Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
# # # #
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
JALALUDDIN RUMI
Mawlana Jalaludin Rumi
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,
ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan
menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena
kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup
berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama
yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana
seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau
berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu
Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams
Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas
dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair
yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang
metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena
para penganut thariqat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,
“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu
dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai
Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati
tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya
memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama
yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi
dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang
menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha
Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering
dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan
minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota
Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji
Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi
menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk
bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau
Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh
Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh
Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah
keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak
kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah
bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam
raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam
situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk
menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang
menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar
menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.
Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan
seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling
kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang
sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau
abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan
menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas
menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua
yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi
wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw
yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney.
Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya
maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan
yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran
ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan
kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua.
Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka
mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran
tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan
alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan
musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan
Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.
Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa
lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini
sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau
perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan
gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir
penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk
tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual
bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah
dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar
kebebasannya ketika berada dibawah dominasi
Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan
Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan
memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan
musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad
ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi
anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu
dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan
Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh
diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka
dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal
di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19,
sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang
dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan
diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal
Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya
diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum
Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan
Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan
Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.
Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi
modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim
ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
mengajar agama Islam di Siprus, Turki.
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan
menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu
beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah
Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau
Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun
sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan
karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang
Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan
mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.
Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah
menuju masjid di tempat kelahirannya dan
mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan
penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh
Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para
pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran
hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus
mengumandangkan azan di menara-menara masjid di
seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus
bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.
Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan
azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus
mendengar panggilan azan untuk shalat.”
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim
didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh
Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka
beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada
hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.
Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan
untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih
menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab.
Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada
Mawlana Syaikh Nazim.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara
dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat
wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang
kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan
wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah
Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian
“Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya
dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural
untuk para wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara
Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan
berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang
illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak
Ataturk melarang agama mereka.
Wa min Allah at Tawfiq
————————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi
gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan
Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar,
melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap
berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis
Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk
pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember,
jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan
penjuru angin mereka berarak untuk memperingati
kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah
menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan
Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair
mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis
Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia
mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt
mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,
“Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus
Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala
penuh hormat mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini
wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama
dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh
tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut
perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus),
dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia
Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada
Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala
kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian,
dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun
kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di
madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun,
Bahaudin Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan
Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah
kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan
tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah
tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.
Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan
latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad
terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia
ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng,
1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
pun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari
Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia
timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana
Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah
senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah,
seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi
langsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu
bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’
atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya
kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi
terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,
tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka
menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,
selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup
tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk
menuju Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya,
membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga
membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang
dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat
Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar
mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat
dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi
Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil
memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para
darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah
berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti
mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang
mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,
ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan
menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena
kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup
berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama
yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana
seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau
berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu
Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams
Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas
dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair
yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang
metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena
para penganut thariqat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,
“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu
dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai
Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati
tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya
memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama
yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi
dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang
menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha
Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering
dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan
minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota
Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji
Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi
menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk
bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau
Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh
Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh
Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah
keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak
kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah
bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam
raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam
situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk
menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang
menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar
menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.
Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan
seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling
kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang
sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau
abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan
menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas
menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua
yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi
wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw
yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney.
Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya
maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan
yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran
ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan
kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua.
Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka
mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran
tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan
alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan
musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan
Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.
Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa
lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini
sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau
perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan
gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir
penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk
tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual
bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah
dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar
kebebasannya ketika berada dibawah dominasi
Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan
Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan
memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan
musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad
ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi
anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu
dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan
Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh
diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka
dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal
di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19,
sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang
dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan
diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal
Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya
diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum
Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan
Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan
Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.
Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi
modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim
ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
mengajar agama Islam di Siprus, Turki.
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan
menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu
beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah
Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau
Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun
sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan
karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang
Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan
mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.
Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah
menuju masjid di tempat kelahirannya dan
mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan
penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh
Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para
pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran
hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus
mengumandangkan azan di menara-menara masjid di
seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus
bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.
Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan
azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus
mendengar panggilan azan untuk shalat.”
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim
didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh
Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka
beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada
hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.
Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan
untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih
menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab.
Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada
Mawlana Syaikh Nazim.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara
dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat
wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang
kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan
wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah
Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian
“Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya
dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural
untuk para wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara
Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan
berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang
illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak
Ataturk melarang agama mereka.
Wa min Allah at Tawfiq
————————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi
gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan
Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar,
melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap
berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis
Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk
pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember,
jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan
penjuru angin mereka berarak untuk memperingati
kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah
menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan
Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair
mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis
Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia
mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt
mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,
“Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus
Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala
penuh hormat mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini
wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama
dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh
tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut
perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus),
dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia
Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada
Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala
kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian,
dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun
kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di
madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun,
Bahaudin Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan
Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah
kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan
tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah
tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.
Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan
latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad
terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia
ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng,
1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
pun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari
Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia
timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana
Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah
senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah,
seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi
langsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu
bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’
atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya
kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi
terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,
tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka
menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,
selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup
tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk
menuju Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya,
membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga
membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang
dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat
Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar
mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat
dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi
Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil
memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para
darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah
berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti
mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang
mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)
Al-Qusyairy (Tokoh Besar dalam Tasawwuf)
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi’y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
5. Gelar Kehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan sebagainya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan sebagainya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa beliau lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa beliau lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Kepandaian Berkuda
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.
Perkawinan
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 – 412 H./1014-1021 M.
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 – 412 H./1014-1021 M.
Putra putrinya
Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Menunaikan Haji
Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Kudanya
Dikisahkan, di antara salah satu dari sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda itu pun mati.
Dikisahkan, di antara salah satu dari sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda itu pun mati.
Belajar dan Mengajar
Para Guru Beliau
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
1. Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
2. Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
3. Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
2. Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
3. Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.
Forum Imla’
Asy Syaikh al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.
Asy Syaikh al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.
Forum Mudzakarah
Asy Syaikh al Qusyairy juga sebagai pemuka forum forum mudzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Asy Syaikh al Qusyairy juga sebagai pemuka forum forum mudzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.
Murid- murid Beliau yang Terkenal
1. Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392-463 H./1002 1072 M.).
2. Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./1137 M.)
3. Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
4. Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/1018 M.)
5. Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
6. Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
8. Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
9. Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
11. Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
12. Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
2. Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./1137 M.)
3. Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
4. Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/1018 M.)
5. Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
6. Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
8. Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
9. Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
11. Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
12. Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
Cobaan yang Menghadang
Ketika popularitasnya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Ketika popularitasnya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di sela-sela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu-waktu luangnya, beliau pergi ke Thus.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid muridnya bertambah banyak
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di sela-sela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu-waktu luangnya, beliau pergi ke Thus.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Unggulan
Maksiat Hati.
Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...
Entri paling diminati
-
Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kem...
-
Foto dari Dokumentasi Perpustakaan MEKKAH, tentang 4 orang Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedan...
-
Rahasia nasehat dari sufi adalah sebuah pahaman menuju "Jejak keagungan", t api terhadap peristiwa ini se...