beliau mendirikan madrasah dan pondok pesantren Darun Nasyiien, yang pembukaan resminya jatuh pada bulan Rojab 1359 H, bertepatan dengan 5 Agustus 1940. Pembukaan pondok pertama kali itupun mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan ulama tanah Jawa. Bahkan sebagian sengaja datang dari luar Jawa. Beberapa bulan setelah tinggal di Lawang, ayahanda dari Surabaya (Habib Husein) turut pindah ke Lawang dan tinggal bersamanya.

Ketika penjajah Jepang datang, Habib Muhammad sempat berpindah-pindah tinggal. Mulai dari Karangploso, Simping, hingga Bambangan, yang kesemuanya masih di sekitar Lawang. Kegiatan mengajarnya juga sempat berhenti sekitar 17 hari, karena Jepang pada waktu itu memerintahkan untuk menutup seluruh madrasah dan sekolah di seluruh daerah jajahannya. Ketika Belanda datang kembali untuk menjajah yang kedua kalinya, terpaksa madrasah ditutup lagi selama tiga bulan, mengingat keamanan yang dirasa membahayakan pada waktu itu. Barulah sejak 1 April 1951, Habib Muhammad sekeluarga kembali ke Jl. Pandowo sampai akhir hayatnya. Tepatnya di rumah nomor 20, yang di belakangnya terdapat pondok pesantren, beserta kamar-kamar santri, musholla Baitur Rohmah dan ruang-ruang kelas yang cukup baik. Saat itu yang dipercaya sebagai panitia pembangunan sekaligus arsitekturnya adalah putra sulung beliau, Habib Ali bin Muhammad Ba’abud. Habib Muhammad berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu pukul 10.20 tanggal 18 Dzulhijjah 1413 h, bertepatan dengan 9 Juni 1993. Jenazah almarhum diantar oleh banyak orang ke pemakaman Bambangan, Lawang. Lalu dimakamkan di samping makam ayahanda dan kakak beliau. Rohimahullohu rohmatal abror. Wa askannahul jannata darul qoror. Tajri min tahtihal anhar. Aamiin ya Allohu ya Ghofuru ya Ghoffar.

Wasiat yang Ditinggalkan Habib Muhammad Ada beberapa wasiat yang ditinggalkan oleh Habib Muhammad yang layak direnungkan oleh umat Islam dimanapun.

Diantara wasiatnya itu adalah,

1. Hendaklah mereka menjalankan sunnah-sunnah atau prilaku pemimpin para utusan Allah, Saiyidina Muhammad SAW, dan hendaknya pula mengikuti sunnah dan perjalanan para Khalifah yang telah mendapatkan petunjuk (al-Khulafaur Rosyidin). Barangsiapa yang tidak mampu menjalankan kesemuanya itu, setidak-tidaknya janganlah keluar atau menyimpang dari jalan atau petunjuk para Salafus Sholih, yaitu para leluhur kita yang sholeh serta terbukti kewaliannya. Dan barangsiapa belum mendapat jua taufiq hidayat untuk itu semua, paling tidak hendaknya ia meneladani kepadaku, yaitu meneladani dalam hal ibadahku dan khalwatku, juga di dalam menjauhkan diri dari kebanyakan orang, bersama dengan perlakuanku yang baik terhadap anak kecil dan orang besar laki-laki dan perempuan, jauh maupun dekat, tanpa harus sering berkumpul atau banyak bergaul, dan tanpa harus saling tidak peduli ataupun saling benci-membenci.

2. Hendaknya pula sangat berhati-hati dalam bermusuhan dan berselisih dengan siapa saja, di dalam apa saja dan bagaimanapun juga.

3. Selalu memohon pada Allah kasih sayangnya atau diriku serta memohonkan ampun untukku dengan membacakan istighfar sesuai dengan kesanggupannya masing-masing pada setiap waktu, lebih-lebih lagi di dalam hari-hari Asyura, Rajab dan di bulan Ramadlan, Haji, terutama pada bulan dimana Allah SWT mentakdirkan akan wafatku.

4. Mempererat tali silaturahmi, karena sesungguhnya silaturahmi itu sangat memberi pengaruh terhadap keberkahan rizqi dan salah satu sebab dipanjangkannya umur seseorang. Silaturohmi itu menunjukkan keluhuran budi pekerti dan tanda seseorang mendapat kebajikan di hari kemudian. Maka hati-hatilah kalian daripada memutuskan tali persaudaraan , karena perbuatan itu sangatlah keji dan siksanya sangatlah pedih. Seseorang yang memutuskan silaturohmi itu adalah terkutuk, sesuai nash al-Quran dan menandakan orang yang lemah imannya, orang yang memutus silaturahmi tidak akan mencium bau sorga dan kesialannya menjalar pada tetangga-tetangganya. Maka sambunglah tali persaudaraan, karena sesungguhnya tali rohim itu tergantung pada salah satu tiangnya Arsy Allah SWT.

5. Agar banyak beristikharah dan musyawarah dalam segala hal, dan hendaknya selalu mengambil jalan yang hati-hati. Walaupun pada hakekatnya berhati-hati itu tidak dapat meloloskan seseorang dari ketentuan dan takdir Allah, akan tetapi menjalankan sebab tidaklah boleh ditinggalkan. Justru dengan sebab itulah wasiat atau pesan dan nasehat itu dibutuhkan dan dianjurkan, karena kesemuanya itu adalah satu daripada sebab dalam mengajak manusia kepada Allah serta mengajak mereka menuju kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.

Semoga Allah SWT mencurahkan kasih sayangnya atas mereka yang suka memberikan nasehat dan membalas mereka dengan kebaikan yang melimpah, dan semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya pada kita.

AL HABIB ALWI BIN SALIM AL IDRUS


Al 'Allamah Al Wari' Al Habib Salim bin Ahmad Al 'Aydrus lahir di kota Malang Jawa Timur dari pasangan Habib Salim bin Ahmad dengan Hababah Fathimah. Tak heran jika kelak Hb.Alwi menjadi ulama' besar yang syarat dengan kharisma. Disamping berkah kewara'-an kedua orang tuanya, beliau sendiri, juga karena memang ibunda beliau pernah mendapat bisyaroh (kabar gembira) di kala mengandungnya.

Sejak kecil Hb. Alwi telah menunjukan kecintaan dan kepeduliannya terhadap ilmu. Menuntut ilmu beliau geluti tanpa mengenal lelah. "Tiada Hari Tanpa Belajar", demikianlah mungkin motto beliau semasa muda. Kapan dan di manapun beliau senantiasa belajar. Begitu urgen ilmu di mata Hb. Alwi, hingga akhir hayatpun beliau senantiasa setia merangkulnya.

Habib Alwi lebih banyak belajar kepada Al 'Allamah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Seorang ulama terkemuka yang mendapatkan sanjungan dari salah seorang maha gurunya Al Habib Alwi bin Abdulloh bin Syihab, _"Wabilfagiihi fil fighi kal adzro'i, wa fittashowwufi wal adabi muttasi'i". Marga bilfagih (Hb. Abdul Qodir) dalam bidang fiqih bagai Imam Adzro'i, Dan dalam ilmu tasawuf serta kesusastraan bak lautan yang tak bertepi.

Habib Alwi adalah figur yang akrab dengan akhlaqul karimah. Apabila bertemu dengan muslim, beliau senantiasa menebar salam lebih dahulu. Dengan siapapun beliau selalu berkomunikasi dengan tutur kata yang halus dan sopan, bahkan sering kali tutur katanya membuat hati yang mendengarkan menjadi tenang. Sikap yang lemah lembut dan rendah hati senantiasa menghiasi hari-harinya. Tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai Bapak anak yatim, kasih sayang dan kepedulian kepada mereka sangat kental dengan pribadi Hb. Alwi.

Keluhuran akhlaq dan keluasan ilmunya mampu melunakkan hati semua orang, kafir sekalipun. Suatu saat ada seorang non-muslim keturunan Tionghoa bertandang di kediaman beliau guna mendiskusikan ajaran agama islam. Dengan ramah dan senang hati Hb. Alwi menemuinya dan mengajaknya berkomunikasi dengan tutur kata dan akhlaq yang luhur. Mendengarkan penjelasan dan petuah-petuahnya orang tersebut tercengang dan terkesima. Seketika ia memantapkan hati menyatakan diri memeluk agama islam.

Dalam urusan mengajar dan berdakwah Hb. Alwi senantiasa berada di barisan terdepan. Sakit, hujan ataupun sedikitnya yang hadir dalam majlis beliau, semuanya tak mengurangi sedikitpun semangat bahkan keikhlasannya dalam mengajar dan berdakwah. Suatu ketika Habib 'Alwi mengajar di desa Gondanglegi Malang. Dalam perjalanan menuju desa tersebut hujan turun sangat lebat. Melihat kondisi demikian, salah seorang murid beliau yang menyertainya ketika itu mengusulkan agar majlis tersebut ditunda. Namun tidak demikian dengan Habib Alwi, karena beban dan tanggung jawab sebagai pengemban risalah nabawiyah, beliau tetap konsisten. Ironisnya, ketika sampai di tempat, ternyata yang hadir saat itu hanya segelintir manusia. Meskipun demikian Hb. Alwi tak patah semangat.

Bagi Hb. Alwi, apalah artinya semangat jika tanpa disertai keikhlasan. Pernah Habib Alwi diundang ceramah di wilayah Sukorejo. Beliau berangkat tidak dijemput dengan mobil mewah layaknya para muballigh lainnya. Tapi beliau hanya dijemput oleh salah seorang utusan panitia. Nanum, dengan landasan ikhlas yang tinggi dan ditopang semangat juang yang gigih, beliau berangkat ke Sukorejo hanya dengan mengendarai oplet, demi misi syiar islam.

Kesederhanaan memang tersirat dalam diri Habib Alwi. Memang untuk urusan mengajar beliau bukan tipe ulama yang perhitungan. Di mana dan kapanpun selagi tidak ada udzur syar'i. Siapapun orangnya yang meminta sampai harus naik apa, beliau bersedia hadir. Tidak jarang beliau diundang oleh orang miskin, di pelosok desa yang penuh rintangan, naik dokar sekalipun Habib Alwi menyanggupinya.
Hampir setiap sore terutama hari kamis Hb. Alwi memberikan pengajian di masjid Jami' Malang. Takmir masjid tidak menyediakan mobil jemputan untuk Hb. Alwi. Untuk itu beliau rela pulang pergi dari rumah ke masjid dengan naik becak.

Da'wah Hb.Alwi melegenda ke segenap lapisan masyarakat. Mereka mengenal sosok Hb. Alwi sebagai ulama' yang memiliki kepribadian yang santun dan bersahaja. Maka tak heran jika beliau memiliki pengaruh kuat yang membuahkan hasil perubahan dan peningkatan. Keberaniannya dalam menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil mampu menembus dinding baja ruang kerja para pejabat pemerintah. Ketika ada di antara mereka yang bertindak semau gue tanpa mengindahkan syariat agama islam, beliau tidak segan-segan menegurnya.

Demi misi dakwah, Habib Alwi sanggup merelakan segalanya. Dalam hidupnya beliau tidak ingin merepotkan siapapun. Lebih-lebih ketika berdakwah di pedesaan, beliau membawa makanan sendiri dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Hampir setiap hari, dalam pengajian yang beliau gelar di kediamannya, Hb. Alwi menjamu para santrinya. Belum lagi ketika beliau mengadakan pengajian secara mendadak, maka beliau tidak segan-segan untuk merogoh koceknya sendiri demi langgengnya dakwah islamiyah. Begitu ramah dan supelnya Hb. Alwi, sehingga tukang becak atau pengemis sekalipun tidak merasa sungkan bertamu kepada beliau. Lebih heran lagi, Hb. Alwi tidak pernah membeda-bedakan tamunya, ini pejabat, ini tukang becak dan sebagainya. Beliau menghormati semua tamunya dengan pelayanan yang proporsional. Sebagai tuan rumah beliau tidak segan-segan mengeluarkan sendiri hidangan untuk tamunya.

Suatu ketika ada seorang pengemis bertamu kepada Hb. Alwi. Kala itu beliau sedang istirahat siang sementara beberapa santrinya berjaga-jaga di serambi rumah beliau. Rupanya sang pengemis tersebut bersikeras ingin bertemu sang Habib sekalipun para santri tidak mengizinkannya. Namun akhirnya pun sang pengemis angkat kaki dari rumah Hb. Alwi membawa kekecewaan yang mendalam. Rupanya Hb.Alwi mengetahuinya. "Tadi ada tamu pengemis ya?", tanya Hb.Alwi kepada santrinya. "Iya Bib, tapi habib sedang istirahat", jawab salah seorang santrinya. "Kenapa tidak membangunkan saya? Iya kalau yang datang tadi pengemis betulan, kalau ternyata Nabiyulloh Khidir as?", tegas Hb. Alwi.

Maka berkat akhlaqul karimah, sabar, ikhlas istiqomah serta berbagai mujahadah yang beliau telateni salama ini, semasa hidup Hb. Alwi sudah menerima bisyaroh dari Al Imam Syafi'i ra berupa dua jaminan dari beliau. Yang pertama di dunia dan yang kedua untuk yang kedua (akherat). Bahkan semasa hidupnya pula Hb. Alwi pernah bertemu dengan datuknya Rosululloh SAW secara yaqodzoh (terjaga/bangun) sebanyak 35 kali.

Habib Alwi meninggal pada tahun 1995 M dan dimakamkan di pemakaman Kasin Malang di sebelah utara kubah maha gurunya Al 'Arif billah Al Quthb Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih.

KH. A SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN ( ABAH ANOM )


KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.

Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.

Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.

Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.

Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati