Hakikat Nur Muhammad & Lathifah Robbaniyah


Hakikat Nur Muhammad adalah Ar-Ruuhul A’dzom, dengan dimensi lain disebut sebagai Akal Pertama dan Hakikat Muhammadiyah atau An-Nafs al-Wahidah (Jiwa yang tunggal), yaitu yang pertama kali diciptakan oleh Allah swt. Atau disebut sebagai Khaliqah Akbar (ciptaan agung), disebut pula dengan Al-Jauhar an-Nurany (Inti cahaya). Jika dilihat dari segi inti segalanya disebut dengan jiwa yang tunggal, dan jika dipandang dari segi kecahayaan disebut sebagai Akal Pertama. Dalam fenomena semestanya memiliki sejumlah nama dan symbol, seperti Akal pertama, Al-Qolam yang luhur, An-Nuur, Jiwa yang tunggal dan Lauhul Mahfudz.

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany mengutip hadits qudsy, ketika Allah menciptakan Ruh Muhammad dari Cahaya KemahaindahanNya, “Aku jadikan Muhammad dari Cahaya WajahKu.”

Sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw, “Awal ciptaan Allah adalah ruhku. Awal yang dicipta oleh Allah adalah cahayaku, dan awal yang dicipta Allah adalah Al-Qolam, dan awal yang dicipta Allah adalah Akal.” (Hr. Abu Dawud).

Yang dimaksud dari keseluruhan (ruh, cahaya, qolam dan akal) adalah Hakikah Muhammadiyah. Disebut “cahaya” karena awal ciptaan itu bersih dari kegelapan Jalaliyah, sebagaimana firmanNya: “Telah dating padamu Nur dan Kitab dari Allah.” (al-Maidah 15)
Lalu disebut sebagai “akal” karena posisinya mengenal semesta global. Dan sebut sebagai al-Qolam (pena), karena sebagai faktor transmitor pengetahuan, seperti pena yang memindahkan pengetahuan dari huruf-huruf.

Ruh Muhammadi adalah adalah simpul dari semesta ciptaanNya, sedangkan awal dan asal semesta ini, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Aku ini dari Allah dan semua orang beriman dari diriku.”
Dari rasulullah saw, itulah semua ruh diciptakan di alam Lahut dalam bentuk hakikat paling sempurna. Dan Alam Lahut itu disebut dengan Al-Qathanul Ashly (Negeri primordial). Setelah berlangsung selama 4000 tahun, Allah swt menciptakan Arasy dari Cahaya Mata Muhammad saw, dan seluruh semesta ini berasal darinya. Kemudian dari Alam Lahut tadi diturunkan secara bertahap hingga di alam paling rendah yakni alam jasad, seperti dalam firmanNya, “Kemudian Kami turunkan secara bertahap sampai alam paling bawah. “ (At-Tiin: 5)

Pertama kali diturunkan dari Alam Lahut ke Alam Jabarut, dan Allah memberi pakaian dengan Nur Jabarut dengan pakaian dari dua tempat mulia yang disebut dengan Ar-Ruh as-Sulthany.
Dengan pakaian tersebut Allah menurunkan lagi ke Alam Malakut, lalu diberi pakaian dengan Cahaya Malakut yang dinamakan Ar-Ruh ar-Ruwany.
Kemudian Allah menurunkan ke Alam Mulki dan diberi pakaian dengan Cahaya Al-Mulki, yang disebut dengan Ar-Ruh al-Jismany (ruh jasad), baru kemudian Allah menciptakan berbagai jasad, sebagaimana firmanNya : “Darinya Kami ciptakan….” (Thaha 55), lalu Allah swt, memerintahkan ruh-ruh tersebut masuk dalam jasad, maka masuklah ruh itu denganperintah Allah Ta’ala, seperti difirmankan, “Dan Aku meniup di dalamknya dari RuhKu…”.

Ketika ruh-ruh tersebut berkait dengan jasad fisik, ia lupa pada janjinya kepada Allah di Hari Perjanjian (yaumul miitsaaq), di saat Allah swt berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu….” (Al-A’raf 172), hingga kealpaannya membuatnya ia tidak mau kembali ke Negeri Asal (Al-Wathanul Asly).
Kemudian Allah swt, melimpahkan rahmatNya, lalu diturunkanlah Kitab Samawi untuk mengingatkan pada mereka yang alpa atas Negeri Sejatinya, sebagaimana firmanNya, “Ingatkan mereka akan Hari-hari Allah…”(Ibrahim 14), yakni hari-hari pertemuan dengan Allah swt dengan para arwah.

Para Nabi saw, semuanya dating ke dunia, dan pergi menuju akhirat disebabkan oleh peringatan itu. Sedikit jumlahnya yang sadar, kembali dan rindu atas Negeri Sejatinya. Sampai akhirnya Kenabian melimpah pada Ruh Agung al-Muhammady, sebagai pamungkas para Nabi (semoga sholawat dan salam paling utama dan kehormatan paling sempurna terlimpah padanya dan kepada para Nabi dan Rasul lainnya).

Allah mengutus mereka untuk menyadarkan mereka yang alpa, darui tidur kealpaannya menuju kesadaran jiwanya. Mereka diutus untuk mengajak manusia bertemu dengan Kemahaindahan Allah azza wa-Jalla. “Katakan, inilah jalanku, aku mengajakmu kepada Allah dengan matahati, aku dan orang yang mengikutiku…(Yusuf: 108).

Matahati itulah disebut sebagai “mata ruh”, dibuka di Maqom Fuad bagi para Auliya’. Dan itu tyidak bisa diraih menurut pengetahuan eksoterik (lahiriyah) namun dengan Ilmu esoteris (bathiniyah) Laduniyah, sebagaimana firmanNya: “Dan Kami ajarkan padanya ilmu dari SisiKu…”(Al-Kahfi 65).
Maka sudah jadi kewajiban bagi manusia untuk mendapatkan matahati itu dari Ahli Batin dengan cara mengambil Talqin dari seorang Wali yang Mursyid, yang diambil dari Alam Lahut.

Nah, anda renungkan sendiri proses-proses luhur nan agung seperti itu. Dan kita harus segera bertaubat meraih ampunan Allah serta bersegera memasuki thariqah, agar kita kembali kepada Tuhan kita.
Sedangkan Lathifah Robbaniyah adalah hakikat-hakikat kelembutan Ilahi yang dilimpahkan dalam batin manusia, melalui NurNya, dan berujung menjadi aktivitas Ilahiyah dalam akhlak mulia manusia. Pertama kali melimpah pada Sirr (Rahasia Batin) kemudian memancar pada Qalbu, dan menggerakkan Ubudiyah sang hamba.

Al Imam Muhammad bin Ali Shahib Al Hauthoh


Yang pertama kali mendapat gelar Aidid ialah waliyyullah Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi Qasam…………Rasulullah Muhammad SAW.

Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah SAW.

Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.

Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.

Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 Hijriyyah, istrinya bernama Syarifah binti Hasan bin Alfaqih Ahmad seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad. Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.

Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mempunyai enam 6 orang, yaitu :

1. Ahmad Al-Akbar, keturunannya terputus, beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan, mendalami ilmu pengobatan dan ilmu analisis. Lahir dan wafat di Tarim. Wafat tahun 862 H. bersamaan tahun wafat dengan ayahnya.

2. Abdurrahman Bafaqih, mempunyai 5 orang anak lelaki, 3 diantaranya meneruskan keturunannya, yaitu :
· Ahmad

· Zein

· Atthayib

Abdurrahman Bafaqih wafat di Tarim tahun 884 H.

3. Abdullah Al-A’yan An-Nassakh Bafaqih mempunyai tiga orang anak lelaki :

· Alwi (tidak punya keturunan)

· Husein (keturunan di Qamar), mempunyai seorang anak yang bernama Sulaiman yang lahir di Tarim dan wafat di Al-Mahoo tahun 1009 H. Sulaiman ini mempunyai anak Husin, Husin mempunyai anak Abubakar. Al-Habib Abubakar ini menjadi Sultan di kepulauan Komoro di Afrika Utara.

· Ahmad, mempunyai dua orang anak lelak

a. Sulaiman

b. Ali, mempunyai dua orang anak lelaki :

- Abdurrahman

- Muhammad, lahir di Tarim Kemudian Hijrah dan menetap di Kenur (India), kemudian pindah ke Heiderabat (India)

dan wafat disana. Al-Habib Muhammad mempunyai 7 orang anak :

- Ahmad (tidak diketahui)

- Umar, wafat di India.

- Abdullah, wafat di Khuraibah.

- Husin Lahir dan wafat di tarim tahun 1040 H.

- Abubakar lahir di Tarim dan wafat di Qoidon tahun 1053 H.

- Ali wafat di Khuraibah.

Abdullah Bafaqih wafat selang beberapa tahun wafatnya Abdurrahman Bafaqih dalam perjalanan dari kota Makah Al-Mukarramah ke kota Madinah Al-Munawwarah yang dimakamkan disekitar antara kedua kota suci tersebut.

4. Ali Aidid wafat tahun 919 H, mempunyai tiga orang anak lelaki :

· Muhammad Al-Mahjub, wafat tahun 973 H.

· Abdullah.

· Abdurrahman wafat tahun 976 H.

5. Alwi Bafaqih, keturunannya terputus pada generasi ke 7 tahun 1123 H.

6. Alfaqih Ahmad (tidak punya keturunan)

Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :

1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam

2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj

3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.

4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail

5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib

6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf

7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)

Murid-muridnya :

1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran

2. Ali bin Abubakar Assakran

3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj

4. Muhammad bin Ahmad Bajarash

5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra

6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)

7. Anak-anaknya.

Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :

Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.

Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan

Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206

Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.

Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 Hijriyyah. Dimakamkan di Pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.

Diantara silsilah yang melalui Al-Imam Abdurrahman bin Alwi (Ammil Faqih) antara lain :

1. Bin Semith 5.Al-Qoroh 9.Al-Hudaili

2. Baabud Magfun 6.Aidid 10.Basuroh

3. Ba Hasyim 7.Al-Haddad 11.Bafaqih

4. Al-Baiti 8.Bafaraj 12.BinThahir

Penyusun : Alwi Husein Aidid.

Sumber dari : Habib Idrus Alwi Almasyhur, Habib Alwi Almasyhur dan Habib Zein Alwi bin Taufik Aidid.

SILSILAH THAREKAT NAQSABANDY



1. Nabi Muhammad ibn Abd Allah, Salla Allahu `alayhi wa alihi wa sallam
2. Abu Bakr as-Siddiq, radiya-l-Lahu`anh
3. Salman al-Farsi, radiya-l-Lahu`anh
4. Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr
5. Jafar as-Sadiq, alayhi-s-salam
6. Tayfur Abu Yazid al-Bistami, radiya-l-Lahu canh
7. Abul Hassan Ali al-Kharqani, qaddasa-l-Lahu sirrah
8. Abu Ali al-Farmadi, qaddasa-l-Lahu sirrah
9. Abu Yaqub Yusuf al-Hamadani, qaddasa-l-Lahu sirrah
10. Abul Abbas, al-Khidr, alayhi-s-salam
11. Abdul Khaliq al-Ghujdawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
12. Arif ar-Riwakri, qaddasa-l-Lahu sirrah
13. Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi, qaddasa-l-Lahu sirrah
14. Ali ar-Ramitani, qaddasa-l-Lahu sirrah
15. Muhammad Baba as-Samasi, qaddasa-l-Lahu sirrah
16. as-Sayyid Amir Kulal, qaddasa-l-Lahu sirrah
17. Muhammad Baha'uddin Shah Naqshband, qaddasa-l-Lahu sirrah
18. Ala'uddin al-Bukhari al-cAttar, qaddasa-l-Lahu sirrah
19. Yaqub al-Charkhi, qaddasa-l-Lahu sirrah
20. Ubaydullah al-Ahrar, qaddasa-l-Lahu sirrah
21. Muhammad az-Zahid, qaddasa-l-Lahu sirrah
22. Darwish Muhammad, qaddasa-l-Lahu sirrah
23. Muhammad Khwaja al-Amkanaki, qaddasa-l-Lahu sirrah
24. Muhammad al-Baqi bi-l-Lah, qaddasa-l-Lahu sirrah
25. Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, qaddasa-l-Lahu sirrah
26. Muhammad al-Masum, qaddasa-l-Lahu sirrah
27. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi, qaddasa-l-Lahu sirrah
28. as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
29. Shamsuddin Habib Allah, qaddasa-l-Lahu sirrah
30. Abdullah ad-Dahlawi, qaddasa-l-Lahu sirrah
31. Khalid al-Baghdadi, qaddasa-l-Lahu sirrah
32. Ismail Muhammad ash-Shirwani, qaddasa-l-Lahu sirrah
33. Khas Muhammad Shirwani, qaddasa-l-Lahu sirrah
34. Muhammad Effendi al-Yaraghi, qaddasa-l-Lahu sirrah
35. Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni, qaddasa-l-Lahu sirrah
36. Abu Ahmad as-Sughuri, qaddasa-l-Lahu sirrah
37. Abu Muhammad al-Madani, qaddasa-l-Lahu sirrah
38. Sharafuddin ad-Daghestani, qaddasa-l-Lahu sirrah
39. Abdullah al-Fa'iz ad-Daghestani, qaddasa-l-Lahu sirrah
40. Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, qaddasa-l-Lahu sirrah

BA'ALAWI


Risalah kecil ini adalah usaha seorang insan kerdil untuk memberi sedikit maklumat mengenai Ba 'Alawi.lni ialah kerana ramai keturunan Ba 'Alawi dewasa ini yang mempunyai sedikit sekali, malah ada yang langsung tiada mempunyai pengetahuan, mengenai asal usul mereka. Saya amat berharap bahawa risalah yang cetek ini dapat menyingkap serba sedikit tentang asal usul Ba 'Alawi, serta menaruh harapan agar ia dapat mencetuskan minat lalu mendorong golongan Sadah daripada keturunan Ba 'Alawi untuk mengenali susur galur mereka secara lebih dekat lagi. Alangkah baiknya kalau risalah inidapat disebar luas bagi menemui seramai keturunan Alawi yang mungkin. Semoga usaha ini diberkati Allah swt Jaafar bin Abu Bakar AI 'Aydarus. Ba 'Alawi - Siapakah Mereka ? Ba'Alawi ialah gelaran yang diberi kepada mereka yang bersusur-galur daripada Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir Ahmad bin Isa Al-Muhajir, telah meninggalkan Basrah di Iraq bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadhramaut di Yaman Selatan. Cucu Ahmad bin Isa yang bernama Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadralmaut. Oleh itu anak-cucu Alawi digelar Ba 'Alawi, yang bermakna Keturunan Alawi. Panggilan Ba 'Alawi juga ialah bertujuan memisahkan kumpulan keluarga ini daripada cabang-cabang keluarga yang lain yang berketurunan daripada Nabi Muhammad s.a.w. Ba 'Alawi juga dikenali dengan kata-nama Saiyid (Sadah bagi bilangan lebih daripada seorang). Keluarga yang bermula di Hadhramaut ini, telah berkembang dan membiak, dan pada hari ini ramai di antara mereka menetap disegenap pelusuk Nusantara, India dan Afrika. Ahmad bin Isa Al-Muhajir Ilallah Dalam abad ke-10 Masehi, keadaan huru-hara mula menyelubungi dan menggugat empayar Abbasiyah yang berpusat di Iraq itu. Kerajaan tersebut kian bergolak menuju keambang keruntuhan. Kewibawaan Abbasiyah semakin terancam dengan berlakunya pemberontakan demi pemberontakan dan ini menjejaskan ketenteraman awam. Keadaan sebegini telah membawa padah kepada keturunan Nabi Muhammad s.a.w yang dikenali dengan gelaran Sadah itu. Pada umumnya ummt Islam menghormati serta menaruh perasaan kasih sayang terhadap Sadah. lni bukan semata-mata kerana mereka ini keturunan Nabi Muhammad s.a.w, tetapi juga kerana mereka melambang pekerti yang luhur, keilmuan yang tinggi dan wara' . Kedudukan yang istimewa dimata umat Islam ini telah menimbulkan perasaan cemburu dan syak wasangka terhadap Sadah dikalangan pemerintah. Mereka juga khuatir kalau-kalau Sadah akan menggugat dan merebut kuasa daripada kerajaan Abbasiyah. Dengan tercetusnya pemeberontakan demi pemberontakan terhadap pemerintah, kewibawaan Abbasiyah pun menjadi semakin tercabar dan lemah. Keadaan ini juga turut mengancam kedudukan golongan Sadah, kerana mereka sering dikaitkan dengan setiap kekacauan yang tercetus. Dari masa ke masa golongan Sadah menjadi sasaran pemerintah. Ramai diantara mereka yang ditangkap dan dibunuh berdasarkan apa saja alasan .Namun majoriti Sadah bersikap sabar dan menjauhkan diri dari kelompok yang menimbulkan kekacauan. Daripada pengalaman yang lalu golongan tersebut yakin bahawa penglibatan diri di dalam politik akan berakhir dengan kekecewaan. Ahmad bin Isa al-Muhajir meninggalkan Kota Basrah bersama seramai 70 orang, yang terdiri dari ah1i-ah1i keluarga dan pengikut-pengikut beliau. Pada mulanya kumpulan AlMuhajir ini pergi ke Madinatul Munawwarah dan tinggal di sana selama setahun. Pada tahun berikutnya setelah menunaikan fardhu Haji, Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan rombongan meninggalkan Kota Madinah menuju ke Yaman. Mereka singgah di Al Jubail di Lembah Dau'an, kemudian di Al-Hajrain, dan seterusnya menetap di suatu tempat ,yang benama Al Husaisah. Ahmad bin Isa Al Muhajir Ilallah wafat pada tahun 345.H/956 M. Permulaan di Hadhralmaut Ahmad bin Isa rnemilih Hadhramaut untuk berhijrah, rneskipun Hadhramaut rnerupakan suatu kawasan tandus dan kering kontang di Selatan Yaman. Kawasan tersebut pada zaman itu, dikatakan terputus daripada dunia luar. Tentunya banyak persoalan yang timbul tentang mengapa Ahmad bin Isa memilih kawasan sebegini untuk berhijrah. Pada zahimya, pemilihan kawasan tersebut mungkin didorong oleh hasrat beliau untuk hidup di dalam keadaan aman bersama keluarga dan pengikutnya, atau keazaman beliau untuk membina sekelompok masyarakat baru di suatu kawasan baru bersesesuaian dengan kehendak syiar Islam yang didokongi oleh golongan Sadah selama ini. Akan tetapi sebelum sampai ke Hadhramaut Ahmad bin Isa dan rornbongan terlebih dahulu berada di Madinah, tempat yang tenang dan aman lagi sesuai bagi tujuan beribadah dan membina ummah. Namun daripada Madinah beliau dan rombongan bertolak ke Al-Husaisah. Malah di Al-Husaisah Ahmad bin Isa telah pun membeli kebun buah-buahan yang luas. Akan tetapi pada akhirnya beliau memilih Hadhramaut sebagai tempat berhijrah. Sebagai seorang Imam Mujtahid mungkin keputusan yang dibuat beliau itu didorong oleh perkara yang diluar pengetahuan kita, Wallahualam. Penghijrahan Ahmad bin Isa A1 Muhajir ke Hadhramaut bukanlah bermakna berakhirnya ranjau dan rintangan. Di awa1 penghijrahan beliau, Alhmad bin Isa Al-Muhajir, bersua dengan ancaman daripada golongan Mazhab Ibhadiah yang mernpengaruhi kawasan tersebut. Namun setelah gagal untuk mencapai persefahaman dan perdamaian dengan pihak Ibhadiah, Ahmad bin Isa A1-Muhajir terpaksa mengangkat senjata menentang mereka. Berbanding dengan kaum Ibhadiah, bilangan pengikut Ahmad bin Isa Al-Muhajir adalah kecil. Akan tetapi semangat kental dan kecekalan, yang ditunjukkan oleh Al-Muhajir dalam rnenentang kaum Ibhadiah ini telah menarik perhatian dan simpati penduduk-penduduk Jubail dan Wadi Dau'an yang bertindak rnenyokong Al-Muhajir. Dengan sokongan penduduk-penduduk tersebut kaum Ibhadiah dapat di singkirkan dari bumi Hadramaut. Cara hidup yang dianjurkan oleh Ahmad bin Isa Al-Muhajir, iaitu kehidupan harian yang berdasarkan A1 Qur'an dan Sunnah itu, senang -diterima oleh masyarakat ternpatan. Lambat laun cara ini rnenjadi norma hidup di dalam rnasyarakat tempatan. Malah beberapa tokoh terkemuka di kalangan Ba' Alawi yang menjalani hidup sepertimana para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w, mempunyai pengaruh yang positif ke atas masyarakat Hadhramaut. Tokoh-tokoh berkenaan lebih dikenali dengan panggilan Salaf. Walaupun persekitaran baru mereka masih tidak sunyi dengan keadaan huru-hara, masyarakat Ba' Alawi masih boleh menjalankan kehidupan yang aman tenteram. Sebenarnya ini adalah sesuatu yang merupakan cara hidup yang lumrah bagi keturunan Rasulullah s.a.w daripada Hassan dan Hussain. Mereka sentiasa dihormati dan disanjung tinggi di seluruh pelusuk Dunia Islam, lebih-lebih lagi di Hadhramaut. Kehormatan yang diterima ini serba sedikit berpunca daripada amalan golongan Ba 'Alawi yang berjalan tanpa membawa sebarang senjata, sepertimana yang dianjurkan oleh datuk mereka, Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Tambahan pula golongan ini dihormati dan disanjung oleh kerana mereka merupakan golongan yang berilmu lagi wara'. Apabila Ahmad bin Isa AI-Muhajir serta rombongan (seramai kurang lebih 70 orang ahli keluarga dan pengikut) meninggalkan Basrah , mereka membawa bersama mereka harta kekayaan yang banyak. Dengan harta ini mereka dapat memperolehi tanah yang luas yang digunakan untuk pertanian. Dan sewajarnyalah yang menjadi kegiatan utama golongan Ba 'Alawi di Hadhramaut ini ialah pertanian. Sementara itu mereka juga bebas untuk beribadah dan membina masyarakat berdasakan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Fasa Perkembangan Ba 'Alawi Perasaan golongan Ba' Alawi terhadap kampung halaman mereka di Basrah masih kuat dan menebal, walaupun mereka telah memilih untuk membina penghidupan baru di Hadramaut. Oleh itu tidak hairanlan sekiranya didapati ramai dikalangan Ba 'Alawi yang selalu berulang alik di antara Hadhramaut dan Basrah untuk menziarahi sanak saudara yang masih berada di Basrah. Hubungan diantara Ba 'Alawi dengan Basrah berterusan. Masa kini masih terdapat keturunan saudara AlMuhajir, iaitu Muhammad bin Isa di sekitar Basrah. Salah suatu ciri hidup golongan Ba ' Alawi ialah mereka ingin bebas bergerak dan tidak suka terkongkong di suatu daerah sahaja. Tambahan pula, di tempat seperti Hadhramaut peluang untuk mencari rezeki terlalu terhad. Ini menyebabkan individu mahupun kumpulan Ba 'Alawi sanggup berpindah memulakan hidup ditempat-tempat yang lain seperti Yaman, Syam (Syria), dan Iraq. Tambahan pula Hadhralmaut merupakan tempat yang tidak mempunyai pemerintahan yang stabil, dan oleh itu tidak sunyi daripada tercetusnya perbalahan dan pergaduhan di antara kabilah-kabilah yang menjadi penghuni tetap di kawasan tersebut. Sejarah perkembangan Ba 'Alawi, mengikut pandangan Sayid Ahmad bin Muhammad Assyathiri boleh dibahagikan kepada empat fasa, setiap fasa mempunyai cirinya yang tersendiri. Perkembangan ini adalah bergolak di sekitar beberapa tokoh Ba 'Alawi, serta juga pengalaman jatuh bangunnya mereka dalam menempuhi kehidupan yang sering berubah itu. Namun begitu, golongan Ba 'Alawi masih berpegang teguh kepada keperibadian mereka, dan perkara yang mempegaruhi kecekalan golongan ini ialah istiqamah kepada ajaran AlQur'an dan Sunnah. Fasa perkembangan Ba 'Alawi boleh dihuraikan seperti berikut: Fasa Pertama Fasa ini bermula dengan zaman Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan berakhir dengan Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali, iaitu jangka masa di antara abad ke-3 hingga abad ke-7 Hijrah. Pada zaman tersebut pemimpin dan tokoh-tokoh Ba 'Alawi dikenali dengan gelaran Imam. Tokoh-tokoh pada masa itu digelar dengan panggilan Imam Mujtahid, iaitu mereka yang tidak terikat dengan mana-mana mazhab. Tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu ialah keturunan daripada Ubaidullah bin Ahmad bin Isa AlMuhajir, melalui 3 orang putera beliau, iaitu Bashri, Jadid dan Alawi. Namun begitu, keturunan Bashri dan Jadid tidak berhayat panjang. Mereka hanya dapat mempelopori dan mengembangkan penyebaran ilmu hinggalah ke tahun 620an H/1223M. Keturunan Bashri dan Jadid yang terkemuka ialah Imam Salim bin Bashri (wafat pada 604H/1208M) dan Imam Abu Hassan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat pada 620H/1223M). Tradisi pengajian Ilmu, bagaimanapun di teruskan oleh keturunan Alawi, dan yang lebih terkenal di antara mereka ialah Imam Muhammad bin Ali bin Alawi. Beliau lebih dikenali dengan gelaran Sahib Marbat (wafat pada 556H/1161M). Tradisi keilmuan, ^(08) <#08> ini juga diteruskan oleh dua orang putera Sahib Marbat, iaitu Imam Alwi dan Imam A1i, dan oleh putera Imam Ali, iaitu Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali, serta tokoh-tokoh yang datang kemudian daripada mereka. Fasa Ke-Dua Zaman yang dikenali sebagai fasa ke-dua ialah di antara abad ke-7 hingga abad ke-11 Hijrah. Pada zaman tersebut tokoh-tokoh Ba 'Alawi yang terkemuka disebut dengan nama As-Syaikh. Zaman ini bertepatan dengan era Al-Faqih Muqaddam Muhammad hingga ke zaman sebelum Habib Al-Qutub Abdullah bin A1awi Al-Haddad. Di antara ulama-ulama yang terkemuka di zaman ini ialah Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali (wafat pada 653H/1255M), As-Saqqaf (wafat 819H/1416M), Al-Mahdar (wafat 833H/1429M), Al-'Aidarus (wafat 865H/1460M), dan Zain Al-Abidin Al-'Aidarus (l041H/1631M). Pada ketika tersebut bilangan Ba 'Alawi sudah menjadi bertambah ramai dan mereka mulai dikenali dengan nama kabilah masing-masing seperti As-Saqqaf, Al-Mahdar, Al-'Aidarus, Al-Habisyi, Al-Junid, Jamalullail dan banyak lagi. Fasa Ke-Tiga Zaman yang dikenali sebagai fasa ke-tiga ialah di antara abad ke-11 dan abad ke-14 Hijrah. Pada zaman tersebut tokoh-tokoh Ba 'Alawi dikenali dengan panggjlan Al-Habib. Ulama-ulama yang terkemuka pada zaman ini ialah Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (wafatI132H/1717M), Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi, Habib Hassan bin Salleh Al-Bahr, dan Habib Abdurrrahman Bilfagih (wafat 1163H/1749M) dan beberapa orang tokoh yang lain. Pada masa ini juga keturunan keluarga Ba 'Alawi terus membiak. Keadaan ini membawa kepada migrasi (perpindahan keluar) yang begitu pesat. Pada abad ke-11 dan ke-12 berlaku penghijrahan ke India , Timur Jauh (Far East), Afrika Timur dan Hijjaz, sementara di abad ke-13 berlaku pula penghijrahan ke Asia Tenggara (terutama ke Indonesia dan Malaysia). Kaum Ba' Alawi mewarisi semangat suka merantau. Mereka juga tidak gemar diri mereka terkongkong di suatu kawasan. Namun begitu Ba 'Alawi juga merupakan golongan yang senang menyesuaikan diri dengan penduduk tempatan dimana sahaja mereka merantau. Akan tetapi, seberapa jauhnya mereka daripada Hadhramaut, hubungan erat dengan kampung halaman induk masih dikekalkan. Mereka yang menjalinkan perhubungan melalui perkahwinan dengan penduduk tempatan dan masih menghantarkan anak-anak mereka ke Hadhramaut, terutama ke Tarim, untuk menuntut ilmu secara tradisi yang diasaskan oleh pelopor-pelopor Ba 'Alawi. Perubahan Yang Ketara Pada penghujung fasa ke-tiga didalam Sejarah Ba 'Alawi, perubahan ke arah kemunduran dikalangan Ba 'Alawi di seberang laut dapat dikesan. Walaupun tradisi pulang ke Hadhramaut untuk menziarahi keluarga masih diamalkan, ramai pula di antara mereka yang telah bermastautin di India dan Asia Tenggara, mula menampakkan proses asimilasi dengan masyarakat tempatan, iaitu menerima dan menyerap budaya dan tradisi persekitaran. Sementara golongan Ba 'Alawi pada mulanya menjauhkan diri daripada kegiatan politik melainkan perkara-perkara yang menyentuh kebajikan dan ketenteraman umum, mereka yang terkemudian mula mencebur diri dengan politik. Ada di antara golongan Ba 'Alawi yang mempunyai hubungan rapat dengan raja-raja dan penguasa tempatan, dan telah menggunakan pengaruh mereka. Pernah diceritakan bahawa tokoh- tokoh Al-Mahdar, Al-'Aidarus, Jamalullail dan A1Haddad, mempunyai hubungan yang intim dengan pihak istana, sehinggakan raja-raja. sentiasa merujuk kepada mereka untuk mendapat nasihat. Budi pekerti yang luhur, disiplin diri dan didikan yang menjadi tradisi dikalangan Ba 'Alawi adalah faktor utama meyebabkan mereka dihormati dan disanjungi, sementara ciri peribadi istimewa sebilangan mereka membolehkan mereka diterima sebagai pemimpin masyarakat tempatan. Ada pula dikalangan mereka yang berkahwin dengan ahli keluarga diraja, dan pada akhimya mereka diangkat menjadi raja, contohnya, Syahab di Siak dan Jamalulail di Perlis. Beberapa kesultanan juga diasaskan oleh tokoh- tokoh Ba 'Alawi. Sebagai contoh, Al-'Aidarus menubuhkan kerajaan di Surat (India), dan di Kubu (Kalimantan), Al-Qadri dan Bin Syaikh Abu Bakar di Kepulauan Comoros, A1Qadri di Pontianak (Kalimantan) dan Balfagih di Filipina. Fasa Ke-Empat Zaman yang dikenali dengan Fasa ke-empat ini ialah di antara abad ke-14 Hijrah hinggalah dewasa ini. Perubahan yang bermula dipenghujung Fasa ketiga menjadi semakin ketara di zaman ini. Dalam beberapa aspek hidup, golongan Ba 'Alawi telah menempuh keruntuhan dari segi pegangan moral dan etika yang diasaskan oleh pelopor-pelopor di Hadhramaut dahulu. Zaman ini bertepatan dengan kemunduran Dunia Islam keseluruhannya, akibat dilanda budaya Barat. Golongan muda Ba 'Alawi, terutama mereka yang bennastautin di tanah jajahan Inggeris dan Belanda mula meninggalkan pendidikan tradisional berasaskan Al-Qur'an dan Sunnah, dan memilih pendidikan Barat. Walaupun masih terdapat tokoh-tokoh Ulama Ba 'Alawi dikalangan mereka, namun bilangan mereka adalah terlalu sedikit berbanding dengan masyarakat Ba 'Alawi amnya. Keadaan sedemikian telah menghakiskan status Ba' Alawi keseluruhannya. Ba 'Alawi Masa Kini Keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir pada masa kini membiak dengan banyaknya. Mereka bemastautin di sebahagian besar pelusuk dunia. Mereka ialah keturunan kelompok-kelompok Ba 'Alawi yang keluar dari Hadhramaut. Mereka dikenali dengan berbagai gelaran seperti Syed atau Saiyid, seperti di Indonesia dan di Malaysia. Mereka juga dikenali dengan nama Habeeb seperti di India, Sidi, Syarif, Tuanku, Engku, Wan dan beberapa panggilan lagi. Namun begitu disebabkan beberapa faktor ramai pula keturunan Ba 'Alawi yang telah kehilangan identiti mereka. Kebanyakkan dari golongan ini menganggap mereka sebagai orang tempatan dengan mengamalkan budaya tempatan dan melupakan budaya datuk nenek mereka. Ramai pula keturunan Ba 'Alawi yang berakar umbi di tempat-tempat yang mereka tinggal kini, sejak datuk nenek mereka berhijrah seawal-awal abad ke-15 Masehi dahulu. Mereka tidak lagi mengenali asal-usul mereka, dan perhubungan mereka dengan negeri Ibunda telah begitu lama terputus. Walaupun ramai ahli keluarga Ba 'Alawi yang telah hilang identiti, namun ramai pula yang masih berpegang teguh dengan asal-usul mereka dan mengambil berat tentang silsilah keluarga. Mereka juga masih menjalin hubungan dengan saudara mara di Hadramaut. Golongan ini terdiri daripada anak cucu mereka yang keluar merantau dalam abad ke-18 dan ke-19. Ramai daripada mereka terutama anak cucu Ba 'Alawi yang berhijrah terkemudian dan tinggal di kawasan-kawasan berhampiran pelabuhan. Mereka masih berpegang teguh dengan beberapa tradisi Ba 'Alawi, dan ada yang masih fasih berbahasa Arab. Oleh itu, sayogianya kita bertemu dengan kelompok keturunan Ba 'Alawi yang masih berpegang dengan tradisi dan amalan datuk nenek mereka, maka kita akan bersua dengan amalan seperti membaca Maulid Diba'ii, Ratib Haddad, Ratib Al 'Attas dan lain-lain lagi. Sepekara yang menggembira dan menggalakkan ialah bahawa mereka daripada golongan ini giat menghidupkan kembali dan mengembang tradisi ini di kalangan keturunan Ba 'Alawi yang sudah jauh terpisah daripada kelompok asal. Ini dilakukan dengan menarik dan menggalakkan mereka menghadiri majlis Ta'lim atau Rohah, sekaligus mengukuhkan silaturrahim diantara mereka. Namun begitu masih ramai lagi daripada keturunan Ba 'Alawi yang hanyut di bawa arus kemodenan dan kejahilan, dan belum lagi terdedah kepada amalan murni Ba 'Alawi. Mereka ini amat perlu mendapat perhatian. Seorang ulama besar yang wafat di Jakarta, iaitu Habib Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab, pemah melahirkan harapan agar generasi-generasi yang datang kemudian dari keturunan 'Alawi akan memegang teguh kepada agama Islam, mejaga pusaka nenek-moyang, dan jangan sampai tenggelam kedalam peradaban Barat. Marilah kita sama-sama berdo'a agar Allah s.w.t memberi taufik dan hidayah semoga mereka yang terpisah ini akan jua balik ke pangkal jalan mengenali diri dan asa1 usul mereka, serta menghargai warisan mereka yang sebenarnya. Sesuai dengan hadith Rasulullah s.a.w mengenai pentingnya mempelajari tentang nasab, kita menaruh harapan yang mereka juga akan mengambil berat tentang nasab masing-masing.

0PENERANGAN

PENERANGAN 01 1. Ahmad bin Isa bin Muharnmad An-Naqib bin Ali 'Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussain bin Ali dan Saiyidatina Fatimah Azzaharah binti Saiyidina Muhammad saw. Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 02 2. Ba 'Alawi juga dikenali dengan nama Bani Alawi. Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 03 3. Al-Husaisah terletak diantara Saiwon dan Tarim tetapi dewasa ini tempat tersebut telah tertimbus dibawah timbunan padang pasir. Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 04 4. Ibhadiah adalah pecahan daripada golongan kaum Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibhad. Kumpulan ini telah beberapakali memberontak menentang Khalifah Umayyah. Pemberontakan yang terkenal ialah pemberontakan yang diketuai oleh Abdullah bin Yahaya pada tahun 129 Hijrah. Kaum Ibhadiah seterusnya meluaskan pengaruh mereka ke Oman, Yaman dan Hadhramaut. Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 05 5. Panggilan Salaf, pada umumnya, adalah ditujukan kepada mereka yang hidup di dalam abad pertama hingga ke-3 Hijrah, atau lebih tepat lagi ditujukan kepada para sahabat Nabi saw., Tabi'in dan Tabi'it-tabiin. Walau bagaimana pun para ulama Hadhralmaut menggunakan panggilan Salaf ke atas ulama-ulama terawal mereka yang soleh. Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 06 6. Sirah As-Salaf Min Bani 'Alawiy Al-Husainiyin, dicetak oleh Alam Ma'rifah, Jeddah 1405 Hijrah.

PENERANGAN 07 7. Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali ialah personaliti Sadah yang menumpukan khusus kepada ilmu Tasauf di dalam abad ke-13 Masehi. Beliaulah yang bertanggung- jawab mewajibkan golongan Sadah meninggalkan senjata dan memberi tumpuan sepenuhnya kepada agama dan akhlak. Setelah itu ciri utama yang mempengaruhi pemikiran dan cara hidup golongan Sadah ini ialah Ilmu Tasawuf. Penulis-penulis dari golongan Sadah banyak menumpukan karya mereka dalam bentuk puisi. sama ada berbentuk agama mahupun sekular, dan juga kepada sejarah keturunan (silsilah) - Wadi Hadhramaut and The Walled City of Shibam, karya Ronald Lewcock, dan dipetik daripada cetakan UNESCO 1986.

PENERANGAN 08 8. Dalam jangka masa inilah Ba 'Alawi menerima Mazhab Syafi'ie sebagai anutan dan merekalah yang seterusnya bertanggung-jawab menyebarkan ajaran Imam Syafi'ie ke negeri-negeri di pesisiran pantai Lautan Hindi.

PENERANGAN 09 9. Abdurrahman As-Saqqaf bin Muhammad Mawla Dawilah, yang lebih dikenali dengan gelaran As-Saqqaf (bermakna atap) oleh kerana keilmuan agama beliau begitu mendalam sehingga apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain, 'alimnya umpama atap dengan lantai. As-Saqqaf adalah seorang hartawan akan tetapi kekayaan beliau tidak menghalang dirinya menjadi seorang yang wara'. Beliau membelanjakan sebahagian besar hartanya untuk tujuan agama. Beliau membina 10 buah masjid dan telah memperuntukkan waqaf bagi membiayai perjalanan masjid tesebut.

PENERANGAN 10 10. Umar Al-Mahdar bin Abdurrahman As-Saqqaf, ialah seorang ulama yang terkenal dengan sifat dermawan beliau. Rumah beliau sentiasa dipenuhi dengan tetamu-tetamu yang berkunjung untuk bertanya mengenai hal agama ataupun hal duniawi. Beliau juga dikenali sebagai seorang yang menanggung sara hidup beberapa keluarga yang susah. Beliau membina tiga buah masjid.

PENERANGAN 11 11. Abdullah bin Abi Bakar As-Sakran bin Abdurrahman As-Saqqaf masyhur dengan gelaran Al-'Aidarus. Beliau baru menjangkau usia 10 tahun apabila ayah beliau meninggal dunia. Oleh itu beliau dipelihara oleh paman beliau iaituAl-Mahdar yang sekali gus menjadi guru beliau. Abdullah dididik oleh paman beliau didalam ilinu Syariat, Tasawuf dan Bahasa Arab. Semasa wafatnya Al-Mahdar Al-'Aidarus baru berusia 25 tahun. Jemaah Ba' Alawi sebulat suara bersetuju untuk melantik Imam Muhammad bin Hassan Jamalullail sebagai naqib baru menggantikan Al-Mahdar , akan tetapi Imam Muhammad Jamalullail menolak. Sebaliknya Imam Muhammad meminta Al' Aidarus dilantik sebagai naqib. Abdullah Al-'Aidarus adalah seorang ulama' berkaliber tinggi. Beliau bertanggungjawab menyebar luas ilmu dan dakwah, tekun mengisi waktu beliau dengan ibadah. Beliau juga menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam buku Almasyra' Arrawiyfi Manaqib Assadah Al-kiram Bani Alawiy,beliau disebutkan bahawa, " dalam kedermawanannya bagaikan seorang amir, namun dalam da1am tawaddu' bagaikan seorang fakir ". Beliau sangat senang menampakkan nikmat Allah ke atas dirinya dengan mengenakan pakaian indah, kenderaan rang megah dan rumah kediaman yang mewah.

PENERANGAN 12 12. Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syeikh Al-'Aidarus adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya ialah ayahnya sendiri. Beliau bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, dan tidak pernah berpisah dengan ayahnya selama ayahnya rnasih hidup. Setelah ayahnya wafat, Zain Al-Abidin menggantikan ayahnya sebagai naqjb. Beljau mencurahkan sepenuh tenaga dan pemikiran untuk kepentingan umum dan Ba 'Alawi khususnya. Beliau dihormati oleh Sultan-sultan di Yaman, dan dalam menjalankan urusan pentadbiran, mereka merujuk kepada beliau sebelum membuat apa-apa keputusan. Ini menyebabkan Zain Al-Abidin mempunyai ramai musuh. Akan tetapi kebijaksanaan beliau dalam mengendalikan musuh-musuh tersebut dapat menawan hatI mereka, yang pada akhirnya musuh bertukar menjadi sahabat. Selain daripada mempunyai pengetahuan dan kewibawaan yang tinggi di dalam ilmu Syari'at, Tasawuf dan Bahasa Arab, beliau juga mempunyai pengetahuan dan kemahiran yang mendalam dalam bidang pertanian yang diajarkan kepada ramai. Diakhir hayatnya, beliau juga terkenal sebagai seorang tabib yang berwibawa.

PENERANGAN 13 13. Dalam tahun 1930-an adalah dianggarkan bahawa sekurang-kurangnya 13,000 orang daripada keturunan Ba 'Alawi berada di Hyderabad, India. Ramai di antara mereka menjadi anggota dan pegawai tentera Nizam Hyderabad (Nizam's Arabian Regiment). Sumber dipetik daripada buku "Hadramaut -Some of Its Mysteries Unveiled oleh D. Van Der Meulen dan H. Von Wissmann.

PENERANGAN 14 14. Muhanunad bin Ahmad As-Syathiri, didalam buku beliau, Sirah As-Salaf Min Bani Alawiy AI- Hussainiyin, untuk membuktikan perkara ini, telah meriwayatkan bahawa Sultan Badr bin Thuwairiq pernah menzahirkan hasrat baginda untuk turun daripada takhta dan menyerahkan kuasa dan pemerintahan kepada Al-lmam Hussain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim (wafat lO44H/1635M). Akan tetapi Imam Hussain secara bijaksana menolak dan meyakinkan baginda supaya terus memerintah, serta berjanji memberi segala bantuan dan nasihat kepada baginda.

PENERANGAN 15 15. Lihat Soal Jawab Agama Islam oleh Prof Dr. Hamka. penerbitan Pustaka Melayu Baru, Kuala Lumpur. 1978. m.s 58

PENERANGAN 16 16. Dari Abu Hurairah r.a .katanya bersabda Rasulullah s.a.w : "Pelajarilah olehmu tentang nasab-nasab kamu agar dapat terjalin dengannya tali persaudaraan kamu. Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu akan membawa kecintaan terhadap keluarga, menambah harta, dan memanjangkan umur". Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya. Tarmizi dan Al-Hakim.

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus, Wajahnya Jernih Dengan Pancaran Nur


Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan akhlaknya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf.

Beliau dilahirkan pada 1888M di Tarim, Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum arifin billah darjat dan karamah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, kerana memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Didikan dan Perjalanannya

Sejak kecil, Habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri, Habib Husein bin Zainal Abidin Al-Aidrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (An-Nisa': 97)

Setelah merantau ke Singapura, beliau berhijrah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Mustafa Al-Aidrus. Dari pernikahan itu beliau dikurniai Allah, tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah. Di sini jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Talib Al-Attas.

Dari Pekalongan beliau berhijrah ke Surabaya tempat Habib Mustafa Al-Aidrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ

Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu.
Selama menetap di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, beliau konon pernah bertemu secara rohaniah dengan seorang wali karismatik, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.

Dikatakan bahawa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani Alawi yang terpilih dan terbaik kerana mereka mewarisi asrar (rahsia-rahsia). Mulai dari ayah dan datuk beliau, tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tasauf dan adab yang telah menyelami ilmu makrifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan mereka sebagai contoh teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma'qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu' (cabang) maupun usul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para aslafuna as-solihin).

Peribadinya Yang Luar Biasa

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah seorang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang kerana memandang wajah beliau yang ceria dan jernih dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berzikir dan berselawat kepada datuk beliau Rasulullah s.a.w.. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari jam 10 pagi hingga Zuhur beliau selalu menyempatkan untuk menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebahagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isyak, beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jumaat, beliau mengadakan pembacaan burdah bersama para jamaahnya.

Beliau memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan masalah masyarakat lainnya. Itu semua beliau terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, beliau sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tetamu merasa hairan dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Al-Aidrus, menantunya, yang juga pimpinan Majlis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara mujahadah beliau, selama 7 tahun berpuasa dan dan hanya berbuka dan bersahur dengan tujuh biji kurma. Bahkan pernah selama setahun beliau berpuasa dan hanya berbuka dan bersahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk berbuka puasa dan bersahur selama setahun itu beliau hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Satu mud ialah 675 gram.

Habib Muhammad pernah berkata, "Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasauf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab salaf itu".

Digelar Habib Neon

Pada suatu malam, ketika ribuan jemaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba bekalan elektrik terpadam. Tentu saja mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Dia mengenakan gamis dan serban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia ialah Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus.

Begitu masuk ke dalam masjid, aneh dan ajaib, mendadak masjid terang-benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah kehairanan. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang-benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Maka, sejak itu beliau mendapat gelaran Habib Neon.

Pewaris Peribadi Imam Ali Zainal Abidin

Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus ialah pewaris peribadi Imam Ali Zainal Abidin yang haliyahnya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:

ثبتوا على قـدم النبى والصحب \ والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى \ قدما على قدم بجد أوزع

Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabiin. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya.

Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan.

Wafatnya
Habib Muhammad bin Husein Al-Aidrus wafat pada 30 Jamadilawal 1389 H/22 Jun 1969 M dalam usia 71 tahun dan jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Al-Aidrus, sesuai dengan wasiatnya.

Setelah beliau wafat, aktiviti dakwahnya dilanjutkan oleh puteranya yang ketiga, Habib Syeikh bin Muhammad Al-Aidrus dengan membuka majlis burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Muhammad diselenggarakan setiap hari Khamis pada akhir bulan Jamadilawal.

Ilmu adalah hijab yang paling besar



Para ahli makrifat menyebutkan, bahwa "ilmu adalah hijab yang paling besar" sehingga seseorang tidak boleh berlama-lama dalam kedudukan (maqam) ini. Yang dimaksud "ilmu" disini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
akal. Hijab ini adalah hijab yang khas bagi manusia yang mampu ia ketahui secara rasional, sehingga segala sesuatu yang telah ia ketahui dengan akalnya, harus segera ia luluhkan, ia torehkan pada instrumen jiwa yang lain. Instrumen jiwa yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk
mencapai jenis pengetahuan lain yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman akal. Dengan begitu seseorang akan dapat melepaskan dirinya dari semua ikatan atau hijab ilmu yang diperolehnya.

Kalau pendengaran dan penglihatan adalah sarana bagi akal untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, maka instrumen jiwa lainnya yang memiliki kapasitas untuk memperoleh ilmu atau
hikmah adalah "hati". Al-Qur'an menggunakan tiga istilah yang berbeda yang menunjukkan tentang hati, yaitu al fuâd, al qalb, dan al shudr.

Ketiganya merupakan istilah yang berbeda tetapi mengacu pada satu hakikat, yaitu hakikat dasar manusia, hati. Masing-masing menunjukkan perbedaan "karakter" sesuai dengan perbedaan keadaan hati. Dalam tulisan ini cukuplah untuk
sementara kita menggunakan istilah hati.

"Dan Allah mengeluarkan kalian dari keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kalian bersyukur". (Surat An-Nahl [16] : 78)

Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa sarana bagi jiwa untuk memperoleh pengetahuan sebagai bekal kesempurnaannya adalah melalui pendengaran, penglihatan, dan hati. Dan
orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang menggunakan sarana tersebut untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mencapai pemahaman mengenai hakikat penciptaannya. Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya cara atau sarana untuk mengetahui sesuatu.

Dalam tasawuf atau di kalangan ahli makrifat, sebagaimana kita maklum, seseorang bisa mengetahui sesuatu dengan tidak melalui akal, tidak pula lewat penginderaan, tetapi lewat cara yang disebut "riyadhah", pendekatan diri kepada Allah, dimana jiwa mengerahkan seluruh kemampuan dan "potensi positif" hati dengan kedisiplinan dan ke"ajeg"an (istiqomah) untuk memperoleh limpahan karunia sesuai kehendak-Nya.

Menurut ahli makrifat, hati adalah tempat perubahan dan pasang surut yang konstan. Di dalam hati terjadi pertempuran antara dorongan hawa nafsu (hawâ) yang menjerembabkan jiwa (nafs) ke dalam kehinaan dengan tarikan ruh yang membawa
jiwa kepada kesucian. Hubungan saling mempengaruhi antara jiwa dengan hawa nafsu adalah melalui hati, sebagaimana hubungan antara jiwa dengan limpahan manifestasi Ilahiah (rûh) juga melalui hati. Ini berarti limpahan ruh Ilahi ke
dalam hati akan mempengaruhi aktivitas jiwa dan perwujudan sifat-sifat terpuji dan kesuciannya, dan sebaliknya kesucian jiwa, tidak akan membiarkan sedikitpun "ruang" di dalam hati
disusupi oleh hawa nafsu. Jiwa akan selalu memperkuat hati dengan selalu membukanya untuk menerima limpahan ruh dan pengajaran dari-Nya.

"Dan segala yang Kami sampaikan kepadamu dari cerita Rasul-Rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita itu telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Surat Huud [11] : 120)

Demikian pula dengan jiwa yang menampakkan aktivitas dan perwujudan sifat-sifat yang rendah adalah cermin dari pengaruh hati yang diisi dan ditundukkan oleh hawa nafsu, dan sebaliknya hati yang dikuasai hawa nafsu akan menutup dirinya dari cahaya petunjuk, karena jiwa yang selalu mengajaknya kepada kegelapan.

"Dan mereka berkata, "Hati kami tertutup dari apa yang kamu seru kami kepada-Nya ... " (Surat Fushshilat [41] : 5)

Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa hati adalah instrumen jiwa yang sanggup mencapai pengetahuan dan limpahan ruh Ilahi, sepanjang ia -hanya selalu- membuka dirinya untuk menerima pancaran cahaya-Nya. Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, maka ia akan menghilangkan tabir yang menutupi mata batin, sehingga pengetahuan tentang Allah (makrifat) -Sang Sumber Ilmu- dapat singgah di dalam hati. Para ahli makrifat menyebut keadaan hati seperti ini dengan
istilah kasyf (penyingkapan). Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah melimpahkan kepada hamba-Nya pengungkapan diri-Nya (tajalli) ke dalam hati hamba-Nya.

Ada sebuah hadis qudsi yang menyatakan, "Meskipun langit dan bumi tidak sanggup memuat-Nya, tapi hati manusia -hamba-Nya-
justru sanggup memuat-Nya". Hati semacam ini adalah hati seorang hamba yang dipenuhi oleh berbagai hakikat Ilahiah, manifestasi Ilahiah dalam bentuk penyingkapan Nama-Nama-Nya dan Sifat-Sifat-Nya. Pengungkapan diri-Nya ke dalam hati hamba-Nya, merupakan anugerah, yang Allah limpahkan kepada manusia agar Ia dapat disaksikan. Ahli makrifat mengatakan bahwa terjadi berbagai penyingkapan yang merasuk ke dalam hati. Atas kehendak-Nya, Allah mengungkapkan diri-Nya lewat satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan
kesenangan, atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Singkatnya, karena Dia adalah Yang Maha Takterbatas, maka penyingkapan ini tidak pernah berulang secara sama dan tidak pula pernah
berakhir. Setiap orang adalah unik, oleh karena itu masing-masing penyingkapan juga unik. Jadi tidak ada dua orang yang merasakan pengalaman tajalli yang sama. Hanyalah yang "merasakan" yang mengetahuinya, dan mereka yang "tidak merasakan" tidak bakal mengetahui. Tajalli melampaui ungkapan kata-kata.

Namun demikian -bagaimana pun- penyaksian hati ini tetaplah menunjukkan bahwa "yang melihat", "Yang Dilihat", dan "cahaya yang menghubungkan" keduanya, merupakan tiga hal yang berbeda dan melahirkan keberagaman. Padahal "Penyaksian di dalam ke -Esa- an-Nya" tidak mengizinkan keragaman seperti itu. Jadi mesti ada "langkah pelampauan" sampai pada satu titik yang dengannya tauhid (penyatuan) bisa dicapai. Karena itu, titik tauhid (sejati) ini hanya bisa dicapai
melalui penghancuran (fana'i) "diri yang mengetahui" di di dalam "Dzat yang diketahui".

Habib Muhammad Al-Muhdhor


Ulama Bondowoso kelahiran Hadro maut merupakan sosok ulama karismatik yang menjadi panutan masyarakat serta rujukan ilmu dari para ulama. Putra dari seorang ulama besar lahir di desa Quwairoh Hadro maut sekitar tahun 1280 H atau 1859 M. Ayah beliau bernama Habib Ahmad bin Muhammad al muhdhar seorang ulama besar di hadro maut. sejak kecil habib Muhammad bin Ahmad Al muhdhor menuntut ilmu dari ayahnya, kecerdasan dan penguasaan materi yang di berikan Ayahnya membuat Ayahnya merasa bangga terhadap putranya. Menginjak Remaja Habib Muhammad Muhdhor belajar kepada seorang Ulama dan Waliyulloh bernama Habib Ahmad bin Hasan Al athos. Gurunya walaupun buta namun mampu melihat dengan pandangan Batiniyyah yang telah dikaruniakan Alloh SWt.

Sewaktu Gurunya Habib Ahmad bin Hasan Al athos pergi ke suatu daerah untuk berdakwah , beliau mengajak Muridnya Habib Muhammad Al muhdhor untuk menemaninya. Mereka menunggang kuda bersebelahan, dalam perjalanan Habib Muhammad minta izin gurunya untuk membacakan Kitab Al Muhadzdzab karya Imam Abu Ishak. Dan sepanjang Perjalanan Habib Muhammad Al Muhdhor membaca Kitab Muhadzdzab sedangkan gurunya menyimak bacaan Muridnya sampai khatam. Selesai menghatamkan Kitab Muhadzadzab gurunyapun mendo’akan habib Muhammad al muhdhor .

Tahun 1886 M Habib Ahmad Al muhdhor ayah Habib Muhmmad al muhdhor meninggal dunia , Orang yang selama ini menjadi sugesti dan tempat mengadu telah dipanggil Alloh SWt. Setelah itu pula habib Muhammad al muhdhor mulai melakukan ritual Dakwahnya ke berbagai daerah. Gaya bahasa dan tutur kata yang lembut mampu meluluhkan hati setiap orang. Setiap kali daerah yang dikunjungi nya selalu ramai orang berbondong -bondong mengelilinginya untuk belajar kepadanya.



Setelah sekian lama melakukan ritual dakwahnya kebebagai daerah hingga akhirnya Beliau menetap di Bondowoso Jawa timur. Keharuman namanya serta kedalaman ilmu yang dimiliki mampu membuat simpatik masyarakat serta para ulama dari berbagai daerah Ditanah air. Salah seorang ulama Surabaya Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi sangat mengagumi habib Muhammad Al Muhdor hingga Menikahkan dengan salah seorang putrinya. Mertua dan Menantu yang memang seorang ulama bahu membahu untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada masyarakat, pendirian Madrasah Al Khaeiriyyah Surabaya dan darul Aitam Jakarta adalah juga merupakan usaha dari Habib Muhammad Muhdhor untuk mengajak para Donatur menyisihkan hartanya membangun tempat tersebut.

Majlisnya tak pernah sepi dari para Muhiibin yang menghadirinya , kepedulian Habib Muhammad al muhdhor terhadap ilmu sangat besar maka tak heran bila beliau mendapat tempat tersendiri di hati para ulama . tak jarang beliau menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab dan mengajarkannya kepada umat. Perhatian beliau terhadap umatpun sangat besar, tak segan segan Habib Muhammad membantu kesulitan umat baik berupa materi mapun imateril. Begitupun terhadap tamu yang berkunjung ke rumahnya, beliau akan sambut tamu tersebut di depan pintu dengan senyumnya yang bersahaja, maka tak jarang para tamu yang berkunjung kerumahnya untuk datang kembali karena keramah tamahan yang dimilki Habib Muhammad Al muhdhor.

Tanggal 4 may 1926 Habib Muhammad al muhdhor Wafat setelah beberapa hari di rawat di Rumah sakit di surabaya, beliau meninggalkan 5 orang putra dan 3 anak perempuan. Masyarakat dan para ulama baik dari Ahli bait maupun ahwal merasa sangat kehilangan sosok ulama yang sangat perduli dengan umat. Beliau dimaqomkan disamping maqom mertuanya Habib muhammad al habsy.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati