Pengalaman Al-Faqir


Beberapa waktu lalu, dalam sebuah obrolan ringan di tengah sawah, seorang kawan, yang cenderung anti tasawuf dan tarekat, bertanya kepada saya:
“Bagaimana mungkin makhluk yang terbatas bisa menjangkau yang tak
terbatas? Bagiku, sangatlah mungkin para sufi itu hanya berhalusinasi. Saya tidak
bilang itu rekayasa jin, seperti dikatakan para ahli ruqyah (yang kadang-kadang kelihatan pongah tampangnya). Tetapi menurutku, itu adalah semacam keadaan psikologis belaka. Sama seperti orang sakau, yang merasa sudah bahagia, padahal tidak. Lagipula, kalau dikatakan Allah “menyatu” bukankah ajaran ini sama artinya dengan mengatakan seseorang “dirasuki” Allah, seperti orang kerasukan jin? Maha Suci Allah dari hal buruk seperti itu. Kalau dikatakan wujud pada hakikatnya satu saja, berarti, maaf, tai kebo, juga pada hakikatnya Allah…. “


Maka perdebatan dimulai. Tetapi, seperti biasa, terlalu sulit untuk mencapai titik temu atau kata sepakat ketika diskusi diawali dari prasangka. Sulit, tapi tidak mustahil. Hanya saja, ketika yang dibahas adalah masalah ketuhanan dan hubungannya dengan alam (termasuk manusia), kita sulit untuk sepakat apabila titik pangkalnya berbeda. Dan kalau toh ini ditulis,
bisa habis jutaan buku untuk membahasnya, tanpa pernah ada kesimpulan yang
memuaskan semua pihak. Mengapa? Sebab ini adalah wilayah “pengalaman” dan
“rasa.”

Ketika kita mengalami sesuatu, dan kita hendak berbagi pengalaman itu ke orang lain yang belum mengalami pengalaman seperti yang kita alami atau rasakan, maka mau tak mau kita harus menggunakan perangkat bahasa. Sementara itu, bahasa bukanlah perangkat yang memadai untuk menampung pengalaman dan rasa. Bahasa adalah hasil dari konvensi, kesepakatan. Bahasa ditetapkan secara arbitrer. Penanda dan petanda, atau ignifier/signified, ditetapkan secara arbitrer sebagai hasil kesepakatan. Adakah alasan mengapa tempat
duduk dikatakan kursi dan tempat tidur dikatakan ranjang? Kalau nenek moyang
kita berabad-abad lalu menyebut tempat duduk sebagai onde-onde, maka mungkin
kita sekarang mengatakan, “Sang pengantin duduk di Onde-Onde pelaminan,”
bukan “duduk di kursi pelaminan.”

Karena itu, pada titik di mana kita harus mengabarkan pengalaman dan rasa kita, maka pada saat itulah kita menggunakan “tafsir.” Kita menafsirkan pengalaman kita. Tetapi, celakanya, kadang-kadang kita kesulitan mengabarkan pengalaman kita dengan penafsiran yang canggih dan filosofis sekalipun. Saat kita hati kita senang karena jatuh cinta, apa yang harus kita sampaikan kepada orang untuk mengabarkan apa yang sedang kita rasakan? Pada akhirnya
kita terpaksa menggunakan kiasan, perlambang, simbol, yang kemungkinan besar bisa mewakili perasaan kita. Jaman dulu orang mengatakan, “hatinya sedang berbunga-bunga,” untuk menunjukkan betapa bahagianya seseorang yang jatuh cinta. Titik Puspa bahkan hanya bisa bilang, “Jatuh cinta, berjuta rasanya.” Tetapi “rasa cinta” itu sendiri tetap tak terungkapkan, tak bisa dirasakan oleh pendengarnya, kecuali si pendengar itu merasakan sendiri “jatuh cinta.”

Dan bahkan, dua orang yang sama-sama sedang jatuh cinta, bisa jadi berbeda dalam menafsirkan pengalamannya sendiri. Orang yang pernah patah hati, lalu kemudian cintanya diterima, akan merasakan dan menafsirkan cinta secara berbeda dengan orang yang kisah cintanya lancar-lancar saja.

Pengalaman sufi barangkali mirip dengan keadaan seperti ini. Tak mengherankan sufi ssangat sering menggunakan perlambang dan jangan heran jika sufi juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan pegalaman “persatuannya.” Dalam konteks sufistik ini, hadits “perbedaan adalah rahmat” menunjukkan makna uniknya – bukan sekedar perbedaan debat rasional atau
akal atau sekedar perbedaan mahzab. Beragamnya pengalaman, dan beragamnya tafsir
atas pengalaman sungguh merupakan “rahmat” tersendiri bagi para “pencari”
Tuhan. Dengan memahami ini, sang pencari bisa tercegah untuk mengambil kesimpulan bahwa pengalaman dirinyalah yang paling valid. Dalam analisis terakhir, para sufi menyadari bahwa Allah tak bisa dipahami hanya melalui satu cara saja, dan karenanya tidak ada klaim tafsir tunggal tentang Tauhid atau ajaran Islam pada umumnya.


Ibn ‘Arabi, sepengetahuan saya, adalah sufi paling jenius dalam soal ini. Dia mengobrak-abrik tafsir tunggal kita tentang Tuhan. Kita sering mengatakan, berdasarkan pengetahuan dari buku dan tafsir eksoteris, bahwa Tuhan adalah ini dan itu. Tetapi, seperti kata Focault, pengetahuan adalah kekuasaan, dan kekuasaan selalu membatasi atau melingkupi obyek
pengetahuan. Bagaimana mungkin kita membatasi Tuhan dalam pengetahuan kita? Tuhan
senantiasa tak terjangkau, sebab bila Dia bisa dijangkau, berarti Dia bisa dipahami, dan berarti Dia berada dalam kekuasaan pengetahuan kita, dan karenanya Dia menjadi terbatas. JIka kita menggunakan alur ini, maka secara epistemologis, bangunan tesis ini menjadi rapuh, dan mudah untuk diragukan.

Inilah yang namanya sifat dari akal. Aql dalam bahasa arab juga berarti membatasi, mengikat. Karenanya, sekeras apapun akal berusaha memahaminya, maka ia hanya memahaminya secara sangat terbatas. Akal adalah seperti jaring ikan. Setiap jaring ada lobangnya. Bayangkan kita punya jaring seluas samudera dengan lobang-lobang jaring berdiameter 10 meter. Maka yang kita bisa ambil mungkin hanya ikan paus. Tetapi jika lobang itu diperkecil,
maka hiu bisa tertangkap. Semakin kecil, semakin banyak yang tertangkap – ubur-ubur, teri, plankton dst. Jaring akal hanya menangkap pengetahuan yang umum, yang sesuai dengan pra-struktur pengetahuan yang telah terakumulasi dalam otak/akal kita. Bisa jadi ia bertambah, atau berkurang (mungkin karena lupa atau yang lainnya). Akal adalah jaring. Lalu, adakah jaring yang tak berlobang, yang bisa menciduk seluruh isi samudera? Tuhan pernah
bilang, “Semesta tak bisa menampung-Ku, tapi hati orang beriman bisa.” Hati adalah jaring tak berlobang. Bukan sembarang hati, tetapi hati orang beriman. Lalu siapakah orang beriman itu?

Dalam kenyataan banyak orang (mengaku atau diakui) beriman. Karenanya, orang beriman di sini lebih dari sekedar beriman KTP. Sufi selalu memahami lebih dari dalam dari yang tersurat, bahkan lebih halus dari yang tersirat. Iman adalah sebentuk kepasrahan. Tetapi, paradoksnya kepasrahan adalah sebentuk perjuangan, sebab jika tak ada perjuangan, maka ia jatuh menjadi putus asa. Batas antara pasrah dan putus asa sedemikian halus – inilah titian sirathal mustaqim, bagai rambut dibelah tujuh. Orang kadang susah membedakan
mana itu pasrah, mana itu putus asa.

Baik mari kita kembali ke hati. Hati orang beriman manakah yang bisa “menampung” Tuhan? Agar sebuah wadah bisa menampung sesuatu, ia harus kosong dulu. Seorang guru zen pernah menuang air ke gelas yang sudah ada isinya, dan karenanya, airnya meluber sia-sia. Hati kita telah penuh dengan hal-hal selain Tuhan, dan karenanya, bagaimana mungkin ia bisa menampung (pengetahuan) Allah? Jadi hati harus dibersihkan, demikian kata para
sufi. Inilah Takhali. Sesudah bersih, hati harus diisi dengan hal yang baik. Ini adalah tahalli. Apa itu hal yang baik? Pantulan asma Allah, asma al-husna. Dalam terminologi sufi, “hati adam itu laksana cermin.” Jika cermin itu bersih, maka ia akan memantulkan asma Allah. Ibn ‘Arabi mengatakan alam, kosmos, adalah cermin, tapi cermin yang sempurna adalah adam (yang juga bermakna kekosongan). Karena itu semua yang ada di alam memantulkan
asma Allah dalam tingkat tertentu, dengan tingkat kejelasan yang berbeda-beda.
Dan yang paling jernih dan jelas pantulannya adalah hati adam, yakni insan kamil, hati yang sudah dibersihkan sebersih-bersihnya. JIka sudah begitu, maka tajalli.


Secara simbolis, sufi mengatakan kita harus melebur titik di atas (huruf kha) menjadi kekosongan (hurf ha) hingga titik itu bisa berada di tengah-tengah (huruf jim) – takhali, tahalli, tajalli. Dengan kata lain, titik adalah simbol pusat dari segala pandangan. Pusat harus dipindah dari benak nalar kepala ke “nalar” hati yang fitrah, sampai muncul realisasi
bahwa “kemana pun engkau menghadap, disitulah wajah Allah.” Agar bisa sampai
realisasi, maka pertama-tama titik itu harus lenyap (huruf ha yg tak ada
titiknya). Pelenyapan ini adalah fana, lalu fana fi fana, yakni fana itu
harus di-fana-kan lagi, hingga baqa, langgeng, hingga akhirnya titik berada
di tengah – simbol keseimbangan.

Maka, ini barangkali tafsir sufi untuk pernyataan “umat Islam adalah umat yang berada di tengah-tengah.” Selama kita masih berada di ruang dan waktu, di mana layar kesadaran (laufh al-mahfudz – papan yang terjaga) kita belum terjaga benar, kita harus berhati-hati, harus berpegang kepada “tali Allah” agar tetap menjaga “titik lingkaran hidup” selalu berada di tengah. Miring sedikit, maka lingkaran hidup menjadi tak imbang. Bagaimana titik agar
bisa istiqamah berada di tengah? Masuklah ke alam keabadian, ketika lingkaran
hidup tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Ketika lingkaran menjadi tak bertepi (atau pinjam istilah Ibn Arabi, “Samudera tak berpantai”) maka di manapun anda berada, anda selalu berada di tengah-tengah. Maka, para sufi berusaha memperluas “lingkaran” kehidupannya, bahkan sebelum mereka masuk alam keabadian. Mereka menghilangkan batas lingkaran bahkan saat mereka masih berada di alam yang terbatas, masih hidup di dunia ini. Maka,
inilah barangkali makna dari “matilah kamu sebelum mati.”

Contoh dahsyat dari layar kesadaran tak bertepi ini adalah Nabi Khidr. Karena ia dianugerahi ilmu ladunni, ilmu dari sisi Allah, Khidr telah bisa menggapai khazanah Lauf al-Mahfudz, dan karenanya ia adalah titik poros itu sendiri. Di manapun khidr berada, ia selalu berada di tengah. Maka, Khidr dengan enteng membunuh seorang anak kecil. Dari perspektif kesadaran ruang dan waktu, ini adalah tindakan bodoh dan kejam. Tetapi, jika anda telah melampaui batasan ini, maka tindakan itu adalah sah, sebab pengetahuan Allah, ilm ladunni, tidaklah dibatasi oleh sebab-akibat atau baik dan buruk, sebab bagaimana mungkin Ia dibatasi sementara Ia sendiri adalah Sumber dari Segala Sumber? Dari perspektif ini, ajaran karma akan tertolak. Tetapi, terlalu sulit secara epistemologis untuk menopang argumen ini, sebab
ini bukan wilayah akal. Karenanya, Khidr memperingatkan Musa as agar bersabar
sebab Khidr tahu bahwa Musa masih berlandaskan pada “sebab-akibat.” Wallahu
a’lam. Tetapi Musa tak bisa bersabar, sebab layar kesadarannya masih bertepi. Maka ia ditinggalkan oleh Khidr.

Tafsir spekulatif seperti di atas bisa jadi memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, kalau begitu, ini sama artinya dengan mengatakan bahwa sufi atau para wali Allah lebih tinggi kedudukannya dibanding Musa, yang nabi. Jelas para penentang tasawuf akan menggunakan penjelasan semacam ini sebagai senjata untuk menghantam para sufi. Ini adalah salah satu kasus, di mana ketika pengalaman diungkapkan, yang muncul adalah paparan yang
reduksionis – selalu ada yang luput dari jaring kata dan akal. Para penentang tasawuf
sering lupa bahwa Sufi dan para wali Allah selalu lebih mengunggulkan Musa di atas mereka sendiri, sebab Allah telah berkenan berdialog dengannya di bukit Sinai. Episode Khidr adalah salah satu fase saja dari seluruh fase kenabian Musa, dan karenanya tak bisa dipakai untuk menjustifikasi bahwa kedudukan sufi lebih tinggi dari pada nabi. Ibn ‘Arabi pernah dikecam
habis karena dalam salah satu esainya dalam futuhat (atau fusuh? Saya agak lupa)
dia mengkritik metode dakwah Nabi Nuh. Menurut Ibn’Arabi, Nuh terlalu menekankan transendensi (tanzih) dan karenanya dakwahnya yang ratusan tahun tak bisa dipahami. Menurut Ibn ‘Arabi, dakwah akan efektif jika menyatukan transendensi (tanzih) dan imanensi (tasybih). Apakah ini sebentuk “kesombongan” Ibn ‘Arabi? Tidak, sebab syaikh al-akbar tak pernah mengklaim lebih tinggi dari nabi. Konsep Ibn ‘Arabi tentang wali, walayah, khataman
awliya, nabi, dan seterusnya, adalah sebuah konsep yang rumit, sebab ia didasarkan pada ilham rabbaniyah, dan karenanya, jika kita berusaha memahaminya dari segi teksnya, atau maknanya berdasarkan “sudut pandang” kita, maka kesan “pelecehan” atas nabi pasti muncul. Bagi saya, syaikh al-Akbar tak pernah melecehkan siapapun, apalagi nabi (ah, barangkali ini kesan subyektif saya saja, karena saya sangat kagum kepada as-Syaikh
ini hingga saya sulit “berjarak” dengannya…wallahu a’lam)

Jadi mari kembali ke topik di atas. “Tali Allah” begitu kokoh dan karenanya tak boleh dibuang supaya kita bisa tetap berada di tengah-tengah. Ini adalah syari’at. Maka, siapapun yang mengaku bertarekat tanpa syariat, maka ia bisa dipastikan tersesat. Syariat adalah informasi yang valid, sedangkan tarekat adalah proses transformasi, dan hakikat-ma’rifat adalah afirmasi. Jika informasinya salah, atau inputnya keliur, prosesnya juga akan keliru.
Jika sepeda motor diberi minyak tanah, maka mesinnya akan rusak, atau proses pembakaran di mesin kacau, sebab inputnya tidak benar, dan karenanya motor tidak bisa jalan, dan bahkan rusak.

Tetapi, banyak orang yang telah bersyariat tetapi tetap tidak naik-naik kedudukan piritualnya. Dalam bahasa sufi, banyak orang beriman mengikuti syariat, tetapi tetap tak sampai pada hakikat – yang terbatas tak sampai-sampai juga pada kesadaran yang tak terbatas, kepada ma’rifat Allah. Lalu, bagaimana agar yang terbatas ini bisa “sampai” kepada yang tak terbatas.

Salah satu cara tahalli adalah dengan zikir, yang oleh nabi dikiaskan sebagai “membersihkan (menggosok) karat di hati” agar hati bisa menjadi cermin yang memantulkan asma al-husna dan karenanya menjadi layar kesadaran yang tak terbatas. Para sufi, kita tahu, sangat menekankan praktik zikir yang benar.Sesudah zikir merasuk ke ingatan, pintu ke organ batin akan terbuka. Dan dari sana, zikir bisa masuk ke dalam lathifah. Berapa jumlah lathifah
itu? Ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan sepuluh, tujuh atau lima. Imam
al-Ghazali menyebut lathifah ini hakikat insan – tempat ma’rifat kepada Allah dan tempat bersemayamnya Nur Ilahiah. Ini adalah sirr, atau rasa yang rahasia, seperti disebut dalam hadits qudsi yang kerap dikutip Syaikh sufi, sanu sirri wa ana sirrhu, manusia itu rasa (rahasia) Ku, dan n Aku dirasakan manusia. Sirr itu semacam inti, seperti dikatakan dalam hadits lainnya yang kira-kira artinya begini — Aku jadikan pada anak adam itu ada istana,
di situ ada dada dan di dalamnya ada qalbu, tempat bolak-baliknya ingatan, dan di dalam qalbu ada fu’ad, kejujuran dalam ingatan, dan di dalamnya ada syaghaf, atau kerinduan dan di dalamnya ada lubbun atau kerinduan yang amat membara, dan di dalamnya ada sirr, kemesraan, dan dalam sirr ada Aku. Sedangkan Imam Qusyairy meringkasnya menjadi tiga urutan, dari qalb ke ruh lalu ke sirr.”

Dalam tarekat qadiriyah wa naqshabandiyah, misalnya, zikir nafi-itsbat, atau kalimat tahlil, dilakukan dengan cara tertentu sehingga aliran zikirnya menyentuh semua lathifah, dari latifah qalb, ruh, sirr, khafi, akhfa, nafsi dan akhirnya ke seluruh tubuh, sehingga tercapai apa yang difirmankan bahwa seluruh keberadaan orang mukmin akan gemetar ketika asma Allah disebut. Zikir itu akan menimbulkan getaran pada lathifah dan orang yang sudah
kasyaf bisa melihat lathifah itu akan memunculkan cahaya ilahiah yang tak terhingga. Tapi karena zikir menyentuh semua lathifah, maka semua lathifah itu akan bercahaya, ada yang merah, hijau, putih, hitam dan kuning. Jika beruntung dikaruniai pembukaan mata hati, kita akan bisa melihat tubuh orang yang berzikir akan bercahaya warna-warni.

Tetapi zikir saja, meski banyak bermanfaat, belumlah cukup untuk sampai ke ketakterhinggaan. Harus ada ikhlas. Uniknya, ada proses yang terbalik dalam zikir. Zikir justru bisa menciptakan rasa ikhlas dan ihsan. Ikhlas itu mengembalikan semua keberadaan kita kepada adam, kekosongan, ketiadaan, sebab sesungguhnya hanya ada Allah, la maujuda illa Allah, dan karenanya semuanya kembali kepada Allah.

Orang yang terikat pada keduniawian berpikir bahwa dengan mengumpulkan banyak harta, ketenaran, menumpuk-numpuk kebaikan tanpa mengembalikannya hakikatnya kepada Allah, seolah-olah mereka adalah pemilik kebaikan itu sendiri, maka mereka pikir itu akan membuat merka mencapai ketinggian martabat. Tetapi, mereka lupa bahwa penjumlahan, akumulasi, tidak akan mengantarkan kepada ketakterhinggaan. Ada sebagian orang lain yang secara
tak sadar mendasarkan diri pada ‘perkalian.’ Mereka percaya bisa hidup berkali-kali, dalam wujud yang berbeda berkali-kali, seperti paham reinkarnasi, inkarnasi, transmigrasi ruh dan sebagainya. Ini keliru. Sebab perkalian tidak akan membawa kita kepada ketakterhinggaan. Lalu apa? Pembagian nol! Jika bilangan dibagi dengan nol, hasilnya tak terhingga.
Dengan kata lain, segala tindakan dan amal saleh kita jika dilambari dengan ikhlas, akan menghasilkan ketakterhinggaan.

Seorang wali Allah pernah berkata jika kita berzikir dengan kalimat tahlil dengan benar, maka dunia akan berada di genggamanmu, tetapi dunia tidak akan pernah bersemayam di hatimu. La illaha illa Allah sangat dahsyat, sebab ia diwariskan dari jiwa yang senantiasa hidup, sebab ia diteruskan melalui mata rantai silsilah keruhanian yang tak terputus. Menurut Qur’an, Islam adalah agama sempurna, dan sesudah Muhammad tak ada lagi nabi dan rasul.
Tetapi, Nur Muhammad tak akan lenyap. Ia akan senantiasa ada. Karenanya,
kalimat tahlil adalah satu-satunya kalimat yang terjamin kesinambungan manfaat
ruhaniahnya. Seorang wali dari India pernah mengatakan, kalimat yang
semakna dengan tahlil juga ada, seperti ‘Aham Brahma Asmi.’ Tetapi, menurut
beliau, jika kita berzikir dengan kalimat ini, efeknya tidak ada, sebab kalimat
itu khusus untuk waktu tertentu pada masa yang sangat lampau, namun tidak
ada kontinuitas. Hanya Rasulullah Muhammad yang diberi hak sebagai pembawa
risalah yang berlanjut hingga akhir zaman. Melalui beliaulah nikmat
Tuhan dicukupkan dan syariat disempurnakan. Karena itu kita bisa memahami
mengapa, misalnya, meski Islam dan para terutama Sufi menghormati keyakinan dan
jalan agama lain, mereka tidak lantas jatuh dalam sinkretisme. Meski para
Sufi memahami ada banyak jalan menuju Allah, tetapi para Sufi tidak pernah
mencampuradukkan agama, tak pernah meninggalkan shalat – pendeknya,
mereka tak pernah meninggalkan syariat Islam. Ketika sufi agung Ibn ‘Arabi
mengatakan bahwa agamanya adalah agama cinta, dan hatinya terbuka untuk
semua hal yang membawa ke jalan cinta, ia tidak bermaksud mengatakan
bahwa semua agama adalah sama. Sampai akhir hayatnya, Ibn ‘Arabi adalah
muslim yang taat pada syariat.

In the final analysis, dengan ikhlas, manusia akan “sampai” ke “penyatuan” dengan ketakterhinggaan. Secara teori sangat sederhana, tetapi praktiknya sangat sulit. Sedemikian sulitnya sehingga kita butuh syaikh yang kamil mukammil. Wallahu A’lam

Menyatu dengan Alloh


Dunia telah mengalami kamajuan segala hal, tetapi di bidang kerohanian, manusia tetap bodoh. Mereka menjelajahi sungai, gunung dan lautan, tetapi dirinya tidak. Apakah gunanya ilmu pengetahuan bila menusia tidak mengenal dirinya. ?

“Tujuan dari semua ilmu pengetahuan adalah satu dan hanya sat. Engkau harus tahu siapa dirimu pada hari pengadilan Engkau boleh mengetahui segala sesuatu, tetapi bila engkau tidak mengenal dirimu sendiri, engkau bodoh”.

Manusia itu bodoh karena ia tidak mengenal dirinya sendiri. Manusia boleh menguasai segala sesuatu yang ada di dunia, tetapi bila ia tidak tahu menahu tentang jiwanya, maka seluruh hidupnya sia-sia belaka.

Tujuan hidup manusia adalah untuk bersatu dengan Tuhan dengan jalan mengingat Tuhan, merasa bahagia dengan keadaan itu dan mengasihi Dia beserta ciptaan-Nya.

Tetapi, dengan memalingkan mukanya dari Tuhan, manusia menjadi hampa-kasih dan menjadi musuh sesamanya.

Manusia yang sayoganya menjadi pecinta atau bakti Tuhan kemudian menjadi pengayom dari kepercayaan palsu dan bersifat keduniawian. Bahkan keduniawian berarti memalingkan diri dari Tuhan dan mencintai serta mendengarkan yang lain ?

“ketahuilah apa artinya keduniawian” yaitu memutuskan hubungan dengan Tuhan, memikirkan tentang segala sesuatu kecuali kasih akan Dia dan mendengarkan akan hal- hal lain kecuali pujian bagi Dia”

semua agama mengkhotbahkan kebenaran etika dan kerohanian yang sama untuk umat manusia. Ajaran pokoknya adalah bahwa manusia harus berkelakuan baik, percaya kepada Tuhan dan berhubungan denga Dia.

Tetapi mereka tidak memberi tahu bagaimana para guru Agama itu telah mencapai puncak kerohanian dan bagaimana kita dapat mencapainya, Mereka menekankan pentingnya untuk mancapai kitab-kitab suci, tetapi mereka tidak menerangkan bagaimana kita juga dapat mengalami semua hal yang diuraikan dalam kitab suci itu serta mereka tidak membawa kita ke kapal itu.

Dalam dunia seperti itu, para suci menunjukan Rahasianya dan memberitahukan jalan yang mudah untuk mencapai kenyataan yang terdapat dalam diri setiap umat manusia.

Mereka mengatakan, jalan itu telah diciptakan oleh Tuhan dan telah ada sejak permulaan ciptaan. Itu bukan buatan manusia

Para suci mengatakan bahwa Tuhan memang ada dan bahwa semua agama berusaha untuk menyatukan diri dengan Dia. Jalan penyatuan diri dengan Tuhan itu di sebut Agama “Religion” (Agama) berasal dari kata `religare` yang berarti ‘menyatukan’ atau ‘mengikat’. Tujuannya yang sejati sudah terkandung dalam makna kata itu sendiri.

Tuhan merupakan lautan kehampaan yang tak terbatas, tak terhingga dan maha tembus. Selama pikiran kita tidak sama sekali diam, jiwa tidak dapat menghayati kesunyian yang memancarkan Suara sunyi atau sabda. Dan dengan menghubungi sabda itu, jiwa kita akan menyatu dengan kesunyian itu. Begitulah rahasiah kesunyian.

Namun demikian akal budi tidak dapat memahami hal-hal yang kekal abadi. Itu hanya dapat di pahami oleh jiwa dan hanya dapat dilihat dengan cara masuk ke dalam. Kita tidak dapat membayangkan Tuhan, kerena Ia berada di luar jangkauan pikiran dan akal budi..

Bagaimanakah kita dapat menyatu dengan Tuhan (Alloh) ? Tuhan yang tidak terbatas, yang melampaui semua ini, yang terbesar dari segala yang besar, mengambil wujud yang terkecil diantara segala yang terkecil, dan menempatkan dirinya dalam hati manusia. Kebenaran ini menakjubkan karena Tuhan yang Maha Besar tak terhingga dan Maha Kuasa, membiarkan Dirinya terkurung dalam hati manusia.

Jika kekuasaanmu sebagai manusia disatukan dengan kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas, engkau jadi maha besar dan maha kuasa, engkau menunggal dengan Tuhan.

Proses yang menyatukan Tuhan dengan dirimu di sebut Bakti, jalan pengabdian .

Bila engkau dekat dengan Tuhan dan bila engkau disayang Tuhan , engkau akan memperoleh kasih-Nya, dan segera semua sifat burukmu akan lenyap dan diganti dengan sikap sifat-sifat yang baik yang merupakan

Kembangkanlah kasihmu sehingga engkau selalu makin dekat dengan Tuhan dan makin di cintai Tuhan.

Cara termudah untuk mendekatkan diri pada Tuhan ialah dengan mengingat Dia pada waktu melihat, mengatakan, dan malakukan apapun saja.

Hanya melalui pengabdian sepenuh hati, engkau dapat memahami Aku, engkau dapat melihat Aku yang sesungguhnya, dan engkau dapat masuk ke dalam Aku serta manunggal dengan Aku (Tuhan).

Menurut Al-Quran : dan kami (Alloh) lebih dekat kepadanya dari pada Urat leher nya : Q.S Qaat (50 ayat 16)

Dan dialah (Alloh) bersama kamu di mana saja kamu berada. (Q.S Al-Hadiid (57 ayat 4)

barang siapa yang menharapkan untuk menemui Alloh, maka janji Alloh akan datang, Dia Maha mendengar dan Maha Mengetahui. Al-Ankabut (29 ayat 5)

hai manusia, sesungguhnya kamu harus mengusahakan diri dengan ketekunan yang setekun- tekunya sehingga sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya. (Q.S Al-Insyiqaaq (84 ayat 6).

Kisah Balasan Menghormati Keturunan Rasulullah (Wanita Alawiyah)


Di dalam kitab Al-Multaqith diceritakan, bahwa sebagian bangsa Alawiyah ada yang bermukim di daerah Balkha. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan beberapa anak wanita mereka. Keadaan keluarga tersebut serba kekurangan.

Ketika suaminya meninggal dunia, isteri beserta anak-anak wanitanya meninggalkan kampung halamannya pergi ke Samarkand untuk menghindari ejekan orang di sekitarnya. Kejadian tersebut terjadi pada musim dingin. Saat mereka telah memasuki kota, si ibu mengajak anak-anaknya singgah di masjid, sementara dirinya pergi untuk mencari sesuap nasi.

Di tengah perjalanan si ibu bertemu dengan dua kelompok orang, yang satu dipimpin oleh seorang Muslim yang merupakan tokoh di kampung itu sendiri, sedang kelompok satunya lagi dipimpin oleh seorang Majusi, pemimpin kampung itu.

Si ibu tersebut lalu menghampiri tokoh tersebut dan menjelaskan mengenai dirinya serta berkata, “Aku mohon agar tuan berkenan memberiku makanan untuk keperluan malam ini!”

“Tunjukkan bukti-bukti bahawa dirimu benar-benar bangsa Alawiyah,” kata tokoh orang Muslim di kampung itu. “Di kampung tidak ada orang yang mengenaliku,” kata ibu tersebut.

Sang tokoh itu pun akhirnya tidak menghiraukannya. Seterusnya dia hendak memohon kepada si Majusi, pemimpin kampung tersebut. Setelah menjelaskan tentang dirinya dengan tokoh kampung, lelaki Majusi lalu memerintahkan kepada salah seorang anggota keluarganya untuk datang ke masjid bersama si ibu itu, akhirnya dibawalah seluruh keluarga janda tersebut untuk tinggal di rumah Majusi yang memberinya pula pelbagai perhiasan yang bagus.

Tidak berapa lama sesudah itu tokoh masyarakat yang beragama Islam itu bermimpi seakan-akan hari Kiamat telah tiba dan panji kebenaran berada di atas kepala Rasulullah SAW. Dia pun sempat menyaksikan sebuah istana tersusun dari zamrud berwarna hijau. Kepada Rasulullah SAW. dia lalu bertanya, “Wahai Rasululah! Milik siapa istana ini?”

“Milik seorang Muslim yang mengesakan Allah,” jawab Rasulullah. “Wahai Rasulullah, aku pun seorang Muslim,” jawabnya.

“Coba tunjukkan kepadaku bahawa dirimu benar-benar seorang Muslim yang mengesakan Allah,” sabda Rasulullah SAW. kepadanya.

Dia pun bingung atas pertanyaan Rasulullah, dan kepadanya Rasulullah SAW. kemudian bersabda lagi, “Di saat wanita Alawiyah datang kepadamu, bukankah kamu berkata kepadanya, “Tunjukkan mengenai dirimu kepadaku!” Karenanya, demikian juga yang harus kamu lakukan, yaitu tunjukkan dahulu mengenai bukti diri kamu sebagai seorang Muslim kepadaku!”

Sesaat kemudian lelaki muslim itu terjaga dari tidurnya dan air matanya pun jatuh berderai, lalu dia memukuli mukanya sendiri. Dia
berkeliling kota untuk mencari wanita Alawiyah yang pernah memohon pertolongan kepadanya, hingga dia mengetahui di mana kini wanita
tersebut berada.

Lelaki Muslim itu segera berangkat ke rumah orang Majusi yang telah menampung wanita Alawiyah beserta anak-anaknya. “Di mana wanita Alawiyah itu?’ tanya lelaki Muslim kepada orang Majusi.”Ada padaku,” jawab si Majusi. “Aku ingin menemuinya,” ujar lelaki Muslim itu. “Tidak semudah itu,” jawab lelaki Majusi. “Ambillah uang seribu dinar dariku dan kemudian mereka akan menemuimu,” desak lelaki Muslim. “Aku tidak akan melepaskannya. Mereka telah tinggal di rumahku dan dari mereka aku telah mendapatkan berkatnya,” jawab lelaki Majusi itu. “Tidak boleh, engkau harus menyerahkannya,” ujar lelaki Muslim itu seolah-olah memaksa.

Maka, lelaki Majusi pun menegaskan kepada tokoh Muslim itu, “Akulah yang berhak menentukan apa yang kamu minta. Dan istana yang pernah kamu lihat dalam mimpi itu adalah diciptakan untukku! Apakah kamu mau menunjukkan keislamanmu kepadaku? Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidak akan tidur sebelum kami memeluk agama Islam di hadapan wanita Alawiyah itu, dan aku pun telah bermimpi sepertimana yang kamu mimpikan, serta Rasulullah SAW. sendiri telah pula bersabda kepadaku, “Adakah wanita Alawiyah beserta anaknya itu padamu?”

“Ya, benar,” jawabku.

“Istana itu adalah milikmu dan seluruh keluargamu. Kamu dan semua keluargamu termasuk penduduk syurga, karena Allah sejak zaman azali dahulu telah menciptakanmu sebagai orang Mukmin,” sabda Rasulullah kembali.

Jama'ah Ahli Wilayyah



1. Penjelasan Allah Ta'ala tentang wali-wali-Nya, dan karamah-karamah mereka dalam firman-firman-Nya, seperti firman-firman-Nya berikut.
* "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (Yunus: 62-64)
* "Allah pelindung (wali) orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." (Al-Baqarah: 257)
* "Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa." (Al-Anfal: 34)
* "Sesungguhnya pelindungku (waliku) ialah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih." (Al-A'raf: 196)
* "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkinan dan kekejian sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24)
* "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka." (Al-Isra': 65)
* "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah'." (Ali Imran: 37)
* "Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan. Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelah oleh ikan paus besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit." (As-Shaffaat: 139-144)
* "Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu." (Maryam: 24-26)
* "Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.' Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi." (Al-Anbiya: 69-70)
* "Atau kamu kira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, 'Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).' Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu." (Al-Kahfi: 9-12)

2. Penjelasan Rasulullah saw. tentang wali-wali Allah Ta'ala, dan karomah-karomahnya mereka dalam hadits-haditsnya, seperti dalam hadits-hadits berikut ini.
* Sabda Rasulullah saw. yang beliau riwayatkan dari Allah Azza wa Jalla yang berfirman, "Siapa memusuhi wali-Ku, Aku mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatau yang paling aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika aku telah menintainya, Aku menjadi telinganya di mana ia mendengar dengannya, Aku menjadi matanya di mana ia melihat dengannya, Aku menjadi tangannya di mana ia bertindak dengannya, dan Aku menjadi kakinya di mana ia berjalan dengannya. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi permintaannya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
* Sabda Rasulullah saw. dalam haditsnya yang beliau riwayatkan dari Allah Ta'ala yang berfirman, "Aku pasti balas dendam bagi wali-wali-Ku seperti balas dendamnya singa yang marah."
* "Sesungguhnya Allah mempunyai orang-orang jika mereka bersumpah dengan Allah, maka Allah pasti mengabulkan sumpahnya." (Muttafaq Alaih).
* "Sungguh pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang muhaddatsun (orang yang diberi ilham kebenaran di mulut mereka). Jika di umatku terdapat salah seorang dari mereka, maka dialah Umar bin Khaththab." (Muttafaq Alaih).
* "Seorang wanita menyusui anaknya, kemudian ia melihat seorang laki-laki mengendarai kuda molek, ia pun berkata, ‘Ya Allah, jadikan anakku seperti itu.' Kemudian anak yang disusuinya menoleh ke arah orang tersebut, dan berkata, ‘Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia'." (Muttafaq Alaih). Ucapan anak yang masih menyusui tersebut adalah karamah bagi ayahnya, dan bagi dia sendiri.
* Sabda Rasulullah saw. tentang kisah ahli ibadah Juraij, dan ibunya, ketika ibunya berkata, "Ya Allah, jangan matikan dia (Juraij) hingga Engkau memperlihatkan padanya wajah wanita-wanita pelacur." Allah Ta'ala mengabulkan doa ibu Juraij sebagai karamah dari-Nya kepadanya. Ahli ibadah, Juraij berkata -ketika ia dituduh bahwa bayi haram adalah anaknya- kepada bayi tersebut, "Siapa ayahmu, nak?" Bayi tersebut menjawab, "Ayahku adalah pengembala kambing." (Diriwayatkan Al-Bukhari). Ucapan bayi tersebut adalah karamah bagi Juraij.
* Sabda Rasulullah saw. tentang tiga sekawan yang tertahan di dalam gua karena batu menutup pintunya, kemudian mereka berdoa kepada Allah Ta'ala dan mendekat kepada-Nya dengan amal perbuatan mereka. Allah Ta'ala pun mengabulkan doa mereka, dan membukakan pintu gua bagi mereka, hingga mereka dapat keluar daripadanya dengan selamat. Itu adalah karomah mereka. (Muttafaq Alaih).
* Sabda Rasulullah saw. tentang pendeta dengan muridnya. Beliau berkisah bahwa murid pendeta tersebut melempar batu ke hewan yang menghalangi perjalanan manusia, kemudian hewan tersebut mati, dan manusia pun bisa berjalan kembali dengan normal. Itu adalah karamah bagi murid tersebut. Raja ketika itu berupaya membunuh sang murid dengan berbagai cara, namun semuanya gagal. Bahkan, mereka melemparkanya dari gunung tinggi, namun sang murid tidak mati. Raja melempar sang murid ke laut, namun ia keluar daripadanya dengan berjalan dan tidak mati. Itun semua adalah karamah bagi sang murid yang beriman dan shalih. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
3. Penglihatan langsung ribuan ulama terhadap para wali dan karamah-karamah mereka yang tidak bisa dihitung (sebagian besar karomah-karomah ini disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Sunan-Sunan yang shahih, dan atsar-atsar yang diterima dengan mutawatir).
* Diriwayatkan bahwa para malaikat mengucapkan salam kepada Imran bin Hushain r.a.
* Salman dan Abu Darda' Radhiyallahu Anhuma makan di salah satu piring, kemudian piring tersebut, atau makanan yang ada di dalamnya bertasbih.
* Khabbab r.a. ditawan di Makkah, kemudian ia diberi anggur oleh seseorang yang kemudian ia makan, padahal di Makkah tidak ada anggur.
* Al-Barra' bin Azib, jika ia bersumpah dengan sesuatu kepada Allah Ta'ala, maka Dia mengabulkannya. Di Perang Al-Qadisiyyah, ia bersumpah kepada Allah Ta'ala, agar Dia membuat kaum Muslimin bisa memenggal kepala orang-orang musyrikin. Dan ia orang yang pertama kali syahid di dalamnya. Permintaan Al-Barra' bin Azib tersebut betul-betul terkabul.
* Ketika Umar bin Khaththab r.a. berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw., tiba-tiba ia berkata "Hai Sariyah, ke gunung! Hai Sariyah, ke gunung!" Umar bin Khaththab memberi pengarahan kepada komandan pasukan yang bernama Sariyah, dan Sariyah pun mendengar suara Umar bin Khaththab. Kemudian pasukan bergerak ke gunung. Itu adalah kemenangan mereka, dan kekalahan musuh-musuh mereka, kaum musyrikin. Ketika Sariyah pulang ke Madinah, ia bercerita kepada Umar bin Khaththab dan para sahabat, bahwa ia mendengar suara Umar bin Khaththab yang diucapkan di atas mimbar Rasulullah saw.
* Jika Al-Ala' bin Al-Hadhrami r.a. berkata dalam doanya, "Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, Wahai Dzat Yang Maha Bijaksana, Wahai Dzat Yang Maha Tinggi dan Wahai Dzat Yang Maha Agung," maka doanya dikabulkan Allah Ta'ala. Bahkan, ketika ia dan pasukannya mengarungi lautan, maka pelana kuda-kuda mereka tidak basah.
* Hasan Basri mendoakan keburukan kepada orang yang menyakitinya, kemudian orang tersebut meninggal dunia saat itu juga.
* Salah seorang dari An-Nakh'i sedang mengendarai keledainya, tiba-tiba keledainya mati dalam perjalanannya. Kemudian ia berwudhu, shalat dua rakaat, dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Tiba-tiba Allah menghidupkan kembali keledainya, kemudian ia letakkan barangnya di atas keledainya lagi. Dan karamah-karamah lainnya yang tidak bisa dihitung, dan disaksikan ribuan manusia, bahkan jutaan manusia.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 75-81

9 Pedang Nabi Muhammad SAW


ini adalah pedang-pedang yang pernah dipakai oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya untuk berdakwah. jumlah total pedang yang pernah digunakan ada 9 buah.

1.Al Mat'thur

Juga dikenal sebagai 'Ma'thur Al-Fijar' adalah pedang yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebelum dia menerima wahyu yang pertama di Mekah. Pedang ini diberi oleh ayahnya, dan dibawa waktu hijrah dari Mekah ke Medinah sampai akhirnya diberikan bersama-sama dengan peralatan perang lain kepada Ali bin Abi Thalib.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 99 cm. Pegangannya terbuat dari emas dengan bentuk berupa 2 ular dengan berlapiskan emeralds dan pirus. Dekat dengan pegangan itu terdapat Kufic ukiran tulisan Arab berbunyi: 'Abdallah bin Abd al-Mutalib'.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

2.Al Adb

Al-'Adb, nama pedang ini, berarti "memotong" atau "tajam." Pedang ini dikirim ke para sahabat Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum Perang Badar. Dia menggunakan pedang ini di Perang Uhud dan pengikut-pengikutnnya menggunakan pedang ini untuk menunjukkan kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW.

Sekarang pedang ini berada di masjid Husain di Kairo Mesir.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

3.Dhu Al Faqar

Dhu Al Faqar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan pada waktu perang Badr. Dan dilaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan pedang ini kepada Ali bin Abi Thalib, yang kemudian Ali mengembalikannya ketika Perang Uhud dengan bersimbah darah dari tangan dan bahunya, dengan membawa Dhu Al Faqar di tangannya. Banyak sumber mengatakan bahwa pedang ini milik Ali Bin Abi Thalib dan keluarga. Berbentuk blade dengan dua mata.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

4.Al Battar




Al Battar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Pedang ini disebut sebagai 'Pedangnya para nabi', dan di dalam pedang ini terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi : 'Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Zakaria AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW'. Di dalamnya juga terdapat gambar Nabi Daud AS ketika memotong kepala dari Goliath, orang yang memiliki pedang ini pada awalnya. Di pedang ini juga terdapat tulisan yang diidentifikasi sebagai tulisan Nabataean.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 101 cm. Dikabarkan bahwa ini adalah pedang yang akan digunakan Nabi Isa AS kelak ketika dia turun ke bumi kembali untuk mengalahkan Dajjal.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

5.Hatf

Hatf adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Dikisahkan bahwa Nabi Daud AS mengambil pedang 'Al Battar' dari Goliath sebagai rampasan ketika dia mengalahkan Goliath tersebut pada saat umurnya 20 tahun. Allah SWT memberi kemampuan kepada Nabi Daud AS untuk 'bekerja' dengan besi, membuat baju baja, senjata dan alat perang, dan dia juga membuat senjatanya sendiri. Dan Hatf adalah salah satu buatannya, menyerupai Al Battar tetapi lebih besar dari itu. Dia menggunakan pedang ini yang kemudian disimpan oleh suku Levita (suku yang menyimpan senjata-senjata barang Israel) dan akhirnya sampai ke tangan Nabi Muhammad SAW

Sekarang pedang ini berada di Musemum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade, dengan panjang 112 cm dan lebar 8 cm.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

6.Al Mikhdham

Ada yang mengabarkan bahwa pedang ini berasal dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian diberikan kepada Ali bin Abi Thalib dan diteruskan ke anak-anaknya Ali. Tapi ada kabar lain bahwa pedang ini berasal dari Ali bin Abi Thalib sebagai hasil rampasan pada serangan yang dia pimpin di Syria.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 97 cm, dan mempunyai ukiran tulisan Arab yang berbunyi: 'Zayn al-Din al-Abidin'.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

7.Al Rasub

Ada yang mengatakan bahwa pedang ini dijaga di rumah Nabi Muhammad SAW oleh keluarga dan sanak saudaranya seperti layaknya bahtera (Ark) yang disimpan oleh bangsa Israel

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 140 cm, mempunyai bulatan emas yang didalamnya terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi: 'Ja'far al-Sadiq'.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

8.Al Qadib

Al-Qadib berbentuk blade tipis sehingga bisa dikatakan mirip dengan tongkat. Ini adalah pedang untuk pertahanan ketika bepergian, tetapi tidak digunakan untuk peperangan. Ditulis di samping pedang berupa ukiran perak yang berbunyi syahadat: "Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul Allah - Muhammad bin Abdallah bin Abd al-Mutalib." Tidak ada indikasi dalam sumber sejarah bahwa pedang ini telah digunakan dalam peperangan. Pedang ini berada di rumah Nabi Muhammad SAW dan kemudian hanya digunakan oleh khalifah Fatimid.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Panjangnya adalah 100 cm dan memiliki sarung berupa kulit hewan yang dicelup.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

9.Qal'a

Pedang ini dikenal sebagai "Qal'i" atau "Qul'ay." Nama yang mungkin berhubungan dengan tempat di Syria atau tempat di dekat India Cina. Ulama negara lain bahwa kata "qal'i" merujuk kepada "timah" atau "timah putih" yang di tambang berbagai lokasi. Pedang ini adalah salah satu dari tiga pedang Nabi Muhammad SAW yang diperoleh sebagai rampasan dari Bani Qaynaqa. Ada juga yang melaporkan bahwa kakek Nabi Muhammad SAW menemukan pedang ini ketika dia menemukan air Zamzam di Mekah.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 100 cm. Didalamnya terdapat ukiran bahasa Arab berbunyi: "Ini adalah pedang mulia dari rumah Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah." Pedang ini berbeda dari yang lain karena pedang ini mempunyai desain berbentuk gelombang.

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa 'uddah harbi-hi

Hadirnya Nabi Khidir AS pada wafatnya Nabi Muhammad SAW


Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kemudian beliau memperhatikan kami sekalian sehingga berderrailah air matanya dan bersabda: “Selamat datang bagi kamu sekalian dan mudah-mudahan kamu sekalian dibelas kasihani oleh Allah, saya berwasiat agar kamu sekalian bertaqwa kepada Allah sertamentaatiNya. Sungguh telah dekat hari perpisahan kita dan telah dekat pula saat hamba yang dikembalikan pulang kepada Allah ta’ala dan menemui surgaNya. Kalau sudah datang saat ajalku, hendaklah Aly yang memandikan, Fadhal bin Abas yang menuangkan air, dan Usamah bin Zaid yang menolong keduanya, kemudian kafanilah aku dengan pakaianku sendiri, bila kamu sekalian menghendaki, atau dengan kain Yaman yang putih; Kalau kamu sekalian memandikan aku, maka taruhlah aku diatas balai tempat tidurku dirumahku ini, dekat dengan lobang lahatku. Sesudah itu keluarlah kamu sekalian barang sesaat meninggalkan aku. Pertama-tama yang mensholati aku ialah Allah Aza wajalla, kemudian malaikat Jibril, kemudian malaikat Isrofil, malaikat Mikail, kemudian malaikat Izroil dan beserta para pembantunya, selanjutnya semua para malaikat. Sesudah itu masuklah kamu sekalian dengan berkelompok-kelompok dan lakukan sholat untukku.”

Setelah mereka mendengarkan ucapan perpisahan Nabi Muhammad saw, mereka para sahabat menjerit dan menangis seraya berkata, “Wahai Rosullullah, Engkau adalah seorang Utusan untuk Kami sekalian , menjadi kekuatan dalam pertemuan Kami dan sebagai penguasa yang mengurus perkara Kami, bila mana Engkau telah pergi dari Kami, kepada siapakah Kami kembali dalam segala persoalan?”

Rosullullah bersabda,”Telah kutinggalkan kamu sekalian pada jalan yang benar dan diatas jalan yang terang dan telah kutinggalkan pula untuk kamu sekalian dua penasehat yang satu pandai bicara yang satunya diam saja, yang pandai bicara adalah al-Qur’an dan yang diam adalah ajal atau kematian. Apabila ada persoalan yang sulit bagimu, maka kembalilah kamu sekalian kepada Al-Qur’an dan kepada sunnah. Dan kalau hati kamu keras membatu maka lunakkan dia dengan mengambil tamsil ibarat dari hal ihwal mati.

Sesudah itu maka Rosullullah saw menderita sakit mulai akhir bulan Shafar selama delapan belas hari. Para sahabat pun menengok silih berganti. Sedang penyakit yang diderita mulai hari pertama sehingga akhir hayatnya ialah pusing kepala.

Rosullullah mulai menjadi Rosullullah pada hari senin dan wafat juga pada hari senin. Tatkala pada hari senin, penyakit beliau bertambah berat. Maka setelah Bilal selesai adzan subuh, dia pergi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw sambil mengucapkan salam, “Assalamu alaika ya Rosullullah!” Siti Fatimah menjawab, “ Rosullullah masih sibuk dengan dirinya sendiri” Bilal terus kembali masuk ke Masjid, dia tidak memahami kata-kata Fatimah. Ketika waktu subuh makin terang, Bilal datang lagi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw dan salam seperti semula. Rosullullah mendengar suara Bilal itu, maka beliau bersabda : ‘’ Masuklah hai Bilal, aku masih sibuk terhadap diriku sendiri dan penyakitku rasanya bertambah berat. Maka suruhlah Abu Bakar agar sholat berjamaah dengan orang-orang yang hadir. Bilalpun keluar sambil menangis dan meletakkan tangannya diatas kepala, sambil mengeluh, “Aduh musibah, susah, terputus harapan, telah habis hilang tempat tujuan, andaikata ibuku tidak melahirkan aku.”

Bilal terus masuk masjid dan berkata,”Hai sahabat Abu Bakar, sungguh Rosullullah menyuruh engkau agar sholat bersama-sama dengan orang yang hadir, karena Beliau sibuk mengurusi dirinya yang sedang sakit. Ketika Abu Bakar melihat mihrab (tempat sholat imam) kosong dan Rosullullah tidak hadir, maka Abu Bakar menjerit keras sekali dan jatuh tersungkur karena pingsan. Maka ributlah kaum muslimin, sehingga Rosullullah mendengar keributan mereka, dan bertanya kepada Fatimah, “Hai Fatimah mengapa pagi ini, dan apakah keributan di sana itu?” Siti Fatimah menjawab, “Keributan di sana itu ialah kaum muslimin sendiri , karena engkau tidak hadir”. Maka Rosullullah saw memanggil Ali dan Fadhan bin Abbas, lalu beliau bersandar kepada keduanya dan keluar rumah menuju masjid lalu sholat bersama-sama dengan mereka dua rekaat. Selesai sholat beliau berpaling ke belakang dan bersabda, ”Hai kaum muslimin, Kamu semua dalam pemeliharaan dan pertolongan Allah, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah serta mentaatinya, maka sesungguhnya saya akan meninggalkan dunia ini. Dan di hari ini hari pertamaku di akhirat dan hari terakhir bagiku di dunia”.

Lalu Rosullullah saw berdiri dan pulang ke rumahnya. Kemudian Allah ta’ala memberi perintah kepada malaikat kematian, ”Turunlah Engkau kepada KekasihKu dengan sebaik-baiknya bentuk, dan lakukan dengan halus dalam mencabut ruhnya, kalau dia mengijinkan kamu masuk, masuklah dan kalau tidak mengijinkan maka janganlah masuk dan kembalilah”.

Maka malaikat kematian pun turun dengan bentuk seperti orang Arab Baduwi desa, seraya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum ya ahlal baiti nubuwwati wa ma’danir risalati adkhulu?(mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kamu sekalian, wahai penghuni rumah kenabian dan sumber risalah, apakah saya boleh masuk?) ”

Maka Rosullullah saw mendengarkan suara malaikat kematian itu dan bersabda, “Hai Fatimah, siapa yang berada di pintu?” Siti Fatimah menjawab, “Seorang Arab Baduwi yang memanggi dantelah aku katakan bahwa Rosullullah sedang sibuk menderita sakitnya, kemudian memanggil lagi yang ketiga kali seperti itu juga, makadia memandang tajam kepadaku, sehingga menggigil gemetar badanku, terasa takut hatiku dan bergeraklah sendi-sendi tulangku seakan-akan hampir berpisah satu sama lainnya serta berubah menjadi pucat warnaku, Rosullullah saw bersabda, “Tahukah engkau wahai Fatimah, siapa dia” Siti Fatimah menjawab, “Tidak” Rosullullah bersabda, “Dia adalah Malaikat yang mencabut segala kelezatan, yang memutus segala macam nafsu syahwat, yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan keadaan kuburan.”

Maka menangislah Siti Fatimah, dengan tangisan yang keras sekali sambil berkata, “ Aduhai celaka nantinya, sebab kematiannya Nabi yang terakhir, sungguh merupakan bencana besar dengan wafatnya orang yang paling taqwa, terputusnya dari pimpinannya para orang-orang yang suci serta penyesalan bagi kami sekalian karena terputusnya wahyu dari langit, maka sungguh saya terhalang mendengarkan perkataan engkau, dan tidak lagi bisa mendengarkan salam engkau sesudah hari ini” Kata Rosullullah, “Jangan Engkau menangis Fatimah, karena sesungguhnya, engkaulah dari antara keluargaku yang pertama berjumpa dengan aku” Selanjutnya Rosullullah saw bersabda, “Masuklah Engkau Malaikat Kematian, Maka Malaikat Kematianpun masuk sambil mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika yaa Rosullullah” Rosullullah menjawab, “Wa laika salam, hai malaikat kematian, engkau datang untuk berkunjung atau untuk mencabut nyawaku?” Kata malaikat Kematian, “Saya datang untuk berkunjung dan untuk mencabut nyawa, sekiranya Engkau mengijinkan. Kalau tidak maka saya akan kembali”.
Kata Rosullullah, “ Hai Malaikat Kematian, dimana Jibril Engkau tinggalkan?” Kata malaikat Kematian, ”Dia saya tinggalkan di langit duniadan para malaikat sedang menghormat memuliakan dia”. Tidak selang sesaat Malaikat Jibril as pun turun dan duduk diarah kepala Rosullullah saw. Kata Rosullullah saw, “Tahukah Engkau kalau ajalku telah dekat?” Jawab malaikat Jibril, “Ya Tahu, Yaa Rosullullah” Kata Rosullullah, “Beritahukanlah kepadaku kemuliaan yang menggembirakanku di sisi Allah”.

Kata Jibril, “Sungguh pintu-pintu langit telah dibuka, para malaikat telah berbaris rapi, menanti ruh engkau di langit, pintu-pintu surga telah telah dibuka dan para bidadari telah berhias menanti kehadiran ruh Engkau”.

Kata Rosullullah, “Alhamdulillah, Hai Jibril, berilah berita gembira tentang umatku di hari kiamat”. Jibril berkata, “Saya beritahukan, bahwa sesungguhnya bahwa Allah ta’ala berfirman, Sungguh telah Aku larang para nabi masuk ke dalam Surga, sehingga engkau masuk lebih dulu, dan Aku larang juga semua umat sehingga umat engkau masuk lebih dahulu.” Kata Rosullullah, “Sekarang telah puas hatiku dan hilanglah rasa susahku. Hai malaikat Kematian mendekatlah kepadaku.”

Malaikat Kematian mendekat dan melaksanakan tugasnya mencabut ruh Beliau, dan ketika ruh sampai di pusat (perut), Rosullullah berkata, “Hai Jibril, alangkah dahsyatnya rasa mati itu” maka malaikat Jibril memalingkan wajahnya dari Rosullullah saw, “Hai Jibril apakah Engkau tidak suka melihat wajahku?” Kata Jibril, “Wahai kekasih Allah, siapakah orangnya yang sampai hati melihat wajah Engkau, sedang Engkau di dalam sakaratul maut”.

Annas bin Malik ra berkata, “ketika ruh nabi Muhammad saw sampai di dada beliau bersabda, Aku wasiatkan agar kamu sekalan menjaga sholat dan apa-apa yang menjadi tanggungannmu maka, masih saja beliau berwasiat dengan keduanya itu sampai putuslah perkataannya.”

Kata Ali ra, ´Sungguh Rosullullah saw ketika menjelang akhir hanyatnya telah menggerakkan dua bbibirnya dua kali, dan ketika saya mendekatkan telinga, saya mendengarkan beliau mengucapkan dengan pelan-pelan, umatku… umatku…”

Maka ruh Rosulullah saw dicabut pada hari senin bulan Rabi’ul awwal. Seandainya dunia ini akan kekal bagi seseorang, Niscaya Rosulullah saw di dunia ini akan kekal.

Diriwayatkan, bahwa Ali telah membaringkan jenazah Rosullullah saw untuk dimandikan tiba-tiba ada suara dari sudut rumah yang mengatakan dengan keras sekali, “Muhammad jangan engkau mandikan karena dia sudah suci dan disucikan” maka timbullah keragu-raguan pada diri Ali terhadap suara itu. Kata Ali, “Siapa Engkau sebenarnya, karena sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah memerintahkan untuk memandikan.”

Tiba-tiba ada suara lain yang mengatakan, “Wahai Ali, mandikanlah dia,karena sesungguhnya suara yang pertama tadi adalah suara Iblis terkutuk, sebab dengki terhadap Muhammad saw maka dia bermaksud agar beliau dimasukkan ke dalam kubur tanpa dimandikan”.

Kata Ali, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, sebab Engkau telah memberitahukan bahwa tadi itu suara iblis terkutuk, maka siapakah Engkau?” Suara itu menjawab, “Saya adalah Nabi Khidir, menghadiri jenazah Nabi Muhammad saw.”

Selanjutnya Ali ra, memandikan Jasad Nabi Muhammad saw, Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zahid ra yang menuangkan air dan malaikat Jibril telah datang dengan membawa obat penahan kehancuran jasad dari surga. Kemudian mereka mengkafani beliau serta menguburnya di kamar Siti Aisyah ra, di tengah malam Rabu, sedang Siti Aisyah ra berdiri di atas kubur Nabi Muhammad saw sambil berkata, “Hai orang yang belum pernah mengenakan pakaian dari sutra, dan belum pernah tidur di atas ranjang yang empuk, hai orang yang keluar dari dunia sedang perutnya belum pernah kenyang meskipun dengan roti,dengan gandum kasar; hai orang yang memilih tidur di atas tikar daripada balai/ranjang; hai orang yang tidak tidur sepanjang malam karena takut siksa neraka Sa’ir” (Duratun Nasihin, Pengajian ke 16)

Karakter Para Awliya

Apa yang merupakan tanda pertama dari seorang wali? Jika seseorang adalah wali, dia tidak berdusta. Tanyakan dirimu sendiri, jika kalian benar-benar bisa menyembuhkan orang maka kalian harus berada pada tingkatan seorang “teman Allah”. 5 Tingkat pertama seorang wali adalah untuk mendengar pujian-pujian para malaikat kepada Allah SWT. “Ketika dia mendengar puji-pujian para malaikat.” Saat seseorang bisa melakukan itu, maka kita menerima kewalian dan kekuatan untuk penyembuhan adalah benar adanya.

Jangan menipu dirimu sendiri. Jika kalian menipu diri kalian sendiri, kalian menipu Allah SWT. Allah berfirman dalam kitab suci Al Qur’an, “Dia bersamamu dimanapun kamu berada.”6 Oleh karenanya, Dia tahu jika kalian menipu atau tidak. Sekarang tanyakan diri kalian – apakah kalian mendengarkan puji-pujian para malaikat? Tidak? Lalu, bagaimana mungkin kalian mengaku bisa menyembuhkan? Oleh karena itu pastikanlah pengetahuan seperti apa yang kalian miliki – apakah pengetahuan ini asli?


Menghampiri Syaikh dengan “Sepotong Kain”

Suatu ketika Grandsyaikh berkata dalam ceramahnya, “Terkadang seorang murid akan datang menemuiku dengan membawa sepotong kain yang cantik – dan bertanya, ‘Syaikh, kami akan membuat kain ini menjadi sebuah kemeja, ini bagus kan?’ Tentu saja aku akan mengatakan, ‘Ya, ini bagus untuk dibikin kemeja.’ Aku tidak bisa mengatakan kalau itu tidak bagus!

Kemudian mereka berlalu dan berkata, ‘Wah! Syaikh berkata kalau ini bagus.’ Selesai. Kalian harus mempercayainya. Tetapi ada kesalahan – sebelum kalian menjahitnya, kalian harus membawa kain itu pada saya dan berkata, ‘Syaikh-ku, bagaimana aku harus menjahitnya? Bagaimana aku melakukannya? Bagaimana aku memotongnya?’ Lalu aku akan memotong kain itu, kemudian mereka menjahitnya. Maka inilah keputusanku. Jangan datang, mempunyai segala sesuatu telah tersedia lalu bertanya padaku ‘Apakah ini bagus?’ Tentu saja aku akan mengatakan kalau itu bagus, sekalipun itu jelek, karena kita tidak ingin mengecewakan seseorang.”

Tariqah/tarekat7 adalah diplomasi; mengajarkan padamu bagaimana menjadi seorang diplomat. Tariqah sangat sensitif, sangat menyenangkan. Tariqah tetap merupakan tingkatan tertinggi dari Shariah.8 Dan tingkatan tertinggi adalah bersama dengan semua orang. Maka perhatikan perbuatanmu untuk melihat apakah perbuatanmu itu benar.

Kalian bernafas 24,000 kali setiap harinya – setiap nafas adalah satu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau jelek. Sudahkah kalian menghisab dan memeriksa apa yang telah kalian lakukan sepanjang hari dan malam? Tidak! Tidak ada satu orangpun yang melakukan itu!

Bagaimanapun juga, para wali melakukan itu. Setiap perbuatan yang mereka lakukan, mereka memohon ampunan. Dalam setiap tarikan nafas mereka berkata, “Ya Allah, ampuni saya.” 9 Mengapa mereka selalu memohon ampunan Allah SWT?

Para wali berkeinginan untuk selalu bertobat dari perbuatan yang tersembunyi, yang mereka lakukan tanpa mereka sadari. Itu sebabnya Nabi SAW berkata, “Yang paling aku takuti dari umatku adalah sirik yang tersembunyi.” Ini berarti setiap kali kalian bernafas ada sirik tersembunyi didalamnya,10 jika kalian tidak cukup berhati-hati untuk menghindarinya.

Sekarang kita mendengar hal ini semua, namun ketika kita melalui pintu itu maka kita akan melupakan semuanya.

Wa min Allah at Tawfiq

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati