CERMIN DATU SANGGUL



SARABA AMPAT

[1]
Alloh jadikan saraba ampat
Syariat thoriqot hakikat makrifat
Manjadi satu di dalam kholwat
Rasa nyamannya tiada tersurat

Parafrase:

`Alloh menjadikan serba empat`, diterangkan oleh Syech Abdul Jalil dibaris berikutnya, serba empat yang pertama adalah `syariat, thoriqot, hakikat, makrifat`.
Urut-urutan ini seolah olah sesuatu yang baku untuk beberapa dekade. Tidak jelas dalil atau dasarnya (Qur-an-Hadits-nya), tapi banyak yang memakai urut-urutan tingkatan atau tahap yang harus ditempuh seperti itu, yaitu syariat dulu (syariat di sini bisa dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia), baru thoriqoh ( thoriqoh sendiri artinya `jalan`, bisa dipahami sebagai masa transisi atau proses dari syariat menuju hakekat.), baru setelah itu hakekat (hakekat bisa diartikan esensi atau jiwa atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama), baru kemudian makrifat (ma`rifat di sini bisa dipahami ma`rifatulloh, yaitu mengenal Alloh dengan sebenar-benarnya kenal).
Sebagai bahan rujukan disalah satu hadits disebutkan, "awalauddin ma`rifatulloh" , "awal di dalam beragama adalah ma`rifatulloh". (Tetapi kenapa ma`rifatulloh itu ditempatkan pada tahap yang terakhir??)

`Menjadi satu di dalam kholwat`, `kholwat` adalah salah satu `riyadhoh`, atau salah satu latihan bagi shalik, dimana saat ber-kholwat itu seluruh perhatian, jiwa, raga, rasa, semata-mata ditujukan pada Alloh, hal ini berarti, menurut Syech Abdul Jalil, syariat, thoriqot, hakekat, dan ma`rifat, ke-empat-empatnya itu `dilakukan` saat ber-kholwat.
Keterangan tambahan, kholwat ini biasanya dipahami oleh sebagian orang yaitu `riyadhoh` yang dilakukan Nabi Muhammad saat beliau berada di gua Hiro`.
Karena secara jelas, jarang sekali ada yang membahas tentang apa yang dilakukan Nabi di gua Hiro`, dan secara syariat atau hukum-hukumnya bagaimana??.
Padahal hal itulah yang intensif dilakukan Nabi Muhammad sebelum
pengangkatan kenabian. Kadang 7 hari, kadang 10 hari, kadang 21 hari kadang 40 hari bahkan diceritakan pernah hampir 2 tahun Nabi Muhammad berada di Gua Hiro`.

`Rasa nyamannya tiada tersurat`, Rasa saat ber-kholwat, -dalam
ber-syariat, thoriqot, hakekat, ma`rifat-, digambarkan oleh Syech Abdul Jalil, sebagai rasa yang tidak bisa dilukiskan (diistilahkan `tiada tersurat`), hanya para pelaku-pelaku kholwat saja yang merasakannya.

[2]
Huruf Allah ampat banyaknya
Alif i`tibar dari pada DzatNya
Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya
Ha isyarat dari af`alNya

Inilah penjelasan yang kedua tentang serba empat. Yaitu diambil dari huruf Alloh, Alif, Lam, Lam, Ha, yang jumlahnya adalah empat.
`Alif i`tibar dari pada DzatNya`, `Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya`, Ha isyarat dari af`alNya`.
Saya buka di naskah lain, yaitu naskah dari Syeh Muhyiddin tentang
`Martabat tujuh`, tampak ada hubungan erat antara pengertian `martabat tujuh` dengan yang dijelaskan oleh Syech Abdul Jalil ini. Yaitu yang diterangkan oleh Syech Abdul melalui sarana huruf-huruf dalam kata `Alloh` ini, menerangkan 4 martabat yang juga diterangkan dalam `martabat tujuh`.
Dan ini membuat muncul kesimpulan awal bahwa Syech Abdul Jalil juga memperoleh pelajaran tentang `martabat tujuh` ini. Untuk pemahaman Istilah- istilah ini lebih baik anda cari bukunya sendiri tentang `martabat tujuh`, karya Syeh Abdul Muhyi, Pamijahan.

[3]
Jibril, Mikail Malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail, Israfil rupa pasanganya
I`tibar sifat Qohar dan Kamal

Serba empat yang ketiga dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil, dengan
menjelaskan Malaikat-malaikat tertentu yaitu Jibril, Mikail, Izrail dan
Israfil. Dimana di jelaskan oleh Syech Abdul Jalil di sini, malaikat
Jibril dan Mikail sebagai malaikat mulia -`Jibril, Mikail Malaikat
mulia`-, Isyarat dari sifat Jalal dan Jamal Nya Alloh. (artinya Jalal dan
Jamal -lihat di buku-buku tentang Asma`ul husna). Sementara itu
pasangannya adalah malaikat Izrail dan Israfi sebagai i`tibar sifat Alloh yang Maha Qohar dan Maha Kamal.(artinya Qohar dan Kamal baca pula dibuku tentang asma`ul Husna.

[4]
Jabar Ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Alloh itu artinya
Jalalulloh bahasa Arabnya

Syech Abdul Jalil di sini menerangkan serba empat yang ke-empat tetapi dengan bahasa tersirat, karena di sini, dibahas tentang asal muasal Jalalulloh dari bahasa wahyu menjadi bahasa lahir yaitu bahasa Arab.
Apakah Qur`an itu diturunkan Alloh dalam bahasa Arab??. Maha Suci Alloh, hanya Alloh yang tahu bahasa wahyu itu.
`Jabar Ail` ini sebagai dimaksudkan atau diistilahkan komunikasi awal antara Alloh dengan Jibril (memakai bahasa `wallohu`alam`). Mengacu dari nama `Jibril` menjadi `Jabar-Ail`, tahap yang kedua diterangkan oleh Syech Abdul Jalil, `Bahasa Suryani asal mulanya`, Bahasa suryani di sini sering dipahami sebagai bahasa malaikat, mirip-mirip bahasa arab,tapi tidak bisa di artikan meskipun ada maknanya.
Contoh lain bahasa Suryani," bi ajin ahujin jalajalyu tu jaljalat`, saya
`intip` dari kitab rahasia yang biasanya dibaca dengan ritme tertentu
dalam suatu kelompok mistis tasawuf.
Tahap ketiga yaitu `Kebesaran Alloh itu artinya`, dalam tahap ini, berarti bahasa `wahyu` tadi sudah bisa diterima oleh manusia, dan baru diberi simbol atau bentuk, karena lewatnya Muhammad si Orang Arab, maka menjadilah `Jalalulloh bahasa Arabnya`

[5]
Nur Muhammad barmula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya

Di sini, tampak lebih jelas bahwa Syech Abdul Jalil atau Datuk
Sanggul ini, lagi-lagi menjelaskan pelajaran tentang `martabat tujuh`, hal ini dikatakan dalam syair,` Nur Muhammad barmula Nyata`. Dalam kitab `martabat tujuh` baik yang dikarang oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa, yang ujung-ujungnya akan kita temui dalam pendapat Ibnu Arobi, Nur Muhammad diyakini sebagai asal muasal penciptaan alam semesta.
Dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil di baris ke dua,` Asal jadi alam
semesta`. Di pembahasan tentang `martabat tujuh` di kitab yang saya sebutkan di atas, `Nur Muhammad` ini berada pada martabat `wahdah`, atau martabat yang ke dua, tempatnya sifat Alloh. Lihat perkataan Syeh Abdul jalil sendiri pada bagian [2] Alif i`tibar dari pada DzatNya, Lam awal adalah sifatNya.
Dengan jelas dikatakan di baris berikutnya,`Saumpama api dengan panasnya`,
`Itulah Muhammad dengan Tuhannya`. Api adalah perlambang DzatNya, sedang panas perlambang dari sifat api atau sifat dari DzatNya tadi. Ini juga di sebutkan dalam `martabat tujuh`, yaitu martabat `ahadiyah` dan `wahdah`.
Ada kesamaan pemahaman.

[6]
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Manjadi awak barupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah

Serba empat yang berikutnya di sini diterangkan oleh Syeh Abdul Jalil yaitu api, air , tanah dan udara (hawa), inilah yang menjadi unsur-unsur terbentuknya jasmani manusia.`Itulah dia alam dunia` kata Syeh Abdul Jalil,`Menjadi badan yang bermacam-macam`,(`manjadi awak barupa-rupa`).` tulang sungsum daging dan darah`. Kembali lagi penurunan air menjadi tulang, api menjadi darah, tanah menjadi daging dan hawa (udara) menjadi sungsum, kita temui juga dalam bahasan `martabat tujuh`.

[7]
Manusia lahir ke alam insan
Di alam ajsam ampat bakawan
si Tubaniyahdan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah

`Manusia lahir ke alam insan`, di alam ajsam empat unsur itu berkawan (ampat bakawan) atau menjadi satu dengan si Tubaniyah Tambuniyah, Uriyah dengan si Camariyah. Kembali lagi dapat kita temui pemahaman yang sama untuk masalah alam ajsam ini di kitab tentang `martabat tujuh`. Bersatunya unsur-unsur jasmaniah yang kasar, dengan empat unsur dari jasad halus (jisim latif). Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air, Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif dari unsur udara atau hawa.
Pemahaman empat jisim latif ini juga ada di budaya jawa (Kejawen), yaitu yang di sebut `papat dulur` atau `empat saudara`. Hanya sebagian besar kadang memahami jisim latif ini merupakan keghoiban yang tinggi atau bahkan yang tertinggi. Padahal dalam hal keghoiban adalah termasuk relatif rendah, karena sebenarnya adanya jisim latif karena adanya jisim yang kasar ini.

[8]
Rasa dan akal, daya dan nafsu
Di dalam raga nyata basatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku

Serba empat yang berikutnya yaitu,`Rasa dan akal, daya dan nafsu`,`Di dalam raga (jasmani) nyata bersatu`. Di sini, Syech Abdul jalil /Datuk Sanggul tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa dalam jasmani atau dalam raga kita itu ada rasa ada akal, ada daya dan ada nafsu. Datuk Sanggul juga memilah Rasa dan akal. Ini sebagaimana pemahaman bahwa Rasa dan akal sebagai karunia Tuhan, berhubungan erat dengan Qolb (Qolb ini diterangkan
oleh Datuk Sanggul di bait berikutnya [9]). Atau bisa dipahami sebagai Cahaya rasa dan Cahaya akal. Hal ini diterangkan di baris berikutnya,`Aku meliputi segala liku`.
Di dalam AlQur`an S.Nur (35),"Allohunurrussamawati wamaa fil ardli......."
"Cahaya Alloh itu meliputi langit dan bumi........."
Ayat ini yang kadang dianggap sebagai pintu gerbang bagi para pengikut tasawuf, untuk menuju ke tingkat `martabat` yang lebih tinggi. Merupakan satu ayat yang pokok di dalam menjelaskan masalah lapisan-lapisan cahaya dari cahaya hamba sampai cahaya ketuhanan. Cahaya rasa dan akal mewakili cahaya ruh idhofi cahaya malaikat, cahaya daya (daya) mewakili ruh Robani ("tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya Alloh", "La haula wala quwata
ila billah"), sedangkan nafsu (cahaya nafsu), mewakili cahaya jasmani (raga). Sedangkan Cahaya Alloh meliputi segala sesuatunya. Memakai pemahaman `martabat tujuh`, maka Cahaya rasa dan akal berada pada martabat `alam arwah` dan `alam mitsal`, sedangkan cahaya daya (ketuhanan) berada pada martabat alam `ahadiyah`, `wahdah`,wahidiyah`. Sedangkan cahaya nafsu berada pada martabat `alam ajsam` dan `insan kamil`.
Sedangkan Alloh meliputi segala sesuatu,` Matan hujung rambut ka hujung kuku`,`Mulai ujung rambut sampai ujung kuku. Mulai martabat `Ahadiyah` sampai martabat `insan kamil`

[9]
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang dzohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam soghir itu sabutnya


Serba empat berikutnya dijelaskan oleh Datu Sanggul yaitu `tubuh` dan `hati nyawa rahasia`. Bisa diartikan `hati itu nyawa yang rahasia`. Bisa juga hal ini dikupas dari tiap kata yang mewakili satu pengertian. Yaitu `hati` mewakili satu pengertian, `nyawa` mewakili satu pengertian dan `rahasia` mewakili satu pengertian.
Padanan pemahamannya adalah, `tubuh` ini yang dimaksudkan adalah jasmani, `hati` di sini yang dimaksudkan adalah `hati sanubari` (maqomnya `yakin`), `nyawa` di sini yang dimaksudkan adalah `hati maknawi` (maqomnya `ainul yakin`), dan yang dimaksudkan `rahasia` di sini adalah `hati sirri` (maqomnya `haqul yakin`).
Gambaran keyakinan ini contohnya sebagai berikut:
Kalau manusia melihat ada asap, sebagian sudah yakin, bahwa ada asap pasti ada api (yakin), sebagian meningkatkan keyakinan mereka dengan cara melihat tempat asal asap tersebut. Dan terlihat lah memang ada api-nya (`ainul yakin), sebagian lagi masih meningkatkan keyakinannya, dipeganglah api tadi, dan terasa panasnya, (haqqul yakin).

Saya sementara membatasi pengertian-pengertian di masalah hati ini, karena sangat lekat dengan rahasia mistis yang ada. Dan terlebih lagi bahwa semuanya yang bersifat teoritis tidak ada artinya dipahami bagaimanapun tingginya pemahaman itu, bila tidak dibarengi dengan `perjalanan` sesungguhnya. (maaf)

`satu yang Dzohir amat nyatanya`. Tidak ada maksud lain kecuali menegaskan masalah kenyataan jasmani. `Tiga yang batin pasti adanya`, mengacu pada tiga hal yang sudah disebutkan di atas. `Alam soghir itu sabutnya`,`Alam kecil itu namanya`

Dalam pemahaman tasawuf, manusia ini juga disebut sebagai `alam soghir` atau `alam kecil` karena semua yang ada di alam ini juga ada di manusia. Dalam kitab "Hakekat Makrifat", bahkan disebutkan, setiap unsur yang ada di alam besar atau alam kabir, juga ada di alam kecil, manusia ini. Baik H,Li, Na, K, Rb,Cs,Fr, dst....dst......maupun yang lainnya, semua ada di manusia.

Ada 3 analog besar di sini yaitu Alam Kabir atau jagad raya ini, analog dengan manusia (alam soghir), analog dengan Al Qur`an.
Di alam besar atau jagad ini secara keseluruhan, di analog-kan dengan manusia secara keseluruhan pula dan analog lain adalah adanya Al Qur`an.
Di alam ini ada `bulan` yang menerima cahaya dari matahari, di manusia ada `akal`, dan di Qur`an ada `Do`a-doa` ( "Ad do`au mukhul ibadah", `do`a itu otaknya ibadah`) . Di alam ada `matahari` (jantungnya alam), di analog-kan di manusia ada `hati` atau `qolb` atau `jantung`. Di Al Qur`an ada jantungnya yaitu Surat Yasin (Qolbun Qur`an). Inti dari surat Yasin yaitu,"Salamun qaulan mirrobirrohim". Di sinilah muncul satu perlambang bahwa hatinya orang-orang yang beriman haruslah di arahkan pada hati yang `salamun` atau selamat atau `Qolbun salim`. Yaitu hati yang terkena goncangan bagaimanapun beratnya, yang terkena ujian bagaimanapun beratnya tetap hati yang ingat dan syukur pada Tuhannya. Hati yang terkena kesenangan bagaimanapun, tetap ingat dan syukur pada Tuhannya. Dalam keadaan apa saja, dalam situasi apa saja, dimana saja, kapan saja, selalu ingat dan syukur pada Tuhannya. Inilah hati yang selamat, `Qolbun Salim`. Tidak berkeluh kesah, tidak kecewa, tidak sedih, tidak menggerutu, dll.

[10]
Mani manikam madi dan madzi
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi


`Mani manikam`, umumnya diperuntukkan untuk mewakili perhiasan yang indah, bagus, elok, sedangkan di sini, mani manikam menjelaskan soal `madi dan madzi`. Arti `madi dan madzi secara harfiah, untuk bahasa Banjar tidak saya temukan arti, untuk bahasa arab, saya tidak begitu tahu, juga untuk bahasa melayu, kok rasanya tidak.
Tapi sepertinya di sini Datuk Sanggul menerangkan `indahnya `perhiasan`, `sel sperma` dan `sel telur`, dalam hubungannya dengan proses persatuan keduanya yang menghasilkan anak adam. Dibaris berikutnya diterangkan,`titis manitis jadi menjadi`, seperti ungkapan,` Abrakadabra`, `Si anak adam balaksa kati`, `Si anak adam beribu beratnya (balaksa kati)`. Datuk sanggul memakai istilah berat di sini sepertinya untuk menggantikan istilah `banyak`. Bisa di artikan,` Si Anak adam menjadi banyak sekali`. `Hanya yang tahu Allahu Rabbi`. Nah ini agak sulit memahaminya, apa yang dituju dengan Datuk Sanggul. Apakah yang dituju itu masalah jumlah anak adam itu sampai seberapa banyak, ini yang tahu hanya Alloh?
atau, rahasia persatuan `madi dan madzi` tadi hanya Alloh yang tahu?
atau rahasia di dalam diri anak adam itu hanya Alloh yang tahu?

Mengacu pada baris sebelumnya, (dianggap yang diberi keterangan adalah baris sebelumnya), maka yang dimaksud hanya Alloh yang tahu adalah jumlah dari si anak Adam, sampai kapankah berakhirnya proses reproduksi, atau proses tambahnya anak adam ini. Dan ini sesuai dengan Hadits Nabi waktu di tanya oleh malaikat Jibril,"Ya Nabi, kapankah datangnya kiamat itu?( kiamat bisa dipahami sebagai akhir masa reproduksi anak adam, atau akhir masa manusia yang di waktu itu sudah tidak ada kelahiran lagi.) Nabi menjawab,"Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya". Karena waktu datangnya kiamat hanya Alloh yang mengetahuinya.

[11]
Kaampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kapada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah


`Keempat-empatnya tidak terpisah`, kata Datu Sanggul. Kempat-empatnya di sini, dimaksudkan masalah serba empat yang sudah dijelaskan di atas.
`Datang dan pergi kepada Alloh`, mengacu pada ayat "Inna lillahi wa ina ilaihi roji`un",`siapa yang berasal dari Alloh akan kembali kepada Alloh.
Dalam bahasa jawa umumnya di sebut,"Sangkan paraning Dumadi".
`Asalnya awak dari pada tanah`,`Asalnya jasmani dari tanah`, `asalpun
tanah sudah disyarah`, `asalnya tanah-pun sudah ditentukan`.
Nah, di sini Datuk Sanggul ingin menunjukkan pada kita, bahwa yang kembali pada Alloh itu bukan manusia dari unsur jasmani karena asal jasmani adalah tanah dan dari tanah kembali ke tanah lagi, melainkan unsur rohani-lah yang datang dan perginya dari Alloh.
Di sini muncul dua pemahaman.
"Sangkan paraning Dumadining Jasmani", yaitu `dari tanah kembali ke tanah`
dan, "Sangkan paraning Dumadining Ruhani", inilah yang `dari Alloh dan akan kembali ke Alloh`

Dua hal ini, bagi yang kurang paham kadangkala di samakan. Kadang dianggap kita kembali pada Alloh dengan jasmani dan rupa kita dan dengan jenis kelamin yang kita miliki. Padahal rupa kita, jenis kelamin kita, itu adalah bawaan jasmani. Bukankah tidak pernah kita temui adanya dalil, baik Qur-an maupun hadits yang menerangkan bahwa ruhani itu ada yang laki atau ada yang wanita???

Kadang ada yang berlogika bahwa saat kita mati, saat itulah yang tetap di akherat. Artinya bila kita mati muda, maka dengan wajah muda kita itu kita menghadap Alloh, sedang bila kita mati tua, maka wajah tua kita itu yang menghadap Alloh.
Nah, kalau anggapan ini diteruskan, muncul persoalan yang tak terjawab. Kalau kita mati dengan usia yang lebih tua dari kakek kita waktu mati, maka bukankah `lucu` ,karena logikanya menjadi, kita menghadap Alloh lebih muda kita dari pada kakek kita. Naudzubillah, pikiran yang sesat.
Ingatlah satu hadits,"Alloh tidak melihat rupamu, tidak melihat pakaianmu, tidak melihat jasmanimu, melainkan yang dilihat Alloh adalah hatimu" Sekali lagi, `asal dari Alloh`, `kembali ke Alloh`, `asal tanah kembali ke tanah`. Ini yang ada dalilnya di Qur`an. Dan ini pula yang diterangkan oleh Datuk Sanggul.

[12]
Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikacang
Kaler di pasang di atas gadang

`Dadalang simpur bamain wayang`, bisa di artikan ` Dalang bekerja bermain wayang`.
`Simpur`, sepertinya di ambil dari bahasa Jawa,`Sampur` yang berarti
`selendang`, tapi apabila dikatakan `ketiban sampur`, atau `ketiban
selendang`, sama artinya terkena suatu beban kerja`. Jadi `Dalang bekerja bermain wayang.`

Suatu turunan dari kebudayaan Hindu di India, yang dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Jawa adalah `Pagelaran Wayang`. Dan setelah masuknya agama Islam, melalui para wali-wali (terutama wali sembilan), maka cerita-cerita dalam wayang di modifikasi sehingga semuanya membawa nafas ajaran agama Islam. Seperti cerita,`Dewa Ruci` yang katanya karya Sunan Bonang. Dan yang senang memakai wayang untuk memberikan pelajaran tentang agama Islam, terutama sekali memang Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang (konon).
Perlambang didalam wayang inilah, yang dipakai oleh Datuk Sanggul untuk menerangkan maksudnya. `Dalang kerja bermain wayang`, `Wayang asalnya si kulit kijang`.

`Agung dan Sarun Babun di kacang`.
Untuk satu bait ini, lama saya merenung, mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Datuk Sanggul dalam memakai Istilah ini, karena istilah `sarun babun dikacang`, tidak saya temukan dalam istilah bahasa Banjar (yang sekarang), tidak pula saya temukan di istilah bahasa Arab maupun Melayu. Atau mungkin saja saya yang memang tidak tahu bahwa istilah itu sebenarnya ada dalam salah satu bahasa tadi.
Bahkan saya juga sempat berpikir, jangan-jangan Datuk Sanggul memakai bahasa `Suryani`.Tapi, kalau melihat di baris berikutnya,` Kaler dipasang di atas gadang`, tampak serapan bahasa jawa ke dalam bahasa Banjar.
(Karena sudah saya tanyakan pada orang-orang Banjar sendiri, bahwa tidak ada istilah itu)., yang kata itu berasal dari bahasa Jawa yaitu,` Kelir dipasang di atas gedang`. Artinya,` Kelir` itu layar putih yang ada sebagai `background wayang`. `dipasang di atas gedang`. `gedang di sini dimaksudkan adalah `pisang` atau `pohon pisang`. Kalau istilah Jawanya `dhebog` (bacanya seperti `the book`).

Alhamdulillah ada salah seorang sahabat memberitahukan bahwa di kitab karya KH.Haderanie tentang " Ma`rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabah", maksud dari
`Agung dan sarun babun dikancang` itu :

Agung = gong;Sarun = Saron;babun = genderang; dikancang = dikencangkan talinya

Dengan memakai pemahaman `Martabat tujuh`, baris ke tiga dan keempat bisa dipahami sebagai berikut,:
`Agung dan sarun babun di kacang`.`Kaler dipasang di atas gadang`.
`Agung` mewakili Dzat Alloh dalam martabat `Ahadiyah`, `sarun babun
dikacang` mewakili dan menceritakan `kemuliaan` dari martabat yang kedua dan ketiga. Karena lanjutannya adalah `Kelir` yang dalam filsafat Islam di jawa ini dipahami sebagai `Jagad` alam semesta ini. Yang berada pada martabat ke enam dan ketujuh, yaitu `alam ajsam` dan `alam insan kamil`. Sedangkan `pohon pisang` atau `gadang` yang dipakai menancapkan `Kelir` tersebut adalah mewakili perlambang `alam arwah` dan `alam mitsal`.


[13]
Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Semua majaz harus dipandang
Simpur balakun hanya saorang

`Wayang artinya si bayang-bayang`, Dipahami dalam filsafat Islam yang di Jawa, bahwa makna `wayang` memang berasal dari kata `bayang`. Menandakan bahwa `wayang itu si bayang-bayang`. Demikian juga manusia ini, yang dilambangkan sebagai wayang, adalah merupakan bayang-bayang dari Alloh ta`ala.
Hal itu juga yang menjadi alasan, kenapa wayang yang indah warna-warnai, tapi yang ditunjukkan pada penonton justru bayang-bayangnya. Tetapi bila penontonnya atau si wayang sendiri bisa memahami hakekat diri, maka tampaklah keindahan atau kemuliaan dirinya. Dan kalau diteruskan kesadarannya, maka sadarlah, bahwa yang menggerakkan wayang adalah si dalang."Man arofa nafsahu faqod arofa robahu", barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya".

Cerita di wayang, sama, atau analog dengan cerita di dunia ini yaitu
`Antara kadap lawan si tarang.`Antara gelap lawan terang`.
Kalau kita lihat, ada kesamaan filsafat wayang ini dengan filsafat aji
saka yaitu:
"ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga" "ada cerita, dua utusan, sama kuatnya, sama matinya"
Dua utusan ini adalah `kadap lawan tarang`, antara `gelap musuh terang`,
antara `kebenaran musuh kebatilan`. Yang memang sudah nash Qur`an juga sampai kiamat nanti, akan terus bertarung antara kebenaran musuh kebatilan ini. Dan barulah saatnya nanti (qiamat), kedua-duanya akan hancur lebur atau mati.

Analog juga dengan filsafat cina,:
yang dilambangkan dengan bulatan, yang separo terang dan yang separo gelap. Atau unsur yin dan yang. Hanya saja kalau di filsafat cina ini, dipahami bahwa seputih-putihnya, ada gelap sedikit. Dan segelap-gelapnya ada terang sedikit. Kenisbian gelap dan terang ini yang ditonjolkan.
Artinya tidak ada yang benar mutlak dan tidak ada yang salah mutlak.

Tapi Datuk sanggul mengingatkan,`semua majaz harus dipandang`. `Semua wujud atau semua bentuk tetap harus dipandang`, tetapi,` simpur balakun hanya saorang`. Hakekatnya, semua pekerjaan itu berasal dari si Dalang (hanya seorang).
"La haula wala quwata ila billah". "Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya dari Alloh semata". (Tauhid)

[14]
Samar, Bagung si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa hendak mencari hening


Serba empat yang terakhir yang diceritakan Datuk Sanggul adalah 4
punakawan (4 hamba) dalam wayang yaitu,`Semar, Bagong, dan
Nologareng(Gareng),` serta` Si Jambulita suara nyaring` yaitu `Petruk`
yang rambutnya njambul itu. Mungkin ini bisa dipahami satu tahapan akhir dalam proses manusia yang mencari kebenaran yaitu proses `penghambaan diri` pada Alloh. atau `Hamba Alloh` atau "Abdulloh".

Serba empat menurut Datuk Sanggul sangat-lah penting,` Ampat isyarat amatlah panting` bagi `Siapa yang hendak mencari hening` atau `bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran`.


kututup dengan ucapan syukurku "Alhamdulillah" pada Alloh, pada Nabi Muhammad dan pada Syech Abdul Jalil atau Datuk Sanggul, yang telah memberikanku petunjuk, pengertian dan pemahaman.

Ada kesalahannya, semata-mata adalah karena kedholiman diriku ini., yang tidak mampu memberikan keterangan.


wassalam
huttaqi

SUMBER : http://www.huttaqi.com/artikel.php?id_isi=185&id_ttl=41&flag=0

Ahlul Bait, Penebar Rahmat Bukan Laknat

 
 
Membaca rekam jejak Baginda Nabi SAW dengan tekun dan lebih seksama, kita bakal mafhum betapa beliau SAW adalah pribadi yang sempurna. Beliau SAW sama sekali tak membekaskan cela dalam rentang sejarah yang beliau SAW jalani. Setiap langkah, ucap, laku, dan sikap yang pernah ditorehkan Rasulullah SAW adalah teladan yang paling layak untuk diikuti oleh umat manusia. Allah SWT berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (al-Ahzab ; 21)

Inti ajaran Kanjeng Nabi SAW adalah kasih sayang. Bukan hanya kepada umat Islam, akan tetapi kepada umat manusia, bahkan kepada seluruh alam semesta. Nilai-nilai yang senantiasa beliau SAW ajarkan kepada keluarga (ahlul bait) dan para sahabat adalah tentang kasih sayang, baik dengan ucapan maupun tingkah-laku. Di dalam Al-Quranul Karim, Allah SWT sendiri telah menegaskan pribadi Rasulullah SAW sebagai penabur kasih sayang di alam raya. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“dan tidaklah Aku (Allah) utus engkau (wahai Muhammad), kecuali sebagai penebar rahmat untuk alam semesta” (al-Anbiya’ ; 107)

Rahmat, atau kasih sayang yang ditabur Rasulullah SAW mencakup seluruh makhluk, lebih-lebih kepada kaum mukminin, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rahmat yang diusung Baginda Rasul SAW sangatlah besar dan luas, dan telah teruji oleh berbagai peristiwa yang menimpa beliau SAW di masa-masa awal dakwah. Kita maklum adanya bahwa ketika beliau dilempari batu oleh kaum kafir hingga berdarah-darah, tidak keluar dari lisan beliau ucapan-ucapan atau doa yang penuh dendam kesumat. Justru kalimat-kalimat indah yang beliau unjukkan,

اللهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ ، رواه البخاري

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka belum tahu.”

Demikian pula ketika Rasulullah didatangi malaikat penjaga gunung, meminta izin untuk menumpahkan dua gunung kepada kaum yang telah mencederai Beliau, maka Rasulullah SAW pun spontan menolak seraya berkata :

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، رواه البخاري

“ akan tetapi aku berharap Allah mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (H.R. Bukhori)

Pada doa itu tersirat makna yang dalam yang menunjukkan betapa beliau amat rahmat terhadap umatnya. Coba perhatikan. Pertama, beliau memintakan ampunan untuk mereka. Lalu, beliau mengakui mereka sebagai kaumnya. Beliau tidak mengatakan ‘ampunilah mereka’, tapi beliau katakan ‘ampunilah kaumku’. Tak cukup itu, beliau juga memberikan alasan agar mereka benar-benar diampuni oleh-Nya. Beliau mengemukakan,

فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْن

“Sesungguhnya mereka belum tahu.”

Beliau juga mendoakan anak turunan mereka agar kelak dijadikan orang beriman dan menyembah Allah SWT. Inilah kunci sukses dakwah beliau dalam mengajarkan Islam.
Sifat kasih sayang beliau SAW amatlah terang benderang. Perihal itu bisa kita ketahui dari riwayat-riwayat hadis yang mendedahkan fakta bahwa lisan beliau tak pernah mengucapkan kata-kata cercaan dan caci maki. Beliau SAW sendiri bersabda,

” إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا . وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً “رواه مسلم

“Aku tidak diutus sebagai juru laknat. Aku diutus sebagai penyemai rahmat”
Terhadap makanan pun, Baginda Nabi SAW tak pernah mengeluarkan kata-kata celaan dan caci-maki. Bila beliau SAW berselera, maka beliau akan memakan hidangan yang ada. Bila sedang tak berselera, maka akan beliau tinggalkan, tanpa disertai komentar apapun.
Suatu waktu, beliau SAW masuk ke dalam rumah salah satu istrinya dan bertanya, “ada makanan?” dijawab, “hanya ada cuka.” Maka beliau pun bersabda,

نِعْمَ اْلإُدُمُ اَلْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk adalah cuka.”
Bahkan kepada pihak-pihak yang mencanangkan sikap permusuhan, yakni kaum kuffar Quraiys, beliau SAW tetap bersikap penuh rahmat. Kita tahu, mereka ini sangat kejam dan represif kepada Rasulullah SAW dan para sahabat ketika masih di Mekah. Akan tetapi, tatkala Mekah telah ditaklukkan Rasulullah SAW, mereka sama sekali tak mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sifatnya balas dendam. Mereka malah mendapatkan perlindungan dan pengamanan, padahal hati mereka diliputi rasa takut ketika itu, mereka berdebar menanti keputusan Rasulullah SAW, dan tak seorang pun berani keluar, seakan Mekah berubah menjadi kubur tak berpenghuni. Sungguh tak mereka duga Rasulullah SAW akan memaafkan mereka seraya berkata :

“Aku hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya:

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينْ

“Tiada cercaan atas kalian pada hari ini, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.”.

Mendengar pernyataan Rasulullah ini mereka pun keluar dari rumah-rumah mereka seakan baru dibangkitkan dari kubur untuk bersama-sama masuk islam. (H.R. Al-Baihaqi)

Luluhlah hati kaum kuffar Quraiys, mereka malu dan segan melihat pekerti agung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kasih sayangnya. Lidah pun kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun.

Mulailah bersemi rasa cinta di dalam hati para kuffar Quraiys. Tumbuh pula kecondongan mereka terhadap nilai-nilai mulia yang diteladankan Baginda Rasul SAW. Sungguh indah dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai inilah yang sejatinya terus dipegang-teguh oleh ahlul bait beliau SAW. Kita saksikan bagaimana Imam Ali kw. tak pernah mengecam orang-orang yang tidak patuh padanya. Begitu pun ahlul bait setelahnya, yakni Imam Hasan imam Husein. Mereka tahu bahwa ayah mereka dilaknat di mimbar-mimbar. Bahkan pada saat itu seakan menjadi keharusan bagi khotib untuk melaknat Sayyidina Ali. Tapi tidak setitik pun kesumat membara di hati mereka berdua. Tak ada kata laknat keluar dari lisan mereka. Sikap ini diikuti generasi ahlulbait selanjutnya, seperti Imam Ali Zainal Abidin, imam Muhammad al-Baqir, dan Imam Jakfar Shodiq. Mereka adalah pewaris akhlak, sifat dan hal datuk mereka, Rasulullah SAW sebagai penebar rahmat, bukan penyebar laknat.
Nah, bagi mereka yang menyatakan diri sebagai para pecinta ahlul bait Nabi SAW, seyogianya mereka berlaku seperti para ahlul bait: sebagai penebar rahmat. Baiknya mereka banyak-banyak mengucapkan kalimat santun dan mendoakan umat,

اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لَهُمْ ، اَللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي

“Ya Allah, Ampuni mereka, berilah kaumku hidayah.”

Sebab memang itulah yang diajarkan para pemuka ahlul bait, bukan sebaliknya, menyebarkan laknat dan mengobarkan dendam kesumat. Tidak ada satu pun ajaran ahlul bait yang membenarkan sikap mencaci orang-orang yang memusuhi Imam Ali, apalagi menganggap cacian dan laknat ini sebagai bukti cinta ahlul bait. Kalau memang cinta ahlul bait, buktikanlah dengan meneladani sikap mereka yang santun dan penuh rahmat.
Bukankah setan, Firaun, kaum Tsamud, atau Abu Jahal adalah makhluk-makhluk yang keji dan nista yang berhak dilaknat. Tapi tidak ada satupun ayat atau hadits yang memerintahkan kita melaknat setan dan musuh-musuh Rasul SAW itu. BAGAIMANA PULA TERHADAP ORANG-ORANG ISLAM YANG BERIMAN PADA ALLAH SWT DAN RASUL SAW, APALAGI YANG PERNAH DUDUK BERSAMA RASULULAH SAW?

Sumber: http://www.forsansalaf.com/2010/ahlul-bait-penebar-rahmat-bukan-laknat/

Wilayyah bukan Imamah

 
 
Allah SWT berfirman :

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُون 
المائدة/55

Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”

Syubhat
Sebagian golongan mengklaim ayat tersebut sebagai bukti kuat mengenai hak Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul SAW, sekaligus bukti bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak syah dalam pandangan syariat.
Mereka mengatakan bahwa Wali dalam ayat diatas semestinya diartikan dengan penguasa/pemimpin, dan yang dimaksud dengan :

وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

(Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, seraya menunaikan zakat, seraya mereka rukuk)

adalah Imam Ali seorang. Karena mereka mengartikan kalimat وَهُمْ رَاكِعُونَ dengan “menunaikan zakat ketika rukuk”. Jika demikian, arti ayat tersebut menjadi :

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat ketika rukuk (yaitu Imam Ali).”

Menurut mereka, Ulama tafsir  sepakat bahwa ayat ini turun khusus mengenai Imam Ali, yaitu berkenaan dengan sedekah cincin yang dilakukan Imam Ali kepada seorang pengemis ketika beliau sedang rukuk dalam sholatnya. Kemudian, karena lafadz إِنَّمَا dalam bahasa arab berfaedah hashr (membatasi), berarti ayat tersebut intinya menegaskan bahwa pemimpin orang-orang mukmin hanya Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali saja. Dengan demikian secara otomatis pemimpin yang selainnya (seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak syah menurut syariat.

Kalangan ahlussunnah wal jamaah menjawab  :

Sebab Turun Ayat

Pernyataan bahwa ulama bersepakat mengenai sebab turun ayat ini merupakan pernyataan yang tidak objektif dan penuh dengan hawa kefanatikan. Nyatanya, kitab-kitab tafsir penuh dengan komentar beragam para ulama tafsir mengenai sebab turun  ayat ini. Sebagian ahli tafsir berpendapat ayat ini turun mengenai Abdullah bin Salam (mu`alaf yahudi) yang mengeluh pada Rasul mengenai rasa kesepian karena dikucilkan kaumnya(1). Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar(2). Dari Ibnu Abbas sendiri terdapat dua riwayat, yang pertama  menyatakan ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali(3), sedangkan riwayat kedua menyebutkan sebab turun ayat ini adalah Ubadah bin Shomit, ketika beliau membatalkan ikatan persekutuan dengan Yahudi(4),.

Kalaupun kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Imam Ali,  itu tidak berarti hukum ayat ini khusus bagi Imam Ali. Karena yang digunakan dalam ayat ini  adalah ungkapan untuk orang banyak (shigoh jamak/plural) bukan ungkapan untuk satu orang (single). Ungkapannya yaitu, “ orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Dalam kaidah tafsir disebutkan, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(5). Jadi, semua orang mukmin yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang disebut ayat diatas layak untuk dimasukkan dalam kategori Wali, tidak hanya Imam Ali seorang. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Ja`far, Muhammad Al Bagir ( Tokoh Tabi`in yang diagungkan Ahlu Sunnah maupun Syiah) ketika beliau ditanyakan mengenai ayat ini, apakah ayat ini khusus turun mengenai Imam Ali, Beliau menjawab “Ali adalah salah seorang dari orang-orang mukmin”(6). Maksudnya, yang dimaksud wali dalam ayat tersebut adalah setiap mukmin yang sifatnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalamnya, dan Imam Ali termasuk salah satunya.

Makna Wali

Lafadz  وَلِيُّ memiliki banyak  makna, seperti : tuan, hamba, anak paman, penolong, teman, kekasih, pemimpin, dan lain-lain(7). Akan tetapi, makna Wali yang paling umum ada tiga, yaitu penolong, kekasih, dan pemimpin. Kemudian, dari ketiga makna tersebut, yang paling sesuai dengan ayat di atas adalah penolong bukan pemimpin. Hal ini ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:

1. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini, kita akan menemukan dalam kedua ayat tersebut juga disebutkan lafadz Wali atau lebih tepatnya Auliya (bentuk majemuk dari kata wali), kedua ayat tersebut adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ ...[المائدة/51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ... [المائدة/57

Dalam kitab-kitab tafsir, lafadz Wali pada kedua ayat tersebut diartikan dengan penolong (sekutu), bukan pemimpin(8). Lantas, jika  kita artikan Wali dalam ayat ini dengan Pemimpin, maka kita akan menemukan kerancuan makna ketika ayat ini  disandingkan dengan ayat yang ada sebelum dan sesudahnya. Tentunya ini adalah hal yang tidak layak dalam Al-Quran. Berbeda halnya jika kita mengartikannya dengan penolong, maka semua makna potongan ayat- ayat tersebut akan saling menyatu dan melengkapi.

2. Ayat ini menetapkan status kewalian bagi  mereka yang disebutkan didalamnya secara langsung tanpa tenggat waktu. Maksudnya begitu ayat ini turun, di saat itu juga status mereka adalah Wali(9). Andai kita artikan Wali sebagai pemimpin, berarti ayat ini akan memiliki makna, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman...”. Adalah hal yang tidak mungkin orang-orang  beriman yang jumlahnya begitu banyak, semuanya menjadi pemimpin bersama-sama dalam satu waktu, anda bisa bayangkan seberapa kacau kesudahannya. Begitu juga jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang beriman adalah Imam Ali seorang--sebagaimana yang mereka yakini. Kalau demikian, maka maksud ayat ini akan menjadi seperti ini, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan Ali”, ini juga tidak tepat karena itu artinya Imam Ali berhak untuk mengatur umat, bersama-sama dengan Rasul saat Rasul masih hidup, padahal kenyataanya, Imam Ali di masa hidup Rasul sama sekali tidak pernah turut campur dalam memerintah umat kecuali sebagai suruhan Rasul(10). Berbeda jika kita artikan wali dengan penolong, maka makna ayat ini akan menjadi jelas tanpa ada kemusykilan.

3. Maksud mereka untuk menjadikan ayat ini sebagai hujjah mengenai hak Imam Ali menjadi khalifah Rasul, tidak akan terealisasikan kecuali jika lafadz  إِنَّمَا  berfaidah hashr haqiqi (membatasi). kalau lafadz tersebut berfaidah hashr maka arti ayat  ini adalah, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah, Rasul Nya, dan Imam Ali saja”.(tak ada yang lain)

Jika Syiah konsisten dengan pendapatnya ini, seharusnya mereka tidak mengambil imam lain selain Imam Ali. Faktanya, Syiah memiliki sebelas imam lain yang dianggap ma’sum selain Imam Ali.

Andai kita mau meninggalkan kefanatikan, lalu merenungkan dengan objektif mengenai ayat ini beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, akan semakin jelas bagi kita bahwa ayat ini tidak mengarah pada penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah, bahkan tidak ada kaitanya sama sekali dengan kekhalifahan. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman merupakan kekeliruan yang besar.

Sumber: http://www.forsansalaf.com

Serba Empat, Satu Yang Dipilih ALLAH


Syeikh Abdul Qadir al-Jilany

Allah swt berfirman: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendakiNya dan Dia Memilih.”
Allah memilih dari segala sesuatu yang ada, empat hal, lalu dipilihnya salah satu:

1. Allah memilih empat Malaikat, Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail, lalu Allah memilih Jibril.
2. Allah memilih empat dari para Nabi -- sholawat salam bagi mereka -- ; Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Lalu Allah swt memilih Nabi Muhammad saw.
3. Allah memilih empat dari para sahabat, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali -Rodlyallahu anhum -- Lalu Allah swt memilih Abu Bakr ash--Shjiddiq ra.
4. Allah memilih empat dari masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, Masjid Nabawi Madinah yang Musyarrafah dan Masjid Thursina. Lalu Allah swt memilih Masjidil Haram.
5. Allah memilih empat dari hari-hari: Hari Idul Ftri, hari Idul Adha, hari Arafah, dan hari Asyura’. Lalu Allah swt memilih hari ‘Arafah.
6. Allah memilih empat dari malam. Malam Al-Bara’ah, Malam Qadar, Malam Jum’at, dan Malam Ied. Lalu Allah swt memilih Lailatul Qadar.
7. Allah memilih empat dari lembah: lembah Makkah, Lembah Madinah, Lembah Baitul Muqaddas dan sepuluh Masjid. Lalu Allah swt memilih lembah Makkah.
8. Allah memilih empat bukit: Bukit Uhud, Bukit Thur Sina, bukit Lukam, dan bukit Libanon, Lalu Allah swt memilih bukit Thursina.
9. Allah memilih empat Sungai: syngai Jeihon, Sungai Seihunj, Sungai Niil, dan Sungai Eofrat.Lalu Allah swt memilih Sungai Niil.
10. Allah memilih empat dari bulan: Bulan Rajab, Sya’ban, Ramadlan dan Muharram, Lalu Allah swt memilih Sya’ban.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati