Kisah Sufi Abu Hafs Al-Haddad


Abu Hafs Amr ibnu Salamah al-Haddad adalah seorang tukang pandai besi di Nisyabur. Ia pergi ke Baghdad dan bertemu dengan Junaid yang mengagumi ketaatannya. Ia juga bertemu dengan As-Syibli dan para sufi mazhab Baghdad lainnya.

Kemudian ia kembali lagi ke Nisyabur, melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang Pande Besi, dan meninggal dunia di sana pada 265 H / 879 M.

Sebagai seorang lelaki muda Abu Hafs pernah jatuh cinta pada seorang gadis pelayan. Begitu tergila-gilanya Abu Hafs pada gadis itu, sampai-sampai setiap hari ia selalu gelisah.

Teman-temannya berkata padanya, “Ada seorang dukun Yahudi tinggal di pinggiran Kota Nisyabur. Ia akan bisa membantumu.”

Abu Hafs pergi menemui dukun Yahudi yang dimaksud dan menjelaskan masalahnya.

Si dukun Yahudi itu menasihati, “Selama 40 hari, engkau tidak boleh shalat, atau mematuhi semua perintah Tuhan dengan cara apapun, atau melakukan perbuatan baik, sekecil apapun. Janganlah pernah menyebut nama Tuhan, atau berniat baik, apapun niat itu, setelah itu aku akan membantumu dengan sihir untuk mewujudkan keinginanmu.”

Selama 40 hari Abu Hafs melakukan apa yang diperintahkan oleh si dukun, kemudian si dukun memberikan jimat, tapi tak membawa hasil seperti yang diharapkan.

“Pastilah sesuatu yang baik telah terwujud melaluimu,” kata si dukun Yahudi, “Kalau tidak, aku yakin keinginanmu pasti terwujud.”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” kata Abu Hafs berusaha meyakinkan. “Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah ketika aku menuju ke sini, aku menendang sebongkah batu keluar dari jalan agar tidak ada orang yang tersandung olehnya.”

“Jangan plin-plan di hadapan Tuhan,” kata si Yahudi, “Yang perintah-Nya telah kau abaikan selama 40 hari dan yang dengan kemahapemurahan-Nya tidak menyia-nyiakan bahkan perbuatan baik sekecil apapun yang engkau lakukan.”

Kata-kata ini serasa membakar hati Abu Hafs. Begitu kuatnya pengaruh kata-kata si Yahudi itu, sehingga ia meninggalkan gaya hidupnya yang telah ia jalani selama ini.

Abu Hafs tetap menjalankan profesinya sebagai pandai besi, menyembunyikan keajaiban yang telah ia alami. Setiap hari ia mendapat satu dinar. Malam harinya ia menyedekahkan seluruh penghasilannya kepada fakir miskin, dan meletakkan uang itu di depan pintu rumah para janda secara sembunyi-sembunyi. Lalu pada saat malam tiba, ia mengemis, dan berbuka puasa dengan hasil mengemisnya. Terkadang ia mengumpulkan sisa-sisa bawang perai di tempat cuci umum, dimana orang-orang biasa mencuci bahan makanan mereka, dan membuat makanan dari sisa-sisa ini.

Dengan tangan telanjang ia mengambil besi panas dari dalam tungku. Ia menempatkan besi itu di tempat penempaan. Anak buahnya bersiap untuk menempanya. Mereka kemudian melihat Abu Hafs menempa besi panas itu dengan tangannya.

“Tuan, apa-apaan ini?” pekik mereka.

“Ayo tempa! Perintahnya pada para pekerjanya.

“Tuan, apa yang harus kami tempa?” Tanya mereka. “Besi ini telah jadi.”

Abu Hafs baru sadar, ia melihat besi panas di tangannya dan mendengar suara anak buahnya, “Besinya telah rapi, apa yang harus kami tempa?”

Abu Hafs segera melepaskan besi panas itu dari genggamannya, kemudian ia meninggalkan tempat usahanya.

“Sudah sejak lama aku ingin dengan sengaja berhenti dari pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai kejadian ini menimpaku dan merenggutku secara paksa dari diriku sendiri. Dulu, walaupun aku terus berusaha untuk meninggalkan pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai pekerjaan ini meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, ia menjalankan disiplin diri yang sangat keras, dan melakukan meditasi dalam kehidupan terasing.

Suatu saat ia berniat haji. Tapi ia seorang yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa arab. Saat ia tiba di Baghdad, murid-murid Junaid berbisik-bisik satu sama lain, “Sungguh memalukan, syekhnya para syekh Khurasan buta huruf dan membutuhkan penerjemah bahasa Arab.”

Junaid mengutus murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu hafs. Abu Hafs tahu apa yang dipikirkan oleh murid-murid Junaid. Tiba-tiba ia mulai berbicara dalam bahasa Arab, begitu fasih, sampai-sampai orang-orang takjub mendengarnya.

***

Sejumlah ulama berkumpul untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Abu hafs tentang cinta yang penuh dengan pengorbanan diri.

“Kalian mampun mengekspresikan diri kalian sendiri. Kalian saja yang menjawab,” tukas Abu hafs.

Junaid berkata, “Menurutku, pengorbanan diri sejati berarti engkau tidak menganggap dirimu dirimu berkorban, dan engkau tidak menganggap dirimu berjasa atas apa pun yang telah engkau lakukan.”

“Bagus sekali,” komentar Abu Hafs. “Tapi menurutku, pengorbanan diri berarti berlaku adil terhadap orang lain, dan tidak mencari-cari keadilan bagi diri sendiri.”

“Wahai murid-muridku, berlakulah seperti itu,” kata Junaid.

“Berlaku benar tidak cukup dengan kata-kata,” Ujar Abu hafs.

“Bangkitlah wahai murid-muridku,” perintah Junaid setelah mendengar kata-kata Abu Hafs. “Pengorbanan diri Abu Hafs tiada tandingannya.”

***

Abu Hafs melatih murid-muridnya dengan disiplin yang sangat keras dan sopan santun. Tidak ada muridnya yang berani duduk di dekatnya atau menatapnya langsung. Mereka selalu berdiri kala berada di dekatnya, dan tidak akan duduk tanpa perintahnya. Abu Hafs sendiri duduk ditengah-tengah para muridnya seperti seorang sultan.

Junaid berkata, “Engkau mengajari murid-muridmu tata karma terhadap sultan.”

“Engkau hanya melihat kulit luarnya saja,” tukas Abu Hafs. “Namun dari alamat , kita dapat memperkirakan isi suratnya.”

Kemudian Abu Hafs berkata kepada Junaid, “Perintahkan muridku untuk membuat kadu dan Halwa.”

Junaid menyuruh salah seorang murid Abu Hafs untuk membuat Kaldu dan Halwa. Ketika kedua jenis makanan itu di bawa kehadapannya, Abu Hafs melanjutkan, “Panggillah seorang kurir dan letakkan makanan ini di atas kepalanya. Suruh ia berjalan membawa makanan ini di kepalanya sampai ia merasa lelah. Lalu, di rumah manapun ia sampai, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapapun yang membukakan pintu, suruh si kurir untuk memberikan makanan ini padanya.”

Si kurir itu mengikuti semua instruksi yang diberikan Abu Hafs. Ia terus berjalan sampai ia sangat lelah dan tidak bisa terus berjalan. Ia meletakkan makanan yang dibawanya di depan pintu sebuah rumah, lalu memberi salam. Sang pemilik rumah seorang lelaki tua, menjawab, “Jika engkau membawa Kaldu dan Halwa, aku akan membawakan pintu.”

“Ya, aku membawa Kaldu dan Halwa,” jawab si kurir.

“Bawa makanan itu masuk,” kata si empunya rumah sambil membukakan pintu.

Si Kurir mengisahkan, “Aku begitu takjub. Aku bertanya pada lelaki tua itu, “Apa yang terjadi? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku datang dengan membawa Kaldu dan Halwa?” lelaki tua itu menjawab, “semalam, saat aku sedang berdoa, aku teringat sesuaatu, bahwa anak-anakku telah lama menginginkan Kaldu dan Halwa, aku percaya bahwa doaku tidaklah sia-sia.”

***

Ada seorang murid Abu Hafs yang menunggu dengan sikap dan kesopanan yang luar biasa. Junaid berkali-kali memandangnya, karena ia sangat terkesan dengan sikap murid Abu Hafs itu.

Junaid bertanya kepada Abu Hafs, “Sudah berapa lama ia menjadi muridmu?”

“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafs.

“Tata kramanya sempurna, ia benar-benar bermartabat, anak muda yang sungguh mengagumkan.” Kata Junaid.

“Ya,” ujar Abu Hafs, “Ia telah menghabiskan 17 ribu dinar uangnya untuk keperluan kami, dan telah meminjam 17 ribu dinar lagi untuk keperluan kami. Namun setelah semua itu, ia masih saja belum berani mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami.”

***

Ketika Abu Hafs berada di Mekkah, ia melihat sekelompok jemaah haji yang miskin dan papa di sana. Ia ingin memberikan sesuatu kepada mereka, dan merasa sangat terguncang melihat keadaan mereka.

Dengan perasaan terguncang seperti itu, ia memungut sebuah batu dan memekik, “Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberiku sesuatu, maka aku akan memecahkan seluruh lampu yang ada di masjidil Haram ini.”

Kemudian ia melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah. Tiba-tiba seorang lelaki mendatanginya dan memberinya sekantong emas. Abu Hafs kemudian membagi-bagikan emas itu kepada kaum miskin tadi.

Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali ke Baghdad. Di sana murid-murid Junaid keluar menyambutnya dengan segala kehormatan.

“Apa oleh-oleh yang engkau bawa dari perjalananmu?” Tanya Junaid.

“Yang akan kukatakan ini adalah oleh-oleh dariku,” jawab Abu Hafs. Mungkin salah seorang saudara kita tidak mampu hidup (berlaku) sebagaimana seharusnya. Jika engkau mendapati saudaramu berkelakuan buruk, carilah alsan baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu tidak juga hilang dengan alasan itu, maka carilah alasan yang lebih baik lagi baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu masih juga belum hilang, carilah alasan lain, teruslah begitu, bahkan sampai empat puluh kali. Jika debu kesalahpahaman itu lagi-lagi belum juga hilang, sementara engkau berada di pihak yang benar, dan empat puluh alasan tadi tidak juga mampu menutupi kesalahan saudaramu itu matamu, maka duduklah, dan katakana pada dirimu sendiri, “Engkau benar-benar jiwa yang keras kepala dan bebal, engkau benar-benar kepala batu, kurang ajar, dan tak tahu diri, saudaramu mengemukakan empat puluh alasan bagi kesalahannya, namun engkau tidak menerima semua alasan itu dan berkeras dengan sikapmu, aku berlepas diri darimu. Engkau tahu apa yang engkau enginkan, lakukanlah sesukamu!”

Junaid bernar-benar kagum dengan kata-kata ini. “Siapa yang dapat memiliki kekuatan seperti itu?” tanyanya dalam hati.

***

Sebagai tuan rumah, Syibli menerima dan melayani Abu Hafs di rumahnya selama empat bulan. Syibli menyuguhkan makanan serta beberapa jenis manisan yang berbeda setiap harinya.

Setelah empat bulan berlalu, Abu Hafs berpamitan kepada Syibli. “Syibli, jika engkau datang Nisyabur, aku akan menunjukkan padamu keramah tamahan dan dan kedermawanan yang sesungguhnya.”

“Ada apa, apa yang telah aku lakukan, wahai Abu Hafs?” Tanya Syibli.

“Engkau telah banyak berkorban selama aku di sini. Namun pemborosan tidaklah sama dengan kedermawanan,” kata Abu Hafs. “Seseorang harus memperlakukan tamunya tepat sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Dengan begitu, tamunya itu tidak akan membebaninya, dan saat kepergian tamunya itu tidak akan menjadi saat yang membahagiakannya. Jika engkau berlebih-lebihan dalam melayani tamumu, maka kehadirannya akan membebanimu dan kepergiannya akan melegakanmu. Seseorang yang merasa seperti itu bukanlah seorang dermawan sejati.”

Ketika Syibli berkunjung ke Nisyabur, ia tinggal di rumah Abu Hafs. Si tuan rumah mengadakan jamuan makan untuk empat puluh orang tamunya. Pada malam hari, Abu Hafs menyalakan 41 buah lampu.

“Bukankah engkau telah mengatakan bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan,” Tanya Syibli.

“Bangkitlah, dan matikanlah lampu-lampu itu,” tukas Abu Hafs.

Syibli pun bangkit mematikan lampu, namun ia hanya berhasil memadamkan satu buah lampu.

“Wahai Syekh, mengapa bisa begini?” tanyan Syibli.

Abu Hafs menjelaskan, “Kalian ada 40 orang, wahai para utusan Tuhan. Tamu adalah utusan Tuhan. Aku menyalakan 40 buah lampu itu dengan nama masing-masing kalian, karena Allah. Sedangkan yang satunya aku nyalakan bagi diriku sendiri. 40 lampu yang kunyalakan karena Allah, tidak dapat engkau padamkan, tapi satu lampu yang kunyalakan untuk diriku sendiri, bisa engkau padamkan. Semua yang telah engkau lakukan di Baghdad, engkau lakukan karena aku, sedangkan yang kulakukan ini, aku lakukan karena Allah. Jadi, yang engkau lakukan adalah pemborosan, sedangkan yang kulakukan bukan pemborosan, tapi kedermawanan.

Abdurrahman Jami, Penyair Sufi yang Mengetahui Hari Kematiannya


Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu. Kita pasti akan jadi tanah dan debu

Nama lengkapnya Nuruddin Abdurrahman Al-Jami. Dia adalah satu di antara sejumlah orang genius dari negeri Persia. Lahir di Kharjad pada 1414 M (817 H) dan wafat di Heart pada 1492 M (898 H). Sebelum populer dengan sebutan Al-Jami, dia bergelar Ad-Dasyti, karena ayahnya, Nizamuddin, berasal dari Dasyt, dekat Kota Isfahan. Sejak berusia muda, Al-Jami sudah menunjukkan sifatnya yang istimewa. Ia mudah menguasai pelajaran yang diberikan kepadanya. Ia pandai berbicara dan berargumentasi. Salah satu di antara para ulama yang pernah menjadi guru atau pembimbingnya adalah Syekh Sa’aduddin Al-Kasygari, murid sekaligus Khalifah Syekh Bahaudiin Naqsyabandi. Berkat potensinya yang besar dan ketekunannya belajar dan menulis, ia berkembang menjadi sufi besar dan sekaligus menjadi penyair besar yang berpengetahuan luas.

Kebesaran dan kemasyhuran nama Al-Jami tidak hanya bergema di kawasan Persia, tetapi juga mencapai Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, mencari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.

Para sarjana masih bisa melihat kebesaran Al-Jami melalu karya-karya tulisnya yang menurut satu sumber berjumlah 46 buah, tapi menurut sumber lain tidak kurang dari 90 buah buku dan risalah. Kebanyakan karya tulisnya berbicara dalam bidang tasawuf, tapi bidang-bidang lain juga tidak luput dari perhatiannya. Ia menulis komentar tafsir atas sejumlah surah dalam Al-Qur’an, komentar terhadap 40 hadis dan hadis-hadis yang riwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari

Karya-Karyanya

Ia menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, Musik, dan tata bahasa Arab. Di antara karyanya, yang berbentuk prosa adalah Nafahat Al-Uns (hadiah-hadiah persahabatan), yang menyajikan biografi dan pengajaran para sufi. Juga Lawami’ (percikan cahaya-cahaya), yang merupakan komentar terhadap karya Ibnu Arabi.

Kendati kemasyhuran Al-Jami’ lebih bersandar pada kehadirannya sebagai penyair besar, perannya sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdatul Wujud, manunggaling Kawula Gusti, bersatunya Makhluk-Khalik, tidak kalah pentingnya. Satu di antara banyak masalah tasawuf yang dijelaskan oleh AL-Jami’ adalah masalah yang berkaitan dengan manusia. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan tubuh manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan.

Tingkatan Jiwa

Jiwa pada tahap paling rendah disebut Nafs Amarat, yakni nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah melalui latihan spritual, jiwa meningkat menjadi Nafs Lawwamat, yakni jiwa yang mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan lagi, jiwa itu akah sampai kepada puncak kesempurnaannya, itulah Nafs Mutmainnat, yakni jiwa yang tentram, damai, dan bahagia. Manusia yang memiliki jiwa yang sempurna itu disebut juga manusia sempurna atau Insan Kamil.

Mengenai manusia sempurna ini, Al-Jami’ sebenarnya memberikan penjelasan yang cukup panjang. Manusia sempurna dalam kajian penganut Wahdatul Wujud bukan saja mengacu pada sejumlah kecil individu yang pernah hidup dimuka bumi ini dan memiliki jiwa yang paling sempurna namun juga mengacu pada ciptaan Allah yang pertama, yang bersifat Spritual dan merupakan bentuk awal segenap alam semesta.

Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata, “Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”

Pada bagian lain dia berkata, “Sang kekasih menyeru dari kedai minuman, datanglah lalu berilah aku anggur cinta, cawan demi cawan. Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar. Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”

Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:

Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.

Tahu Kematiannya

Beberapa hari sebelum kematianya, Al-Jami’ mengunjungi beberapa desa tetangganya. Sekali waktu ia pergi ke sebuah desa yang tidak diperhatikannya secara khusus, meskipun ia tinggal di sana cukup lama. Murid-muridnya yang merasa khawatir segera pergi kesana. Ia berkata kepada mereka, “Kita harus memutuskan tali Ikatan.”

Tiga hari sebelum kematiannya, ia memanggil beberapa murid dekatnya dan berkata kepada mereka, “Jadilah saksiku bahwa aku sama sekali tidak punya ikatan dengan apapun dan dengan siapa pun.”

Pada hari jumat pagi, ketika fajar menyingsing, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia melakukan salat dan kemudian duduk melakukan dzikir. Di tengah hari ia pun wafat.

Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.

“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya Al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”

Sebagai seorang penulis serba bisa, ia meninggalkan warisan berupa 81 buku tentang berbagai macam pokok bahasan. Diantaranya, koleksi puisi, uraian atas karya-karya Ibnu Arabi dan Haft Aurang, sebuah koleksi tujuh kisah dalam bentuk Matsnawi, kumpulan puisi.

Dari ketujuh cerita itu yang paling terkenal adalah kisah Yusuf dan Zulaikha. Episode tentang penggodaan atas Yusuf, oleh istri majikannya yang bernama Zulaikha, menjadi kisah cinta yang sangat menyentuh.

Sayyidina Ali Zainal Abidin, Waliyullah yang Senantiasa Bersujud



Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian dalam tragedi Karbala. Setelah dewasa ia menjadi wali yang setiap saat bersujud kepada Allah SWT.

Setelah dua cucu tersayang Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husien, wafat, sementara sisa-sisa keturunan beliau yang lain terbunuh di padang Karbala, yang masih hidup ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayyidina Husien bin Ali bin Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini lahir di Madinah pada 33 H / 613 M. sementara riwayat lain mengungkapkan ia lahir pada 38 H / 618 M. ketika pecah Tragedi Karbala pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia baru berusia 11 tahun.

Termasuk generasi tabi`in, Ali Zainal Abidin banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya, Husien dan pamannya, Hasan, juga dari para Sahabat, seperti Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawir bin Makhramah, Abu Hurairah, Shafiyah, Aisyah, Ummu Kultsum, dan para istri Rasulullah SAW yang lazin disebut ummahatul mukminin, ibunda kaum Muslimin.

Ketika ayahandanya, Sayyidina Husien, berjuang melawan prajurit Khalifah Yazid bin Muawiyah, ia tengah sakit dan berada di dalam kemah bersama kaum wanita. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika semua anggota keluarganya berguguran mati syahid sehingga kenangan getir tak pernah lepas dari benaknya. Ia bahkan menyaksikan bagaimana ayahandanya dipancung.

Setelah perang usai, sisa anggota keluarga Sayyidina Husien yang masih hidup ditawan di Kufah, Irak. Bahkan Ali Zainal Abidin yang ketika masih berusia 11 tahun, hampir saja dibunuh. Tetapi nyawanya selamat, berkat kegigihan Sayyidah Zainab, bibinya, yang memeluknya dengan erat dan mencegah para prajurit mendekat. Tak lama kemudia para tawanan dipindah ke Damaskus, Syria, dipertemukan dengan Khalifah Yazid bin Muawiyah, tapi kemudian dibebaskan, bahkan diantar pulang ke Madinah.

Di Madinah itulah Ali Zainal Abidin tumbuh dewasa sebagai seorang yang sangat alim, ia tekun beribadah. Sementara ketinggian ilmu agamanya menjadikannya sebagai rujukan para ulama, terutama dalam hal ilmu hadits. Lebih dari itu ia sangat terkenal sebagai ahli ibadah yang luar biasa.

Muhammad Al-Baqir, anak lelakinya, bercerita, “Setiap kali mendapat nikmat Allah SWT, Imam Ali Zainal Abidin langsung bersujud, setiap kali membaca ayat Sajadah dalam Al-Qur`an ia selalu bersujud, setiap kali selesai shalat fardu, ia selalu bersujud, dan setiap kali berhasil mendamaikan orang berselisih, ia selalu bersujud. Karena sering bersujud itulah, tampak bekas sujud dikeningnya, dan karena itu pula ia disebut As-Sajjad, orang yang suka bersujud.”

Ali Zainal Abidin benar-benar mewarisi sikap dan sifat ayahandanya dalam hal keilmuan dan kezuhudan. “Diantara Bani Hasyim, saya kira dialah yang paling mulia,” kata Yahya Al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka di masanya. Kemuliaan itu antara lain, karena ia selalu dalam keadaan suci, selalu berwudlu, dan tidak pernah absen menunaikan diyamul lail alias shalat Tahajud, baik di rumah maupun dalam perjalanan.

Suatu hari, ketika keluar dari masjid, seorang lelaki mencaci Ali Zainal Abidin. Spontan oranag-orang di sekitarnya berusaha memukul lelaki tersebut, tetapi Ali Zainal Abidin mencegahnya. Lalu katanya, “Apa yang engkau belum ketahui tentang diriku? Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”

Mendengar ucapan lemah lembut itu, laki-laki tersebut merasa malu, lalu Ali Zainal Abidin memberinya uang 1000 dirham. Maka kata lelaki itu, “Saya bersaksi, engkau benar-benar cicit Rasulullah SAW.”

Makam Mukasyafah

Hampir setiap malam Ali Zainal Abidin menggotong sekarung gandum dan membaginya kepada fakir miskin di Madinah. “Sesungguhnya sedekah yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah,” katanya. Ketika itu, sebagian warga kota Madinah mendapat nafkah tanpa mengetahui darimana asal nafkahnya. Dan ketika Ali Zainal Abidin meninggal, ternyata mereka tidak lagi mendapat pembagian gandum.

Setiap kali meminjamkan uang atau pakaian, Ali Zainal Anidin tidak pernah memintanya kembali. Jika bernazar, tidak makan dan minum, ia tetap berpuasa sampai dapat memenuhi nazarnya. Begitu dermawan dan penuh kasih sayang, bahkan kepada hewan yang dikendarainya pun ia tidak pernah mencambuknya.

Meskipun tragedi Karbala sangat membekas di kalbunya, ia selalu berusaha menyadarkan umat agar bersabar menghadapi kekuasaan yang represif. Dengan arif ia mendidik dan memperbaiki nasib umat. Salah satunya dengan menyusun rangkaian doa berjudul As-Sahifah As-Sajjadiyah – yang ia maksudkan untuk mengobati penyakit rohani yang merajalela, sekaligus memanjatkan permohonan kepada Allah SWT agar umat terlepas dari situasi yang mengimpit.

Sebagai Waliyullah, ia dinilai sudah mencapai makam mukasyafah, peringkat tertinggi, yang mampu menyingkap tabir ketuhanan. Salah satu karomahnya ialah tentang surat rahasia dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglimanya, Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Surat itu antara berbunyi, “Jauhkan aku dari lumuran darah Bani Abdul Mutha;ib, yang setelah bergelimang dalam dosa tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama.”

Pada saat yang bersamaan, Ali Zainal Abidin juga menulis surat kepada Khalifah Malik bin Marwan, yang diantaranya berbunyi, “Anda telah menulis surat kepada Hajjaj mengenai keamanan kami, semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada anda.” Tentu saja Khalifah Abdul Malik bin Marwan tercengang membacanya. Sebab tanggal surat itu sama persis dengan tangga surat Khalifah kepada Hajjaj.

Dan ternyata saat keberangkatan utusan Ali Zainal Abidin dari Madinah juga sama dengan saat keberangkatan utusan Khalifah yang mengantarkan surat kepada Hajjaj. Karena itu, Khalifah Abdul Malik pun menyadari, , Allah telah membuka mata batin Ali Zainal Abidin. Ia lalu menulis surat dan menyampaikan hadiah kepada Ali Zainal Abidin.

Cicit Rasulullah ini juga dikenal sebagai pembela Hak Azasi Manusia. Dalam risalahnya, Risalah Al-Huquq, antara lain ia menulis, manusia punya hak dan kewajiban kepada Allah SWT, kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan kepada sesama makhluk Allah. Mengenai hak dan kewajiban kepada sesama manusia, ia memperinci hak dan kewajiban rakyat kepada penguasa dan sebaliknya. Risalah ini tentu sangat istimewa, karena ditulis pada abad ke 7 Masehi, sebelum lahirnya Dokumen Magna Charta dalam sejarah Inggris. Lima abad setelah itu, yang kemudian berkembanag menjadi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.

Pada zamannya, pengaruh Sayyidina Ali Zainal Abidin sangat kuat, begitu besar kharismanaya, sehingga seorang khalifah pun mengkhawatirkan tahtanya. Ketika menggantikan ayahnya, Abdul Malik, sebagai khalifah, Walid sempat khawatir, jangan-jangan kharisma Ali Zainal Abidin mampu menggoyang tahtanya.

Pada 95 H / 675 M, Khalifah pun berusaha mendekati sang Waliyullah melalui seseorang yang kemudian ternyata meracunnya sehingga Ali Zainal Abidin meninggal dunia. Untuk kesekian kalinya anak cucu Rasulullah SAW berduka cita. Beliau wafat di Madinah pada 18 Muharam 95 H / 875 M. meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Jenazahnya di kebumikan di pemakaman Baqi` dekat makam sang paman, Sayyidina Hasan.

PANGKAT MULIA DISISI ALLAH

Berjalan menuju Allah adalah sebuah perjalanan diri Menuju tempat yang dekat dengan ALLAH,yaitu didalam diri yang sucibersih dari segala kotoran ,hati yan bersih ibarat cermin yang bisa menangkap bayang sosok wujud sebuah benda sehingga sosok wujud itu nampak dengan jelas, wujud itu tak akan jelas tanpa cahaya , sinar yang menerangi wujud atau yang menyinari cerminya dan kemudian memantul ke wujud sehingga wujud itu tersinari dan terlihat dalam cermin itu.

Cahaya adalah sinar hidayah Allah yng dapat ditangkap dengan jelas dalam cermin hati yang tersucikan.bila sosok hidyah itu dapat kita tangkap dengan jelas dan bermukim dihati maka selamatlah diri kita karena akan membuahkan sifat takwa yang akan beranak dan pianak menjadi sifat sifat yang mulia, sifat ikhlas, istiqomah, dan qanaah, maqam syukur akan terlahir dalam diri kita.Sehingga diri ini berteduh dan berlabuh dalam keheninggan genggaman illahi.

Secara sederhana dapat kita katakan bahwa perjalanan menuju Allah adalah berpindah dari sosok yang kurang sempurna menjadi pribadi yang senpurna dalam kesalehan,mengikuti ucapan perbuatan dan sifat batin Rosulullah.Target utamanya adalah hati yang sehat,yaitu hati yang menyambut segala perintah Allah dengan nyaman dan ikhlas dengan totalitas ketundukan dan keridlaan. Sehingga menuntun jasad untuk berjalan menuju pengamalan perintah Allah dengan kekuatan semangat dan kesungguhan.

Dalam pandangan syeikh Sa’id Hawa r.m membicarakan perjalanan menuju Allah bukanlah perkara mudah.Ada beberap faktor yang penyebabnya antara lain;

Pertama : sangat sulit membatasi dan memetapkan permasalahan ini

Kedua: karena dalam menyoroti permasalahn ini manusia terpecah menjadi beberapa golongan,setiap golongan memiliki kecenderungan yang berbeda.Mereka memandang seluruh persoalan dengan kacamata masing masing.

Seorang yang sedang berjalan menuju Allah sering mengalami kondisi ruhiyah yang menghayutkan perasaannya.Merasakan kemahaesaan Tuhan hanyut merasakan nama Allah yang menjadi tempat meminta dan berteduh dari segala kebutuhan kita.Ini adalah kondisi dimana orang merasakan segala sesuatu menjadi lenyap tidak berbekas.namun,perasaan itu harus dibarengi keyakinan bahwa Allah adalah pencipta semua alam dan bukan makhluk atau alam itu sendiri.Tasawuf adalah penghayatan aqidah, bukan keyakinan yang berseberangan dengan nash dan paham yang shahih.

Allah telah menurunkan syariat yang membuat batasan batasan dan nash nash alqur’an sebagai pedoman dari seluruh permasalahan umat membedakan mana yang benar dan bathil.Inilah yang menjadi hakim dan rambu dijalan selama perjalanan menuju Allah,siapapun yang melanggar dan menentang dinyatakan sesat

Jika kita merasa diri ini kotor maka sudah saatnya memberikan dorongan kepada hati untuk bergerak dan berjalan menuju hati yang tersucikan dengan melewati jalan yang ditunjukan Allah yaitu jalan lurus;jalan orang orang yang dirahmatiNYA, Dan bukan jalanya orang orang yang dimurkai

Target utama dalam menempuh jalan Illahi adalah hati yang suci ,kesempurnaan diri dan meraih maqam kesempurnaan.Ada dua maqam ( jenjang spiritual ) yang disebutkan dalam Al qur’an yaitu maqam rabbaniyyah dan maqam shidiqiyah.

Dalam pandangan Syeikh Sa’id Hawa “shidiq” menurut beberapa nash memiliki dua makna,pertama: sangat membenarkan (mempercayai) kedua ; sangat benar.Firman Allah :

وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاء عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ

وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, mereka itu adalah As shidiqun (pencinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni-penghuni neraka.”(al hadid 57:19)

Hal yang menjadikan mereka ashidiqun adalah tasdiq(pembenaran ) atas keimanan mereka.oleh karena mereka benar dan selalu berupaya mencari yang benar,ia menjadi “shidiqun“

Rabbaniyyah adalah shidiqiyyah plus; shidiqiyyah didasarkan pada ma’rifah ( mengenal ) Allah dan ibadah kepadanya.dan rabbaniyah adalah siddiqiyyah yang disertai dengan ilmu,mengajar,nasehat, berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,amar ma’ruf nahi mungkar

Dalam kedua maqam itu ada kedalaman iman, akhlak dan perangai yang akan menjadikan pemilik kedua maqam tersebut memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah.Mereka adalah as sabiqun ( para senior dan pelopor dalam kebaikan) dan al muqorrobun ( orang yang didekatkan Allah);Firman

وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ -١٠- أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ -١١

Dan as sabiqun ( orang orang terdahulu)itu adalah as sabiqun.Mereka itu adalah al muqarrabun ( orang orang yang dihampirkan Allah )

( al waqi’ah 56: 10 – 11 )

Selanjutnya dalam surat yang sama di ayat 88 – 91 Allah berfirman :

فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ -٨٨- فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ -٨٩- وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ

أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩٠- فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩١-

“Maka adapun jika ia dari golongan al muqarobin,maka baginya kelapangan,istirahat dan surga kenikmatan.Dan adapun jika ia dari ashabul yamin ( golongan kanan ),maka keselamatan bagimu dari golongan ashabul yamin ” (al waqi’ah 56: 88- 91 )

Jalan untuk sampai kepada Allah berkaitan dengan maqam,maqam dalam hati.As shidiqiyah merupakan perbuatan dan hal ikhwal yang berkenaan dengan hati.Syeikh al Qosyairi r m. telah membicarakan kedudukan as shidiqun yang berkaitan dengan perbuatan dan berkenaan dengan hati yaitu maqam,;toubat,mujahadah,khalawat,uzlah,zuhud,diam ,lapar dan lainnya,merupakan maqam yang harus dilalui sebagai stasiun dalam perjalanan menuju Allah.

Asssdiiqun dan Rabbaniyun adalah pangkat mulia yang dijanjikan Allah yaitu hamba hamba Allah yang layak dekat dengan Tuhanya dan menjadi wallinya.surga kautstar yang penuh telaga madu susu dan khamar serta air tawar yang meneduhkan perasan hambanya, sunyi dari hal yang mengeruhkan perasaannya.

Pangkat itu hak yang bisa diraih setiap muslim yang sungnguh sungguh diberikan oleh Allah swt..Semestinya kita ingin itu semua ?

WILAYYAH & QUTBANIYYAH

Ar-Risalah Al-Aqrabiyat Fi Nubuwwat Wa Risalat Wa Wilayat Wa Qutbaniyat

WILAYAT berarti maqam kewalian dan ia merupakan maqam yang khas di kalangan

Ummat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang beriman. Seseorang yang telah mengamalkan Syari‘at Islam dengan sempurna dan menuruti Tariqat yang dibawakan oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan menuruti segala Adab dan Sunnahnya, Makrifat dan mengenal Zat Allah dengan Sifat-SifatNya, Nama- NamaNya serta Perbuatan-PerbuatanNya dengan keyakinan yang sempurna serta telah mencapai Haqiqat dalam kefahamannya tentang wajibnya kewujudan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hakikat Kenabian Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, hakikat Agama, hakikat kewujudan diri, dan segala hakikat kewujudan makhluk dan alam semesta, dia pasti akan Allah Subhanahu Wa Ta’ala angkatkan ke darjat Para WaliNya.

Wali adalah seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul dengan keimanan yang sempurna dan dia sentiasa dilindungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan membantunya dalam setiap urusan. Allah mengasihinya dan dia mengasihi Allah. Di dalam hatinya tidak ada rasa takut terhadap makhluk dan tidak ada rasa kesusahan hati baginya.

Perkataan Auliya adalah lafaz jamak bagi Wali yang bererti Para Wali dan memberikan makna Para Kekasih Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Para Wali adalah mereka yang menjadikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai pelindung dansentiasa menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu adalahAl-Wa l iy yang bererti Yang Maha Melindungi dan Dialah jugaAl-Wal i yang bererti Yang Maha Memerintah dan Menguasai Segala Urusan. Perkataan Wali dari sudut timbangan wazan dalam bahasa ‘Arab boleh membawa makna Isim Fa’il yang bermaksud katanama pelaku dan ianya juga boleh membawa makna Isim Maf’ul yang bermaksud katanama bagi sesuatu yang kena dari perlakuan tersebut.

Jika diandaikan perkataan Wali itu membawa makna Isim Fa’il, maka Wali itu bermaksud, orang yang sentiasa menjaga ketaatannya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menolak semua perkara yang selain dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kerana itulah, maka Wali adalah seorang yang mendapat pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika diandaikan perkataan Wali itu membawa makna Isim Maf’ul, maka perkataan Wali itu bermaksud, orang yang sentiasa dijaga dan dilindungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jestru, seorang Wali itu jika dilihat dari sudut hamba, maka dia sentiasa taat menjaga hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala, melaksanakan segala yang telah diperintahkan dan meninggalkan segala yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika dilihat dari sudut Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka dia sentiasa dijaga dan dilindungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga dia boleh melakukan ketaatan kepadaNya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman di dalam Al-Quran pada Surah
Yunus ayat 62 – 64 bagi menerangkan keadaan Para WaliNya yang bermaksud,

“Ingatlah, sesungguhnya Wali-Wali Allah itu tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Iaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di Dunia dan di Akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimah janji-janji Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”

Para Wali sentiasa mendapat perlindungan khusus dari Allah dan di kalangan mereka ada yang mencapai berbagai tahap dan tingkatan kesucian. Mereka adalah orang-orang yang sentiasa menyucikan dan mensucikan diri dengan Istighfar, Taubat, Zikrullah dan Selawat serta pembacaan Al-Quran.
Di dalam kitab Risalah Qusyairiyah ada dinyatakan ciri-ciri untuk mengenal
pasti bahawa seseorang itu adalah Wali Allah dan ianya menerusi tiga perkara, iaitu:
1) Mereka selalu menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SubhanahuWa Ta’ala.
2) Mereka selalu bermunajat, meminta dan memohon kepada Allah SubhanahuWa Ta’ala.
3) Mereka menjadikan maksud dan tujuan mereka satu iaitu Allah SubhanahuWa Ta’ala.

Hadhrat ‘Abdullah As-Salim Rahmatullah ‘alaih mentakrifkan Wali sebagai,

“Mereka yang dapat dikenal kerana bicara mereka yang baik, tingkah laku yang sopan, merendahkan diri, murah hati, tak suka berselisih, menerima permintaan maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, halus budi terhadap segala ciptaan baik yang elok rupanya mahupun yang buruk.”

Hadhrat Ibnu ‘Arabi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahawa,

“Seseorang itu disebutkan sebagai Wali apabila dia sudah mencapai tingkatan Ma’rifat, iaitu tingkatan tertinggi dalam tingkatan Tasawwuf Akhlak. Tetapi yang sulitnya Ma’rifat ini tidak dapat diperolehi melalui teori atau manhaj. Ma’rifat adalah pemberian dan anugerah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Hadhrat Abu Yazid Al-Bistami Rahmatullah ‘alaih berkata bahawa,
“Wali ialah seorang yang sentiasa sabar di bawah suruhan dan larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Walaubagaimanapun, di kalangan Para Wali dan Auliya, Wilayat merupakan suatu maqam yang umum yang mampu dicapai oleh sekelian Ummat Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan di sisi Allah terdapat suatu maqam kewalian yang lebih tinggi dan merupakan suatu maqam yang khusus di kalangan Para Wali yang menduduki maqam Wilayat dan ianya merupakan maqam Qutbaniyat. Ianya merupakan suatu kedudukan yang khusus bagi golongan yang khas.

Terdapat berbagai jenis Wali yang datang silih berganti yakni apabila wafatnya salah seorang dari mereka maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengangkat seorang lagi hambanya dikalangan orang-orang yang beriman untuk menggantikan tempat WaliNya yang telah wafat.

Iman merupakan syarat utama kerana sekiranya seseorang itu tidak beriman, bagaimanakah dia hendak mengenali Penciptanya? Walaubagaimanapun, hanya orang-orang beriman yang telah mencapai martabat Iman dan ‘Amal yang sempurna kepada Allah dan Rasul, barulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mengangkatnya sebagai Wali. Seseorang Wali sekali-kali tidak akan dapat mencapai pangkat Nabi dan sesungguhnya setiap Nabi adalah Wali.
Hadhrat Ibrahim bin Adham Rahmatullah ‘alaih pernah bertanya kepada
seorang lelaki,
“Apakah kamu suka bila Allah menjadikanmu seorang Wali?”
Kemudian lelaki itu menjawab,
“Ya, aku suka.”

Ibrahim bin Adham Rahmatullah ‘alaih lalu berkata,

“Janganlah engakau menyenangi perkara dunia dan akhirat tetapi kosongkanlah jiwamu untuk Allah semata dan hadapkan wajahmu kepada Nya supaya Allah menerimamu dan menjadikanmu sebagai WaliNya.”

Hadhrat Syeikh Ahmad Al-Fathani Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di
dalam kitabnya Faridatul Faraid bahwa,

“Mengi’tiqadkan tsabit Karamat bagi Para Auliya pada ketika hidup dan setelah wafat mereka adalah wajib. Karamat atau Karamah ialah sesuatu pekerjaan atau perbuatan atau perlakuan yang menyalahi dan mencarik adat secara nyata dan ianya dikurniakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman lagi beramal soleh. Mereka adalah orang-orang yang sentiasa mendirikan dan menegakkan segala hak-hak Allah di atas muka bumi.”

Berkata Hadhrat Syeikh Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Ahmad An- Nasafi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya ‘Aqaid An-Nasafi menyebutkan bahawa,

“Segala Karamah yakni segala perlakuan yang mulia dan indah yang terbit dari segala Wali itu adalah kebenaran yang Haq. Maka menjadi nyatalah segala Karamah itu atas jalan melawan adat bagi seseorang Wali, seperti melalui perjalanan yang jauh dalam masa yang sedikit, kelihatan hadirnya makanan atau minuman atau pakaian tatkala berkehendak, berjalan di atas air dan pada udara, boleh berkata-kata dengan Jamad yakni segala benda yang bersifat beku dan juga boleh berkata-kata dengan ‘Ajma yakni segala benda yang tidak tahu berkata-kata, dapat menolak sesuatu bala yang dihadapi, dapat memelihara daripada sesuatu yang mendukakan dari kalangan musuh dan seteru serta berbagai-bagai lagi yang selain dari yang telah disebutkan.”

Adapun perkara yang sedemikian itu apabila berlaku ke atas Para Nabi maka ianya disebutkan sebagai Mukjizat dan bagi orang-orang yang beriman, perkara tersebut dinamakan sebagai Karamat. Apabila perkara-perkara yang berbentuk Karamat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala zahirkan di kalangan Ummat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ianya adalah untuk menzahirkan bahawa sesungguhnya dia itu seorang Wali.
Hadhrat Ibnu ‘Ataillah Al-Iskandari Rahmatullah ‘alaih ada menyebut,
“Maha Suci Allah yang telah menutup berbagai rahsia Wali dengan
ternampaknya sifat-sifat manusia biasa.”
Menurut Hadhrat Syeikh Abu ‘Abbas Al-Mursi Rahmatullah ‘alaih bahawa,

“Jika Allah bukakan dan perlihatkan rahsia atau Nur Kewalian itu nescaya boleh merosakkan Tauhid Wali itu sendiri. Misalnya Hadhrat Mansur Al-Hallaj Rahmatullah ‘alaih yang pernah mengucapkan:
“Maha Suci Engkau, Maha Suci Aku” adalah ketika Nur Kewaliannya Tajalli
pada dirinya.”

Pengenalan Diri


Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis : “Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” dan sebagaimana dikatakan Al Quran : “Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi mereka.” [QS 41 : 53]

Ketahuilah, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri dari sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak akan mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya, pengetahuanmu mengenai karakter fisikal dirimu, seperti bahwa kalau lapar kau makan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau menyerang, bukanlah kunci menuju pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu ?

Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal berikut :
Siapa aku dan dari mana aku datang ? kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan ? ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu : hewan, setan dan malaikat. Harus kau temukan, mana di antara ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia itu , kau takkan temukan kebahagiaan sejati.

Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Karena itu, jika engkau hewan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan tipu daya, dan dusta. Jika kau termasuk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara, malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat asalimu agar kau dapat mengenali dan merenungi DIA Yang Maha Tinggi serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Berupayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini, syahwat dan amarah, sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakannya sebagai kuda tunggangan dan senjatamu.

Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut qalb atau ruh. Qalb yang saya maksudkan bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib; ia muncul di dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang dan kelak akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Tuhan.

Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu. Namun syariat melarang kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan Al Quran : “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan : ruh adalah urusan Tuhanku.”[QS 17 : 85]
Jadi, sedikit yang dapat diketahui hanyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang termasuk dalam dunia titah [amr], dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan ciptaan. Pengetahuan filosofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk meniti jalan ruhani. Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin diri dan kesabaran menapaki jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Al Quran : “Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami [yang lurus].” [QS 29 : 69]

Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita dapat melihat jasad kita sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta fakultas lain sebagai tentaranya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi. Dengan alasan mengumpulkan pajak, syahwat selalu ingin merampas segala hal demi kepentingan sendiri, sementara amarah cenderung bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tak mesti dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhinya. Namun jika syahwat dan amarah menguasai nalar, maka jiwa pasti runtuh. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah menguasai yang lebih tinggi, ibarat orang yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing, atau seorang musim kepada seorang raja kafir yang zalim.

Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan melahirkan watak yang bersesuaian dengannya di hari kiamat akan mewujud dalam rupa yang kasat mata, seperti syahwat menjadi babi, amarah menjadi anjing dan srigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat. Pendisiplinan moral bertujuan membersihkan kalbu dari karat syahwat dan amarah sehingga sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya ilahi.

Mungkin ada orang yang berkeberatan dan menanyakan, “jika manusia diciptakan dengan sifat-sifat hewan, setan dan malaikat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah esensi kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi ?.”
Jawabannya, esensi setiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya. Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi hewan pengangkut beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal yang memampukannya merenung tentang Tuhan. Jika akal mendominasi, maka ketika mati ia terbebas dari kecenderungan syahwat dan amarah, sehingga dapat bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan beberapa jenis hewan, manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka sebagaimana dikatakan Al Quran : “Telah kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia.” [QS 45 : 13]
Sebaliknya, jika sifat hewani atau setan yang berkuasa, maka setelah mati ia akan selalu menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan duniawi.

Betapa mengagumkan, jiwa rasional [akal] manusia berlimpah dengan pengetahuan dan kekuatan. Berkat keduanya ia dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke angkasa secepat kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak antarbintang. Berkat ilmu dan kekuatan ia juga dapat menangkap ikan dari lautan dan burung di udara, bahkan kuasa menundukkan binatang liar seperti gajah, unta dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari semua itu adalah kalbunya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib. Dalam keadaan tidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka menerima berbagai gambaran dari dunia gaib, yang kadang-kadang mengabarkan isyarat tentang masa depan. Kalbunya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat ia tidur, pikiran-pikiran yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kematian datang, semua pikiran seperti itu akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak sejelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam ayat Al Quran : “kamu lalai dari [hal] ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.” [QS 50 : 22]

Jendela dalam kalbu ini juga dapat terbuka dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang menyerupai ilham kenabian, yakni ketika intuisi muncul dalam pikiran tanpa melalui perangkat indrawi. Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikiran kepada Tuhan, semakin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang yang tidak menyadari intuisi semacam itu tak berhak menyangkal keberadaannya.

Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi seperti itu. Layaknya sebatang besi yang terus dipoles akan berubah menjadi cermin, pikiran siapapun akan mampu menerima intuisi seperti itu jika dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau bersabda : “setiap anak dilahirkan dengan fitrah [kecenderungan menjadi musli]; orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Setiap manusia di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan, “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?,” dan menjawab, “ya” [referensi QS 7 : 172]. Tetapi kebanyakan kalbu manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih. Berbeda dengan kalbu para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan ilahiah.

Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa rasional dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi seperti itu tidak hanya bisa diraih dengan pengetahuan, yang membuat manusia lebih unggul dari semua makhluk lainnya, tetapi juga dengan kekuatan. Sebagaimana malaikat menguasai pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua anggota badan. Jiwa yang telah mencapai tingkat kekuatan tertentu, tidak saja dapat mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika ia ingin agar seseorang yang sakit sembuh, si sakit akan sembuh, atau jika ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan dating dihadapannya. Baik atau buruk akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada sumber kekuatannya, sihir ataukah mukjizat.

Ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan.
Pertama, apa yang dilihat orang lain hanya dalam mimpi, mereka melihatnya di saat-saat jaga.
Kedua, sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka, jiwa ini, dengan kekuatan kehendakNya, bisa pula menggerakkan jasad orang lain.
Ketiga, jika orang lain mesti belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia mendapatkannya melalui intuisi.

Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari jiwa kebanyakan manusia. Namun, ketiga tanda itulah yang dapat diketahui umum. Sebagaimana tidak ada sesuatupun yang mengetahui hakikat sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya diketahui oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-haripun kita tak mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap rima dan irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta. Selain ketidakmampuan, ada perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di antaranya adalah pengetahuan capaian lahiriah. Jelasnya, hati manusia bisa digambarkan sebagai sumur dan panca indra sebagai lima aliran yang terus mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan hati yang sebenarnya, kita harus menghentikan aliran-aliran tersebut dan membersihkan sampah yang dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses indrawi dan yang sering kali mengeras menjadi prasangka dogmatis.

Namun banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahiriah ini. Banyak orang yang dangkal ilmunya, seraya mengutip beberapa ungkapan yang mereka dengar dari guru-guru sufi, bercuap-cuap mencela dan menajiskan semua jenis pengetahuan. Ia tak ubahnya seseorang yang tak tahu kimia lalu berkoar : “kimia lebih baik daripada emas,” seraya menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis sejati amatlah langka,begitupun sufi sejati.

Setiap orang yang mengkaji persoalan in akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat, mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk itu dia diciptakan. Syahwat senang memenuhi hasrat nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan indah, dan telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalalm upaya tersebut. Bahkan dalam persoalan yang remeh sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, semakin tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya. Orang akan senang jika dipercaya menjadi perdana menteri, tetapi ia akan jauh senang jika semakin dekat kepada raja yang mungkin mengungkapkan berbagai rahasia kepadanya.

Seorang astronom yang dengan pengetahuannya bisa memetakan posisi bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, pasti merasa jauh lebih senang ketimbang pemain catur. Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui bahwa tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya subyek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kesenangan.

Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang bisa diperalat nafsu, semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya semakin bertambah.

Satu bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan perenungan atas jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya. Dengan kekuasaanNya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini hanya dari setetes air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap bagiannya untuk bekerja secara harmonis menunjukkan kebijakanNya. CintaNya Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak diperlukan manusia, seperti hati, jantung, dan otak, dan juga organ yang tidak mutlak dibutuhkan, seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Lalu Dia menyempurnakan ciptaanNya itu dengan menambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah, dan bulu mata yang melengkung.

Karena itu sangat pantas jika manusia disebut alam al shaghir [mikrokosmos]. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang yang ingin menjadi dokter, melainkan juga oleh orang yang ingin mencapai pengetahuan lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada sebuah puisi yang indah akan mengungkapkan lebih banyak kegeniusan penulisnya.

Namun dibandingkan pengetahuan tentang jasad beserta fungsi-fungsinya, pengetahuan tentang jiwa lebih banyak berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengetahui jiwanya, sesuatu yang paling dekat kepadanya, maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa. Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota.

Orang yang mengabaikan kebesaran jiwa manusia dan menodai kesuciannya dengan mengotori atau bahkan merusaknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju dan berkembang. Tanpa kemampuan itu ia akan menjadi makhluk lainnya, takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin, dan musnah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat membahayakan dirinya. Dan segala hal yang memajukannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan kesusahan dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit saja kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila. Dan fisiknya pun lebih lemah dibanding dengan hewan; bahkan sengatan tawon saja sudah mampu mengusik ketenangan dan kesehatannya. Tabiatnya bahkan lebih lemah lagi. Satu rupiah hilang dari kantongnya ia kelabakan dan gelisah tak keruan. Kecantikannya pun, berkat kulitnya yang lembut, hanya sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia akan tampak sangat menjijikkan dan memalukan.

Sebenarnya manusia merupakan makhluk yang teramat lemah dan hina di dunia ini. Kebernilaian dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan diri ia akan naik dari tingkatan hewan ke tingkatan malaikat. Karena itu, disertai kesadaran sebagai makhluk terbaik dan paling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya, karena pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang Allah.

Wallahualam bishhowab

GURU SEKUMPUL DAN WACANA LOKALITAS TENTANG ‘NUR MUHAMMAD’


Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura. Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?

Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.

Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.

Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:

Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.

Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30). Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.

Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah). Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.

Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.

Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.

Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.

Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.

Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.

Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.

Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.

Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.

Syekh Khalid Al-Baghdadi


Syaikh Khalid al-Baghdadi adalah Mursyid tariqat Naqshbandi ke-31, penerus rahasia tariqat Naqshbandi dari Syaikh Abdullah ad-Dahlawi . Beliau meyebarkan ilmu-ilmu Syariat dan Tasawwuf. Beliau adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Hukum Ilahi (shari`a) dan Realitas Ilahi (Haqiqat). Beliau merupakan cendikiawan dari para cendikiawan dan Wali dari para Wali dan yang orang paling banyak pengetahuannya, pada masanya beliau adalah cahaya bulan purnama dalam aliran tariqat Naqshbandi. Beliau adalah pusat dari lingkaran kutub di masanya.

Beliau lahir pada tahun 1193 H/1779 M di desa Karada, kota Sulaymaniyyah, Iraq. Beliau mempunyai gelar Utsmani karena beliau adalah keturunan Sayyidina Utsman bin Affan , kalifah ketiga dari Rasulullah . Beliau tumbuh dan belajar di sekolah-sekolah dan masjid yang tersebar di kota itu. Pada saat itu kota Sulaymaniyyah dianggap sebagai kota pendidikan utama. Kakek beliau adalah Par Mika'il Chis Anchit, yang berarti Mika'il Wali dengan enam jari. Beliau mempelajari al- Qur'an dan tafsir Imam Rafica menurut Mahdzab Shafi`i. Selain itu, beliau juga terkenal di bidang puisi. Ketika berumur 15 tahun beliau menetapkan asceticism (doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan diri yang ketat) sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap terjaga (tidak tidur) sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.

Beliau berkelana di dunia Allah dan menguasai segala macam pengetahuan yang tersedia di jamannya. Belajar berguru pada dua cendikiawan besar di masanya, yaitu Syaikh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syaikh Abdur Rahim al-Barzinji, beliau juga membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Kemudian beliau kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Lalu beliau kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang jurisprudensi.Selanjutnya beliau mempelajari karya-karya Ibnu Hajar, Suyuti, and Haythami. Beliau dapat menghafal tafsir Al-Qur'an dari Baydawi. Beliau juga mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai jurisprudensi. Beliau juga hafal Al-Qur'an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan menjadi sangat terkenal karena hal ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, gubernur daerah Baban, berusaha membujuknya untuk mengasuh sekolah di kerajaannya. Namun beliau menolak dan malah pergi ke kota Sanandaj, untuk mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Guru beliau di bidang ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan pelajaran ilmu-ilmu sekuler, beliau kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul wabah penyakit di kota itu pada tahun 1213 H/1798 M, beliau mengambil alih sekolah Syaikh-nya `Abdul Karam Barzinji. Beliau mengajar ilmu-ilmu modern, meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia.

Kemudian beliau berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala perbuatan yang soleh dan memperbanyak dzikir baik keras maupun dalam hati. Beliau tidak lagi mengunjungi Sultan, tetapi tetap menjalin hubungan dengan murid-muridnya hingga tahun 1220 H/1806 M, ketika beliau memutuskan untuk naik haji dan menemui Rasulullah . Beliau meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melewati kota-kota Mosul, Yarbikir, ar-Raha, Aleppo dan Damaskus, di sana beliau menemui para cendikiawan dan mengikuti Syaikhnya, yang merupakan ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan juga pengajar hadits, ash-Syaikh Muhammad al-Kuzbara. Beliau menerima otorisasi terhadap Tariqat Qadiriah dari Syaikh al-Kuzbari dan deputinya, Syaikh Mustafa al-Kurdi, yang kemudian melanjutkan perjalanan bersamanya sampai tiba di kota Rasulullah .

Beliau memberi penghormatan kepada Rasulullah dengan puisi Persia yang dibaca dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat orang-orang menjadi terpesona akan keelokannya. Beliau menghabiskan cukup banyak waktu di sana. Beliau menceritakan pengalamannya,

"Aku sedang mencari orang saleh yang sangat langka untuk dimintai nasihat ketika Aku melihat seorang Syaikh di sebelah kanan Makam yang Diberkati (Rawdatu-sh-Sharifa). Aku lalu meminta nasihat kepadanya, dan berkonsultasi dengannya. Beliau menasihatiku agar tidak berkeluh-kesah terhadap segala masalah yang mungkin bertentangan dengan Syari at ketika memasuki kota Makkah, Aku dianjurkan agar tetap tenang dan diam. Akhirnya Aku pun tiba di Makkah, dan nasihat tadi benar-benar kupegang dalam hati. Aku pergi ke Masjid Suci pada pagi hari di hari Jumat. Aku duduk dekat Ka ba dan membaca Dala'il al-Khayrat, ketika Aku melihat seseorang dengan janggut hitam bersandar pada sebuah pilar dan matanya menatapku. Terlintas dalam hatiku bahwa orang ini tidak memberikan penghormatan yang layak kepada Ka ba, tetapi aku tidak berbicara apa pun mengenai hal itu.

"Dia melihatku dan menegurku dengan berkata, 'Hei orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti dari pada keistimewaan Ka`ba? Mengapa kamu mengkritik Aku dalam hatimu mengenai cara berbaringku ini, dengan membelakangi Ka ba dan mengarahkan wajahku padamu. Apakah kamu tidak mendengar nasihat Syaikhku di Madinah yang berkata kepadamu agar tidak mengkritik sesuatu?' Aku berlari kepadanya dan memohon maaf, mencium tangan dan kakinya dan meminta bimbingannya kepada Allah. Dia lalu berkata, Wahai anakku, harta kekayaanmu dan kunci hatimu tidak berada di sini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan. Aku tidak menemukan orang lain yang lebih baik darinya di semua sudut Masjidil Haram. Namun, dia juga tidak mengatakan kepadaku ke mana aku harus pergi di India, jadi aku pulang kembali ke Syam dan berasosiasi dengan cendikiawan di sana.

Beliau lalu kembali ke Sulaymaniyyah dan kembali mengajar tentang penyangkalan terhadap diri. Beliau selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, seseorang datang ke Sulaymaniyyah, dia adalah Syaikh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf yang dikenal juga dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang kalifah dari kutub spiritual, Qutb al-A`zam, `Abdullah ad-Dehlawi . beliau bertemu dengannya, memberinya hormat dan meminta petunjuk yang benar yang dapat menerangi jalannya. Dia berkata kepadanya, Ada seorang Syaikh yang sempurna, seorang cendikiawan dan orang yang mengetahui banyak hal, yang menunjukkan para pencari jalan kepada Raja dari Raja, ahli dalam segala hal, menganut tariqat Naqshbandi, dan mempunyai karakter Rasulullah , seorang pembimbing dalam ilmu tentang spiritualitas. Ikutlah bersamaku ke Jehanabad. Beliau telah berpesan kepadaku sebelum aku pergi, kamu akan bertemu seseorang, bawa dia bersamamu.

Syaikh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H/1809 M melalui kota Ray, lalu Teheran, dan beberapa propinsi di Iran di mana beliau bertemu dengan cendikiawan besar Isma`il al-Kashi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapar. Beliau juga mengunjungi Guru dari Induk segala tariqat di Bistam, Syaikh Bayazid al-Bistami , dan beliau memberikan penghormatan di makamnya dengan puisi Persia yang sangat elok. Kemudian beliau bergerak ke Tus, mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan beliau memujinya dengan puisi Pursia yang lain yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian beliau memasuki kota Jam dan mengunjungi ash-Syaikh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan memberikan penghormatan dengan puisi Persia yang lain lagi. Beliau lalu memasuki kota Herat di Afghanistan, lalu Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini cendikiawan besar yang ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang Hukum Ilahi (shari`a) dan Kesadaran Ilahi (ma`rifat), ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tanpa pantai.

Kemudian beliau pindah lagi ke Lahore, di mana beliau bertemu dengan Syaikh Thana'ullah an-Naqshbandi dan meminta do a darinya. Beliau mengatakan, Malam itu Aku bermalam di Lahore dan Aku bermimpi bahwa Syaikh Thana'ullah an-Naqshbandi menarikku dengan giginya. Ketika Aku terbangun Aku ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, tetapi dia mengatakan, Jangan ceritakan mimpi itu kepadaku, Kami telah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk bergerak dan segera menemui saudara dan Syaikhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi . Hatimu akan dibuka olehnya. Kamu akan melakukan bay at dalam tariqat Naqshbandi. Lalu Aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syaikh. Aku meninggalkan Lahore, menyebrangi pegunungan dan lembah, hutan dan padang pasir sampai tiba di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perjalanan itu memakan waktu 1 tahun. 40 hari sebelum Aku tiba, dia berkata kepada para pengikutnya, Penerusku akan datang

Malam saat beliau memasuki kota Jehanabad beliau menuliskan puisi dalam bahasa Arab, merenungkan kembali perjalanannya dan memuji Syaikhnya. Lalu beliau memberi penghormatan kepadanya dengan puisi Persia yang mengejutkan semua orang karena keelokannya. Beliau menyerahkan semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantongnya kepada fakir miskin. Kemudian beliau melakukan bay at dengan Syaikhnya, `Abdullah ad-Dahlawi . Beliau menjadi pelayan di zawiya (madrasah dan masjid) Syaikhnya dan mencapai perkembangan yang pesat dalam berperang melawan egonya. 5 bulan belum lewat ketika beliau menjadi salah seorang dalam Kehadirat Ilahi dan mempunyai Visi Ilahi.

Beliau diizinkan oleh Syaikh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syaikh memberinya otoritas tertulis dalam lima tariqat:

Yang pertama adalah Tariqat Naqshbandi, atau Rantai Emas.

Yang kedua adalah tariqat Qadiri melalui Sayyidina Ahmad al-Faruqi's Syaikh Shah as-Sakandar , dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani , al-Junayd, as-Sirra as-Saqati , Musa al-Kazim , Ja`far as-Sadiq , Imam al-Baqir , Zain al-`Abideen , al-Husayn , al-Hasan , `Ali ibn Abi Talib , dan Sayyidina Muhammad .

Tariqat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, yang mempunyai silsila (rantai) serupa dengan tariqat Qadiriyya sampai al-Junayd , yang mengembalikan kembali ke Hasan al-Basri dari sana ke Sayyidina `Ali dan Rasulullah .

Syaikh Abdullah juga memberinya otoritas untuk tariqat Kubrawiyya, yang mempunyai jalur sama dengan tariqat Qadiriyya tetapi melalui Syaikh Najmuddin al-Kubra .

Akhirnya, beliau diberi otoritas untuk tariqat Chishti melalui garis yang dapat ditelusuri kembali dari `Abdullah ad-Dahlawi dan Jan Janan kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi lalu melalui banyak Syaikh kepada Syaikh Mawrad Chishti , Nasir Chishti , Muhammad Chishti , dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham , Fudayl ibn al-`Iyad , Hasan al-Basri , Sayyidina `Ali , dan Rasulullah .

Syaikh juga memberi otoritas untuk mengajarkan semua ilmu-ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Amalan Harian (awrad). Beliau hafal isi buku Ithna `Ashari (Dua Belas Imam), buku pegangan tentang ilmu pengetahuan dari para penerus Sayyidina `Ali .

Beliau pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H/1813 M untuk kedua kalinya dan tinggal di sana di sekolah Ahsa'iyya Isfahaniyyah. Beliau mengisinya dengan pengetahuan tentang Allah dan Jalan untuk Mengingat-Nya. Tetapi sekelompok orang yang iri menulis sebuah surat tentang hal yang bertentangan mengenai beliau dan dikirimkan kepada Sultan Sa`ad Pasha, gubernur Baghdad. Mereka mengkritiknya, mengecapnya sebagai orang yang sesat dan banyak lagi hal lain yang tidak bisa diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, dia berkata, Jika Syaikh Khalid al-Baghdadi bukan seorang mukmin, lalu siapa yang mukmin? Gubernur lalu mengusir mereka dan memenjarakannya.

Syaikh meninggalkan Baghdad selama beberapa waktu lalu kembali lagi untuk ketiga kalinya. Beliau kembali ke sekolah yang sama yang telah dipugar untuk menyambut kedatangannya. Beliau mulai menyebarkan segala macam ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Beliau membuka rahasia Kehadirat Ilahi, menerangi hati orang-orang dengan cahaya Allah yang diberikan ke dalam hatinya, hingga gubernur, para cendikiawan, guru-guru, pekerja, dan orang-orang dari segala bidang pekerjaan menjadi pengikutnya. Pada masanya Bagdad sangat terkenal dengan pengetahuannya, sehingga kota itu dinamakan , Tempat dari Dua Ilmu Pengetahuan dan Tempat dari Dua Matahari. Serupa dengan itu, beliau juga dikenal dengan sebutan, Orang dengan Dua Sayap (dhu-l-janahayn), sebuah perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu eksternal dan internal. Beliau mengirimkan kalifahnya ke mana saja, mulai dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Syria) ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania, untuk menyebarkan jalan leluhurnya dalam tariqat Naqshbandi.

Kemana pun beliau pergi, orang akan mengundang ke rumahnya, dan rumah seperti apa pun yang dia kunjungi, akan mendapat berkah dan menjadi makmur. Suatu hari beliau mengunjungi Kubah Batu di Jerusalem dengan para pengikutnya. Beliau sampai di tempat itu dan kalifahnya, `Abdullah al-Fardi, datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan kehadirannya. Lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kota Nabi Ibrahim, Ayah dari semua Nabi dan Rasul , di sana disambut oleh semua orang. Beliau memasuki Masjid Ibrahim al-Khalil dan mengambil berkah dari temboknya.

Beliau pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah ( Ka`ba yang Suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Banyak sekali murid dan kalifahnya yang menemani. Warga kota dengan para cendikiawan dan Wali juga mendatangi beliau dan semuanya melakukan bay at dengannya. Mereka memberinya kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mereka mengangkatnya sebagai Syaikh Spiritual untuk kedua kota tersebut. Beliau lalu mengitari Ka ba, tetapi yang sesungguhnya Ka ba yang mengitari beliau.

Setelah haji dan kunjungannya kepada Rasulullah , beliau kembali ke Syam ash-Sharif (Syria yang diberkati). Beliau sangat dihormati oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, ketika beliau memasuki Syam, penyambutan yang meriah diadakan dan sebanyak 250.000 orang menyambutnya di pintu masuk kota. Semua cendikiawan, Mentri, Syaikh, fakir miskin dan orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta do a darinya. Benar-benar merupakan suatu perayaan. Para penyair melantunkan syair mereka, sementara itu orang kaya memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di hadapan beliau. Beliau membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan eksternal dan menyebarkan cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab yang datang dan menerima tariqat Naqshbandi dari tangannya.

Dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan 1242 H/1827 M beliau memutuskan untuk mengunjungi Quds (Jerusalem) dari Damaskus. Para pengikutnya sangat bergembira dan berkata, Alhamdulillah, kami akan melakukannya bila Allah memanjangkan umur kami, setelah Ramadhan, awal bulan Syawwal. Mungkin itu adalah suatu tanda bahwa beliau akan meninggalkan dunia ini.

Pada hari pertama di bulan Syawwal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu pengikutnya meminta beliau untuk mendo akan dia agar diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan, dan untukmu juga, Syaikh. Beliau berkata, Aku merasa malu kepada Allah, karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di Tanah Suci ini.

Orang pertama yang meninggal karena wabah ini adalah putra beliau, Bahauddin, pada Jumat malam dan beliau berkata, Alhamdulillah, ini adalah jalan kita, lalu beliau menguburkannya di Gunung Qasiyun. Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih dalam 3 bahasa, Persia, Arab, dan Kurdi, dan dia juga pandai membaca Al-Qur an.

Lalu pada tanggal 9 Dzul-Qai`dah, anak lainnya, Abdur Rahman, meninggal dunia. Dia lebih tua dari saudaranya satu tahun. Mawlana Khalid memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam kembali untuk menguburkan anak keduanya. Beliau berkata, Dari pengikutku akan banyak yang meninggal dunia.

Beliau memerintahkan untuk menggali banyak lubang untuk para pengikutnya yang jumlahnya banyak, termasuk istri dan anak perempuannya, dan beliau memerintahkan untuk menyirami daerah itu dengan air. Lalu beliau berkata, Aku memberi otoritas kepada Syaikh Isma`il ash-Shirwani untuk menggantikan Aku di Tariqat Naqshbandi. Beliau mengucapkan hal ini pada tahun terakhirnya, 1242 H/1827 M.

Suatu hari beliau berkata, Aku mendapat sebuah visi yang luar biasa kemarin, Aku melihat Sayyidina `Utsman Dhun-Nurayn seolah-olah dia telah meninggal dan Aku melakukan shalat untuknya. Dia lalu membuka matanya dan berkata, Ini dari anak-anakku. Dia menarikku dengan tangannya, membawaku kepada Rasulullah , dan mengatakan kepadaku untuk membawa seluruh pengikut Naqshbandi di masa sekarang dan yang akan datang sampai masa Imam Mahdi as, lalu dia memberi berkah untuk mereka semua. Setelah keluar dari visi itu, Aku melakukan shalat Maghrib dengan para pengikut dan anak-anakku.

Apa pun rahasia yang kumiliki, telah kuberikan kepada deputiku Isma`il ash-Shirwani . Siapa saja yang tidak menerimanya berarti bukan golonganku. Jangan berargumen tetapi satukanlah pikiranmu dan ikuti pendapat Syaikh Isma`il . Aku menjamin siapa pun yang mengikutinya akan bersamaku dan bersama Rasulullah ."

Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menangisinya, dan meminta mereka untuk mengorbankan hewan dan memberi makan orang miskin demi kecintaan Allah dan kemuliaan Syaikh. Beliau juga meminta mereka untuk mengirimkan hadiah berupa pembacaan Al-Qur an dan bacaan dalam shalat. Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menuliskan apapun di makamnya kecuali, Ini adalah makam orang asing, Khalid.

Setelah shalat Isya Syaikh Khalid memasuki rumahnya, memanggil seluruh anggota keluarganya dan berkata kepada mereka, Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat. Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Subuh beliau bangun, berwudhu dan melakukan shalat. Lalu beliau memasuki kamarnya dan berkata, Tidak ada yang boleh memasuki kamarku kecuali orang yang telah kuperintahkan. Beliau berbaring di sisi kanannya, menghadap kiblat dan berkata, Aku telah terkena wabah penyakit. Aku membawa semua wabah yang menyerang Damaskus. Beliau mengangkat tangannya dan berdo a, Siapa pun yang terkena wabah itu, biarkan wabah itu mengenaiku dan bebaskan orang-orang di Syam.

Kamis tiba dan seluruh kalifahnya memasuki kamarnya. Sayyidina Isma`il ash-Shirwani bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaanmu?" Beliau berkata, "Allah telah menjawab doaku. Aku akan membawa semua wabah yang melanda orang-orang di Syam dan Aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat. Mereka menawarkan air, namun beliau menolak dan berkata, Aku meninggalkan dunia ini untuk bertemu Allah. Aku telah bersedia menanggung wabah dan membebaskan orang-orang di Syam yang telah terkena wabah itu. Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.

Beliau membuka matanya dan berkata, "Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq," yang merupakan sumpah dalam bay at tariqat Naqshbandi, lalu beliau membaca ayat 27-30 dari al-Qur an surat al-Fajr: "Wahai jiwa yang tenang dan tentram. Kembalilah kepada Tuhanmu--merasa senang dan disenangi. Masuklah dalam hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!" Kemudian beliau menyerahkan nyawanya kepada Allah dan meninggal dunia, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, pada hari Jumat 13 Dzul Qaidah 1242 H/1827 M. Mereka membawanya ke sekolah dan membasuhnya dengan air penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sementara yang lain berdzikir, khususnya Syaikh Isma`il ash-Shirwani , Syaikh Muhammad , dan Syaikh Aman . Mereka membaca al-Qur an dan pagi harinya mereka membawa jenazahnya ke masjid di Yulbagha.

Syaikh Isma`il ash-Shirwani meminta Syaikh Aman `Abdin untuk melakukan shalat jenzah baginya. Masjid itu tidak cukup untuk menampung seluruh orang yang hadir. Lebih dari 30.000 orang shalat di belakangnya. Syaikh Isma`il berjanji kepada mereka yang tidak dapat melakukan shalat jenazah di masjid itu, bahwa dia akan melakukan shalat jenazah yang kedua kalinya di makam. Mereka yang memandikannya ikut pula mengantarkan ke makamnya. Hari berikutnya, Sabtu, seakan-akan terjadi keajaiban di Syam, wabah penyakit tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia. Mawlana Khalid menyerahkan Rahasianya kepada penerusnya, Syaikh Isma il ash-Shirwani .

Karomah Habib Soleh bin Muhsin Al Hamid (Tanggul, Jakarta)


Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid yang paling kanan.

Membicarakan karamah Habib Sholeh tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.

Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah cirri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu.Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang yang berpakaian serba hitam dan meminta Yik Sholeh untuk menunjukkan rumah habib Sholeh. Karena di sekitar sana tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada, tuan, nama Habib Sholeh, yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu andalah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.

Sejak itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi oraang, mujlai sekedar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Mantan wakil Presiden Adam malik adalah satu dari sekian pejabat yang sering sowan kerumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau, jika Habib Sholeh ke Jakarta, menjemputnya bejibun, melebihi penjemputan Presiden,” ujar KH. Abdillah yang mengenal dengan baik Habib, menggambarkan.

KH.Ahmad Qusyairi bin Shiddiq adalah sahabat karib habib. Dulunya Habib Sholeh sering mengikuti pengajian KH. Ahmad Qusyairi di Tanggul, tetapi setelah tanda-tanda kewalian Habib mulai menampak, ganti KH. Qusyairi yang mengaji kepada Habib.

Menjelang wafat, KH. Qusyairi sowan kepada Habib. Tidak seperti biasa, kala itu sambutan Habib begitu hangat, sampai dipeluk erat-erat. Habib pun mnyembelih seekor kambing khusus menjamu sang teman karib. Disela-sela bercengkrama, Habib mengatakan bahwa itu terakhir kali yang ia lakukan. Ternyata beberapa hari kemudian KH. Qusyairi wafat di kediamannya di Pasuruan.

Tersebutlah seorang jenderal yang konon pernah mendapat hadiah pulpen dari Presiden AS D. Esenhower. Suatu ketika pulpen itu raib saat dibawa ajudannya kepasar (kecopetan). Karuan saja sang ajudan kalang kabut, sehingga disarankan oleh seorang kenalannya agar minta tolong ke Habib Sholeh.

Sampai di sana, Habib menyuruh mencari di Pasar Tanggul. Sekalipun aneh, dituruti saja, dan ternyata pulpen itu tidak ditemukan. Habib menyuruh lagi, lagi-lagi tidak ditemukan. Karena memaksa, Habib masuk kedalam kamarnya, dan tak lama kemudian keluar dengan menjulurkan sebuah Pulpen. “Apa seperti ini pulpen itu? Sang ajudan tertegun, karena ternyata itulah pulpen sang jenderal yang sudah pindah ke genggaman pencopet.

Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menuturkan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara Kaffah. Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa Istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.

Tengok saja komitmen Habib terhadap nilai-nilai keislaman, termasuk keperduliannya terhadap fakir miskin, janda dan anak yatim, menjadi juru damai ketika ada perselisihan. Beliau dikenal karena akhlak mulianya, tidak pernah menyakiti hati orang lain, bahkan berusaha menyenangkan hati mereka, sampai-sampai dikenal tidak pernah permintaan orang. Siapapun yang bertamu akan dijamu sebaik mungkin. Habib Sholeh sering menimba sendiri air sumur untuk mandi dan wudu para tamunya.

Maka buah yang didapat, seperti ketika Habib Ahmad Al-Hamid pernah berkata kepada baliau, kenapa Allah selalu mengabulkan doanya. Habib Sholeh menjawab, “Bagaimana tidak? Sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat-Nya Murka.”

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati