Syaikh Ahmad Al-Badawi (596 - 675 H)

Sang Manusia Langit
Kota Fas rupanya beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang
namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap
Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah
baginda Nabi, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib,
suami sayyidah Fatimah binti sayyidina Nabi Muhammad SAW.
Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di Maroko).
Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara
Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal al-Qur'an mengkaji ilmu-ilmu agama
khususnya fikih madzhab syafi'i. Pada tahun 609 H ayahnya membawanya pergi ke tanah
Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di
Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan
dimakamkan di Ma'la.
Badawi masuk Mesir
Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama empat
puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya
bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah !" begitu
suara itu terus menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah
menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian…beranjaklah ke Thantha,
suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda".
Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang
yang terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad " begitu kedua
orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. " Kunci-kunci rahasia
wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana
yang kamu suka". Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil
kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.
Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada
tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung
dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan
perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I,
Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya,
menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
Badawi yang alim
Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang
pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan
kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap
masalah bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada
orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya.
Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu
betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan-tangan Yang Maha Asih.
Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap
yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.
Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi.
Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, " Setelah
Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh
daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.
Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi
dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban
pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab “Syajaratul Ma'arif” karya Syaikh Izzuddin bin
Abdus Salam.
Karomah Ahmad Badawi
Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada
salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya
wali yang satu ini.
Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta
pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah,
dan tawakkallah kepada Allah SWT" tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh
Badawi. Syaikh Sya'roni berkomentar, "Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya
sendiri".
Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk
dalam berdagang. "Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan
melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin”. Demikian
nasehat Syekh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian
dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.
Syekh Badawi wafat
Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan
dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini
beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia
meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai dia meninggal pada tahun 773
H.
Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
kehadiran, petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi.
Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan,
kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya
yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk
meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh Badawi
ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak
berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali
sampai sekarang.
Menurut Sumber yang lain.
Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia menatap matahari, sehingga kornea matanya merah
membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih
sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka
berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan
minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi
dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.
Dalam perjalanan riyadhohnya, ia pernah tinggal di loteng negara Thondata selama 12 tahun,
dan selama 8 tahun ia berada diatas atap, riadhoh siang dan malam. Ia hidup pada tahun
596-675 H dan wafat di Mesir, makamnya di kota Tonto, setiap waktu tak pernah sepi dari
peziarah.
Pada usia dini ia telah hafal Al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan syeikh Ahmad Rifai. Ia adalah Waliullah Qutbol Gaust,
Assayyid, Assyarif Ahmad al Badawi. Suatu hari, ketika sang Murid telah sampai
ketingkatannya, Sjech Abdul Qodir Jaelani, menawarkan kepadanya ; ”Manakah yang kau
inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masriq atau Magrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang
sama juga diucapkan oleh gurunya Sayyid Ahmad Rifai, dengan lembut, dan menjaga
tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; ”Aku tak mengambil kunci kecuali dari Al Fattah
(Allah )”.
Suatu hari datang kepadanya, seorang janda mohon pertolongan, anak lelakinya ditahan di
Perancis, dan sang ibu ingin agar anak itu kembali dalam keadaan selamat. Oleh Sayyidi
Ahmad Al Badawi, janda itu disuruhnya untuk pulang, dan berkata sayidi : “Insya Allah anak ibu
sudah berada dirumah”. Bergegas sang ibu menuju rumahnya, dan betapa bahagia, bercampur
haru, dan penuh keheranan, ia dapati anaknya telah berada di rumah dalam keadaan
terbelenggu. Sayyidi al badawi banyak menolong orang yang ditahan secara Dholim oleh
penguasa Prancis saat itu, dan semua pulang ke rumahnya dalam keadaan tangannya tetap
terbelenggu.
Pernah suatu ketika Syaikh Ibnul labban mengumpat Sayyidi Ahmad Badawi, seketika itu juga
hafalan Al-Qur’an dan iman Syaikh Ibnul labban menjadi hilang. Ia bingung dan berusaha
dengan beristighosah dan meminta bantuan do’a, orang orang terkemuka di zaman itu (agar
ilmu dan imannya kembali lagi), tetapi tidak satupun dari yang dimintainya doa, berani
mencampuri urusannya, karena terkait dengan Sayyidi Ahmad Badawi. Padahal diriwayatkan,
saat itu Sayyidi Al Badawi telah wafat. Orang terkemuka yang dimintainya doa, hanya berani

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
memberi saran kepada Syaikh Ibnul labban, agar dia menghadap Syeikh Yaqut al-‘Arsyiy,
waliullah terkemuka pada saat itu, dan kholifah sayyidi abil hasan Assadzili. Ibnu labban segera
menemui Sjech Yaqut dan minta pertolongannya, dalam urusannya dengan sayyidi Ahmad Al
badawi. Setelah dimintai pertolongan oleh Syaikh Ibnul labban, Syeikh Yaqut Arsyiy berangkat
menuju ke makam Sayyidi al-Badawi dan berkata : “ Wahai guru, hendaklah tuan memberi
ma’af kepada orang ini!”. Dari dalam makamnya, terdengar jawaban “Apakah kamu
berkehendak untuk mengembalikan tandanya orang miskin itu ? ya…sudah, tapi dengan syarat
ia mau bertaubat”. Syeikh Ibbnul Labbanpun akhirnya bertaubat, dan tidak lama kemudian
kembalilah ilmu dan imannya seperti sedia kala dan ia juga mengakui kewalian Syeikh Yaqut,
karena peristiwa tersebut. Ia kemudian dinikahkan dengan putrinya Syeikh Yaqut. (Di ambil dari
kitab al-Jaami’).
Syeikh Muhammad asy-Syanawi menceritakan, bahwa pada waktu itu ada orang yang tidak
mau menghadiri dan bahkan mengingkari peringatan maulidnya Syeikh Ahmad Badawi, maka
seketika hilanglah iman orang itu dan menjadi merasa tidak senang terhadap agama Islam.
Orang itu kemudian berziarah ke makamnya Sayyid Badawi untuk minta tolong dan memohon
maaf atas kesalahannya. Kemudian terdengarlah suara sayyidi Badawi dari dalam kubur : “iya,
saya ma’afkan, tapi jangan berbuat lagi. Na’am (iya) jawab orang itu, spontan imannya kembali
lagi. Beliau lalu meneruskan ucapannya : “Apa sebabnya kamu mengingkari kami semua”.
Dijawabnya : “Karena di dalam acara itu banyak orang laki-laki dan perempuan bercampur baur
menjadi satu” (tanpa ada garis pembatas). Sayyidi Badawi lalu mengatakan : “Di tempat thowaf
sana, dimana banyak orang yang menunaikan ibadah haji disekitar Ka’bah, mereka juga
bercampur laki-laki dan perempuan, kenapa tidak ada yang melarang”. Demi mulianya
Tuhanku, orang-orang yang ada untuk menghadiri acara maulidku ini tidaklah ada yang
menjalankan dosa kecuali pasti mau bertaubat dan akan bagus taubatnya. Hewan-hewan di
hutan dan ikan-ikan di laut, semua itu dapat aku pelihara dan kulindungi diantara satu dengan
lainnya sehingga menjadi aman dengan idzin Allah. Lalu, apakah kiranya Allah Ta’ala, tidak
akan memberi aku kekuatan untuk mampu menjaga dan memelihara keamanannya
orang-orang yang menghadiri acara maulidku itu ?”
Suatu ketika Syeikh Ibnu Daqiqil berkumpul dengan Sayyidi Badawi, dan ia bertanya kepada
beliau : “Mengapa engkau tidak pernah sholat, yang demikian itu bukanlah perjalanannya para
shalihin“. Lalu beliau menjawab : “Diam kamu! Kalau tidak mau diam aku hamburkan daqiqmu
(tepung)”. Dan di tendanglah Syeikh Daqiqil oleh beliau hingga berada disuatu pulau yang luas
dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah sadar, iapun termangu karena merasa asing dengan
pulau tersebut. Dalam kebingungannya, datanglah seorang lelaki menghampirinya dan
memberi nasehat agar jangan mengganggu orang type al-Badawi, dan sekarang kamu
berjalanlah menuju qubah yang terlihat itu, nanti jika sudah tiba di sana kau berhentilah di
depan pintu hingga menunggu waktu ‘ashar dan ikutlah shalat berjamaah dibelakangnya imam
tersebut, sebab nanti Ahmad Badawi akan ikut di dalamnya. Setelah bertemu dia ucapkanlah
salam, peganglah lengan bajunya dan mohonlah ampun atas ucapanmu tadi. Ia menuruti
kata-kata orang itu yang tidak lain adalah Nabiyullah Khidir a.s. Setelah semua nasehatnya
dilaksanakan, betapa terkejutnya ia karena yang menjadi imam sholat waktu itu adalah Sayyidi
Badawi.
Setelah selesai sholat ia langsung menghampiri dan menciumi tangan dan menarik lengan

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
Sayyidi al-Badawi, sambil berkata seperti yang diamanatkan orang tadi. Dan berkatalah Sayyidi
Badawi sambil menendang Syeikh Daqiqil,” Pergilah sana murid-muridmu sudah menantimu
dan jangan kau ulangi lagi!. Seketika itu juga ia sudah sampai di rumahnya dan murid-muridnya
telah menunggu kedatangan Syeikh Daqiqil. Dijelaskan bahwa yang menjadi makmum sholat
berjamaah dengan Sayyidi Badawi pada kejadian itu adalah para wali.
Syekh Imam al Munawi berkata : “Ada seorang Syeikh yang setiap akan bepergian selalu
berziarah di makamnya Syeikh Ahmad al Badawi untuk minta ijin, lalu terdengar suara dari
dalam kubur dengan jelas :”Ya pergilah dengan tawakkal, Insya Allah niatmu berhasil, kejadian
tersebut didengar juga oleh Syeikh abdul wahab Assya’roni, padahal saat itu Syeikh Ahmad al
Badawi sudah meninggal 200 tahun silam, jadi para aulia’ itu walaupun sudah meninggal
ratusan tahun, namun masih bisa emberi petunjuk.
Berkata Syeikh Muhammad al-Adawi : Setengah dari keindahan keramat beliau ialah, pada
saat banyaknya orang yang ingin berusaha membatalkan peringatan maulidnya beliau, dimana
orang-orang tersebut menghadap dan meminta kepada Syeikh Imam Yahya al-Munawiy agar
beliau mau menyetujuinya. Sebagai orang yang berpengaruh dan berpendirian kuat pada masa
itu, Syeikh Yahya tidak menyetujuinya, akhirnya orang-orang tersebut melapor kepada sang
raja azh-Zhohir Jaqmaq. Sang rajapun berusaha membujuk agar Syeikh Yahya bersedia
memberi fatwa untuk membatalkan maulidnya Sayyidi Badawi. Akan tetapi Syeikh Yahya tetap
tidak mau dan hanya bersedia memberikan fatwa melarang keharaman-haraman yang terjadi di
acara itu. Maka acara maulid tetap dilaksanakan seperti biasa. Dan Syeikh Yahya bekata
kepada sang raja: “Aku tetap tak berani sama sekali berfatwa yang demikian, karena Sayyidi
Badawi adalah wali yang agung dan seorang fanatik (malati = bahasa jawanya). Hai raja,
tunggu saja, kamu akan tahu akibat bahayanya orang-orang yang berusaha menghilangkan
peringatan maulid Sayyidi Badawi. Memang benar, tak lama kemudian mereka yang bertujuan
menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Badawi tertimpa bencana. Orang-orang tersebut ada
yang dicopot jabatannya dan diasingkan oleh rajanya. Ada yang melarikan diri ke Dimyath akan
tetapi kemudian ditarik kembali dan diberi pengajaran, dirantai dan dipenjara selama setengah
bulan. Bahkan diantara mereka yang mempunyai jabatan tinggi dikerajaan itu lalu banyak yang
ditangkap, disidang dengan kelihatan terhina, disiksa dan diborgol besi di depan majlis hakim
syara’ lalu dihadapkan raja yang kemudian dibuang di negara Maghrib.
Sayyidi Ahmad Badawi pernah berkata kepada seseorang : “Bahwa pada tahun ini hendaknya
kamu menyimpan gandum yang banyak yang tujuanmu nanti akan kau berikan kepada para
fakir miskin, sebab nanti akan terjadi musim paceklik pangan. Kemudian orang tadi
menjalankan apa yang diperintahkan beliau, dan akhirnya memang terbukti kebenaran ucapan
Sayyidi Badawi.
Berkata al-Imam Sya’roni : “Pada tahun 948 H aku ketinggalan tidak dapat menghadiri acara
maulidnya Sayyidi Badawi. Lalu ada salah satu aulia’ memberi tahu kepadaku bahwa Sayyidi
Badawi pada waktu peringatan itu memperlihatkan diri di makamnya dan bertanya : “Mana
Abdul Wahhab Sya’roni, kenapa tidak datang ?” Pada suatu tahun, al-Imam Sya’roni juga
pernah berkeinginan tidak akan mendatangi maulid beliau. Lalu aku melihat beliau memegang
pelepah kurma hijau sambil mengajak orang-orang dari berbagai negara. Jadi orang-orang
yang berada dibelakangnya, dikanan dan kirinya banyak sekali tak terhingga jumlahnya. Terus

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
beliau melewati aku di Mesir, sayyidi Badawi berkata : “Kenapa kamu tidak berangkat ?”. Aku
sedang sakit tuan, jawabku. Sakit tidak menghalang-halangi orang cinta. Terus aku
diperlihatkan orang banyak dari para aulia’dan para masayikh, baik yang masih hidup maupun
yang sudah wafat, dan orang-orang yang lumpuh semua berjalan dengan merangkak dan
memakai kain kafannya, mereka mengikuti dibelakang sayyidi Badawi menghadiri maulid
beliau. Terus aku juga diperlihatkan jama’ah dan sekelompok tawanan yang masih dalam
keadaan terbalut dan terbelenggu juga ikut datang menghadiri maulidnya. Lalu beliau berkata:
lihatlah ! itu semua tidak ada yang mau ketinggalan, akhirnya aku berkehendak untuk mau
menghadiri, dan aku berkata : Insya Allah aku hadir tuan guru ?. Kalau begitu kamu harus
dengan pendamping, jawab sayyidi Badawi. Kemudian beliau memberi aku dua harimau hitam
besar dan gajah, yang dijanji tidak akan berpisah denganku sebelum sampai di tempat.
Peristiwa ini kemudian aku ceritakan kepada guruku Syeikh Muhammad asy-Syanawi, beliau
lalu menjelaskan: memang pada umumnya para aulia’ mengajak orang-orang itu dengan
perantaraan, akan tetapi sayyidi Ahmad Badawi langsung dengan sendirinya menyuruh
orang-orang mengajak datang. Sungguh banyak keramat beliau, hingga al-Imam Sya’roni
mengatakan,”Seandainya keajaiban atau keramat-keramat beliau kalau ditulis di dalam buku
tidaklah akan muat karena terlalu banyaknya. Tetapi ada peninggalan Syeikh ahmad Badawi
yang sangat utama, yaitu bacaan sholawat badawiyah sughro dan sholawat badawiyah kubro.
Demikianlah sekelumit manakib Sayyidi Ahmad Al Badawi disajikan kehadapan pembaca,
untuk dapat diambil hikmahnya, DUSTUR YA SAYYIDI AHMAD AL BADAWI (Dian Sag)
Wallahu`a'lam.

Syarat-syarat Mencapai Derajat Waliyullah


Syaikh Alyuusi berkata ; Sebagian para Imam mengatakan ; Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat :

1. Mengetahui ushuliddin ( pokok2 agama ), sehingga ia mampu membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga bisa membedakan antara nabi dan orang yang mengaku nabi.

2. Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara naql maupun dalam hal pemahaman dalil, dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya dibumi,niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.

3. Mempunya sifat-sifat terpuji, seperti ; wira’I dan ikhlash dalam setiap amal.

4. Selama-lamanya dalam keadaan tidak pernah merasa tenang hatinya, karena merasa tidak tahu apakah dia tergolong orang-orang beruntung ataukah celaka.

Qalbu Kaum Arifbillah


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

Rasulullah Saw, bersabda: "Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian dilanjutkan puasa enam hari bulan syawal, maka ia seperti puasa setahun.” (Hr. Imam Muslim)

Rahasia dari hadits ini adalah melaksanakan fardlu sepenuhnya, dan melaksanakan Sunnah Muhammadiyah, karena berkahnya dalam nilai waktu. Tak ada yang lebih penting dibanding meraih berkah waktu bagi sang ‘arif. Baik ibadah fardlu maupun sunnah atau perpaduan keduanya, dan itulah puncak hasrat cita. Sunnah Nabi Saw, adalah ruh bagi sang ‘arif, disanalah ia tegak dan duduk, sekaligus menjadi menara bagi jiwa terdalam kaum ‘arifin.

Karena yang menegakkan tiang-tiangnya dan membangun bangunannya adalah Nabi Saw, yang tidak bicara karena dorongan hawa nafsu, namun karena hentakan dari ayat “Mata hati tidak pernah menyimpang dan tidak pernah khianat.” Begitu juga para pewarisnya, kaum ‘arifin yang meraih berkah dengan mengikuti jejaknya, dimana ruh kita dan ruh semesta mendapatkan sarigunanya.

Qalbu Sang A’rif
Anak-anak sekalian…. Ketahuilah bahwa qalbu kaum ‘arifin adalah perbendaharaan Allah Ta’ala di muka bumi.
RahasiaNya dititipkan di dalamnya, kelembutan-kelembutan hikmahNya, hakikat cintaNYa, cahaya ilmuNya dan ayat-ayat ma’rifatNya, yang tak bisa dilihat sekalipun oleh Malaikat Muqorrobun, dan para nabi dan Rasul, dan siapa pun juga, tanpa seizin Allah Swt.

Sudah selayaknya bagi sang ‘arif mengenal baik dan buruknya, senantiasa istiqomah dalam amaliyahnya, mengenal untung dan ruginya, menjaga dari rekadaya musuh-musuhnya, dan memohon pertolongan kepada Allah Swt, secara total.

Jangan sampai meninggalkan sesuatu di hatinya selain Allah Robbul Izzah. Karena Allah Ta’ala manakala memandang qalbu hambaNya, lalu disana ada selain Dia, Allah Ta’ala membenci dan menghinakannya dan ia akan diserahkan pada musuhNya.
Amaliyah qalbu murni semata bagi Allah Ta’ala, sedang amaliyah rukun banyak ragamnya. Sedangkan amaliyah qalbu itu diterima tanpa gerak-gerik rukun, sedangkan amaliyah rukun tidak diterima tanpa amaliyah qalbu, dan tidak meraih pahala.

Bila seorang hamba mengabaikan amaliyah qalbunya, sedangkan dalam amaliyah rukun ia sempurna, ia hanya dinilai sempurnanya rukun tetapi bukan qalbunya. Namun jika amaliah qalbunya sempurna sedangkan amaliah rukunnya tidak, maka ia dihukumi ketidaksempurnaan rukunnya dengan kesempurnaan amaliah qalbunya.

Suatu hari Nabi Musa as, berjalan diantara Bani Israil menggunakan pakaian lap dan menaburi kepalanya dengan debu, sementara airmatanya menetes terus di pipinya. Lalu Nabi Musa as, menangis kasihan melihat keadaan mereka. Beliau bermunajat, “Oh Tuhanku, kenapa tidak Engkau sayangi hambaMu? Bukankah Engkau Tahu keadaan mereka?”

Allah pun menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Lihatlah, apakah perbendaharaanku melimpah, bukankah Aku Maha Penyayang? Jangan begitu. Namun Aku lebih tahu apa yang ada di hati mereka. Mereka berdoa kepadaKu dengan hati yang kosong dariKu, semata-mata condong pada dunia.”


Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as, sedang berjalan berjumpa dengan seorang yang sujud di atas batu selama 300 tahun. Ia menangis dan air matanya menetes memenuhi sebuah wadah. Nabi Musa as, turut menangis karena kasihan padanya. “Oh Tuhanku, tidakkah Engkau kasihan padanya?”
Allah Swt, menjawab, “Aku memang tidak kasihan padanya.”
“Kenapa begitu Oh Tuhanku?”
“Karena qalbunya lebih senang pada selain Aku. Ia masih punya jubah yang disayang untuk menupi rasa panas dan dingin!” Jawab Allah Ta’ala.
Nabi Saw, bersabda, “Seorang hamba tidak akan pernah teguh amaliahnya sehingga qalbunya teguh, dan qalbunya tidak akan teguh sampai ucapannya teguh.” Bila qalbu hilang, ia kehilangan Rabbnya.
Nabi Saw, bersabda:
“Ingatlah sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging, manakala ia baik, maka seluruh jasad baik. Dan apabila ia buruk, buruk pula seluruh jasadnya. Ingatlah bahwa itu adalah qalbu.”

Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Katakan kepada Bani Israel, jangan sampai mereka masuk ke dalam rumahKu kecuali dengan hati yang bersih, dan mata yang khusyu’, dengan badan yang bersih dan niat yang benar.”

Yahya bin Mu’adz ra, mengatakan, “Qalbu orang beriman itu adalah gumpalan yang berlobang, isinya adalah mutiara Robbani, di sekitarnya adalah taman Fardaniyah (penunggalan Ilahi), di bawahnya ada hamparan pencahayaan. Dan Allah Ta’ala memandangnya setiap saat dengan rahmat dan kasih sayangNya, dan menghadang apa pun yang membuatnya lalai antara hamba dan DiriNya.”
Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih menepati janjinya dibanding Allah?”

Dikatakan, bahwa kinerja qalbu itu sangat pelik, namun pengukuhan qalbu itu lebih berat lagi.
Ditanyakan kepada sebagian ahli ma’rifat, “Seorang hamba yang kehilangan qalbunya, kapan bakal menemukannya kembali?”
Dijawab, “Bila dalam qalbu itu turun Kebenaran Allah.” Masih ditanya, “Kapan turunnya?” Dijawab, “Makanala ia ia pergi meninggalkan selain Allah Ta’ala.”
Amaliah Qalbu itu berkisar 10 tangga:
• Al-Khatharat (intuisi terdalam)
• Ungkapan nafsu
• Hasrat
• Tafakur
• Kehendak
• Ridho
• Ikhtiar
• Niat
• Tekad
• Meraih tujuan hingga mencapai amaliah dzohir.

Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika mendapatkan intusi terdalam, ia berada di tangga Shiddiqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ucapan nafsu, maka ia berada di tangga Muqorrobin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berada dalam hasratnya, maka ia termasuk dalam tangga Awwabin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan tafakurnya, maka ia berada di tangga Mukhlishin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan cita-cita, maka ia berada 
di tangga Muridin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ikhtiar maka ia berada 
di tangga Muttaqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan niat, maka ia berada di tangga Zahidin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan Tekadnya, maka ia berada di tangga Munibin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan amaliah dzohir maka ia berada di tangga ‘Abidin dalam kalangan Muwahhidin.

Ishaq bin Ibrahim ra, mengatakan, “Bila hatimu bisa kembali kepada Allah Ta’ala sejenak saja, itu lebih baik dibanding segala hal yang dicahayai terbitnya matahari. Tak seorang pun yang bersih hatinya dari kotoran syahwat, dan membersihkan dari debu-debu kealpaan, serta menjernihkan dari keburaman penyimpangan, melainkan Allah Swt, akan menampakkan semuanya secara total.”
Bakr bin Abdullah ra, menafsiri ayat, “Dan ia datang dengan qalbu yang kembali”.

maksudnya yang berjalan dimuka bumi dengan fisiknya, sedangkan hatinya bergantung terus kepada Allah Ta’ala.
Abu Abdullah ra, ditanya, “Apakah Qalbun Salim itu?”
Beliau menjawab: “Qalbu yang putus dari kaitan-kaitan dunia, dipenuhi cinta kepada Tuhan, tidak mengeluh karena bencana, dan tidak terhalangi tirai perlindungan dan ketaqwaan.”
Disebutkan, “Siapa yang antara dirinya dengan Allah ta’ala tidak memiliki amaliah rahasia batin, maka ia tergolong buruk, walaupun kelihatannya baik. Dan siapa yang tidak melihat dunia dan akhirat adanya Kekuasaan Allah Ta’ala yang berjalan dan cepatnya takdir itu, ia tidak akan meraih amaliah qalbu.”
Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Ketahuilah bahwa alamiah qalbu adalah memperbaharui rahasia batin untuk menyendiri bersama Allah Ta’ala, dan mengaktifkan qalbu untuk menjaga dzikirnya sepanjang waktu disertai ruhani yang benar tanpa berpaling pada waktu dan kondisi ruhaninya itu sendiri.”
Abu Darda’ ra, berkata, “Allah mempunyai hamba-hamba, dimana qalbunya terbang kepada Allah Ta’ala karena rindunya, yang kecepatannya tidak bisa dilawan oleh kilat yang cepat sekalipun.”
Nabi Saw, bersabda, “Bukan karena banyaknya sholat Abu Bakr yang mendahului derajat kalian, juga bukan karena puasa, namun karena kebersamannya dengan Allah dan sejuk dalam qalbunya.”
Allah Ta’ala tidak menolak yang sedikit karena jumlah sedikitnya, juga tidak menerima yang banyak karena jumlah banyaknya. Namun Allah menerimanya dari kalangan orang yang taqwa (dengan ketaqwaannya).
Disebutkan, “Tidak benar maqom seseorang manakala masih ada gantungan qalbunya pada maqom itu. Namun orang yang benar adalah orang yang qalbunya bergantung kepada Sang Pemiliki Maqom belaka, hingga ia tidak melihat selain Allah Ta’ala ketika melihat Allah Ta’ala.”
Dikatakan, “Manakala amaliyah mengarah pada qalbu, seluruh badan istirahat.” Disebutkan pula, “Tidak akan ada aktivitas amal qalbu, kecuali bagi orang yang qalbunya bening, tidak lupa, sehat dan tidak luka, memandang tanpa cacat, sendiri tanpa kontra, mencari tanpa memburu, dekat tanpa asing, berakal sehat tanpa alpa, samawi tanpa semesta fisik, bersifat Arsy dan tanpa belantara.”
Penyendirian Qalbu hanya bagi Allah Ta’ala.

Tsabit an-Nasaj ra mengatakan, “Aku membaca Al-Qur’an bertahun-tahun penuh dengan rasa takut, namun aku tidak menemukan qalbuku. Lalu aku membacanya dengan penuh harapan, aku pun tidak menemukan qalbu. Lantas ketika aku membaca dengan qalbu yang sendiri dari segala hal selain Allah Ta’ala, pada saat itulah aku menemukan qalbuku. Dan ketika aku melihatnya, aku pun melihat adanya Wilayah Keagungan, Kebesaran Yang Agung dan Martabat yang Luhur.”

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya: “Qalbu-qalbu itu di TanganKu, Cinta ada di Rahasia perbendaharanKu. Kalau bukan karena CintaKu pada hambaKu, pastilah hambaKu tak mampu mencintaiKu. Dan kalaulah bukan karena DzikirKu di zaman azali kepada hambaKu, ia tak bakal mampu berdzikir kepadaKu. Kalaulah bukan karena kehendakKu padanya di zaman Qadim dahulu, hambaKu tak akan bisa berkehendak padaKu.”
Dikatakan, “Seorang ‘arif sedang melihat seorang yang mengitari masjid, “Lalu ditanya, “Apa-apaan ini? Apa yang anda cari?”.
Ia menjawab, “Aku lagi mencari tempat yang sunyi untuk sholatku…” Sang ‘arif berkata, “Sunyikan hatimu dari segala hal selain Allah, dan sholatlah dimana pun anda berada semau anda.”

Disebutkan, “Menurut kadar menghadapmu kepada Allah Ta’ala, maka kedekatan qalbu terukur. Dan Allah Ta’ala tidak menampakkan di qalbu orang sang hamba, yang masih ada penglihatan selain Dia, melainkan justru Allah menyiksanya dan dibebankan kepada si hamba itu.” Yahya bin Mu’adz ra, berkata, “Qalbu ketika diletakkan di dunia, ia merana. Ketika diletakkan di akhirat ia hendak pergi. Ketika diletakkan di sisi Allah Swt, ia merasa baik.”
Dikatakan, “Dunia itu roboh, dan ada yang lebih roboh lagi, yaitu qalbu yang meramaikan dunia. Akhirat itu negeri keramaian, dan lebih ramai lagi adalah qalbu yang meraihnya.”

Disebutkan, “Jarak-jarak dunia bisa ditempuh dengan langkah kaki, sedangkan jarak-jarak akhirat hanya bisa ditempuh 
dengan qalbu.” Dikatakan, “Robohnya nafsu karena ramainya qalbu, dan ramainya nafsu merobohkan qalbu.”
Diantara pemilik qalbu sejati ditanya, “Kenapa anda tidak bicara?” Ia menjawab, “Qalbuku bicara.” Ditanya, “Dengan siapa?” , ia jawab, “Dengan Yang membolak-balik qalbu.”

Negeri Sufi


Di luar langit sana, tiba-tiba bumi mengepulkan asap hitam. Tampak seperti bola hitam yang meruak ke angkasa. Boleh jadi, itulah meteor siang bolong, yang sedang melesat, mengikuti edarnya.

Lalu di sebuah surau desa terpencil yang terbuat dari anyaman bambu, dua sosok masih bersila saling berhadapan, sembari mengepulkan asap rokok.
“Negeri ini sedang berguncang, sebagaimana yang kita lihat dalam riak gelombang lautan,” kata Mat Salik.

“Apanya yang aneh?” tanya Syamsuddin.
“Lho, apa sampean tidak merasa asing?”
“Saya kira kok biasa-biasa saja…”
“Maksudnya?”
“Lho iya, bukankah semua itu sudah jadi watak dunia. Selama kita hidup di dunia, ya selalu begitu, tak henti-hentinya?”
Dua orang itu kemudian terdiam. Masing-masing menerawang ke angkasa. Bintang-bintang kecil bertaburan, lalu segerombol bintang membentuk lingkaran yang saling tarik menarik, seperti misteri huruf Hamzah dalam jajaran huruf Hijaiyah.

Tanpa jawaban dan diskusi yang jelas, kedua hamba Allah itu kembali ke rumah masing-masing, namun ada kesepakatan keduanya akan segera sillaturrahim ke Kiai Mursyid, guru mereka berdua.

Di sebuah kota kecil, sebuah bangunan menara menjulang ke langit. Menara itu menjadi lambang sebuah cahaya senantiasa memancar, bukan hanya limawaktu sehari ketika suara adzan menusuk angkasa, tetapi juga seringkali dianggap sebagai lambang kesejukan kota kecil itu. “Selama menara itu masih bersinar, kota ini akan senantiasa damai.” Demikian pameo yang berkembang di benak penghuni kota itu.

Di bawah menara itu, tentu sebuah bangunan yang berjajar seperti sebuah kampung kecil di tengah kota. Bangunan-bangunan itu sederhana, tetapi sangatlah bersih. Tak banyak orang bersuara, kecuali sesekali ledakan tawa yang membahana, bahkan juga suara-suara burung yang berkicau di sudut-sudut kampung itu, serta suara-suara bocah yang sedang bermain dengan gembiranya.

Dan bangunan paling sederhana diantara bangunan-bangunan itu, dihuni oleh Kiai Mursyid dan keluarganya. Walau sederhana, tetapi ruang tamu yang luas, dan dan dapur yang lebih luas lagi. Di sana Kiai Mursyid memimpin sebuah pesantren yang tidak sampai ribuan jumlah santrinya. Tetapi dari sanalah sebuah bangsa dibangun dalam arti sebenarnya.
Kiai ini masih sangat muda, belum sampai lima puluh tahun usianya. Tetapi ia memang cukup dikenal sebagai Kiai Sufi, di kalangan para Sufi negeri ini. Lalu bangunan yang mirip kampung kecil itu, tidak lain adalah bangunan pesantren itu. Kelihatan, segalanya berjalan alamiyah, tidak megah, tetapi kokoh dengan bangunan-banguna kayu jati yang berusia tua.

“Mengapa Pak Kiai tidak membangun pesantren modern, lalu tetap mempertahankan tradisi utama di sini? Bahkan kalau perlu dibangun sebuah akademi paling modern dengan nuansa tradisi yang unik?” tanya seorang tamu dari Jakarta yang ssudah melalang buana di negeri-negeri Islam dan pelosok dunia, sembari ia bandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, sehingga Kiai Mursyid bisa menjadi pelopor pertemuan peradaban Islam paling modern tanpa melepas tradisinya?
“Kami di sini mendidik hati, menanamkan biji-biji tauhid, agar tumbuh menjadi sosok pohon sejarah kehambaan, yang berbuah manusia-manusia yang senantiasa mendapatkan ridhaNya…” jawab Kiai Mursyid tetap merendah.

“Saya sudah dua hari di sini Pak Kiai. Saya mengamati semuanya, mendata para santri, mendata murid-murid Kiai dari berbagai profesi. Kenapa seorang insinyur, seorang doktor pula, tiba-tiba harus ditugasi Kiai membersihkan kamar mandi setiap hari. Bahkan itu semua di luar disiplin ilmunya. Mengapa tidak dimanfaatkan dan dikembangkan potensinya, dengan planning modern?”
“Bolehlah anda berpendapat begitu. Tetapi saya tanya, mana universitas terhebat di dunia ini yang bisa membentuk karakteristik manusia yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa ide anda itu bisa membuat hatinya berubah, karakternya bisa sesuai dengan keinginan anda,” jawab kiai itu.

Tamu dari Jakarta itu rupanya terhenyak dengan jawaban kiai. Walau pun fikirannya masih tidak puas, diam-diam hatinya tidak menolak lontaran kiai tersebut.
Kiai Mursyid memang aneh. Bukan seperti kiai biasa. Juga bukan seperti Kiai Khos yang selama ini dikenal publik. Sebab para muridnya terdiri dari masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Dari anak-anak hingga orang tua-tua yang sudah senja. Terkadang di rumahnya itu, ratusan rombongan tamu datang, terkadang yang beberapa gelintir manusia, bahkan beberapa hari juga pernah lengang. Kadang yang datang dengan pakaian seragam militer, dengan pangkat jenderal, terjkadang pengusaha kaya raya, namun tidak jarang yang ditemui justru para pemulung dan tukang becak. Semuanya tampak akrab dengan Kiai itu.

Ada jutaan muridnya, ada yang satu sama lain mengenal, ada yang tidak kenal sama sekali, walau pun di ibu kota Jakarta, mereka sebenarnya duduk pada satu instansi bahkan satu kantor.

Seluruh lapisan masyarakat, model manusia seperti apa pun, dari yang paling aneh, paling gila, paling nyentrik, bahkan paling jahat, merasa mendapatkan perlindungan jiwa di sana. Apalagi yang paling alim, paling hebat, paling mampu dan paling banyak massanya, juga merasa mendapatkan perlindungan hati di sana.

Tetapi, manusia juga tetap manusia. Manusia tidak lepas dosa dan alpa. Hanya kesombonganlah yang menyeret manusia untuk merasa paling suci, paling Islami, paling alim, paling dekat dengan Tuhannya. Karena itu di pintu gerbang pesantren itu ada tulisan besar.

“Janganlah anda merasa paling kotor dan paling berdosa di tempat ini. Sebab masih banyak orang yang lebih kotor dan lebih berdosa ketimbang anda di sini. Janganlah pula anda merasa paling alim dan paling suci di sini, sebab masih banyak orang alim dan orang suci lebih dari anda di sini.”
Membaca tulisan itu, setiap tamu yang datang bahkan setiap santri yang keluar masuk pesantren itu, sering dihentakkan egonya sampai ke titik paling rendah. Bahkan banyak tamu yang hilir mudik, karena satu dan lain hal, tidak sempat bertemu Kiai Mursyid, sudah merasa bebas dari beban yang menghimpit ketika memasuki gerbang pesantren itu.

Banyak pula para tamu yang membayangkan sosok Kiai Mursyid sebagai sosok yang kharismatis, dengan pakaian kebesaran dan jubah yang menjuntai. Tetapi begitu jumpa kiai itu, terasa seperti berjumpa dengan ayahandanya sendiri. Bahkan lebih dari itu, tiba-tiba sosok kiai itu adalah sosok bapak spiritual yang meluruhkan gumpalan-gumpalan yang berkarat dalam hati.

“Di sini ini seperti supermarket. Mencari apa saja ada …” kata Kiai Mursyid ketika menerima rombongan tamu-tamu dari luar kota.
Memang demikian. Sebab santri Kiai Mursyid memang terdiri dari berbagai macam manusia, dan ilmu yang dimiliki Kiai Mursyid memang lebih dari sekadar seorang Kiai. Sebab, beberapa tokoh dari perbankan internasional dari mancanegera sering datang hanya untuk konsultasi soal moneter. Ada para politisi yang bertanya soal strategi berbangsa dan bernegara. Ada juga para Ulama besar negara-negara Islam yang datang, hanya untuk bertanya satu dua persoalan saja, ketika persoalan itu sudah ditanyakan hampir ke seluruh tokoh-tokoh Ulama besar, tetapi mengalami jalan buntu. Lalu Kiai Mursyid hanya memberi jawaban satu dua kalimat saja, mereka sudah puas. Namun tak jarang Kiai Mursyid harus bicara soal pertanian dan pendidikan anak-anak di desa, situasi madrasah dan surau, pada orang-orang desa.

Misalnya, seorang professor Filsafat dari Al-Azhar University jauh-jauh datang dari Mesir hanya untuk menanyakan sebuah kompromi polemik intelektual dan teologis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi yang selama berabad-abad tidak bisa dikompromikan secara memuaskan. Tetapi ketika filosuf Al-Azhar itu mendatanginya, dengan membawa masalah tersebut, akhirnya hanya dijawab oleh Kiai Mursyid dengan kata-kata sederhana, terkadang penuh dengan anekdot dan hikmah yang berbau kontroversial.
“Apakah Syeikh tadi sudah masuk ke masjid saya itu, melihat arsitektur dan bangunannya?” tanya Kiai Mursyid.

“Sudah Pak Kiai…” jawab Professor dari Al-Azhar itu.
“Apakah syeikh bisa menjelaskan pada khayalak tentang bangunan itu?”
“Insya Allah saya bisa, bahkan sangat detil. Sebab saya memang pernah belajar arsitektur di Universitas Kairo.”

“Baiklah. Kalau teman anda ini, apakah teman anda ini juga ikut masuk di Masjid?” tanya Kiai Mursyiod pada teman syeikh atau Professor itu.
“Maaf Pak Kiai,” jawabnya dengan berbahasa Arab fasih, “saya hanya melihat-lihat dari luar saja. Tapi saya bisa menjelaskan bentuk detilnya kepada khalayak. Karena saya sebenarnya seorang insinyur bangunan Pak Kiai,” kata teman professor tadi.

“Nah, itulah cara mempertemukan Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi. Syeikh atau professor yang sudah masuk ke dalam masjid lalu keluar dari masjid, kemudian menjaskan kepada khalayak tentang bangunan masjid itu, menempati posisi Imam Al-Ghazali. Sedangkan anda yang hanya melihat masjid dari sisi luarnya, lalu berusaha menjelaskan kepada khalayak tentang sudut-sudut bangunan di dalam masjid, maka anda menempati posisi Ibnu Rusydi.”

Kedua tokoh itu hanya manggut-manggut, sembari meandang sosok Kiai Mursyid tanpa henti-hentinya. Lalu professor itu menangis dengan sesenggukan yang mengharukan.

“Pak Kiai telah menyelesaikan ribuan judul buku, bahkan ratusan ribu kitab, hanya dalam satu kalimat saja. Subhanallah….Subhanalllah…” kata Professor itu sambil mengusap airmatanya dengan sapu tangannya.
Kiai Mursyid hanya menyambut dengan senyuman.

“Apa rahasianya Pak Kiai?” tanya professor itu.
“Kalau hati anda hidup, insya Allah bisa sendiri,” katanya.
“Hati yang hidup itu bagaimana?”
“Ya, hati yang tidak mati…ha…ha…haa…”
Professor itu mengernyitkan keningnya. Lalu Kiai Mursyid menempelkan tepalak tangannya ke dada professor itu.

“Pejamkan mata anda, rasakan apa yang hidup dalam hati anda.”
Professor itu memejamkan matanya, lalu mengikuti perintah Kiai Mursyid. Tiba-tiba keringatnya bercucuran, bahkan airmatanya membasahi pipinya dan membelah bibirnya.

“Iya, iya Pak Kiai, saya mengerti, saya mengerti…”
Lalu Professor itu mengucapkan istighfar berkali-kali, ketika hatinya mengalami futuh (pencerahan), melalui Kiai Mursyid. Dan hari itu Professor dari Al-Azhar itu berbaiat kepada Kiai Mursyid untuk mengikuti thareqat Sufinya.

Malam semakin larut ketika seluruh negeri ini terlelap oleh kedekilan yang menggigilkan. Dan selimut telah menjadi jubah malamnya, seperti malam menjubahi bumi dengan gelapnya. Mat Salik dan Syamsuddin sudah memasuki pelataran pesantren itu. Keduanya memasuki masjid, lalu sholat dua rekaat tahiyyatal masjid. Usai berdzikir dan berdoa, terdengar suara yang memecahkan malam. “Mat Saliiik….!.Syamsuddiiiin….!”. Suara yang khas memanggil dua nama itu. Tidak lain adalah suara Kiai Musryid yang sudah menunggu kedatangan dua orang dari pelosok kampung itu.

Dua orang itu mencium tangan Kiai Mursyid dan duduk di emperan masjid.
“Negeri ini susah diprediksi oleh para pengamat, para pakar, bahkan oleh musuh sekalipun,” tiba-tiba Kiai Mursyid membuka pembicaraannya, seakan-akan menyambung obrolan dua orang kampung itu.
“Kenapa begitu Pak Kiai….”
“Karena di negeri ini masih banyak, ratusan, para wali-wali Allah yang menjaganya….” Kata Kiai Mursyid.

Dua orang itu tetap tak berkata-kata. Tetapi hatinya merasakan getaran-getaran yang aneh dibalik kata-kata Kiai Mursyid itu.

“Karena itu, lanjut Kiai Mursyid, “jangan percaya pada omongan para pakar di media massa, jangan mudah percaya pada pemimpin-pemimpin yang munafik yang hanya mementingkan golongan dan keluarganya sendiri, juga jangan percaya pada suara-suara pikiran belaka. Percayalah pada hatimu paling dalam, percayalah pada Sirr-mu sendiri.”

Dada Mat Salik dan Syamsuddin terasda terguncang mendengar kata hikmah Kiainya. Guncangan itu akibat getaran dzikir yang tak bisa dihentikan oleh usahanya sendiri. Tiba-tiba bergetar dengan dzikrullah, tanpa tahu darimana asal mulanya.

“Getaran dalam hatimu, bermula dari kesadaranmu paling dalam. Kesadaran yang tak terikat ruang waktu, disaat kamu ditanya oleh Tuhanmu, “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Lalu sirr-mu menjawab, “Benar, Engkaulah Tuhanku…”. Itulah sirr-mu yang menjawab. Sirr tempat dimana kamu bertemu dengan Allah.”

Lalu dua orang itu dipersilahkan ke masjid oleh Kiai Mursyid, walau pun sisa airmatanya masih mebekas di pipinya.

Subuh pagi yang cerah, dua orang itu pulang ke kampung dengan wajah seperti matahari pagi.

Keduanya hanya senyum-senyum sendiri, dengan senyum yang menahan rasa gembiranya atas jawaban Kiai Mursyid tentang negeri ini.

Ziarah Ke Makam Syeikh Abdissalam bin Masyisy Guru dari Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra


Keinginan untuk ziarah ke maqom Syeikh Abdissalam bin Masyisy sudah lama kami impikan, sejak tahun 2006 lalu, usai berziarah ke maqam Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily.
Kebetulan Sabtu di bulan Nopember 2008, ada kesempatan, setelah sepekan melaksanakan tugas kenegaraan sebagai wakil rakyat. Kerjasama bilateral di bidang pendidikan dengan pemerintah Spanyol dan Marokko, memberi kesempatan kami untuk berziarah ke maqom gurunya Syeikh Abul Hasan As-Syadzily, Sang Quthub Syeikh Abdusslam bin Masyisy.

Disamping sebelumnya kami menziarahi tempat-tempat kejayaan Islam di Eropa, termasuk wilayah Cordova yang memiliki lambang kejayaan Islam di masa lalu, juga Istana Alhambra di Granada Spanyol yang berbatasan dengan Marokko.

Sebelumnya kami melewati perjalanan panjang selama 18 jam lebih, dari Jakarta, Dhoha dan Madrid. Di Bandara Madrid, kami lewati stadion sepakbola yang terkenal di dunia, Bernabu, hanya berjarak setengah jam. Diosana para penggidola bola berkumpul.
Dari bandara Madrid, kami harus menempuh dua jam untuk sampai di kota Casablanca (yang berarti rumah putih). Dari sana kami menuju jalan panjang “highway” menuju Marakesh, sebuah kota kebudayaan yang cantik dengan bangunan eksotis merah bata yang benar-benar menjadi andalam wisata Marokko.
Di kota elok ini, bangtunan-bangunan masjid dengan khas arsitektur yang indah bertebaran di mana-mana. Namun yang cukup mengharukan, di kota ini maqam para Ulama besar cukup banyak, diantaranya maqam Syeikh Sulaiman Jazuli yang sangat popular di Indonesia, karena beliaulah pengarang kitab Dalailul Khoirot. Di maqam wali itu, kami pun berziarah.

Banyak kemudahan dalam prosesi ziarah ini segala urusannya dimudahkan oleh Allah swt, dan kami ditemani mahasiswa S3 dari Indonesia yang juga merangkap menjadi lokal staff di Marokko.
Lebih dahsyat lagi sopir yang menghantar kami adalah seorang pesuluk thoriqoh Sufi, sekaligus pernah menjadi peserta Rally Paris Dakkar sebagai co pilotnya. Tentu saja, memiliki pengalaman luar biasa dan tangguh. Kami menyewa sebuah jeep Pajero, menembus perjalanan panjang menuju Cakrawala sang Quthub Agung Syeikh Abdissalam bin Masyisy.

Sepanjang jalan kami tak henti-hentinya berdzikir, membaca sholawat Syadziliyah, yang tentu saja menjadi wirid Sang Quthub yang kelak dilimpahkan kemursyidannya kepada Sulthanul Auliya’ Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily yang kelak ajarannya menebar seluruh jagad ini.

Tentu saja, pertemuan agung antara Syeikh Abdissalam bin Masyisy dengan muridnya, Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily tidak sekadar sebuah pertemuan guru dan murid belaka. Perjalanan ruhani perjalanan thoriqoh Syadziliyah memasuki titik penting sekaligus memancar ke seluruh dunia, dari pertemuan ini.
Ketika Syeikh Abul Hasan mengembara mencari Mursyid yang Quthub, sampailah beliau ke negeri para wali, di Irak. Dari satu wali ke wali lain yang beliau temuai, belum juga membuatnya puas, sebelum bertemu dengan seorang Wali Quthub di zaman itu. Padahal dari Marokko, Syeikh Abul Hasan menembus ribuan kilometer menuju Irak, mengarungi padang sahara yang luar biasa luasnya, demi mencapai cita-citanya yang luhur.

Akhirnya beliau bertemu dengan seorang Auliya’ di Irak, ketika itu, dan sang wali itu berkata kepadanya: “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai di sini, padahal orang yang engkau cari itu sebenarnya di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah Quthubuz zaman yang agung saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling di negeri ini Saat ini beliau sedang berkhalwat di puncak gunung di sebuah gua. Temuilah beliau, dari cari disana…!”

Sepulangnya dari Irak, beliau menuju Maroko, dan kembali ke desanya Ghomaroh, tempat dimana beliau dilahirkan. Hatinya tak bias digugat untuk segera bertemu dengan Sang Quthub itu. Sebuah pubcak bukit di padang Barbathoh, akhirnya beliau jumpai seluruh jiwanya dalam cita-citanya.

Ketika menempuh jalan berliku menuju puncak bukit itu, Syeikh abul Hasan berhenti di sebuah pancuran air untuk mandi di mata air itu, demi penghormatan kepada Gurunya, merasakan dirinya benar-benar fakir, lalu dilanjutkan berwudlu dengan penuh tawadlu menuju gua itu.

Tiba-tiba dari arah gua itu muncul sosok yang tampak lanjut usia dengan pakaian yang sederhana, dengan songkok dari anyaman jerami. Wajahnya menyiratkan pancaran cahaya agung yang luhur, anggun, arif dan kharismatik. Orang tua itu mendekati beliau dan mendahului dengan “ Assalamu’alaikum…..”
Syeikh abul Hasan terkejut dan serta merta menjawab salam orang itu. “Wa’alaikumussalam Warohmatullahi Wabarokaatuh….”

Belum usai terkejutnya, orang tua itu melanjutkan, “Marhaban Wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dst..dengan menyebut nasab Syeikh Abul Hasan sampai ke rasulullah saw.

Mendengar itu semua Syeikh Abul Hasan semakin takjub. Bel;um sempat mengeluarkan kata, Syeikh tua itu melanjutkan, “Wahai Ali, engkau datang kepadaku sebagai fakir bagik dari segi ilmu maupun amalmu, maka engkau akan mengambil dariku semua kekayaan, dunia hingga akhirat…”[pagebreak]
Semakin jelas bahwa sosok itulah yang dicari selama ini, Syeikhul Quthub. Bahkan beliau melanjutkan:
“Ketahuilah wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rasulullah saw, telah memberi tahu kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu hari ini. Selain itu aku juga mendapatkan tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepadamu. Oleh sebab itu ketahuilah bahwa kedatanganku kemari sengaja untuk menyambutmu…”

Itulah sekilas pertemuan awal dua tokohnya Allah di muka bumi. Karena memang banyak sekali wejangan-wejangan dan didikan Syeikh Abdissalam bin Masyisy yang kelak membutuhkan halaman tersendiri.

Sebuah cakrawala tujuh abad silam, kami hanya bisa membayangkan pengorbanan luar biasa, dimana sebuah kehidupan spiritual, peradaban Islam, air mata, darah, jiwa, berpadu dalam nafas perjuangan para Auliya di zaman itu. Sungguh kami tak berdaya, tak berarti apa-apa, bahkan hanya serasa debu yang terbang dari deru Pajero yang kami tumpangi ketika itu. Kami seperti bayang sekelebat yang hanya menunggu berkah mereka semua, siapa tahu menjadi bekal perjuangan kami di Indonesia. Semoga Allah memberkahi kami, berkat barokah mereka….Amin.

Marokko, negeri para Auliya’, yang di negeri kita ini sering kita dengar seorang Wali Besar Syeikh Maghraby, adalah seorang Wali dari Marokko pula. Bahkan sulit dibayangkan terjadinya benang merah luar biasa antara negeri kami di Timur dan Marokko di Barat ini. Rasanya seperti ada cahaya yang kuat memendarkan garis lurus yang putih berkilau antara Indonesia dan Marokko. Dan nyatanya hubungan spiritual antara Indonesia dan Marokko, dari jejak para Auliya’nya luar biasa dahsyatnya.
Tak henti-hentinya kelopak mata saya menggenang, sesekali menggores pipi tanpa terasa. Getaran jantung di sini, serasa bergetar di sana. Bahkan juga sebaliknya.

Kebetulan saya bersama isteri, Santi Anisa, ketika menembus malam panjang di perjalanan itu. Perjalanan malam, menempuh empat jam dari Marakesh, yang hampir tidak mungkin kami tempuh, karena harus melewati kota Casablanca, kemudian kota Rabat.

Di kota Rabat ini, ada sebuah jalan namanya Jalan Soekarno, demi mengenang jasa Presiden Indonesia pertama, yang sangat berperan dalam kemerdekaan Maroko. Dan hubungan Indonesia Maroko sangat kental akhirnya, bahkan bangsa Indonesia yang ke Maroko dibebaskan dari Visa.

Ketika melewati sebuah pertigaan besar menuju kota Fez, baru kelak kami sampai ke kota Tanger, daerah yang kami tuju. Di kota itu ada sebuah desa namanya Desa Tetuan, sebuah perkampungan cantik yang berada 1000 m di atas permukaan laut. Untuk menuju desa itu dari kota Tanger kami harus menempuh 40 km malam itu juga.
Walsahil, perjalana malam itu kami tempuh selama 8 jam, semalam suntuk kami diperjalanan.

Hampir dini hari, sepertiga malam terakhir hawa sejuk menembus jantung. Yang terbayang hanya wajah beliau, Sang Quthub Agung. Bintang-bintang di langit bertaburan, serasa terhapus oleh Cahaya Wali Agung ini. Tampak sekali dari kejauhan, Jabalul ‘Alam atau Jabal Ilmi, memancarkan cahaya agung, karena di puncak bukit itulah, Sang quthub di makamkan.

Kadatangan kami tiba-tiba disambut hangat oleh seorang pemuda tampan berjanggut, Syeikh Rosyid. Ternyata pemuda ini adalah masih cucu keturunan Syeikh Abdussalam bin Masyisy. Kala itu aku melihat bulan yang serasa merendah jika dipandang dari tempat makam itu.
Kami lalu meaksanakan sholat Maghrib dan Isya’, yang kami laksanakan dengan jama’ ta’khir. Langsung kami melaksanakan doa di makam itu, dan melaksanakan khususiyah, menyampaikan salam dari mursyid kami Syeikh Mohammad Charir Sholahuddin Abdul Jalil Mustaqim dari PETA Tulung Agung.

Di depan maqom yang bercat putih itu, yang dilapisi alas dari potongan kayu yang ditata rapi itu kami memasuki nuansa kesyahduan yang indah, sulit diungkapkan kata dan pena…
Akhirnya Syeikh Rosyid berkenan memimpin doa bagi kami semua, khususnya negeri kami dan bangsa kami agar diselamatkan dari bencana dan keterpurukan yang terus menerus. Amin.

Mursyid yang Bersemayam di Pariaman


Syeikh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariyah. Ia penggagas munculnya surau di Minangkabau

Tiap bulan safar di Pariaman digelar upacara besar-besaran. Namanya Basapa.Ritual ini menurut Siddi Gazalba

adalah ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ulama ini dikenal sebagai salah seorang penyebar tarekat Syatariyyah dan Islam di wilayah Sumatera Barat.
Ziarah ini biasanya diselengga-rakan pada tanggal 10 safar dan diikuti oleh puluhan ribu peziarah.

Ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman merupakan aktivitas kaum Syatta-riyah yang sarat dengan unsur musikal. Bentuk-bentuk amalan ibadah yang mengandung unsur-unsur musikal ini sekaligus juga dilakukan dalam aktivitas ibadah ritual keagamaan yang berlaku umum bagi masyarakat penganut aliran tarekat Syattariyah di Nagari Pitalah Bungo Tanjung seperti “Barzanji”, “manamat”, “Baratik”, dan “Badoa”.
Syeikh Burhanuddin lahir bernama asli Pono. Tempat kelahirannya tidak banyak catatan.

KH Sirajuddin Abbas mengatakan Syeikh Burhanuddin berasal dari suku Guci. Hal ini didasarkan pada Cukuik yang berasal dari suku Guci. Ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Masa kecilnya bisa dikatakan belum mengenal agama. Konon ayahnya beragama Budha.
Kesukaannya berdagang Batang Bengkawas. Kehidupan Syeikh Burhanuddin bisa dibilang penuh liku. Sejak kecil hidup berpindah-pindah. Ia mengikuti ayahnya ke Sintuk. Di kota ini ia mendapat julukan datuk Sati. Keluarga Pampak diberi sebuah lahan oleh ninik mamak setempat. Kemudian Pono pergi merantau ke Tapakis untuk berguru dengan Syeikh Yahyuddin yang mendapat gelar Syeikh Madinah.

Setelah selesai ia kembali lagi ke kampungnya. Bagaimanapun Pono tetap melaksanakan tugas dakwah yang akibatnya tentangan semakin menjadi-jadi.
Maka akhirnya pihak yang tidak menyukai kegiatan itu mengusir dan mengancam untuk membunuh Pono.
Pada saat kritis pergi ke gurunya Syeikh Yahyuddin. Atas saran gurunya, Pono kemudian pergi ke Aceh untuk berlajar pada Syeikh Abdul Rauf Al-Singkil. Bersama empat orang rekannya, yaitu Datuk Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Terapang (Kubang Tiga Baleh Solok), Muhammad Nasir (Koto Tengah Padang) serta Buyung Mudo (Tarusan) berangkat ke Aceh Di bumi Serambi Mekah ini, Pono berjumpa dengan Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Ada versi yang mengatakan mulanya ia tidak berhasrat untuk mencari ilmu pada syeikh Hamzan Fansuri. Mata batinnya melihat Pono berbakat untuk menjadi ulama besar. Maka selama 13 tahun Pono digembleng oleh Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Pono semasa nyantri dikenal sebagai seorang yang sangat tunduk pada guru. Ada satu cacatan mengenai hal ini. Pada suatu hari gurunya mengunyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya jatuh kedalam kakus. Padahal kakus tersebut dalam dan telah dipakai berpuluh-puluh tahun. Gurunya kemudian berkata,” Siapa diantara kalian sebanyak ini yang sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Dan siapa pula yang mau mengambil tempat sirih saya yang terjatuh di dalamnya?”

Murid-murid banyak yang merasa enggan. Tapi lain halnya dengan Pono. Ia justru berjam-jam membersihkan kakus tersebut dan mendapatkan tempat sirih gurunya. Melihat kerja keras sang muridnya, gurunya berdoa panjang sekali. Setelah selesai gurunya berkata,” Tanganmu akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan orang besar se antero negeri. Muridmu tidak akan terputus-putus sampai akhir zaman, dan ilmu kamu yang akan membekati dunia. Maka aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin.”

Setelah dirasa cukup, Pono yang kemudian tenar dengan nama Burhanuddin ingin pulang ke kampungnya. Sebelum meninggalkan pesantren, gurunya berpesan, Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut , malu kepadaku nanti kamu akan mendapatkan hikmah.

Dan apabila orang telah diberi ilmu hikmah, maka terbuka rahasia Allah, dan berbahagialah orang itu dunia akhirat.”
Menurut Hamka, Syeikh Burhanudddin kembali pada tahun1680 M. Kegiatan dakwah yang dijalankan tidak bertahan lama.
Banyak tantangan yang dihadapi, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan ada yang berusaha menghentikan dakwahnya. Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh.

Ia lalu kembali ke kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003)
Syeikh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya.

Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar.
Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua.

Metoda Baru
Burhanudddin pulang ke Ulakan mendirikan surau di tanjung Medan.
Berkat ketekunannya, ia berhasil ajaran agama di Sumatra bagian tengah. Pengaruhnya paling besar ada di masyarakat pedalaman.
Syeikh Burhanudddin di kenal sebagai penganut tarekat Syatariyah. Tapi ia juga disegani oleh tokoh dan pengikut rakat lain seperti tarekat Naqsyahbandiyah, Samaniyah dan qadiriyah. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu agama yang mereka miliki merupakan hasil tuntunan syeikh Burhanuddin.

Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, terutama ditujukan kepada kanak-kanak yang masih dalam keadaan ‘bersih’ dan mudah dipengaruhi. Jumlah mereka yang belajar agama Islam semakin bertambah banyak. Pondok tempat yseikh Burhanuddin mengajar penuh sesak.
Pengaruh Syeikh Burhanuddin terus meluas dengan mendapat sambutan di Gadur Pakandangan, Sicincin, Kepala Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan, Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan Pagaruyung.

Minangkabau waktu itu menjadi heboh. Perhatian masyarakat Minang tertumpu ke Tanjung Medan Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islamam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.

Syamsuddin Sumatrani


Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.

Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.

Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.

Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.

Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

1. Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
4. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5. Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.

Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.

KH. Tubagus Muhammad Falak, Wali Agung Dari Bogor


KH. Tubagus Muhammad Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas Oleh kalangan

masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.

Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.

KH. Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.

Secara garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan banten.

Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, pandeglang banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.

Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.

Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.

Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki. Khusus dala ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.
Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.

Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.
Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.

Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.

Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktititas dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah pagentongan.

Pendirian Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.

Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.

Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.

Peran beliau tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan kemantapan rakyat khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan Republik Indonesia sebagai negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan tersebut, pasukan belanda yang berada di bogor melakukan penyerangan ke Pagentongan yang mengakibatkan wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan. Setelah melakukan aksi penyerangan tersebut pasukan belanda kemudian menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan sebagian besar warga Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek. Namun atas kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad Falak yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad Falak kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.

Selama hidupnya KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat serta menjadi pusat kunjungan para tokoh politik dari kalangan sipil maupun militer dan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional serta para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang berkunjung kepada beliau untuk berbagai macam keperluan, bersilaturahmi, menuntut ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah dengan beliau. Selama hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi fungsi sosial sebagai seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode spiritual healing yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan keyakinan.
Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar

Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.

Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djati.

Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.

Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak Aceng) .

Karomah KH Falak
KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak.

Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.

Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.

Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein.

Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.

Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein.
Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.

Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli.
“Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.

KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah.

Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy


Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.

Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Cinta Ilahiah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”

Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.

“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”

“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.

Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.

# # # #

Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.

Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”

Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”

Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati