PERTEMUAN TOKOH SUFI DENGAN NABI KHIDIR

Pertemuan antara seorang salih dengan Nabi Khidir AS. Memang selalu menarik untuk disimak. Metapa tidak, Khidir AS. Merupakansosok yang unik sehingga tidak semua orang dapat bersua dengannya, pun, di dalam pertemuan tersebut acap dihiasi dengan berbagai hal yang bersifat supranatural serta serat dengan pelajaran yang bernilai sangat luhur. Berikut adalah kisah tentang pertemuam istimewa beberapa antara tokoh sufi dengan Nabi Khidir as, yang sengaja diambil dari berbagai kitab tasauf pilihan.

Diselamatkan Khidir

Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh yang sangat luas kekuasaannya. Ke mana pun dia pergi, empat puluh bilah pedang emas dan empat puluh batang tongkat emas kebesarannya di usung didepan dan dibelakangnya oleh para hulubalang dan prajurit sang raja.

Pada suatu malam, ketika Ibrahim tidur di kamar istananya, mendadak langit – langit kamar berderak – derak seolah ada seseorang sedang berjalan di atasnya Ibrahim pun terjaga dan berteriak, “ Siapakah itu ? “

“ seorang sahabat untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atap ini ! “ terdengar sebuah jawaban dari atas sana.

Goblok ! engkau hendak mencari unta di atas atap, mana mungkin dia sampai di sana, “ sergah Ibrahim menahan kekesalan.

Wahai manusia yang lalai, apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutra dan tidur di atas ranjang emas ? “ jawab pemilik suara mistrius yang tak lain adalah Nabi Khidir AS, penuh dengan sindiran.

Kata – kata itu ternyata mampu menggetarkan hati Ibrahim. Dia amat gelisah sehingga malam itu tak mampu meneruskan tidurnya lagi.

Ketika hari telah siang, ibrahim menuju keruang pertemuan dan duduk di singga sananya dengan pikiran yang galau memikirkan sensasi yang di alaminya semalam. Sementara itu, para mentri telah berdiri di tempatnya masing – masing, dan para hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Semuanya siap menunggu titah sang Raja.

Ketika acara pertemuan akan dimulai, tiba-tiba, seorang lelaki berwajah amat menakutkan masuk kedalam ruangan. Wajah si lelaki yang teramat menakutkan telah membuat tak ada seorang pun yang berani menegurnya, apalagi menanyakan nama dan

maksud kedatangannya. Lidah mereka mendadak kelu ! sementara, dengan langkah yang tenang, lelaki itu melangkah menuju ke singgasana Raja.
“ apakah yang engkau inginkan ? “ tanya ibrahim dengan memberanikan diri.
“ Aku baru saja sampai di persinggahan ini, “ jawab lelaki itu.
“ Ini bukan tempat persinggahan para kalifah. Ini adalah istanaku. Apakah engkau sudah gila ! “ Hardik ibrahim yang sudah habis kesabarannya.

“ siapakah pemilik istana ini sebelum enkau ? “ tanya lelaki itu.
“ Ayahku ! “ jawab ibrahim, memendam kekesalan.
“ dan sebelum Ayahmu ? “
“ Kakekku ! “
“ dan sebelum kakekmu ? “
“ Ayah dari kakekku ! “
“ dan sebelum dia ? “
“ Kakek dari kakekku ! “
“ kemanakah mereka sekarang ini ? “
“ Mereka telah tida, wafat, “
“ Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang di masuki oleh seseorang dan di tinggalkan oleh yang lainnya? “

setelah berkata demikian, lelaki yang sesungguhnya adalah Khidir itu langsung menghilang. Demikianlah, dengan seizin Allah, Khidir adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim. Dan dikemudian hari, ibrahim menjadi salah seorang tokoh sufi terkenal, dan perbuatannya banyak menghiasi kitab tasauf.

Tidak dikenal Khidir

Seorang tua berwajah cerah berseri-seri, mengenakan jubah yang anggun, pada suatu hari melewati gerbang Banu Syaibah dan menghampiri Abu Bakar Al-Khattani yang sedang berdiri dengan kepala menunduk. Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata, “ mengapakah engkau tidak pergi ke maqom Ibrahim ? seorang guru besar telah datang dan dia sedang menyampaikan hadits – hadits yang mulia. Marilah kita kesana untuk mendengarkan kata-katanya.”

Siapakah perawi dari hadits – hadits yang dikhutbahkannya itu ? tanya Kattani.

“ dari abdulah bin ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad, “ jawab orang tua itu.

“ sebuah rangkaian panjang. Segala sesuatu yang dia sampaikan melalui rangkaian panjang para perawi, dan kita dapat mendengar langsung khutbahnya di tempat tersebut dari tempat ini, “ kata Kattani.

Melalui siapakah engkau mendengar ? “ tanya lelaki tua itu.
Hatiku menyampaikannya kepadaku l;angsung dari Allah ! “ jawab Kattani.
“ Apakah kata-katamu dapat dibuktikan? “ tanya orang tua itu lagi.

“ Inilah buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khadir AS.”
“ Selama ini aku mengira tak ada sehabat Allah yang tidak kukenal. Namun ternyata engkau, Abu Bakar Kattani, tidak kukenal tetapi engkau mengenalku. Maka, sadarlah aku masih ada sahabat – sahabat Allah yang tidak kukenal namun mereka mengenalku, ‘ kata Khidir as.

Karya tulis untuk Khidir

Pada suatu waktu, ketika masih kanak-kanak, Muhammad bin Ali Tirmizi ( yang dikenal dengan nama Al Hakim ) bersama dengan dua anak lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan guna menutut ilmu. Ketika akan berangkat, ibunya pun nampak sangat bersedih.

Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda pergi, tak ada seoarang pun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini ananda tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini ? kata sang bunda dengan berurai air mata.

Kata-kata itu menggoyahkan Tirmidzi . dia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara untuk mencari Ilmu.

Satu hari, Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman sambil meratapi nasibnya.” Di sinilah aku ! tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, sedang kedua sahabatku itu, nanti akan kembali sebagai orang –orang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi, “ keluhnya lagi.

Tiba – tiba, di hadapan Tarmidzi muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Dia menegur Tarmidzi, “ Nak, mangapakah engkau menangis sampai sedih ini ? “

Tirmidzi lalu menceritakan segala persoalan yang tengah di hadapinya.

Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat ? tanya orang tua itu kemudian.

Aku bersedia ! “ jawab Tarmidzi dengan kegirangan.

Sejak itu, setiap hari, orang tua itu memberikan pelajaran kepada Tarmidzi. Setelah tiga tahun berlalu, barulah dia menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Nabi Khidir AS. Tarmidzi memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena dia berbakti kepada Ibunya.

Menurut Abu Bakr Al Warraq ( salah seorang murid Tarmidzi yang kemudian menjadi seorang sufi besar dan dijuluki guru para wali ), setiap hari minggu, Nabi Khidir mengunjungi Tarmidzi dan kemudian memperbincangkan berbagai persoalan.

Dikisahkan pada suatu hari Tarmidzi menyerahkan buku-buku karyanya kepada Al Warraq untuk dibuang kesungai Oxus. Ketika diperiksa, ternyata buku-buku tersebut penuh dengan seluk beluk dan kebenaran kebenaran mistis ( Tasauf ) Al Warraq tak tega untuk melaksanakan perintah Tarmidzi, buku-buku tersebut dia simpan di dalam kamarnya. Kemudian dia katakan kepada sang guru bahwa buku-buku itu telah dilemparkannya ke sungai.

“ apakah yang engkau saksikan setelah itu ? “ tanya Tarmidzi.
“ Tidak satupun, “ jawab Al Warraq.
“ kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu kedalam sungai. Pergilah dan buang segera buku-buku itu, “ printah tarmidzi.

“ Al Warraq tak dapat membantah perintah gurunya. “ mengapa dia ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai ? apakah gerangan yang akan kesaksikan nanti ? “ Tanya Al - Warraq dalam hati sambil berjalan menuju ke sungai Oxus.

“ Setibanya ditepi sungai, Al Warraq melemparkan buku-buku yang sangat tinggi nilainya itu. Ajaib ! seketika itu juga air sungai terbelah. Lalu nampak sebuah peti yang terbuka tutupnya dan buku-buku itu pun jatuh kedalamnya. Setelah tutup peti itu mengatup. Air sungai pun bersatu kembali. Al Warraq terheran-heran menyaksikan kejadian itu.

“ Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah Rahasia di balik semua ini ? “ tanya Al Warraq setibanya kembali di hadapan sang guru dan menceritakan segala kejadian yang disaksikannya.

“ Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu tasauf dengan keterangan –keterangan yang sulit untuk difahami oleh manusia – manusia biasa. Saudaraku Khadir meminta buku-buku itu. Dan peti yang engkau lihat tadi dibawa oleh seekor ikan atas pemintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya, “ jelas Tarmidzi.

HUSAIN AN-NUR AL- BAGHDADI


Husain an-nuri, lahir di baghdad dan keluarganya berasal dari Khurasan. Dia adalah murid Sari As-Saqathi dan sahabat karib Al-junayd. Seorang tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad dia telah mengubah berbagai syair mistis yang indah. Dia meninggal pada tahun 295 H / 908 M.

Menurut keterangan yang termaksud dalam berbagai kitab tasauf,Husain pada masa hidupnya melakukan disiplin diri seperti dilakukan oleh Al-Junayd. Dia dijuluki Nuri ( Manusia yang memperoleh cahaya ) karena setiap kali dia berbicara di suatu ruangan pada malam yang gelap, dari ( mulutnya keluar Cahaya ) sehingga seluruh ruangan tersebut menjadi terang.

Alasan lain mengapa dia dijuluki demikian adalah karena dia menjelaskan Rahasi – rahasia yang paling pelik dengan cahaya intuisi. Tetapi versi yang ketiga mengatakan bahwa dia mempunyi tempat menyepi di tengah padang pasir, dimana dia bisa shalat di sepanjang malam dan apabila dia berada ditempat itu, orang – orang dapat menyaksikan cahaya yang memancarkan dari tersebut.

Sebagai seorang wali Allah, Husaian memang dianugrahi banyak keajaiban atau karamah. Selain yang tersebut di atas, ada banyak kisah yang menunjukan hal tersebut. Sekedar contoh, suatu ketika pasar budak di kota Baghdad terbakar dan banyak orang yang tebakar hidup-hidup. Di dalam sebuah toko, dua orang budak Yahudi yang tampan terkurung api. Pemilik budak – budak itu berteriak – teriak,” siapa saja yang dapat menyelamatkan mereka, akan kuberi seribu keping dinar emas.”

Tetapi tak seorangpun berani mencoba menyelamatkan budak-budak tersebut. Pada saat yang sangat kritis itu tiba-tiba munculah Nuri. Sambil mengucapkan, “ dengan nama Allah yang Maha Pengasuh lagi Penyayang” dia mencebur kedalam lautan api itu dan menyelamatkan keduanya. Kemudian pemilik budak-budak itu hendak memberi seribu dinar emas seperti yang telah dijanjikannya kepada Nuri.

Simpanlah emas-emasmu itu,” Nuri menolak.” Berterima kasihlah kepada Allah, sesungguhnya kemulaian yang telah diberikan kepadaku ini adalah karena aku tidak mau menerima emas dan menukar akhirat dengan dunia.
Keajaiban lainnya, misalnya, pada suatu hari ada seorang buta mengeluh, “ Ya Allah “ Nyri lalu menghampiri orang buta itu dan berkata,” apakah yang engkau ketahui tentang Allah ? seandainya pun engkau telah mengenalNya, mengapakah engkau masih hidup ?

Setelah berkata demikian kesadaran Nuri hilang dan dadanya dipenuhi oleh hasrat mistis. Maka berjalanlah dia menuju padang pasir melalui padang lang – alang yang baru ditebas sehingga tibuhnya penuh luka. Anehnya, dari setiap tetes darah yang tumpah ke atas tanah terdengarlah suara,” Ya Allah.”

Ketika orang – orang membawa Nuri pulang dari padang alang-alang itu mereka berkata kepadanya,” katakanlah , tiada tuhan selainAllah.”

Nuri menjawab,” aku justru sedang menuju kepada-Nya,” dan, tidak lama kemudian dia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Perumpamaan Hamba yang Bekerja dan Mengabdi


“PERUMPAMAAN seorang hamba yang bekerja dan mendapat rizki dari Rabb-nya adalah seperti budak yang diperintah oleh majikannya, “Bekerjalah. Dan makanlah dari hasil kerjamu.”

Perumpamaan orang yang sibuk dalam pengabdian pada Rabb-nya adalah seperti budak yang diperintah majikannya, “Mengabdilah kepadaku. Aku yang akan memberimu karunia.”

Perumpamaan seorang hamba yang hatinya hanya tertuju kepada Allah ketika bekerja adalah seperti orang yang mengamati saluran yang mengalirkan air hujan. Ia hanya bersyukur kepada Allah swt. Saluran itu hanyalah perantara, bukan yang membuat hujan.

Seperti itulah sikap seorang hamba. Ia sekedar keran yang mengalirkan karunia Allah. Orang yang bekerja sementara perhatiannya tetap tertuju kepada Allah swt. sebagai sumber airnya, dan bukan kepada pekerjaannya, tidak akan dirusak oleh pekerjaannya itu. Apa yang ia lakukan itu tidak akan membuatnya terputus dari Allah.”

(Ibnu Atha’illah As-Sakandari)

Menemukan Cermin Diri Pada Ajaran Para Wali


“Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam berbicara, dan jangan berlebihan terhadap sesama manusia. Itulah langkah sempurna yang sejati.

Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkanlah orang yang salah. Hanya itulah langkah yang sejati.”

(Sajarah Wali, Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunang jati, Naskah Mertasinga, Wahjoe: Pustaka, 2005)

PARAGRAF diatas saya kutipkan dari sebuah naskah kuno Mertasinga yang merupakan pesan yang disampaikan oleh Syekh Ataullah, salah satu guru dari Sunan Gunung Jati. Naskah ini diterjemahkan oleh Bapak Amman N. Wahjoe, yang memiliki dokumen ini secara turun menurun dalam keluarganya. Wahjoe membuat babad yang berbahasa Jawa-sundan ini dalam bahasa Indonesia dan menjadi satu bacaan berbahasa Indonesia yang banyak mengungkap sejarah tentang para wali di pulau Jawa.

Sebenarnya ajaran-ajaran macam ini bertebaran di Indonesia. Bentuknya dapat berupa babad, kawuh, kinanti dan sebagainya. Satu bentuk dokumen yang biasanya hanya dipunyai oleh keturunan yang sifatnya ekslusif dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Banyak keluarga di Indonesia ini menyimpan catatan-catatan ataupun tinggalan dari kakek, nenek atau buyutnya. Namun karena ketidakmengertian catatan ini diperlakukan sebagai jimat yang dikeramatkan tanpa dikuak isinya.

Bagi saya pribadi amat menarik untuk mengetahui secara mendalam ajaran-ajaran para wali di pulau Jawa ini. Sejak dulu informasi yang saya terima tentang para wali, hanyalah hal-hal yang berisifat sinkretik yang penuh dengan cerita-cerita kegaiban.

Namun semakin saya mencari, yang saya temukan adalah kesederhanaan ajaran mereka yang cukup menyentuh sisi keberagamaan saya. Kalau ditilik dari ajaran-ajarannya para sunan ini tidak hanya sekedar pendakwah, namun mereka mempunyai khazanah sufistik yang cukup mendalam.

Salah satu tanda dari khazanah sufistik yang dimiliki para wali tersebut adalah wisdom (kebijaksanaan). Salah satu contohnya dapat kita rasakan pada ajaran Sunan Kudus yang sampai saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat di kota itu, yaitu tidak menyembelih sapi. Saat itu Sunan Kudus memerintahkan penghormatan terhadap sapi untuk mentoleransi kepercayaan masyarakat Hindu yang hidup di kota itu.

Menurut kisah yang tersebar dalam masyarakat, Sunan ini memulai dakwahnya dengan cara yang sangat unik untuk memancing masyarakat pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya. Ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, tumbuh simpatinya. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti ’sapi betina’.

Selain itu kita dapat juga mempelajari ajaran dari Sunan Bonang yang gemar mecipatakan lagu-lagu rakyat sebagai lahan dakwahnya. Salah satu tembangnya yang cukup populer sampai saat ini, terutama saat dinyantikan kembali oleh Opick, ‘Tombo Ati’ merupakan hasil karya sunan. Boleh saya kutipkan disini terjemahan dari syair yang aslinya berbahasa Jawa tersebut:

Obat hati ada lima perkara.
Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua, shalat malam dirikanlah
Yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh
Yang keempat, perbanyaklah berpuasa
Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Siapa yang bisa melakukan salah satunya
Semoga Tuhan memberikan penyembuhnya.

Salah satu sunan yang cukup unik pendekatannya dan cukup akrab dengan budaya lokal adalah Sunan Kalijaga. Wali yang satu ini menggunakan pendekatan budaya untuk mendekati masyarakat Hindu Budha pada jamannya. Salah satu peninggalan beliau yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa adalah kisah pewayangan Dewa Ruci (Dewa Ruh Suci, Ruh Al-Quds—ed.). Kisah tentang Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci yang berwujud sama dengan dirinya menyimbolkan pertemuan manusia dengan jiwanya sendiri*. Kisah Dewa Ruci merupakan satu simbol khazanah kesufian yang melihat bahwa tiap-tiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui laku sejati dalam hidupnya. Sayangnya saat ini banyak orang Jawa menggunakan pementasan wayang Dewa Ruci ini untuk ritual “ruwatan” tanpa mengetahui pesan sesungguhnya dari kisah tersebut.

Yang cukup ajaib buat saya juga adalah fakta sejarah bahwa para wali itu sebagian besar adalah orang-orang asing. Menurut buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba, “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan, 2007) dan juga Sajarah Wali dalam Naskah Mertasinga, para wali kebanyakan berasal dari tanah Arab dan Campa.

Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai darah Arab. Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari Campa, perdebatan sering merujuk Campa sebagai salah satu daerah di Kamboja.

Kenyataan bahwa orang-orang asing khusus datang dan berkumpul ke pulau Jawa untuk menyebarkan dakwah Islam, adalah hal yang cukup menarik untuk diselami. Mengapa mereka datang ke pulau Jawa? Dan lebih hebatnya lagi mengapa mereka yang berdarah asing itu dapat membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai lokal atau lebih tepatnya ‘berdakwah dengan “bahasa” kaumnya’? Ini adalah misteri yang membutuhkan studi yang panjang, namun dengan khazanah sufistiknya yang unik, para wali mengajarkan nenek moyang saya untuk menyembah Tuhan dengan keberserahdirian yang sederhana.

Sayangnya esensi dari ajaran para wali ini terlupakan saat ini. Banyak orang di Indonesia mencoba mencari refleksi keagamaannya ke luar dan bukan pada dirinya sendiri. Gerakan pan Islamisme tahun 80-an agaknya banyak membuat perubahan dalam berislamnya orang Indonesia. Faham-faham yang serba keras, hanya berwajah syariah tanpa percikan kebijakan membuat Islam difahami dengan perspektif yang amat berbeda pada generasi–generasi muda Islam Indonesia yang ada saat ini.

Gerakan–gerakan Islam yang banyak merupakan turunan dari organisasi Islam dari Mesir atau Saudi Arabia, membuat banyak orang terasing dari sejarah keberagamaannya sendiri. Aliran garis keras ini pun direaksi dengan gerakan keIslaman yang liberal yang mencoba memasukkan Islam mempunyai logika berfikirnya sendiri yang transenden, dalam kerangka ilmiah barat yang sifatnya materialistik.

Saya tidak menemukan wajah Islam yang diyakini oleh nurani saya pada dua sisi ekstrim tersebut. Namun saya menemukan ketersambungan akar keyakinan saya tentang bagaimana seharusnya beragama Islam dalam ajaran para wali.

Sekarang, disaat Islam didentikan dengan terorisme dan kekerasan, Indonesia sering ditoleh oleh barat sebagai anti thesa bahwa Islam adalah wujud dari kedamaian dan toleransi. Menurut saya sudah saatnya untuk menggali dan mencoba menemukan inti dari warisan ajaran-ajaran para wali, sehingga kita bisa menemukan keunikan sejarah keberagamaan kita sendiri dan menyebarkan pada dunia, wajah Islam yang sebenarnya sebagai Rahmat sekalian alam. []

* Mengenal diri, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, Siapa yang mengenal jiwanya akan mengenal Rabb-nya. (Al-Hadits).

Memahami Nama ‘Hu’/'Huwa’: Dia Yang Tak Bisa Diliputi Nama


A.Sebutan Tuhan

Sahabat-sahabat, kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.
Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa beragam bahasa adalah tanda dari-Nya juga.

“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (’Alimiin).” Q.S. 30 : 22.

Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.
Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski saya mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi saya belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?

Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.

Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Rasanya kok tidak demikian ya. Saya suka bertanya-tanya, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.

Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.
Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah.

Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baytullah’?

Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Saya hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.

Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.
Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.
Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?

B.Asma-asma Allah.

Allah, adalah sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.
Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Nah, itu adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.
Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.

Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.

Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.

Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.
Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.

‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.
Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:

‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,
sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:
‘Al/Alif - li - li - hu/huwa’.

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ’sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ’sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.

Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”
Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.

C.Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.

Kita lihat hadits berikut ini:
Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”

Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”
[H. R. Muslim no. 267]

Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.
Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ’seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ’seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.
Nah, di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ’satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah.
Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.

Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama.
Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai “Wajah-Nya.”
Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut “Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.
Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali.
Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:

“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)
Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”

Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama.
Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas.

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas.
Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ’sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme. Seperti kata teman saya: “Sufi, pantheisme? Sufi yang mana dulu, nih?”

Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ’sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.
Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya.
Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat.
Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat,

BIOGRAFI




Keluarga Rasulullah

صلى ا لله عليه وسلم

Istri- istri Nabi زوجات النبي

* Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH)
* Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 SH)
* Aisyah binti Abu Bakar (wafat 57 H)
* Hafsah binti Umar (wafat 45 H)
* Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H)
* Maimunah binti Harits (wafat 50 H)
* Mariah Qibtiah (wafat 16 H)
* Saudah binti Zam`ah (wafat 23 H/ 643 M)
* Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H)
* Ummu Habibah binti Abu Sofyan (wafat 44 H)
* Ummu Salamah (wafat 57 H)
* Zainab binti Jahsy (wafat 20 H)

Putra-Putri Nabi

* Al- Qasim bin Muhammad
* Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.)
* Ruqayyah binti Muhammad (wafat 2 H)
* Ummu Kultsum (wafat 9 H)
* Fatimah Az-Zahra (wafat 11 H)
* Abdullah bin Muhammad (meninggal ketika kecil)
* Ibrahim bin Muhammad (wafat 10 H ketika kecil)

Cucu Nabi

* Abdullah bin Usman bin Affan (Putra Ruqayyah)
* Ali bin Abul Ash (Putra Zainab.meninggal ketika kecil.)
* Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.)
* Husain bin Ali bin Abu Talib (4-61 H)
* Zainal Abidin (wafat 93H)
* Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib (wafat.75H)

Paman Nabi

* Abbas bin Abdul Mutalib (wafat 32 H)
* Abu Thalib bin Abdul Muthalib (wafat 3 SH)
* Hamzah bin Abdul Mutalib (wafat 3 H)

Para Ulama Ahlul Hadits

بسم الله الرحمن الرحيم

Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :

1. Khalifah ar-Rasyidin :
• Abu Bakr Ash-Shiddiq
• Umar bin Al-Khaththab
• Utsman bin Affan
• Ali bin Abi Thalib

2. Al-Abadillah :
• Ibnu Umar
• Ibnu Abbas
• Ibnu Az-Zubair
• Ibnu Amr
• Ibnu Mas’ud
• Aisyah binti Abubakar
• Ummu Salamah
• Zainab bint Jahsy
• Anas bin Malik
• Zaid bin Tsabit
• Abu Hurairah
• Jabir bin Abdillah
• Abu Sa’id Al-Khudri
• Mu’adz bin Jabal
• Abu Dzarr al-Ghifari
• Sa’ad bin Abi Waqqash
• Abu Darda’

3. Para Tabi’in :
• Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
• Urwah bin Zubair wafat 99 H
• Sa’id bin Jubair wafat 95 H
• Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
• Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
• Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
• Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
• Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
• Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
• Muhammad bin Sirin wafat 110 H
• Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
• Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
• Ikrimah wafat 105 H
• Asy Sya’by wafat 104 H
• Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
• Aqamah wafat 62 H

4. Para Tabi’ut tabi’in :
• Malik bin Anas wafat 179 H
• Al-Auza’i wafat 157 H
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
• Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
• Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
• Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
• Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H

5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
• Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
• Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
• Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
• Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
• Imam Syafi’i wafat 204 H

6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
• Ahmad bin Hambal wafat 241 H
• Yahya bin Ma’in wafat 233 H
• Ali bin Al-Madini wafat 234 H
• Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
• Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
• Ibnu Qutaibah Wafat 236 H

7. Kemudian murid-muridnya seperti:
• Al-Bukhari wafat 256 H
• Muslim wafat 271 H
• Ibnu Majah wafat 273 H
• Abu Hatim wafat 277 H
• Abu Zur’ah wafat 264 H
• Abu Dawud : wafat 275 H
• At-Tirmidzi wafat 279
• An Nasa’i wafat 234 H

8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
• Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
• Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
• Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
• Ad-Daruquthni wafat 385 H
• Ath-Thahawi wafat 321 H
• Al-Ajurri wafat 360 H
• Ibnu Hibban wafat 342 H
• Ath Thabarany wafat 360 H
• Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
• Al-Lalika’i wafat 416 H
• Al-Baihaqi wafat 458 H
• Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
• Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H

9. Murid-Murid Mereka :
• Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
• Ibnu Taimiyah wafat 728 H
• Al-Mizzi wafat 742 H
• Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
• Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
• Ibnu Katsir wafat 774 H
• Asy-Syathibi wafat 790 H
• Ibnu Rajab wafat 795 H

10. Ulama Generasi Akhir :
• Ash-Shan’ani wafat 1182 H
• Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
• Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
• Al-Mubarakfuri wafat 1427 H
• Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
• Ahmad Syakir wafat 1377 H
• Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
• Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
• Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
• Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
• Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
• Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
• Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
• Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
• Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
• Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
• Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
• Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah

Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.




Para Sahabat Rasulullah

صلى ا لله عليه وسلم

* Abdullah bin Jahsy (wafat 3 H)
* Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 32 H)
* Abdullah bin Abbas (wafat 68 H)
* Abdullah bin Amru bin Ash (wafat 65 H)
* Abdullah bin Khuzafah As Sahmi (wafat 28 H)
* Abdullah bin Masud bin Gafil (wafat 32 H)
* Abdullah bin Rawahah (wafat 8 H)
* Abdullah bin Salam (wafat 43 H)
* Abdullah bin Umar bin Khattab (wafat 73 H)
* Abdullah bin Ummi Maktum (wafat 14 H)
* Abdullah bin Zubair (wafat 73 H)
* Abdurrahman bin Auf (wafat 32 H)
* Abu Bakr Siddik (51 SH-13 H)
* Abu Dardaa (wafat 32 H)
* Abu Hurairah (wafat 59 H)
* Abu Musa Asy’ari (wafat 44 H)
* Abul Ash bin Rabi’ al Absyamial Qurasyi
* Abu Sufyan bin Harists
* Abu Thalhah An.Anshary
* Abu Dzarr Al Gifari (wafat 32 H)
* Adi bin Hatim (wafat 68 H)
* Ali bin Abu Thalib (23 SH-40 H)
* Anas bin Malik bin Nadar (wafat 93 H)
* Bilal bin Rabah Al Habasyi (wafat 20 H)
* Hakim bin Huzam (wafat 54 H)
* Hamzah bin Abdul Muthalib (wafat 3 H)
* Hasan bin Ali (wafat 50 H)
* Husein bin Ali (Wafat ..H)
* Huzaifah bin Yamman (wafat 36 H)
* Jakfar bin Abu Thalib (wafat 8 H)
* Muawwiyah bi Abu Sofyan (20 SH-60 H)
* Muaz bin Jabal (wafat 18 H)
* Rabi’ah bin Ka’ab
* Said bin Amir Huzaim Al Jumahi
* Said bin Zaid
* Tsumamah bin ‘Utsal
* Thufeil bin Amr Addausi
* Umar bin Khaththab (40 SH-23 H)
* Umair bin Sa’ad
* Usamah bin Zaid
* Uqbah bin ‘Amir al Juhani
* Ustman bin Afffan (47 SH-35 H)
* Usaid bin Hudhair
* Zaid bin Tsabit (wafat 45 H)
* Para Sahabat Rasulullah Lainnya (Baca selanjutnya)


Para Shahabiyah Rasulullah

صلى ا لله عليه وسلم


* Asma binti Abu Bakar (wafat 73 H)
* Asma Binti Yazid Al-Anshariah (wafat 30 H)
* Asma binti ‘Umais (Ummu Ubdillah)
* Asy Syfa binti Harits
* Barirah maulah ‘Aisyah
* Hamnah bintu Jahsyi
* Hindun binti ‘Utbah
* Khansa binti Amru wafat 24 H
* Khaulah binti Tsa’labah
* Rubai bin Ma’udz
* Raihanah binti Zaid bin Amru
* Shafiyah binti Abdul Muththalib
* Sumayyah binti Khayyath
* Umamah Bintu Abil ‘Ash
* Ummu Athiyyah Al-Anshariyah
* Ummu ‘Aiman (Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr)
* Ummu Fadhl (Lubabah binti al-Haris)
* Ummu Hani’ binti Abi Thalib
* Ummu Syuraik al Quraisyiah
* Ummu Haram (Malikah binti Milhan bin Khalid Al-Anshariah) wafat 28 H
* Ummu Halim bin Harits
* Ummu Umarah (Nusaibah binti Kaab) wafat 13 H
* Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah
* Ummu Waraqah binti Naufal
* Ummu Ruman bintu ‘Amir
* Ummu Sulaim binti Malhan
* Para Shahabiyah Rasulullah lainnya (Baca Selanjutnya)




Para Tabi’in dan Tabiut Tabi’in

* Abdullah bin Tsuaib (Abu MuslimAl Khaulani)
* Abdullah bin al-Mubarak
* Abu Hanifah
* Aisyah binti Thalhah
* Amir Bin Abdillah Attamimi
* Atba’ bin Abi Rabah
* Zainal Abidin bin Husain Ali Abithalib
* Hasan Al-Bashri
* Muhammad ibnu Wa’asi al Azdiy
* Muhammad bin Sirin
* Rabi’ah ar Ra’yi
* Said Ibnu al Musayaab
* Said ibnu Jubair
* Salamah ibnu Dinar
* Shilah bin Asy Syam al ‘Adawi
* Syuraih al Qadli
* Thaawus ibnu Kaisan
* Urwah bin Zubair
* Umar bin Abdul Aziz
* Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz
* Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr

Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti:Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya.


Para Ulama Salaf Lainnya



لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى كَذَلِكَ

“Akan senantiasa ada sekelompok orang dari kalangan ummatku yang menegakkan/ berdiri di atas perintah Allah, tidak akan memadhorotkan mereka siapa yang menghina dan menyelisihi mereka sampai datang perkara Allah (yaitu hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan demikian“. [Muttafaqun 'alaih, hadits dari Mu'awiyah]



Para Ulama Salaf Ahlul Hadits selain yang disebutkan diatas yang masyur dizamannya antara lain :

* Imam Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (wafat 220H)
* Ibnu Abi Syaibah (159-235 H)
* Imam Asy Syaukani (172-250 H)
* Imam al-Muzanniy (wafat 264H)
* Imam Al Ajurri (190-292H)
* Imam Al Barbahari (wafat 329 H)
* Abdul Qadir Al Jailani (471-561 H)
* Al-Hafidh Al Mundziri 581-656H
* Imam Nawawi (631-676H)
* Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
* Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H)
* Imam As Suyuti (849-911 H)

Para Ulama sekarang yang berjalan diatas As-Sunnah yaitu:

* Syaikh Ahmad An-Najmi (1346-1410.H)
* Syaikh Abdullah Muhammad IbnHumayd (1329-1402H)
* Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)
* Syaikh Muhammad Dhiya`I (1940-1994.M)
* Syaikh Abdullah Al Ghudayyan (1345H..H)
* Syaikh Ubail Al-Jabiri (1357H..H)
* Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin (1349H..H)
* Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilali 1377H/1957M
* Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby (1380H..H)
* Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman (1380.H..H)
* Syaikh Abdullah Bin Abdirrahim Al-Bukhari

Para Ulama Sekarang Yang Berjalan Di Atas As-Sunnah Antara Lain:



‘Ulama Saudi Arabia:



1. Al ‘Allamah asy Syaikh Muhammad Mukhtar Amin asy Syanqithiy– shohibut Tafsir adh wa’ul bayan. Beliau termasuk salah satu guru Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin
2. Al ‘Allamah asy Syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa’di , pemilik kitab Tafsir Karimur Rohman fi Kalamil Mannan atau yang lebih dkenal Tafsir as Sa’diy
3. Samahatusy Syaikh al ‘allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
4. Faqihul zaman al ‘allamah asy Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin
5. Al ‘allamah al muhaddits asy syaikh Adbul Muhsin bin Hammad al ‘Abbad al Badr, Beliau termasuk ulama senior saat ini, mengajar di Masjid Nabawi.
6. Al ‘allamah asy Syaikh Doktor Sholih Fauzan al Fauzan anggota Haiah Kibarul ‘Ulama
7. Al ‘allamah asy Syaikh Abdul Aziz bin sholih alu Syaikh mufti ‘Amm kerajaan Saudi Arabia saat ini
8. Al ‘allamah al muhaddits asy Syaikh Yahya bin Ahmad an Najmimufti kerajaan Saudi untuk daerah Selatan (Shoromithoh)
9. Al ‘allamah al muhaddits asy syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkholy –pembawa bendera jarh wa ta’dil saat ini sebagaimana rekomendasi Syaikh al Albani
10. Al ‘allamah asy syaikh Dr. Sholih bin Sa’ad as Suhaimy –Beliau dosen pascasarjana di Jami’ah al Islamiyyah Madinah
11. Al ‘allamah asy Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkholy –dosen jami’ah Islamiyyah Madinah
12. Al ‘allamah asy Syaikh Dr. Ibrohim bin ‘Amir ar Rauhaily – penulis kitab “Mauqif Ahlis sunnah ‘an ahlil bida’” yang diterjemahkan dgn judul “Mauqif Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bid’ah” (ana lupa judul tepatnya)
13. Asy Syaikh DR. Ali bin Nashir al faqihy – Guru Besar Aqidah di Masjid Nabawy
14. Asy Syaikh Abdurrozaq bin Abdil Muhsin bin Hammad al ‘Abbad al badr - putra Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr (point no 3)
15. Asy Syaikh Abdul Malik a Romadhoniy al Jazairy– Beliau yang menyiapkan majelis Syaikh Abdul Muhsin di Masjid Nabawi. Penulis buku “Madarik an Nazhor fi Siyasah…”diterjemahkan dgn judul “Pandangan Tajam thd Politik”
16. Asy Syaikh Kholid ar Roddady –pentahqiq kitab Syarhus sunnah al barbahary
17. Asy Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al madkholy
18. Asy Syaikh Abdulloh bin ‘Abdirrohman al Jibrin – termasuk ulama senior, sudah sepuh
19. Asy Syaikh Ubaid al Jabiri
20. asy Syaikh Abdul Aziz ar Rojihy
21. Asy Syaikh Muhammad Aman Jamiy
22. Fadhilatusy Syaikh Sholih bin Muhammad al Luhaidan ketua Mahkamah Tinggi dan anggota Hai’ah Kibarul Ulama
23. Masyayikh anggota Majelis Ifta wal Buhuts dan anggota Kibarul Ulama
24. Fadhilatusy Syaikh Bakar Abu –penulis kitab “Hukmul Intima’”
25. asy Syaikh AbdusSalam bin Barjas -penulis Kitab “Hujjajul Qowwiyyah..”. Beliau sudah meninggal dalam kecelakaan mobil. Semoga Allah melapangkan kuburnya dan menempatkannya di kedudukan yang mulia di sisiNya.



‘Ulama dari Yaman:



1. al ‘allamah al muhaddits ad diyar al yamaniyyah asy Syaikh Muqbil bin Hadi al wadi’iy;, Beliau termasuk ulama besar abad ini.
2. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al Washobi; beliau mungkin Syaikh yang dituakan di Yaman. Kalau datang ke Damaj, biasanya beliau Cuma menjawab pertanyaan2 dan sedikit memberi nasihat emasnya. Punya markas di Hudaidah.
3. Asy Syaikh Muhammad Al Imam beliau termasuk Ahl Hill wal Aqd yang ditunjuk oleh Asy Syaikh Muqbil rahimahullah. Salah satu murid pertamanya Asy Syaikh Muqbil. Punya markas di Ma’bar merupakan markas terbesar ke 2 setelah Damaj.
4. Syaikh Yahya al Hajury–Beliau yang menggantikan Syaikh Muqbil di Darul Hadits Dammaj
5. Asy Syaikh Abdul Aziz Al Buro’i adalah termasuk salah satu masyaikh yang sangat keras terhadap Ahlul Bid’ah. Beliau mempunyai markas di Kota Ib.
6. Asy Syaikh Abdullah bin Utsman dijuluki Khotibul Yamany karena beliau terkenal sangat pintar berorator. Nasihat2 beliau tentang maut, membuat mata tak bisa menahan airnya.
7. Asy Syaikh Abdurrozaq punya markas di Dammar
8. Asy Syaikh Abdul Musowwir termasuk masyaikh yang sudah cukup berumur. Dulu Asy Syaikh Yahya hafidhohullah belajar Syarh Ibn Aqil dengan beliau.
9. asy Syaikh Abdulloh al Mar’iy dan Saudaranya asy Syaikh Abdurrohman al Mar’iy





Ulama dari Yordania



1. al ‘Allamah al Muhaddits Nashirus sunnah asy Syaikh al Albani . Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz pernah berkata: Saya tidak mengetahui di bawah kolong langit saat ini orang yang lebih mengetahui hadits daripada Beliau (Syaikh al Albani)”.
2. Syaikh Ali hasan al Halabiy tatkala Syaikh al Albani ditanya cucunya “Siapakah dua orang murid yang paling mengetahui tentang hadits“. Syaikh al Albani berkata: Abu Ishaq al Huwainidan Ali Hasan al Halabiy.
3. Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali, penulis kitab Limadza Ikhtartu Manhaj Salaf, Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Sholihin, dll.
4. Syaikh Muhammad Musa
5. Syaikh Masyhur alu Salman
6. Syaikh Husain ‘Uwaisyiah

Dan masih banyak lagi para ulama yang belum disebutkan disini.



Yang lainnya :

ABBAD BIN BISYIR.doc

Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu.doc

Abdul Muhsin.pdf

Abdul Muhsinbin Hamad Al AbbadAl Badr.txt

ABDULLAH BIN ABBAS.doc

ABDULLAH BIN AL MUBARAK.doc

ABDULLAH BIN JAHSY radhiallhu.doc

ABDULLAH BIN MASUD.doc

ABDULLAH BIN ZUBEIR.doc

Abdullah Ibnu Rawahah radhiallahu.doc

Abdullah Ibnu Ummi Maktum radhiallhu.doc

ABDURRAHMAN BIN ABI BAKAR.doc

Abdurrahman bin Auf radhiallahuanhu.doc

ABU AIYUB AL-ANSHARI.doc

Abu Hurairah radhiallahu.doc

Abu Hurairoh Pribadi Mengagumkan.zip

Abu Lubabah bin Abdil Mundzir radhiallhu `Anhu.doc

ABU MUSAAL – ASYARI.doc

ABU SUFYAN BIN HARB radhiallhu `Anhu.doc

Abu Sufyan Bin Haris.doc

Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiallhuanhu.doc

Aisyah Keutamaan dan Keluasan Ilmunya.pdf

Al Barra bin Malik radhiallahuanhu.doc

Al Imam Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam.txt

alabbad.zip

Albani.pdf

Al-Mahdi-Namanya-Sifat-Sifatnya.pdf

Amar bin Yasir radhiallahu.doc

AMR BIN AL `ASH.doc

Amr Ibnul Jamuh radhiallahu.doc

Asma Binti Yazid Bin Sakan.doc

Ibnu Taimiyah.txt

Ibnu Taymiyah.doc

Ibnul Qoyim Al Jauziyah.txt

Imam Ahmad bin Hanbal.txt

Imam Bukhari.txt

Imam Nawawi.txt

Imam Syafii.txt

IMRAN BIN HUSHAIN.doc

Khabbab Bin Arats radhiallahu.doc

KHADIJAH BINTI KHUWAILID radhiallhu.doc

Khalid bin Walid radhiallahu.doc

KHUBAIB BIN ADI.doc

Kisah-Nabi-Yusuf-dan-Nabi-Ya-qub.zip

MUSHAB BIN UMAIR.doc

SA`AD BIN MU`ADZ.doc

Said bin Amir radhiallahuanhu.doc

Salamah Bin Al-Akwa radhiallahuanhu.doc

SALIM MAULA ABU HUDZAIFAH RADHIYALLAHU ANHU.doc

SALMAN AL-FARISI RADHIYALLAHUANHU.doc

SAUDAH BINTI ZAM`AHradhiallhuanha.doc

SHAfiYYAH BINTI HUYAI-radhiallaahuanha.doc

Shalih Fauzan Al Fauzan.pdf

Shuhaib Bin Sinan.doc

SUHAIL BIN AMAR.doc

syafii.zip

Syaikh Abdurrahman bin Nashir AsSa`di.txt

Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman.txt

Syaikh Ali Hasan Al Halaby.txt

SYAIKH BIN BAZ.doc

Syaikh Ibnu Baz.txt

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.doc

Syaikh Muqbil bin Hadi.txt

Syaikh Nashiruddin Al Albani.txt

Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan.txt

Thufeil bin Amr Ad-dausi radhiallahuanhu.doc

UBAI BIN KAAB.doc

UMEIR BIN SA`AD.doc

UMMU HABIBAH RAMLAH BINTI ABU SUFYAN.doc

UMMU SALAMAH-radhiallaahuanha-.doc

Ummu Sulaim Binti Malhan.doc

UTBAH BIN GHAZWAN.doc

Utsman bin Mazh.doc

ZAID BIN HARITSAH.doc

ZAINAB binti JAHSY.doc

ZUBAIR BIN AWWAM radhiallahu.doc

Syekh Afifuddin Al-Jailany


Syeikh Afifuddin merupakan salah satu dari keturunan Syeikh Abdul Qodir al Jailani. Ketua Tareqat Qadiriiyah Internasional. Berasal dari Iraq dan menetap di Malaysia. Khabarnya mengajar di Yayasan Jenderami.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati