Dzikrul Jalaalah


Tiada tuhan selain Allah
wujud sepanjang zaman

Tiada tuhan selain Allah
disembah setiap tempat

Tiada tuhan selain Allah
disebut setiap lidah

Tiada tuhan selain Allah
dikenali dengan keihsanan

Tiada tuhan selain Allah
setiap masa sentiasa mentadbir 'alam

Tiada tuhan selain Allah

(Kami mohon) keamanan, keamanan dari kehilangan iman dan dari fitnah godaan syaithan. Wahai Tuhan yang sifat keihsananNya kekal abadi, telah banyak keihsananMu terhadap kami, keihsananMu yang berkekalan. Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Wahai Tuhan yang Maha Penganugerah, Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Wahai Tuhan yang Maha Pemurah, Wahai Tuhan yang Maha Pengampun, Wahai Tuhan yang Maha Pemaaf, ampunkanlah kami dan rahmatkanlah kami, Engkaulah sebaik-baik Pengasih.

Dzikrul Jalaalah adalah satu doa yang biasa diamalkan oleh para ulama kita. Ianya merupakan amalan berzikir menyebut lafaz tahlil diikuti permohonan untuk keamanan dari hilangnya keimanan dan keamanan dari fitnah godaan syaithan yang terkutuk. Dan ianya diakhiri dengan memohon keampunan dan rahmat Allah s.w.t. Almarhum Buya al-Maliki rahimahUllah dalam "Khulaashatu Syawaariqil Anwaari min ad`iyatis Saadatil Akhyaar" menganjurkan agar ianya dibaca setelah membaca asma-ul husna. Bisa sahaja dzikir dan doa ini dibaca tanpa didahului asma-ul husna sebagaimana diamalkan oleh sebahagian guru kita. Ya ianya bisa diamalkan kapan sahaja, sebaiknya dengan dawam. Mudah-mudahan kabul dan terpelihara dari hilangnya iman tatkala menghembuskan nafas kita yang terakhir.... Allahumma aamiin.

Abu Nawas sang wali Allah yang pandai bersyair

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan. Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan.
Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa. Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Berikut salah satu kisah Jenaka Abu Nawas. Demi Tata Krama Kepada Raja Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.
kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum.
Raja pun menjawab : ”Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja. “Berani – beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan nada sangat kesal. “Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas. “Ada apa? tanya raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas” “Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. “Saya melakukan itu semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja” mendegar hal itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???” tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan. “Ya benar raja ” jawab abu nawas dengan tegasnya. Rajapun semakin keheranan dan penasaran dengan abu nawas. “Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya. Raja tahu, selama ini jika raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu nawas. “Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah, melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja, maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja, karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja.
sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja. Terus terang wahai baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal itu merupakan perbuatan su’ul adab. Ketika raja berjalan, saya tidak berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir, maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja.
Ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang sepenuh hati kepada raja.” “Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama, karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka mendahului kotoranmu. “ Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal. Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran sang raja.

Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” … Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu Nawas. Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya, kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, … dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”
Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, … “Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
… “Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya. Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutar-balikkan berita.
Perjalanan Abu Nawas dalam Pencarian Allah
Abu Nawas memang sudah terganggu akal fikirannya. Banyak persoalan mengenai mengenal diri masih belum terjawab. Makin banyak dia berusaha makin banyak lagi persoalan yang timbul. Sahabat handai sudah mula berkata-kata yang Abu Nawas kurang siuman.

Namun begitu Abu Nawas tidak mengindahkan mereka. Yang penting dia akan sampai ke matlamatnya yaitu mengenal diri dan Tuhannya. Kini Abu Nawas terus berusaha dan cuba menempatkan dirinya sebagai fakir iaitu orang yang berjalan mencari Tuhan.

Setiap hari dia berbaju putih dari kain yang agak kasar. Mengikat kepala dengan serban putih, berseluar putih dan bahkan segala-galanya putih. Kemana-mana dia berjalan kaki. Dia tahan tidak makan kerana dia beranggapan apabila kurang makan maka dia kan dapat mengawal nafsunya. Nafsu perlu dikawal untuk perjalanan bertemu Tuhan katanya. Setiap orang yang dijumpainya diajaknya senyum. Tingkah lakunya tidak ubah seperti cerita sufi di zaman Andalusia.

“Saya mesti bersih kerana Allah itu juga bersih. Saya juga mesti didalam keadaan berwuduk, sebab Allah adalah Maha Suci. Dan Allah juga Maha Pengasih, sebab itulah aku melihat orang dengan senyuman”.

Melihat tingkah lakunya yang demikian, maka orang-orang yang tidak mengerti sudah menilai Abu Nawas sebagai seorang sufi. Atau setidak-tidaknya orang berkata bahawa dia seorang ahli tasawwuf. Padahal dia baru bertarekat berjalan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang Guru Mursyid atau Syeikh, apalagi tidak merujuk kepada Al Qur’an dan Hadith sebagai pegangan utama. Sudah pasti dia akan sesat jalan. Bahkan fikirannya terganggu seperti orang yang kurang siuman.

Didalam perjalanan ini, ada juga orang yang meminum air tongkat gurunya dan bahkan ada yang menginap tujuh hari tujuh malam di makam guru. Itu pun sudah dilakukan oleh Abu Nawas. Abu Nawas sudah semakin jauh dari tujuan asalnya. Namun begitu, Abu Nawas masih tetap pada pendiriannya bahawa menginap di makam para Wali sebagaimana orang lain melakukannya mungkin ada kebenarannya.

Dengan tiba-tiba dia berteriak, “Memang gila !”. Orang-orang yang berada disekelilingnya terperanjat dan melihat kepadanya. “Apanya yang gila Abu ?” Tanya mereka yang sama-sama menginap di makam wali itu. “Cuba kamu lihat ayat ini”, tunjuk Abu Nawas kepada mereka tentang sepotong ayat dari tafsif Al Qur’an yang dipinjamnya dari penjaga kunci makam tersebut.

“Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan kami mengetahui apa-apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Qaf, 50:16)

“Jadi kenapa ?”, tanya mereka yang hadir. “Memang kamu semua lembab fikiran ! Kan ayat ini mengatakan bahawa pada setiap umat manusia ada Allah. Pada saya ada Allah, pada kamu juga ada Allah. Bukankah Allah menjadi Maha Banyak. Padahal semua guru mengatakan bahawa Allah itu Maha Esa”.

Mereka semua tercengang dan terdiam. Didalam hati masing-masing mereka berkata betul juga kata orang gila ini. Yang lain-lainnya ada juga berpendapat tidak mungkin Allah itu banyak. Kalau Allah itu banyak, maka Allah akan bergaduh sesama sendiri. Bukankah Nabi Ibrahim pernah bertanya soalan yang sama kepada bapanya. Yang hadir semua berfikir dan ada yang akan bertanya kepada gurunya nanti.

Bagi Abu Nawas bertambah lagi satu penyakit dalam dirinya. Pertanyaan yang tersimpan dan tidak terjawab akan membuatkan seseorang semakin terganggu saraf pemikirannya. Namun begitu yang semakin parah adalah apabila orang awam sudah mula menghormati Abu Nawas sebagai seorang Syeikh. Kata mereka memang orang-orang yang hampir dengan Tuhan tidak boleh difahami dan selalu bersikap eksentrik.

Ketika Abu Nawas asyik termenung memikirkan persoalannya, tiba-tiba dari sebelah kanan datang seseorang berbisik kepada Abu Nawas. “Bermohonlah kepada Allah untuk mendapatkan kemudahan dan bimbingan. Mudah-mudahan nanti seorang Guru akan datang untuk menjawab pertanyaan yang merungsingkan kamu”. Kemudian orang itu terus menghilang.

Ambillah pelajaran yang betul dari perjalanan Abu Nawas ini. Gilaplah cermin diri kita untuk kembali kepada Tuhan.

Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."

Tentu ini hanyalah sebuah lelucon menurut pandangan orang yang awam tetapi bukanlah sebuah lelucon bagi seorang Wali Allah, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa
Salah satu Syairnya :
Syair Al 'Itiraf [Pengakuan] Abu Nawas


Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu

Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka

Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku

Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar

Dosaku seperti jumlah pasir

Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan

Dan umurku berkurang setiap hari

Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya

Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu

Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu

Seandainya Engkau mengampuni

Memang Engkaulah Pemilik Ampunan

Dan seandainya Engkau menolak taubatku

Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU

Yakni, ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya yang sia-sia. Salat lima waktu tak pernah dihiraukan. Dan hanya kepada Allah, Yang Maha Tinggi ia berdoa mohon pengampunan, seperti yang telah Allah berikan kepada Nabi Yunus.
Keyakinan agamanya banyak dibahas orang. Mereka menilai penyair ini dari puisi-puisinya yang beraneka ragam. Hampir semua yang dialaminya dan yang begejolak dalam pikirannya tertuang secara gamblang dalam puisi-puisinya. Orang menilai, bahwa keimanannya kepada Allah kuat sekali, begitu juga terhadap pengampunan-Nya lebih besar:
Begitu besar dosaku
Setelah kubandingkan dengan sifat kepengampunan-Mu
Ya Allah
Pengampunan-Mu lebih besar.
Mengenai harapan akan pengampunan Allah sajak berikut ini terkenal sekali, dijalin dalam kata-kata yang sangat mengharukan:
Tuhanku, kalau pun dasaku sudah begitu besar, begitu banyak
Aku pun tahu, sifat pengampunan-Mu lebih besar
Kalau yang berharap kepada-Mu hanya orang yang saleh
Kepada siapa orang yang berdosa ini akan berlindung?
Seruanku hanya kepadamu, ya Allah
Dengan sepenuh hati, seperti perintah-Mu
Kalaupun tanganku ini Kautolak
Siapalagi yang akan mengampuniku?
Tak ada jalan lain bagiku kepada-Mu
Hanya harapan dan pengampunan-Mu yang begitu indah
Di samping semua itu, aku seorang muslim (berserah diri).
Puisi-puisi zuhud-nya atau puisi keagamaan Abu Nawas memang tidak begitu banyak jumlahnya, dan dibuat pada masa tuanya. Tetapi dari segi kedalamannya dinilai banyak kritikus sastra melebihi puisi-puisi keagamaan para penyair lain yang sejaman dengannya. Sebagi penyair, baik dalam puisi mujun atau puisi zuhud, dari segi ungkapan, penggunaan kata, dan kedalaman isi, dalam sejarah sastra Islam

Habib Ja'far As-Saqqaf, Yang Memuliakan Para Tamunya

Habib Ja’far bin Syaikhan bin 'Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim As-Saqqaf dilahirkan di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Bondanya ialah seorang wanita solehah, Ruqayyah binti Muhammad Manqusy. Sebagaimana kebanyakan para Salaf Bani Alawi, semenjak kecil beliau mendapat pendidikan langsung dari ayahandanya. Selain beliau menuntut ilmu kepada ayahnya, beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama besar zamannya, diantaranya: Habib 'Aidrus bin 'Umar al-Habsyi (pengarang ‘Iqdul Yawaaqit), Habib 'Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas, Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi (Mufti Syafi`i Haramain) dan Habib Muhammad bin Salim as-Sary dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor.

Dalam usia 40 tahun iaitu tahun 1338H, beliau berhijrah ke Indonesia. Mulanya beliau menetap di Surabaya sebelum berpindah ke kota santri Pasuruan. Habib Ja'far menghabiskan usianya untuk ibadah dan dakwah dengan bijaksana dan akhlak yang mulia. Beliau terkenal sebagai hafiz dan mufassir al-Quran yang hebat sehingga guru beliau, Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor memberikan gelar "al-Quran berjalan" bagi beliau, di mana sering tatkala bertemu dengan Habib Ja'far, gurunya tersebut akan berkata: "Ahlan bil Quran wa ahlan bi ahlil Quran". Bahkan gurunya tersebut sering menyerahkan tugas menjadi imam kepada beliau kerana dalam bacaannya amat elok menurut hukum tajwid serta penuh kekhusyukan. Kekhusyukan dan kehadiran hati beliau ini meliputi para makmum sehingga mereka turut merasa kenikmatan khusyuk dan hudhur. Habib 'Alwi bin 'Ali al-Habsyi pernah berkata: "Ketika mendengar bacaan Habib Ja'far, aku mengikuti pendapat yang mengatakan bahawa membaca al-Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah tidak wajib kerana hudhur yang kurasakan dari bacaannya." Sehingga dikatakan juga oleh yang lain bahawa: "Kalau Habib Ja'far membaca al-Quran, maka setiap huruf yang beliau ucapkan itu seakan-akan berbentuk."

Selain dakwah keliling, beliau membuka majlis ta'lim dan majlis rohah di Pasuruan dengan dihadiri oleh ramai santri yang terdiri dari kalangan para ulama. Antara ulama yang melazimi majlisnya ialah Kiyai Haji Abdul Hamid bin 'Abdullah bin 'Umar BaSyaiban dan Kiyai Mas Imam bin Thohir.

Habib Ja'far sangat teguh menjaga ajaran leluhurnya para salafush sholeh Bani 'Alawi yang mulia. Beliau beramal sesuai amal mereka dan berakhlak persis akhlak mereka. Beliau juga setekun para leluhurnya dalam melaksanakan amal-ibadah, selalu bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai kesholehan. Antara wiridannya setiap hari ialah mengkhatamkan kitab suci al-Quran dan memperbanyakkan sholawat atas Junjungan s.a.w. Malamnya indah dihiasi qiyamul lail dan menyendiri di tempat khusus untuk bermunajat dan bertaqarrub.

Memuliakan Para Tetamunya

Beliau juga terkenal amat memuliakan para tetamunya, sehingga urusan melayani para tetamunya dijalankan sendiri oleh beliau. Beliau sendirilah yang menuangkan minuman buat si tamu dan beliau menolak jika ada orang lain yang hendak menggantikannya. Pernah satu ketika salah seorang tetamunya menyarankan agar beliau membiarkan orang lain untuk menuangkan minuman kepada para tetamunya dengan katanya: "Jangan engkau sendiri yang melakukannya." Beliau spontan menjawab: "Apakah di hari kiamat kelak, ketika Rasulullah s.a.w. memberi manusia minum dari telaga Kautsar dengan tangan baginda sendiri, kau akan berkata kepada beliau:"Jangan engkau sendiri yang melakukannya." .... Allahu ... Allah, mudah-mudahan kita dapat meneguk minuman telaga Kautsar dari tangan baginda yang mulia. Sungguh memuliakan tetamu itu sebahagian daripada keimanan, dan berhati-hatilah kita tatkala melayani para tetamu kita, jangan sampai kita menjadikan tetamu kita tersebut sebagai pelayan kita. Ingat sabdaan Junjungan Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam ad-Dailami:

"Bodohlah orang yang menjadikan tetamunya sebagai khadam (yakni tetamu pula yang jadi sibuk melayan tuan rumah dan bukan sebaliknya)".
Kehidupan berputar terus dan Habib Ja'far selalu mengisinya dengan kebaikan dan kebajikan. Sampai pada suatu saat dimana Allah hendak memanggilnya, maka berpulanglah beliau menuju mardhotillah pada hari Isnin, tanggal 14 Jumadil Akhir 1374 H dalam usia 76 tahun. Berita kewafatannya tersebar ke seluruh pelusuk dan penziarah tidak putus-putus berdatangan sehingga pemakaman beliau terpaksa diakhirkan sehingga ke petang Selasa. Jasad beliau lalu disemayamkan di tepi Masjid Jami` al-Anwar, Pasuruan, berdampingan dengan maqam Habib Hadi bin Shodiq Bin Syaikh Abu Bakar. Mudah-mudahan Allah meredhai beliau dan mengumpulkan beliau bersama para leluhurnya yang sholeh.

Ulama Yang Sibuk Bercinta, Syekh Ibnu Hazm

Ibnu Hazm pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali. Cintanya yang pertama ia tumpahkan kepada jariat (pembantunya) lalu menikahinya ketika Ibnu Hazm berusia di bawah 20 tahun.

Ketika isterinya yang lebih muda darinya itu meninggal dunia, ia larut dalam kesedihan dan menangis berbulan-bulan, walaupun seperti pengakuannya ia adalah orang yang sulit mencucurkan air mata.

Ia jatuh sakit sekian lama, bahkan kehilangan sebahagian ingatannya, walaupun kemudian sembuh.

“Demi Allah, hingga kini aku tidak pernah lagi merasa bahagia. Kehidupan setelah kepergiannya tidak nyaman lagi. Aku terus mengenangnya dan tidak lagi menemukan kesenangan dari selainnya.”
Sekali lagi, dengan demikian, Ibnu Hazm sendiri sibuk dalam cinta sepanjang hidupnya, sebagaimana ia disibukkan oleh ilmu-ilmu agama semacam fiqih (hukum Islam), tafsir, hadis dan teologi, bukan hanya perempuan sebagaimana tulisnya.
Ibnu Hazm menulis bahawa, “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya.”
“Ketika masih remaja, aku jatuh cinta kepada seorang gadis berambut pirang. Sejak itu aku tidak mengagumi gadis berambut hitam, meski pemiliknya berada di matahari atau sangat molek. Itu kecenderunganku sejak saat itu. Diriku tidak pernah mengagumi lagi kecuali rambut pirang. Itu pula kecenderungan ayahku.”
Kalimat di atas merupakan pengakuan filosof dan ulama besar dunia, Ibnu Hazm. Lewat karyanya yang berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Ibnu Hazm berhasil menjadikan dirinya sasterawan yang cukup disegani. Bukunya ini menjadi buku terlaris sepanjang abad pertengahan. Buku itu tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga bagi kaum Nasrani di Eropah.
Padahal Ibnu Hazm dikenal sebagai salah satu ulama tersohor di abad pertengahan. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang menteri pada zaman Khalifah al-Manshur.
Menurut penuturan Ibnu Hazm, cinta pertamanya bersemi ketika ia berusia 18 tahun. Sementara gadis pujaannya yang berambut pirang berumur 16 tahun. Gadis itu dikaguminya sampai habis. Ia mengatakan bahawa pujaannya itu seorang yang cantik, bertabiat baik, dan bertubuh sintal. Si gadis pun pandai bernyanyi dan memetik kecapi, yang menjadi kebiasaan kala itu.
Ibnu Hazm tergila-gila. Setiap hari selalu menanti gadis itu lewat di depan pintu rumahnya. Begitu gadis itu muncul, Ibnu Hazm langsung menguntitnya. Seperti kisah remaja pada umumnya, kisah cinta Ibnu Hazm penuh dengan romantika. Jika dikejar, si gadis berlalu dengan malu-malu dan rona wajahnya memerah. Tentang perilakunya yang terbuai itu Ibnu Hazm menulis, “Saya ingat benar bagaimana ketika saya selalu pergi ke ruangan tempat ia tinggal. Rasanya saya selalu ingin menuju pintu itu agar bisa dekat dengannya. Begitu ia melihat saya di dekat pintu, dengan gerakan lemah gemulai ia pergi ke tempat lain. Saya pun menguntitnya sampai ke pintu ruangan tempat ia berada.”
Ibnu Hazm, sebagaimana semua ulama dan agamawan, menyatakan bahawa cinta yang terbesar adalah cinta kepada Allah dan cinta antara sesama manusia yang dijalin kerana Allah swt. Cinta antara sesama manusia, antara lain cinta antara lawan jenis, jika terjalin kerana Allah, pasti diliputi oleh kesetiaan dan kesucian.
Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang pakar hukum Islam menulis pengalaman peribadinya antara lain: “Seandainya bukan kerana keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan syurga adalah tempat peroleh ganjaran, kita akan berkata bahawa hubungan harmonis antara kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cinta dan puncak harapan.”
Selanjutnya, ulama besar itu berkata: “Aku telah merasakan kelazatan dengan aneka ragamnya. Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu, seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita.
Memandang Cinta
Menurut Ibnu Hazm, cinta itu sulit diuraikan. Tetapi pada orang yang jatuh cinta terdapat pertanda.
Pertama, kecanduan memandang orang yang dikasihi.
Kedua, segera menuju ke tempat kekasih berada, sengaja duduk di dekatnya dan mendekatinya.
Ketiga, gelisah dan gugup ketika ada seseorang yang mirip dengan orang yang dicintainya.
Keempat, kesediaan untuk melakukan hal-hal yang sebelumya enggan dilakukannya
Adapun yang mencoreng cinta menurut Ibnu Hazm adalah berbuat maksiat dan mengumbar hawa nafsu.

Cinta Di Mata Seorang Ulama
Akan menghinalah mereka yang tak mengenal cinta
Sungguh cintamu padanya wajar adanya
Mereka kata, cinta buat kau gila
Padahal kau orang paling faham agama

Ku katakan pada mereka
Mengapa kalian iri padanya?
Jawabnya
Kerana ia mencinta dan dicintai pujaan jiwa

Bila masanya Muhammad mengharamkan cinta
Dan apakah ia menghina umatnya yang jatuh cinta
Janganlah kau berlagak mulia
Dengan menyebut cinta sebagai dosa

Janganlah kau pedulikan apa kata orang tentang cinta
Entah yang berkata keras atau halus biasa
Bukankah manusia harus menetapi pilihannya
Bukankah kata tersembunyi tak bererti diam seribu bahasa
Syair ini dikutip dari kitab Tauqul Hamamah karya Ibnu Hazm al-Andalusi

Sholawat Syafa`atain

لَبَيْكَ أَللَّهُمَّ رَبِّي وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَهَا أَنَاذَا عَبْدُكَ الضَّعِيْفُ الذَّلِيْلُ الْحَقِيْرُ قَـآئِمٌ لَّكَ بَيْنَ يَدَيْكَ أَقُوْلُ مُسْتَعِيْنًا بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ إِمْتِثَالًا لِأَمْرِكَ وَتَعْظِيْمًا وَإِجْلَالًا لَكَ وَلِرَسُوْلِكَ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَللَّهُمَّ صَلِّّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَنَا بِالصَّلَوةِ عَلَيْهِ وَصَلِّّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَنَااَنْ نُصَلِّيَّ عَلَيْهِ وَصَلِّّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا يُحِبُّ اَنْ يُصَلِّيَّ عَلَيْهِ وَصَلِّّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى صَاحِبِ الشَّفَاعَةِ اْلعُظْمَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِاللهِ الشَّفِيْعِ الْمُشَّفَعِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ اْلاَعْمَى وَصَلِّّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى خِيَرَتِكَ مِنْ خَلْقِكَ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَْالمَلاَئِكَةِ ْالمُقَرَّبِيْنَ وَالصَّحَابَةِالطَّاهِرِيْنَ وَالشُّهَدَاءِالصَّالِحِيْنَ وَ ْالعُلَمَاءِ ْالعَامِلِيْنَ وَ ْالاَوْلِيَاءِ الله ِالْمُحَقِّقِيْنَ ذِيْ الشَّفَاعَةِ اَجْمَعِيْنَ
اَللَّهُمَّ احْشُرْنَا فِي زُمْرَتِهِ وَسْتَعْمِلْنَا بِسُنَّتِهِ وَتَوَفَّنَا عَلَى مِلَّتِهِ وَعَرِفّـْـنَا وَجْهَهُ وَاجْعَلْنَا فِي زُمْرَتِهِ وَحِزْبِهِ اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ كَمَا آمَنَّابِهِ وَلَانَرَهُ وَلَاتُفَرِّقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ حَتَّى تُدْخِلَنَا مَدْخَلَهُ وَتُوْرِدَنَا حَوْضَهُ وَتَجْعَلَنَا مِنْ رُفَقَائِهِ مَعَ اْلمُنْعَمِ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَْالمَلاَئِكَةِ ْالمُقَرَّبِيْنَ وَالصَّحَابَةِالطَّاهِرِيْنَ وَالشُّهَدَاءِالصَّالِحِيْنَ وَ ْالعُلَمَاءِ ْالعَامِلِيْنَ وَ ْالاَوْلِيَاءِ الله ِالْمُحَقِّقِيْنَ وَحَسُنَ اُوْلَـئِكَ رَفِيْقًا وَ اْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ ْالعَالَـمِيْنَ

Syeikh Muhammad Al-Hasyimi

Syeikh Muhammad Al-Hasyimi dilahirkan dari kedua orangtua yang soleh, keduanya termasuk ahli bait Nabi s.a.w., nasabnya kembali pada Hasan bin Ali r.a, beliau dilahirkan pada hari sabtu 22 Syawal 1298 H di kota Sabtah sebuah kota di Tilmisan, yang merupakan kota termasyhur di Algeria. Ayahnya adalah salah seorang ulama dan hakim di kota tersebut. Ketika wafat ayahnya meninggalkan anak-anak yang masih kecil dan beliau adalah anak yang paling tua di antara mereka.
Selanjutnya untuk beberapa lama beliau tetap menyertai para ulama dan masuk dalam barisan mereka dengan tekun demi menambah ilmu. Kemudian beliau hijrah bersama gurunya Muhammad bin Yallas ke negri Syam melarikan diri dari kezaliman penjajah Perancis, yang melarang masyarakat Algeria untuk menghadiri halaqoh-halaqoh para ulama serta taujihat-taujihat mereka. Hijrah mereka tersebut pada tanggal 20 Ramadhan 1329 H melalui jalur Tonjah dan Marsilia, menuju ke negeri Syam. Kemudian menetap di Damsyik untuk beberapa hari, dan pada waktu itu pemerintah Turki berupaya memisahkan para pendatang Algeria dan beliau bernasib pergi ke negara Turki dan tinggal di Adhnah, sedangkan guru beliau Ibnu Yallas tetap tinggal di Damaskus. Dua tahun kemudian Syeikh Al Hasyimi kembali ke Damsyik; dan beliau bertemu kembali dengan gurunya Ibnu Yallas lalu menemani dan selalu menyertai beliau.
Di negeri Syria beliau terus menuntut ilmu dari para ulama besar, di antara yang paling terkenal adalah Ahli Hadis Besar, Syeikh Badaruddin Al-Hasani, Syeikh Amin Suwaid, Syeikh Ja’far Al-Kattani, Syeikh Najib Kiiwani, Syeikh Taufik Al-Ayyubi, Syeikh Mahmud Al-’Attar dari beliau syekh Al-Hasyimi mempelajari Usul Fiqh, dan Syeikh Muhammad bin Yusuf yang terkenal dengan sebutan Al-Kaafi dan darinya beliau belajar fiqih Maliki, dan para guru beliau telah mengijazahkannya ilmu-ilmu aqli dan naqli.
Adapun di bidang Tassawuf beliau diberikan izin oleh Syeikh Muhammad bin Yallas dengan wirid umum dikarenakan keunggulan beliau atas murid-murid lainnya dalam bidang ilmu dan pengetahuan serta karena keikhlasan dan pengabdiannya.
Setelah mursyid besar Syeikh Ahmad bin Mustofa Al-’Alawi datang dari Algeria untuk melaksanakan ibadah haji; beliau singgah di Damsyik setelah wafatnya Syeikh Muhammad bin Yallas dan mengijazahkan Syeikh Al-Hasyimi wirid khusus { Talqin Al-ism Al-A’dhom dan Al-Irsyad Al-’Am }.
Akhlak dan Perilaku
Syeikh Al-Hasyimi adalah seorang yang berakhlak seperti akhlak Nabi SAW, di mana beliau mengikutinya dalam seluruh ungkapan, perangai, akhlak, dan perbuatannya, dan beliau juga telah mendapat warisan sempurna dari Rasul SAW. Beliau adalah seorang yang rendah hati sehingga beliau terkenal dengan ketawadhuan tersebut, bahkan pada zamannya tak ada seorang pun yang menyamai ketawadhuan hatinya.
Beliau memperlakukan orang seperti halnya beliau suka diperlakukan demikian. Pernah seorang lelaki menemui dan mencium tangan almarhum syekh, kemudian syekh ingin mencium tangan lelaki tersebut, tapi lelaki itu menghindar dan berkata: “Astaghfirullah, tuan saya tidak berhak diperlakukan seperti ini, justru saya yang harus mencium kaki tuan. Lalu almarhum syekh berkata: Jika anda mencium kaki kami, kami akan mencium kaki anda. Dan beliau adalah orang yang senang melayani sendiri kawan-kawannya. Sehingga ketika ada yang berziarah atau murid yang menginap, beliau menghidangkan sendiri makanan dan membawaka kasur padahal beliau dalam kondisi yang lemah.
Seringkali kami mengunjunginya pada tengah malam, dan kami mengetuk pintu rumahnya, kemudian beliau membukakan pintu tersebut dan pada saat itu beliau mengenakan pakaian yang selalu beliau pakai disaat menemui khalayak ramai, seperti seorang prajurit yang selalu siap siaga. Sama sekali kami tidak pernah melihatnya mengenakan pakaian tidur. Beliau adalah seorang yang sabar dan murah hati, tidak marah kecuali karena Allah. Pernah terjadi seorang lelaki dari Damaskus datang ke rumah beliau lalu menyerangnya serta mengejek dan mengolok-oloknya dan mengeluarkan kata-kata yang membuat kulit seorang muslim merinding, akan tetapi syekh r.a hanya berkata kepadanya: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sesungguhnya anda telah menampakkan aib-aib kami, kami akan meninggalkannya dan berusaha untuk berakhlak baik, tak lama kemudian lelaki tersebut menghampiri syekh dan mencium kaki dan tangannya dan meminta maaf kepadanya.
Beliau adalah seorang dermawan yang tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya. Seringkali kami melihat orang-orang mendatanginya dan beliaupun memberikan dan menghormati mereka. Terlebih lagi pada musim-musim kebaikan; dimana orang-orang mendatangi rumah beliau, dan terlihat meja-meja makanan penuh dengan hidangan yang disantap oleh banyak orang, bahkan senyumnya selalu menghiasi wajahnya, sehingga saking pemurahnya beliau membangun rumahnya yang di kawasan Hay Al-Muhajirin di Damaskus dan membaginya menjadi dua: sebagian untuk keluarganya dan sebagian untuk para muridnya.
Diantara sifat r.a adalah lapang dada dan tahan terhadap segala kesusahan dan kesulitan, sangat penyabar disertai wajah yang selalu ceria dan berseri-seri, Sampai-sampai suatu ketika saya tercengang dengan kesabaran beliau, beliau berkata kepada saya: “Wahai tuan! Adab kami adalah keindahan kami. suatu ketika datang kepadanya seseorang yang telah berbuat maksiat dan orang itu tidak melihat kecuali wajah yang berseri dan kelapangan dadanya. Berapa banyak orang-orang yang berbuat maksiat dan menyimpang bertaubat ditangannya dan berkat bersuhbah pada beliau mereka menjadi mu’minin yang mengenal Allah.
Pernah terjadi ketika beliau berjalan di tengah jalan seusai menyampaikan pelajaran, maka lewatlah seorang pemabuk di hadapan beliau; dan syekh tidak berbuat apa-apa kecuali membersihkan debu-debu kemaksiatan dari wajahnya, kemudian mendoakan dan menasehatinya, dan keesokan harinya pemabuk tersebut adalah orang yang pertama datang pada pelajaran syekh, dan setelah itu ia benar-benar bertaubat dengan baik.
Almarhum sangat peduli terhadap keadaan orang-orang muslim dan ikut merasakan musibah yang telah menimpa mereka. Beliau menghadiri perkumpulan ulama yang berada di al Jami’ al Umawi, membahas tentang perkara-perkara umat islam dan mewanti-wanti akan perpecahan di antara mereka. Dan beliau telah mencetak sebuah tulisan yang menerangkan tentang sebab perpecahan dan bahayanya, dan faedah bersatu atas nama Allah serta berpegang teguh dengan tali Allah, tulisan itu berjudul :
Al-qoul Al-fashl AL-qowim fi Bayan Al-Murod min Wasiat Al-Hakim
Almarhum adalah seorang yang sangat membenci penjajahan dengan segala bentuknya, mencari sejauh mana hubungan antara kejadian-kejadian yang ada dengan penjajahan serta bagaimana jalan keluarnya. Ketika pemerintah menganjurkan masyarakat untuk berlatih perang dan membentuk perlawanan rakyat, beliau segera mendaftar namanya dalam gerakan perlawanan tersebut, maka beliau pun berlatih menggunakan segala jenis senjata meski dalam kondisi badan yang lemah dan kurus serta usia yang sudah lanjut. Dengan demikian beliau telah memberikan contoh yang ideal bagi kekuatan iman, akidah dan jihad di jalan Allah, beliau mengingatkan kita akan orang-orang terdahulu dari para mursyidin sempurna yang melawan dan memerangi kolonialisme; semisal Umar Al-Mukhtar, Al-Sanusi dan Abdul Qodir Al-Jazairi. Dan tidak ada seorang mujahid pun di Maroko yang berupaya mengusir kolonialisme serta antek-anteknya kecuali orang-orang sufi.
Almarhum adalah seorang yang berperangai dan berperilaku baik, yang menjadikan orang-orang berdatangan kepadanya dan mengambil tasawwuf hakiki darinya, bahkan dikatakan: Al Hasyimi tidak terkenal dengan ilmunya walaupun beliau adalah seorang yang alim, dan juga tidak terkenal karena karomahnya walaupun beliau mempunyai banyak karomah, akan tetapi beliau terkenal karena akhlak dan kerendahan hatinya, serta ma’rifatnya kepada Allah.
Jika anda berada di dalam majlis beliau maka anda akan merasakan seakan-akan anda berada dalam sebuah taman surga; karena majlis beliau tidak tercampur oleh kekeruhan dan kemungkaran. Dan almarhum tidak menyukai jika ada orang muslim disebut dan direndahkan di hadapannya. beliau juga tidak menyukai jika di dalam majlisnya disebut orang-orang fasik dan semisalnya, beliau berkata: jika menyebut orang-orang sholeh maka rahmat akan turun.
Beliau tetap tekun serta komitmen dalam berjuang untuk mengarahkan orang-orang islam dan mengeluarkan mereka dari kesesatan dan penyelewengan. Hal ini terlihat dari halaqoh-halaqoh ilmu beliau yang berkesinambungan dari pagi sampe sore, terlebih lagi ilmu tauhid yang merupakan pokok-pokok dasar agama dimana beliau menjelaskan akidah-akidah yang membelot dan atheisme serta menerangkan akidah ahli sunnah wal jama’ah dan kembali kepada Allah SWT serta bergantung hanya kepada-Nya.
Aktifitas beliau dalam dakwah dan bimbingan
Sungguh rumah beliau adalah kiblat bagi para ulama, pelajar dan pendatang, beliau sama sekali tidak pernah bosan menemui mereka, meski dalam kondisi tubuh yang lemah, beliau tetap mengadakan halaqoh-halaqoh ilmu dan zikir secara rutin di masjid-masjid dan rumah-rumah, dan berkeliling ke masjid-masjid di Damaskus, mengumpulkan orang-orang untuk belajar, zikir dan bersolawat kepada Rasulullah SAW. Dan beliau tetap konsisten dalam semangat, aktifitas dan dakwahnya sampai akhir hayatnya.
Banyak dari para ulama dan pelajar pilihan dan handal yang belajar kepada beliau, dan dari berbagai lapisan masyarakat banyak pula yang mendapat petunjuk berkat bimbingan beliau, mereka menimba ilmu-ilmu beliau, mengutip keimanan dan ma’rifat-ma’rifat dzauqiyah beliau, dan kembali kepada beliau dalam segala urusan mereka.
Beliau telah mengizinkan banyak dari para murid untuk berdakwah dan memberikan bimbingan, maka mulailah kekuatan spritual terbesar ini menyebar luas di Damaskus, Halab dan di berbagai kota-kota Syria dan negara-negara Islam lainnya.
Karya Tulis beliau
1. Miftahul Jannah Syarah Aqidah Ahlis Sunnah
2. Ar-Risalah Al-Mausumah bi aqidah ahlis sunnuh Wal
3. Al-Bahsu Al-Jami’ wa Al-Baqru Al-Lami’ wa Al-Ghaisu Al-Hami’
4. Ar-Risalah Al-Mausumah bi sabil As-Sa’adah
5. Ad-Durrah Al-Bahiyyah
6. Al-Hil As-Sadid
7. Dan banyak lagi.
Banyak para ulama dan kalangan lainnya yang hampir tidak diketahui jumlahnya mengambil tasawwuf dari Syeikh Al-Hasyimi.
Demikianlah Syeikh Al-Hasyimi telah menghabiskan hidupnya untuk berjuang dan mengajar, mentarbiyah jiwa-jiwa, dan mensucikan hati-hati yang ingin mengenal Tuhannya, tanpa malas dan mengenal lelah. Keistiqomahan beliau dalam menjalankan syariat Rasulullah SAW, baik itu ungkapan, perbuatan dan perilaku serta wasiat Rasul di akhir hayatnya yang mengatakan: “Kalian harus berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah”, hal ini menjadi saksi atas kesempurnaan warisan beliau dari Rasulullah SAW.
Akhirnya beliau pun berpulang ke ridhwanullah pada hari Selasa, 12 Rejab 1381 H, bertepatan dengan 19 Disember 1961 M, dan beliau disolatkan di masjid Al-Umawi, kemudian jenazah beliau diantar ke pemakaman Dahdah, dan di sanalah beliau disemayamkan, yang mana tempat tersebut sampai sekarang terkenal dan sering diziarahi banyak orang.
Sungguh, walaupun jasad suci beliau tertutup oleh kubur, namun ilmu, keistimewaan, kebajikan dan apa-apa yang telah belaiu berikan kepada orang berupa kebaikan tidak pernah tertutup, maka hendaklah orang-orang melakukan seperti yang telah beliau lakukan.
Inilah sebahagian dari catatan perjalanan mulia beliau, dan apa yang kami sampaikan hanyalah sedikit dari limpahan, setitik dari lautan, sebab prilaku para ‘arifin tersimpan dalam murid-murid mereka, dan bagaimanakah orang bisa mengetahui apa yang disembunyikan oleh dada dan hati mereka? Dan pada orang seperti beliaulah dikatakan: “Jika kamu bertanya dimana kuburan orang-orang agung, maka ada dalam mulut-mulut atau dalam jiwa-jiwa”.
Maka figur seperti inilah yang harus kita contoh dan kita tiru: “Maka tirulah mereka, jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, sebab meniru orang-orang mulia adalah sebuah kemenangan”, bahkan dikatakan: “Kematian seorang yang bertakwa adalah kehidupan yang tak terputus, telah banyak orang yang mati, tapi mereka masih hidup dalam jiwa manusia”.

Pemadu Ilmu Kasbi dan Laduni , Imam Abdul Wahab al-Sya’roni ra.

‘Abdul Wahab al-Sya’roni (wafat 973H) . Pengarang kitab al-Mizan al-Kubro ini berasal dari salah satu keluarga besar Bani Alawiyyah (keturunan Nabi J). Tetapi, di saat terjadi ketegangan antara keturunan Bani ‘Alawiyah dengan Bani Umawiyah, keluarga besar Bani

‘Alawiyah yang merupakan keluarga besar Imam al-Sya’roni, berpindah ke Maghrib
(Maroko); yang pada akhirnya Bani ‘Alawiyah mampu mendirikan sebuah kerajaan di sana. Dengan demikian, Imam al-Sya’roni mempunyai silsilah keturunan dari Muhammad bin al-Hanafiah bin ‘Ali bin Abi Tholib . Menurut riwayat yang shahih, tokoh kita ini dilahirkan pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H, di sebuah pedesaan yang bernama Qalqasyandah (daerah selatan Mesir). Desa tersebut merupakan pedesaan datuknya dari jalur ibu. Tapi, setelah empat puluh hari dari hari kelahiranya, al-Sya’roni dibawa oleh sang ibu untuk pindah dari desa kelahiranya, menuju desa asal ayahandanya yaitu desa Abu Sya'roh di propinsi Manufiyyah, yang lambat laun dari desa tersebut Imam Sya’roni mendapatkan sebuah gelar; yaitu al- Sya’roni.



Imam Sya'roni dan dunia ibadah


Pada usia yang masih sangat belia, al-Sya’roni telah ditinggal mati oleh ayahnya. Setelah itu Sya'roni kecil dirawat oleh seorang paman yang shalih dan ahli ibadah.
Sang paman yang shalih selalu membimbing kemenakannya untuk selalu hidup dalam keshalihan dan ketaatan kepada Tuhan. Dari hasil didikan seorang paman yang taat ini, bukan sesuatu yang mengherankan jika Imam Sya’roni semenjak kecilnya, merupakan seorang anak yang terkenal akan ibadah dan pengabdianya kepada Allah
. Semenjak usia delapan tahun, dia telah terbiasa melakukan shalat malam, dengan menenggelamkan diri dalam dzikir-dzikir yang mengagumkan. Keyatiman yang ia alami, tidak menjadikan dirinya berkembang sebagai anak yang hidup dalam keputus- asaan dengan tanpa harapan. Semenjak kecil, ia telah menyakini dalam hatinya yang paling dalam, bahwa Allah telah menjaganya dari sifat keberagamaan yang lemah, sebagaimana Allah selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela dan hina. Bahkan dalam hatinya, dia juga percaya bahwa Allah telah memberikan kepada dirinya kecerdasan yang bisa dijadikan pisau dalam memahami semua keilmuan dengan benar, yang sekaligus mampu memahami semua kerumitan- kerumitan yang ada.

Imam Sya'roni dan dunia kelimuan

Dalam sejarah hidupnya, kecintaan Imam Sya’roni terhadap ilmu-ilmu agama, telah menjadikan dirinya melakukan perjalananan dari desa asalnya menuju Kairo. Ketika berada di Kairo, dia yang semenjak kecil dididik dengan keshalihan dan ketaatan, selalu menghabiskan waktu-waktu yang ia miliki dengan beribadah dan menelaah semua keilmuan. Dia telah menjadi semakin alim dan bertakwa. Waktu-waktunya hanya ia habiskan untuk beribadah dan belajar, di dalam sebuah masjid. Semenjak berada di Kairo, dia telah berhasil bertemu dengan para ulama-ulama besar; seperti Jalaluddin al-Syuyuthi, Zakaria al-Anshori, Nashirudin al-Laqoni dan al-Romli , yang guru-gurunya ini selalu ia kenang dalam beberapa tulisan kitabnya. Di Kairo, Imam agung ini mempelajari semua keilmuan yang ada pada zamanya. Dia selalu mempelajari semua keilmuan dengan semangat belajar yang luar biasa. Dia merupakan simbol dari seorang murid yang teladan dan rajin pada zamanya. Dia selalu mencari sebuah kebenaran di manapun ia berada. Dalam pandangannya, semua imam adalah contoh yang telah mendapatkan sebuah petunjuk dari Allah . Dia tidak melakukan sikap fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu mazhab, dan tidak tergesa-gesa dalam menilai sebuah ijtihad dari salah satu mazhab tertentu, kecuali setelah melakukan pengkajian yang matang dan mendetail. Dan, setelah ia menguasai beberapa disiplin ilmu yang ada pada zamanya, dia tidak berubah menjadi seorang yang sombong dan angkuh, tapi tetap menjadi seorang yang tawadhu’ dan rendah hati. As-Sya'roni sebagaimana ahli sufi lainnya, selalu menghindari perdebatan yang tidak ada gunanya di saat menuntut ilmu. Dia memahami betul bahwa berdebat hanya akan menjauhkan dirinya dari cahaya Tuhan.


As-Syaroni dan ‘Ali al-Khowwas

Pertemuan antara al-Sya’roni dan al Khowwas, merupakan salah satu bukti betapa pentingnya seorang Syeikh dalam dunia para sufi. Al-Khowwas adalah seorang laki-laki yang telah diberikan Allah sebuah mauhibah dan keistimewaan, dalam menjalani badai kehidupan. Dia merupakan salah satu anugerah, yang pernah diberikan Allah kepada umat manusia dalam menuju sebuah hakikat. Al-Khowwas merupakan simbol kebenaran atas keberadaan ilmu Laduni dalam dunia sufi. Semenjak kecil Dia adalah seorang yang ummi (buta huruf), yang dalam setiap perkataannya selalu diwarnai dengan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dia mampu mengambil sebuah istimbat dari dalil-dalil tersebut, dengan sangat menakjubkan dan mengherankan. Pertemuannya dengan al-Sya’roni , merupakan sebuah bukti dari keistimewaan seorang wali dengan ilmu laduninya, dengan seorang ‘alim yang belum mencapai derajat tersebut. Al-Khowwas adalah seorang ummi, sedang al-Sya’roni adalah seorang yang ‘alim. Tapi, itu semua hanya dalam penampakan lahir belaka. Pada hakikatnya al-Khowwas adalah seorang ‘alim sedang al-Sya’roni adalah seorang ummi. Ilmu al-Khowwas adalah ilmu mauhibah yang langsung diterima dari Allah , sedang ilmu al-Sya’roni adalah ilmu yang bersumber dari kitab-kitab bacaan yang hakikat ilmu tersebut menurut orang sufi bukan merupakan ilmu yang dimiliki secara hakiki, melainkan ilmu yang didapat melalui bacaan terhadap kitab. Al-Khowwas adalah seorang yang telah mengantarkan al-Sya’roni menuju dunia sufi yang sesunggungya. Dia telah mengantarkan al-Sya’roni mencapai derajat kewalian, dan mengajarkan tata cara mencapai sebuah ilmu laduni. Dalam beberapa kesempatan Al-Sya’roni mengisahkan bagaimana al-Khowwas telah memberikan pengajaran kepada dirinya dalam mencapai derajat tersebut. Yang pertama ia lakukan adalah menjual semua kitab yang ia miliki, dan menghabiskan semua hasil penjualan kepada fakir miskin. Pada awalnya, al-Sya’roni merasa berat menjalankan perintah sang guru, bahkan setelah melakukan semua perintah tersebut, al-Sya’roni merasa tidak enak hati dan terus memikirkan kitab-kitab yang telah ia jual. Ia merasa telah kehilangan semua ilmu yang selama ini ia tekuni. Tetapi, ketika al-Khowwas mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan kepada al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah
. Setelah mampu menanggulangi cobaan pertama ini, al-Khowwas menyuruhnya menghindari keramaian manusia (uzlah), hingga pada akhirnya al-Sya’roni merasa dirinya paling baik dibandingkan dengan yang lainya. Al-Khowwas kemudian menganjurkan kepada al-Sya’roni untuk terus melakukan mujahadah hingga ia akan merasakan bahwa dirinya lebih hina dari pada orang yang paling hina sekalipun. Setelah masa-masa tersebut, al-Khowas menyuruh al-Sya’roni untuk berbaur kembali dengan masyarakat ramai, dengan bersabar atas apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Al-Sya’roni ketika menjalankan hal tersebut merasakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tinggai derajatnya jika dibandingkan dengan orang lainya. Tetapi, seperti biasanya, al-Khowwas kemudian memerintahkan kepada dirinya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Al-Khowwas menyuruh al- Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah dalam semua waktu- waktunya. Ia tidak boleh memikirkan hal lain selain sang pencipta. Sehingga ia harus menjalani masa-masa itu selama berbulan-bulan. Dan bukan hanya itu saja, al- Khowwas kemudian menyuruh dirinya untuk menghindar dari nafsu makan. Makan hanya dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup belaka, sehingga al-Sya’roni ketika itu merasakan dirinya telah terbang ke atas. Mujahadah yang telah diajarkan al-Khowwas kepada al-Sya’roni telah menjadikan dirinya memiliki keilmuan yang tidak ia duga sebelumnya. Ia merasakan, bahwa ilmu yang telah ia miliki, mendapatkan pesaing dari ilmu mauhibah yang baru ia dapat. Ilmu yang baru ia dapat telah memberi penyempurnaan terhadap ilmu yang selama ini ia miliki. Hati al- Sya’roni telah dibuka oleh Allah , dan diberikan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh seorang sufi saja. Tetapi, walaupun al-Sya’roni telah mendapatkan ilmu laduni dari Allah , al-Khowwas yang dalam hal ini berperanan sebagai guru al-Sya’roni , membimbing kepada dirinya untuk terus melakukan berbagai macam mujahadah dalam rangka membersihkan hatinya dari belenggu duniawi. Sehingga pada akhirnya al-Sya’roni mampu mendapatkan berbagai macam ilham dan karomah yang telah diberikan langsung oleh Allah kepada dirinya.


Karomah Imam Sya'roni

Suatu ketika antara Syeikh Abd al-Wahhab ( dengan Syekh Nasiruddin al-Laqqani (, terjadi kesalah kefahaman karena ada aduan dari sebagian orang yang hasud pada Syeikh Abd al-Wahhab (. Dia mengadu pada Syeikh Nasir ( bahwa Syeikh Sya'roni ( dalam majlis pengajiannya mencampur santri laki-laki dengan santri perempuan. Ketika Syeikh Sya'roni ( mengetahui bahwa Syeikh Nasir ( terkena tipuan orang ini, maka beliau sowan ke Syeikh Nasir ( untuk meminjam kitab "Al-Mudawwanah". Syeikh Nasir ( dalam kesempatan itu mengatakan : "Aku harap engkau tidak melakukan pelanggaran lagi, dan engkau kembali pada Syariat yang benar ! ". Syeikh Sya'roni menjawab : "Insya-Allah itu akan terjadi". Setelah itu, Syeikh Nasir menyuruh pembantunya untuk mengeluarkan kitab "Al-Mudawwanah" dari almari, dan menyuruhnya mengantarkannya ke rumah Syekh Sya'roni . Beberapa saat setelah sampai di rumah Syeikh Sya'roni , pembantu itu mohon diri untuk pulang. Namun Syeikh Sya'roni menahan dan meminta agar ia mahu menginap barang satu malam. Keduanya mengisi malam itu dengan bercengkerama sampai larut malam. Ketika malam telah melampaui sepertiganya, Syeikh Sya'roni masuk ke kamar kholwatnya. Kira-kira seperempat jam, beliau keluar untuk membangunkan pembantu itu agar sholat tahajjud. Lalu dia bangun, berwudlu dan sholat bersama Syeikh Sya'roni sampai menjelang subuh. Selesai solat Subuh mereka berdua membaca Al-Qur'an bersama, lalu mengamalkan wirid masing masing sampai matahari terbit. Menginjak matahari setinggi tombak Syeikh Sya'roni mengajaknya untuk ke kamar dan makan pagi bersama. "Tolong kembalikan kitab al-Mudawwanah ini pada Syeikh Nasir dan sampaikan rasa terima kasih saya" ucap Syekh Sya'roni setelah acara makan pagi selesai. Khodim Syeikh Nasir ini hairan dan bertanya-tanya dalam hatinya : "Apa maksud Syeikh Sya'roni ini, meminjam kitab hanya satu malam saja? Apa yang telah dilakukannya dengan kitab ini? ". Ketika dia sampai pada gurunya dan mengembalikan kitab tersebut Syeikh Nasir tambah marah pada Syekh Sya'roni . Di tengah rasa marah ini Syeikh Nasir ditanya tentang suatu masalah yang mengharuskannya untuk membaca kitab Al-Mudawwanah. Ketika membukanya ia kaget karena di situ ada catatan-catatan tangan Syeikh Sya'roni . Demikian lembar demi lembar selalu ada catatan tangan Syeikh Sya'roni . Karena hairan dengan kenyataan ini Syeikh Nasir bertanya pada muridnya tadi : "Apa yang dilakukan Syeikh Sya'roni dengan kitab ini?". Diapun menjawab: " Demi Allah… dia tidak berpisah dariku kecuali hanya dua puluh minit, beliau tidak meninggalkan wiridan dan tahajjudnya ". Demi mendengar keterang muridnya ini, Syeikh Nasir lalu pergi menghadap Syeikh Sya'roni dengan tanpa memakai alas kaki dan tutup kepala. Ketika sampai di hadapan Syeikh Sya'roni Syeikh Nasir berkata : "Sekarang aku bertaubat. Aku tidak akan berani lancang pada golongan ahli Tasawwuf". Syeikh Sya'roni lalu berkata : "Mahukah tuan aku tunjukkan kitab ringkasan kitab Al-Mudawwanah, yang aku lakukan malam itu ? kalau memang ada yang menerimanya itu semata-mata anugerah Allah , dan barokah Izin Nabi J. Kalau tidak ada yang menerimanya maka aku akan menghapusnya dengan air". Lalu Syeikh Nasir memberikan kata pengantar, dan memuji kitab Syeikh Sya'roni ini. Di antara karomah Imam Sya'roni adalah suatu ketika ia tidur di rumah kawannya di sebuah ruang terpencil yang banyak jinnya. Pada petang harinya kawannya ini menyalakan lampu di ruangan itu, menutup pintu lalu meninggalkan Syeikh Sya'roni sendirian. Lalu datanglah sekelompok jin. Mereka mematikan lampu dan mengitari Syeikh kita ini hendak mengganggunya. Tahu akan apa yang terjadi Syeikh Sya'roni berkata : " Demi keagungan Allah…. Kalau saja aku mahu menangkap salah satu di antara mereka, nescaya tidak akan ada satupun yang mampu melepaskannya". Lalu Imam Sya'roni tertidur dengan tenang seperti tidak ada apa- apa. Di antara karomahnya adalah, suatu ketika Imam Sya'roni berkata : "Aku diberi anugerah oleh Allah berupa pengetahuan apakah seorang wali sedang berada dalam kuburnya atau tidak. Karena memang para wali dalam kuburnya mempunyai aktifitas tersendiri. Mereka selalu datang dan pergi. Keistimewaan ini juga di miliki oleh Syeikh
‘Ali al-Khowwas guru Syeikh Sya'roni . Sang guru ini kalau melihat seseorang mahu ziaroh ke makam seorang wali kadang-kadang mengatakan : "Cepatlah pergi kesana, karena sebentar lagi sang wali mahu pergi untuk keperluan! ". Suatu ketika Syeikh Sya'roni ziarah ke makam Syeikh Umar Ibn al-Faridl , tapi tidak menjumpainya dalam kuburannya. Setelah itu, Syeikh Umar datang kepadanya, sambil berkata :

"Maafkan saya, karena tadi aku ada keperluan".


Wafat

Imam Sya'roni wafat pada tahun 973 H 1565 M.

Habib Abdurrahman As-Seggaf, Mengungguli Ulama dan Auliya Di Zamannya

Habib Abdurrahman As-Seggaf, Mengungguli Ulama dan Auliya Di Zamannya
Habib Abdurrahman Assegaf adalah salah seorang tokoh para wali dan ulama dari Ahlil Bait Al-Ba'alawi yang kembali kepadanya sebahagian nasab keluarga Ba'alawi di Hadramaut.
Beliau dilahirkan di Tarim pada tahun 739H. Nama sebenarnya ialah Habib Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqoddam. Dijuluki Assegaf karena ilmunya mengugguli ulama dan auliya di zamannya. Beliau adalah kakek dari Alaydrus, bin Syihabuddin, bin Syeikh Abubakar, Alatas, Al-Hadi, Ba-Aqil, Al-Baiti dan lain-lain.

Sebahagian dari karamah beliau diriwayatkan bahawasanya hampir setiap tahunnya banyak orang melihat beliau sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ketika ditanyakan oleh sebahagian murid beliau: "Apakah anda pernah berhaji?" Jawab beliau: "Jika secara zahir tidak pernah".Diriwayatkan oleh salah seorang murid beliau yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail: "Pada suatu hari aku pernah di masjid Sayid Abdurrahman As-Seggaf. Waktu itu aku merasa lapar sekali, tapi aku malu untuk mengadukan pada beliau tentang keadaanku. Rupanya beliau tahu akan keadaanku yang sebenarnya. Beliau memanggilku ke atas loteng masjid. Anehnya kudapatkan di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lazat. Waktu kutanya dari manakah mendapatkan makanan itu?" Beliau hanya menjawab: "Hidangan ini kudapati dari seorang wanita". Padahal kutahu tidak seorangpun yang masuk dalam masjid".
Seorang murid beliau yang bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib berkata: "Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Sayid Abdurrahman, beliau berkata: "Kami tidak akan solat Maghrib kecuali di Fartir Rabi'". Kami sangat hairan sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi' matahari muali terbenam. Sehingga kami yakin bahawa dengan kekaramahan beliau sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya. Kata sebahagian murid beliau: "Kejadian itu sama seperti yang pernah terjadi pada diri Syeikh Ismail Al-Hadrami".
Diriwayatkan pula bahawasanya pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: "Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini". Apa yang diucapkan oleh beliauitu terjadi seperti yang dikatakan.
Waktu Sayid Abdurrahman As-Seggaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, beliau mengatakan pada isterinya yang sedang hamil: "Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini". Kemudian beliau memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Diriwayatkan pula ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dngan menyebut nama Sayid Abdurrahma As-Seggaf. Orang yang menyebutkan nama Sayid Abdurrahman As-Seggaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Sayid Abdurraman As-Seggaf. Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Sayid Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Pernah diriwayatkan bahawa salah seorang pelayan Sayid Abdurrahman As-Seggaf ketika di tengah perjalanan kenderaannya dan perbekalannya dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Sayid Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kenderaan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kenderaan dan perbekalannya: "Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi. Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf, beliau berkata: "Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, kerana kami juga mendengar suara perlahan".
Sebenarnya karamah beliau sangat banyak sehingga sukar untuk disebutkan semua. Beliau wafat di kota Tarim pada tahun 819H dan dimakamkan di perkuburan Zanbal. Makam beliau banyak dikunjungi orang.

Perbedaan tingkat pendidikan Muridin ( calon Wali Allah )

Menurut daftar pengajaran Sufi murid-murid itu dibagi atas tiga golongan, sebagaimana kitab-kitab Sufi pun dibagi atas tiga golongan bagi masing-masing mereka. Pembagian golongan itu adalah pertama mubtadi, orang-orang yang baru mempelajari ilmu Syari'at, yang belum suci sama sekali hatinya dari pada ma'siat, ria, ujub, takabur dan ma'siat lahir yang lain,
kedua mutawasith, orang-orang yang dianggap menengah, berada di tengah dalam mempelajari thariqat, tetapi hatinya belum suci semua daripada maksiat bathin, dan ketiga muntahi, orang-orang yang telah sangat lanjut, yang telah suci roh dan hatinya daripada ma'siat lahir dan bathin, dan telah suci pula ingatannya daripada selain Allah, yang biasanya dinamakan orang-orang arifin, telah sampai kepada ma'rifat.
Singkatnya, Perbedaan tingkat pendidikan mereka adalah :
Bagi tingkatan mubtadi, biasanya pendidikannya berupa pengantar menuju hakikat. Bagi tingkatan mutawasith, biasanya pendidikan mereka adalah pendalaman hakikat dan pengantar bagi ilmu laduni
Bagi tingkatan muntahi, biasanya pada tingkatan ini, mereka tidak lagi membutuhkan kitab. Mereka yang menulis kitab, karena mereka sudah berkecimpung dalam ilmu laduni.
Untuk golongan mubtadi dianjurkan membaca karangan-karangan Ghazali, seperti kitab "Bidayatul Hidayah", kitab "Minhajul Abidin" kitab "Arba'in fi Usuliddin", kitab "Sirus Salikin", yang merupakan keringkasan dari kitab Ihya karangan Ghazali, kitab "Ihya Ulumuddin", semuanya adalah karangan Imam Ghazali. Banyak lagi kitab-kitab Ghazali yang dianjurkan, baik dalam bentuk keringkasan maupun dalam bentuk perluasannya, mukhta- sar atau syarh dan hasyiah, karena kitab-kitab Ghazali itu banyak mendapat pujian dari ulama-ulama Sufi. Kata Syeikh Husen Faqih : "Kitab-kitab Imam Ghazali itu adalah laksana obat menghilangkan racun-racun yang ada pada orang jahil dan orang mubtadi terselip dalam jiwanya, selain daripada itu juga bermanfa'at untuk menjaga serta mengawasi ulama-ulama yang mengaji ilmu zahir (ilmu fiqh atau syari'at), begitu juga dapat menuntun orang-orang yang menjalankan ilmu tharekat, tidak kurang berfaedah bagi orang-orang yang muntahi, yang arifin, yang muqarrabin, yang mencari jalan kepada Tuhan, walaupun kepada golongan terakhir ini sangat dianjurkan memakai kitab-kitab Syaziliyah, karena lebih banyak mengandung ilmu rahasia yang pelik-pelik mengenai hati, atau kitab-kitab Ibn Arabi, karena di dalamnya banyak terdapat perkara-perkara yang bersangkutan dengan zauq, wujdan manazilah, maqamat dan ihwal.
Untuk tingkat pertama itu dianjurkan juga memakai kitab "Qutul Qulub", karangan Abu Thalib Al-Makki, kitab "Risalah Al-Qusyairi", karangan Abul Qasim Al-Qusyairi, lebih baik yang telah dikomentari oleh Zakaria Al-Ansari, begitu juga kitab "Al-Ghaniyah", karangan Abdul Qadir Al-Jilani, kitab "Awariful Ma'arif", oleh Umar Suhrawardi, Adabul Muridin" oleh Muhammad bin Habib Suhrawardi, "Mafatihul Fallah" oleh Ibn Atha'illah, "Futuhatul Ilahiyah" oleh Zakaria Al-Ansari, dan banyak lagi kitab-kitab lain karangan Sya'rani, Mabtuli, Qasim Al-Halabi, Ibn Umar, Al-Marsafi, Al-Qusyasyi, Al-Kurani, Al-Idrus, An-Naqsyabandi, Al-Haddad, Al-Bakri, mengenai thariqat, As-Samman Al- Madani, Abdur Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri, yang bermacam- macam namanya dan bermacam-macam pula isinya, ada yang mengenai kejiwaan, ada yang mengenai akhlak, ada yang mengenai thariqat, ada yang mengenai khalawat, pelajaran dan mauizah dan sebagainya.
Di antara kitab-kitab yang dianjurkan dipelajari oleh golongan Sufi tingkat kedua mutawassith kebanyakan mengenai ilmu thariqgat, mengenai suluk, mengenai zikir dan wirid, mengenai roh dan kehidupan wali-wali, mengenai zauq dan maqam ma'rifat, mengenai tahqiq dan lain-lain yang leb.h pelik dan lebih sukar dari kitab-kitab untuk tingkat pertama. Misalnya "Kitab Hikam", karangan Ibn Atha'illah As-Sakandari Asy-Syazili, yang dikomentari oleh Ibn Ibad, begitu juga komentar atas kitab itu yang diperbuat oleh Ahmad Al-Marzuku dan komentar karangan An-Nagsyabandi dan Ahmad Al-Qusyasyi serta banyak komentar-komentar lain yang tebal-tebal dan sulit-sulit, selanjutnya juga dipergunakan karangan Ibn Atha'illah itu, yang bernama "At-Tanwir fi Isgatid Tadbir" dan karangannya, yang bernama "Latha'iful Minan", dengan segala syarah dan hasyiyahnya. Begitu juga dianjurkan mempergunakan kitab-kitab Hikam karangan Abi Madiyah, yang dikomentari oleh Ibn Allan, karangan Ibn Ruslan dengan komentar dari Syeikh Islam Zakaria Al-Ansari, yang bernama "Fathurrahman" dan dengan komentar Ahmad Ibn Allan, begitu juga dengan komentar An-Nablusi, selanjutnya kitab "Futuhul Ghaib", karangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, kitab "Al-Kibrit" karangan Qutub Al-Idrus, kitab "AI-Masabir", karangan Suhrawardi, begitu juga kitab "Al-Jawahir wal Bawasit", karangan Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani, "Risalah Qawaninul Ahkam wal Asyrat ilas Sufiyah", karangan Abul Mawahib Asy-Syazili, komentar "Qasidah", karangan Ibn Allah, kitab "Mi'rajul Arwah", karangan As-Saqqaf, kitab "Jawahirul Khams", karangan Al-Ghaus, dengan syarah-syarahnya, kitab "Fusulut Tahiyah", karangan Bafadhil, kitab "MiftahulMu'iyah fit Tharikah Nigsyabandiyah", karangan Abdul Ghani An-Nablusi dengan beberapa komentar dan silsilah, ki- tab "Dhiya'us Syamsi alal Fathil Qudsi", karangan Mustafa AI- Bakri, kitab "Asrarrul Ibadat", karangan Syeikh Muhammad Samman, dan kitab-kitab yang lain karangan ulama Sufi ini dengan bermacam-macam syarahnya.
Golongan yang ketiga, yang dinamakan golongan muntahi, golongan yang dianggap tingkat pengajarannya sudah sampai kepada ilmu hakikat, yang acap kali digelarkan dengan nama arifin, dianjurkan membaca kitab-kitab yang berisi ilmu laduni, ilmu ma'rifat terhadap Tuhan, ilmu yang sudah mencapai tingkat ainul ya- kin dan hakkul yakin, seperti kitab-kitab karangan Syeikh Muhyidin Ibn Arabi, seperti kitab "Fusulul Hikam", dengan syarah An-Nablusi, dan dengan syarah Syeikh Ali Al-Muhayimi, selanjutnya kitab Ibn Arabi, yang bernama "Mawaqi'un Nujum" dan Fatuhatul Makkiyah" dengan komentar yang aneka warnanya. Begitu juga dianjurkan membaca kitab-kitab "Insanul Kamil", karangan Syeikh Abdul Karim Al-Jairi, kitab "Sirrul Masun", karangan Imam Ghazali, begitu juga kitabnya yang bernama "Misykatul Anwar" dan "AI-Maqsadul Aqsha", dan kitab-kitab yang lain karangan Imam Ghazali mengenai masalah-masalah ilmu hakikat, sabar dan syukur, mahabban, mengenai tauhid, mengenai tawakkul dan lain-lainnya, yang meskipun sudah dibicarakan dalam kitab Ihya, tetapi diperluas dan diperdalam pembicaraannya dalam karangan-karangan yang tersendiri.
Di antara kitab-kitab yang dianjurkan juga untuk golongan ini ialah kitab "Tuhfatul Mursalan", yang membicarakan martabat tujuh, karangan Fadhullah Al-Hindi, dengan Syarah-syarahnya oleh Al-Kurdi, Al-Madani, yang membuat komentar bernama "Tahyatul Mas'alah", begitu juga kitab yang bernama "Idhahul Maqsud", mengenai ma'na wihdatul wujud, dan banyak lagi kitab kitab yang lain mengenai masalah cahaya suci karangan Sya'rani, mengenai kasyful hijab dan asrar, pembukaan hijab dan rahasia, mengenai masalah jin, mengenai cermin hakikat oleh Al-Qusyasyi, mengenai ruhul qudus oleh bermacam-macam wali, begitu juga kitab yang sangat dianjurkan, bernama "Jawahirul Haqa'iq, karangan Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As-Samathrani, "Sumatra Aceh", mengenai masalah wihdatul wujud, di antara kitab yang bernama "Idhahul Bayan fi tahqiqi masa'ilil A'yan", karangan Abdur Rauf Al-Fansuri (dari Singkil Aceh, Sumatra), dan kitab-kitab lain yang sekian banyaknya mengenai ilmu hakikat, thariqat dan ma'rifat, yang tidak kita sebutkan di sini karena sangat memanjang pembicaraan.
Ditegaskan, bahwa mempelajari segala ilmu hakikat itu yaitu ilmu yang bersangkut-paut dengan zat, sifat dan af'al Tuhan dalam segala alamnya, dalam alam roh, dalam alam misal, dan dalam alam ajsam dengan masalah yang pelik-pelik dan sukar itu, ialah sesudah murid-murid itu mempunyai pengetahuan tentang Syari', yang zahir, seperti ilmu tauhid dan usuluddin, ilmu fiqh dan lain-lain, dan mempunyai ilmu syari'at seperti ilmu tasawuf dan akhlak. Orang Sufi menghukumkan haram mempelajari ilmu hakikat ini, sebelum seseorang mengetahui ilmu syari'at zahir dan bathin itu. Maka oleh karena itu banyak guru melarang murid-muridnya membaca kitab-kitab mengenai hakikat, sebelum datan pada waktunya.
Tetapi sesudah dianggap datang masanya, maka sangat dianjurkan membaca kitab-kitab itu, seperti yang pernah dikemukakan oleh Al-Jili, bahwa banyak sekali pada masanya orang-orang Arab, Persi, Hindi, dan Turki membaca kitab-kitab mengenai ilmu hakikat itu, dan jika pembacaannya itu akan membawa kepada amalnya, dan menggiatkan ia berbuat ibadat serta melawan hawa nafsunya, maka sampailah ia kepada tujuannya menjadi orang-orang tingkat arifin dan mursyid yang kamil. Apakah kitab-kitab itu harus dipelajari memakai guru? Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikl Mustafa Al-Bakri dalam kitabnya "AI-Ka'sur Raqiq", bahwa ha yang demikian itu tidak perlu, mereka tidak perlu memakai guru, karena dalam tingkat muntahi ini orang-orang itu dianggap sudah layak membaca sendiri, karena mereka sudah merupakan orang salih, orang yang sudah mencapai martabat yang tinggi sebagaimana pernah diterangkan oleh Ibn Arabi dalam kitabnya "Mawaqi'in Nujum".
Orang Sufi menganggap suatu fadhilat, suatu amal yang tinggi nilainya mempelajari ilmu-ilmu Sufi itu, karena ketinggian nilai ilmu-ilmu itu kitab-kitabnya.

Syekh Saman Al-Madani Al-Hasani (pendiri Tarekat Sammaniyah)

Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Kemuliaan
Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. "Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus," kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. "Ini pakaian yang cocok untukmu." Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Wa Allahu A lam.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati