Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff adalah cucu seorang ulama besar Palembang, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff, yang haulnya diadakan secara besar-besaran pada akhir Jumadil Akhir di Palembang.
Ia, yang lahir di Palembang pada 27 Maret 1964, mendapat pendidikan pertama dari keluarganya dalam dasar-dasar ilmu agama. Ayahnya, Habib Abdullah, adalah seorang pendakwah yang gigih di Kota Empek-empek itu.
Habib Naufal, yang namanya juga sering ditulis “Habib Nopel”, dimasukkan oleh orangtuanya ke Pesantren Ar-Riyadh ketika memasuki usia sekolah dasar. “Di Pesantren Ar-Riyadh saya mendapat didikan dari dai besar dan pendakwah tangguh, Ustadz Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau alumnus Pesantren Darul Hadits, Malang,” ujarnya.
Salah satu kelebihan Pesantren Ar-Riyadh menurutnya adalah kemampuan berbahasa Arab yang amat ditekankan kepada santrinya. Hal itu juga dijadikannya prioritas di Pesantren Darul Habib yang diasuhnya sekarang. “Semua komunikasi di Pesantren Darul Habib harus berbahasa Arab, kalau ada yang melanggar akan dihukum,” ujarnya tegas.
Pada umur lima belas tahun, dia mendapat beasiswa untuk meneruskan pelajaran ke Makkah di pesantren Habib Muhammad Alwi Al-Maliki.
Dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih dia tidak canggung sampai di Makkah, walau menurutnya perlu juga adaptasi karena masalah dialek.
Yang amat berkesan bagi dia adalah ketika pertama kali berjumpa dengan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki, yang juga sering dipanggil “Buya”. “Waktu itu santri yang paling muda saya, dan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki sempat marah kepada yang mengirim, kenapa yang dikirim anak kecil. Tapi setelah itu dia sangat sayang kepada saya. Saya ditempatkan di kamar istirahatnya, saya jadi khadamnya, jadi waktu itu saya tidak punya kamar,” ujar Habib Naufal mengenang.
Menurut Habib Naufal, sistem belajar di sana adalah sistem belajar salafiyah, seperti yang juga diterapkannya kepada santri Darul Habib saat ini. “Para pengajar yang membantu Habib Muhammad datang dari berbagai negara. Ada yang dari Mesir, Yaman, Palestina, dan lainnya. Hambatan yang saya alami waktu itu adalah soal cuaca, terutama saat bulan Ramadhan, wah panasnya luar biasa, sampai 50 derjat,” ujar ayah sepuluh anak ini.
Tingkatan belajar di sana hampir sama dengan di Indonesia. Ada ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Evaluasi dan ujian juga ada, tapi tidak resmi dan tidak tercatat. “Buya juga mengeluarkan ijazah tapi hanya berlaku untuk kalangan internal.”
Menurut Habib Muhammad, ijazah atau syahadah tidak perlu, karena sudah cukup syahadah dari Allah SWT. Teman-teman angkatan pertama saja yang mendapat syahadah, setelah itu tidak ada lagi.
“Alhamdulillah yang telah selesai belajar dari sana berhasil berdakwah, mereka menyebar ke seantero penjuru. Ada yang membuka pesantren, ada yang mendirikan majelis ta’lim, ada yang jadi pengajar,” kata Habib Naufal.
Tarbiyatul Akhlaq
Hal yang paling utama didapatkannya di pesantren Buya Muhammad Alwi Al-Maliki adalah
tarbiyatul akhlaq, pendidikan akhlaq. “Jiwa kita dididik di sana, sopan santun, rendah hati, merasa diri hina di hadapan Allah SWT dan sesama. Tidak boleh sombong, arogan. Kalau ilmu bisa di mana saja kita tuntut, tapi tidak semua tempat mendidik akhlaq. Nah, saya juga menerapkan hal itu di Pesantren Darul Habib saat ini,” tutur Habib Naufal meyakinkan.
Menurutnya, akhlaq tidak cukup dinasihatkan, tapi harus dengan teladan. Dan Habib Naufal melihat sendiri teladan itu selama sembilan tahun pada diri Buya Muhammad. “Beliau bekerja keras mencontohkannya, beliau sendiri yang bangun tiap malam membangunkan santri untuk shalat malam. Apa pun yang beliau lakukan tidak terlepas dari teladan yang juga beliau contoh dari Rasulullah SAW. Di Pesantren Darul Habib ini, hal itu juga kita terapkan. Santri dengan alasan apa pun tidak boleh keluar kawasan pesantren kecuali yang darurat. Mereka hanya pulang pada saat bulan Ramadhan, dan 10 hari setelahnya setelah itu mereka kembali ke pondok. Kita tidak menerima santri luar atau yang tidak bermukim.
Mereka tidak boleh memiliki HP, shalat jama’ah harus terjaga, shalat malam terus dilakukan,” kata Habib Naufal.
Menurutnya, keberhasilan santri itu ditopang oleh tiga faktor. Yaitu, santri harus rajin, gurunya juga harus rajin, orangtua pun harus rajin. Orangtua juga harus mengontrol anaknya ketika mereka libur di rumah. Semuanya harus bersinergi, akan gagal kalau salah satu pincang.
“Yang diharapkan dari wali murid adalah kontrol dan filter. Perlu memang melihat dunia luar, tapi harus selektif.
Di pondok ini kita buka tayangan khusus dua kali sepekan berisi cerita tarikh, kita bisa belajar sejarahnya, juga bahasa Arab-nya.
Kita bekerja keras membina, menanamkan hal-hal yang utama, kita siapkan bekal sebaik-baiknya, mudah-mudahan mereka mendapat hidayah dan taufik ke depan,” ujar Habib Naufal.
“Setelah dari sini mereka bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang mereka suka. Ada beberapa santri yang telah diterima di Yaman, di Al-Ahkaff, juga di Makkah, tahun ini ada lima orang yang ke Rubath, Tarim, dan juga ke Turki.”
Sedangkan dengan perguruan tinggi yang didirikan oleh Habib Umar Bin Hafidz, yaitu Jami’ah, salah satu saratnya adalah harus hafal Al-Qur’an dan kitab
Riyadhus Shalihin, anak-anak belum siap. Ada yang hafal Al-Qur’an tapi
Riyadhus Shalihin belum siap.
Menurutnya, walau di Pesantren Darul Habib tidak diharuskan hafal Al-Qur’an, alhamdulillah sudah ada lima puluh santri yang sudah hafal Al-Qur’an saat ini dari 300 santri. “Dan setiap tahun bertambah. Ada yang hafal 25 juz, 20 juz, tidak kita paksakan,” ujarnya.
Allah Selalu Memberi Rizqi