Hadirnya Nabi Khidir AS pada wafatnya Nabi Muhammad SAW


Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kemudian beliau memperhatikan kami sekalian sehingga berderrailah air matanya dan bersabda: “Selamat datang bagi kamu sekalian dan mudah-mudahan kamu sekalian dibelas kasihani oleh Allah, saya berwasiat agar kamu sekalian bertaqwa kepada Allah sertamentaatiNya. Sungguh telah dekat hari perpisahan kita dan telah dekat pula saat hamba yang dikembalikan pulang kepada Allah ta’ala dan menemui surgaNya. Kalau sudah datang saat ajalku, hendaklah Aly yang memandikan, Fadhal bin Abas yang menuangkan air, dan Usamah bin Zaid yang menolong keduanya, kemudian kafanilah aku dengan pakaianku sendiri, bila kamu sekalian menghendaki, atau dengan kain Yaman yang putih; Kalau kamu sekalian memandikan aku, maka taruhlah aku diatas balai tempat tidurku dirumahku ini, dekat dengan lobang lahatku. Sesudah itu keluarlah kamu sekalian barang sesaat meninggalkan aku. Pertama-tama yang mensholati aku ialah Allah Aza wajalla, kemudian malaikat Jibril, kemudian malaikat Isrofil, malaikat Mikail, kemudian malaikat Izroil dan beserta para pembantunya, selanjutnya semua para malaikat. Sesudah itu masuklah kamu sekalian dengan berkelompok-kelompok dan lakukan sholat untukku.”

Setelah mereka mendengarkan ucapan perpisahan Nabi Muhammad saw, mereka para sahabat menjerit dan menangis seraya berkata, “Wahai Rosullullah, Engkau adalah seorang Utusan untuk Kami sekalian , menjadi kekuatan dalam pertemuan Kami dan sebagai penguasa yang mengurus perkara Kami, bila mana Engkau telah pergi dari Kami, kepada siapakah Kami kembali dalam segala persoalan?”

Rosullullah bersabda,”Telah kutinggalkan kamu sekalian pada jalan yang benar dan diatas jalan yang terang dan telah kutinggalkan pula untuk kamu sekalian dua penasehat yang satu pandai bicara yang satunya diam saja, yang pandai bicara adalah al-Qur’an dan yang diam adalah ajal atau kematian. Apabila ada persoalan yang sulit bagimu, maka kembalilah kamu sekalian kepada Al-Qur’an dan kepada sunnah. Dan kalau hati kamu keras membatu maka lunakkan dia dengan mengambil tamsil ibarat dari hal ihwal mati.

Sesudah itu maka Rosullullah saw menderita sakit mulai akhir bulan Shafar selama delapan belas hari. Para sahabat pun menengok silih berganti. Sedang penyakit yang diderita mulai hari pertama sehingga akhir hayatnya ialah pusing kepala.

Rosullullah mulai menjadi Rosullullah pada hari senin dan wafat juga pada hari senin. Tatkala pada hari senin, penyakit beliau bertambah berat. Maka setelah Bilal selesai adzan subuh, dia pergi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw sambil mengucapkan salam, “Assalamu alaika ya Rosullullah!” Siti Fatimah menjawab, “ Rosullullah masih sibuk dengan dirinya sendiri” Bilal terus kembali masuk ke Masjid, dia tidak memahami kata-kata Fatimah. Ketika waktu subuh makin terang, Bilal datang lagi menghampiri pintu rumah Rosullullah saw dan salam seperti semula. Rosullullah mendengar suara Bilal itu, maka beliau bersabda : ‘’ Masuklah hai Bilal, aku masih sibuk terhadap diriku sendiri dan penyakitku rasanya bertambah berat. Maka suruhlah Abu Bakar agar sholat berjamaah dengan orang-orang yang hadir. Bilalpun keluar sambil menangis dan meletakkan tangannya diatas kepala, sambil mengeluh, “Aduh musibah, susah, terputus harapan, telah habis hilang tempat tujuan, andaikata ibuku tidak melahirkan aku.”

Bilal terus masuk masjid dan berkata,”Hai sahabat Abu Bakar, sungguh Rosullullah menyuruh engkau agar sholat bersama-sama dengan orang yang hadir, karena Beliau sibuk mengurusi dirinya yang sedang sakit. Ketika Abu Bakar melihat mihrab (tempat sholat imam) kosong dan Rosullullah tidak hadir, maka Abu Bakar menjerit keras sekali dan jatuh tersungkur karena pingsan. Maka ributlah kaum muslimin, sehingga Rosullullah mendengar keributan mereka, dan bertanya kepada Fatimah, “Hai Fatimah mengapa pagi ini, dan apakah keributan di sana itu?” Siti Fatimah menjawab, “Keributan di sana itu ialah kaum muslimin sendiri , karena engkau tidak hadir”. Maka Rosullullah saw memanggil Ali dan Fadhan bin Abbas, lalu beliau bersandar kepada keduanya dan keluar rumah menuju masjid lalu sholat bersama-sama dengan mereka dua rekaat. Selesai sholat beliau berpaling ke belakang dan bersabda, ”Hai kaum muslimin, Kamu semua dalam pemeliharaan dan pertolongan Allah, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah serta mentaatinya, maka sesungguhnya saya akan meninggalkan dunia ini. Dan di hari ini hari pertamaku di akhirat dan hari terakhir bagiku di dunia”.

Lalu Rosullullah saw berdiri dan pulang ke rumahnya. Kemudian Allah ta’ala memberi perintah kepada malaikat kematian, ”Turunlah Engkau kepada KekasihKu dengan sebaik-baiknya bentuk, dan lakukan dengan halus dalam mencabut ruhnya, kalau dia mengijinkan kamu masuk, masuklah dan kalau tidak mengijinkan maka janganlah masuk dan kembalilah”.

Maka malaikat kematian pun turun dengan bentuk seperti orang Arab Baduwi desa, seraya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum ya ahlal baiti nubuwwati wa ma’danir risalati adkhulu?(mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kamu sekalian, wahai penghuni rumah kenabian dan sumber risalah, apakah saya boleh masuk?) ”

Maka Rosullullah saw mendengarkan suara malaikat kematian itu dan bersabda, “Hai Fatimah, siapa yang berada di pintu?” Siti Fatimah menjawab, “Seorang Arab Baduwi yang memanggi dantelah aku katakan bahwa Rosullullah sedang sibuk menderita sakitnya, kemudian memanggil lagi yang ketiga kali seperti itu juga, makadia memandang tajam kepadaku, sehingga menggigil gemetar badanku, terasa takut hatiku dan bergeraklah sendi-sendi tulangku seakan-akan hampir berpisah satu sama lainnya serta berubah menjadi pucat warnaku, Rosullullah saw bersabda, “Tahukah engkau wahai Fatimah, siapa dia” Siti Fatimah menjawab, “Tidak” Rosullullah bersabda, “Dia adalah Malaikat yang mencabut segala kelezatan, yang memutus segala macam nafsu syahwat, yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan keadaan kuburan.”

Maka menangislah Siti Fatimah, dengan tangisan yang keras sekali sambil berkata, “ Aduhai celaka nantinya, sebab kematiannya Nabi yang terakhir, sungguh merupakan bencana besar dengan wafatnya orang yang paling taqwa, terputusnya dari pimpinannya para orang-orang yang suci serta penyesalan bagi kami sekalian karena terputusnya wahyu dari langit, maka sungguh saya terhalang mendengarkan perkataan engkau, dan tidak lagi bisa mendengarkan salam engkau sesudah hari ini” Kata Rosullullah, “Jangan Engkau menangis Fatimah, karena sesungguhnya, engkaulah dari antara keluargaku yang pertama berjumpa dengan aku” Selanjutnya Rosullullah saw bersabda, “Masuklah Engkau Malaikat Kematian, Maka Malaikat Kematianpun masuk sambil mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaika yaa Rosullullah” Rosullullah menjawab, “Wa laika salam, hai malaikat kematian, engkau datang untuk berkunjung atau untuk mencabut nyawaku?” Kata malaikat Kematian, “Saya datang untuk berkunjung dan untuk mencabut nyawa, sekiranya Engkau mengijinkan. Kalau tidak maka saya akan kembali”.
Kata Rosullullah, “ Hai Malaikat Kematian, dimana Jibril Engkau tinggalkan?” Kata malaikat Kematian, ”Dia saya tinggalkan di langit duniadan para malaikat sedang menghormat memuliakan dia”. Tidak selang sesaat Malaikat Jibril as pun turun dan duduk diarah kepala Rosullullah saw. Kata Rosullullah saw, “Tahukah Engkau kalau ajalku telah dekat?” Jawab malaikat Jibril, “Ya Tahu, Yaa Rosullullah” Kata Rosullullah, “Beritahukanlah kepadaku kemuliaan yang menggembirakanku di sisi Allah”.

Kata Jibril, “Sungguh pintu-pintu langit telah dibuka, para malaikat telah berbaris rapi, menanti ruh engkau di langit, pintu-pintu surga telah telah dibuka dan para bidadari telah berhias menanti kehadiran ruh Engkau”.

Kata Rosullullah, “Alhamdulillah, Hai Jibril, berilah berita gembira tentang umatku di hari kiamat”. Jibril berkata, “Saya beritahukan, bahwa sesungguhnya bahwa Allah ta’ala berfirman, Sungguh telah Aku larang para nabi masuk ke dalam Surga, sehingga engkau masuk lebih dulu, dan Aku larang juga semua umat sehingga umat engkau masuk lebih dahulu.” Kata Rosullullah, “Sekarang telah puas hatiku dan hilanglah rasa susahku. Hai malaikat Kematian mendekatlah kepadaku.”

Malaikat Kematian mendekat dan melaksanakan tugasnya mencabut ruh Beliau, dan ketika ruh sampai di pusat (perut), Rosullullah berkata, “Hai Jibril, alangkah dahsyatnya rasa mati itu” maka malaikat Jibril memalingkan wajahnya dari Rosullullah saw, “Hai Jibril apakah Engkau tidak suka melihat wajahku?” Kata Jibril, “Wahai kekasih Allah, siapakah orangnya yang sampai hati melihat wajah Engkau, sedang Engkau di dalam sakaratul maut”.

Annas bin Malik ra berkata, “ketika ruh nabi Muhammad saw sampai di dada beliau bersabda, Aku wasiatkan agar kamu sekalan menjaga sholat dan apa-apa yang menjadi tanggungannmu maka, masih saja beliau berwasiat dengan keduanya itu sampai putuslah perkataannya.”

Kata Ali ra, ´Sungguh Rosullullah saw ketika menjelang akhir hanyatnya telah menggerakkan dua bbibirnya dua kali, dan ketika saya mendekatkan telinga, saya mendengarkan beliau mengucapkan dengan pelan-pelan, umatku… umatku…”

Maka ruh Rosulullah saw dicabut pada hari senin bulan Rabi’ul awwal. Seandainya dunia ini akan kekal bagi seseorang, Niscaya Rosulullah saw di dunia ini akan kekal.

Diriwayatkan, bahwa Ali telah membaringkan jenazah Rosullullah saw untuk dimandikan tiba-tiba ada suara dari sudut rumah yang mengatakan dengan keras sekali, “Muhammad jangan engkau mandikan karena dia sudah suci dan disucikan” maka timbullah keragu-raguan pada diri Ali terhadap suara itu. Kata Ali, “Siapa Engkau sebenarnya, karena sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah memerintahkan untuk memandikan.”

Tiba-tiba ada suara lain yang mengatakan, “Wahai Ali, mandikanlah dia,karena sesungguhnya suara yang pertama tadi adalah suara Iblis terkutuk, sebab dengki terhadap Muhammad saw maka dia bermaksud agar beliau dimasukkan ke dalam kubur tanpa dimandikan”.

Kata Ali, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, sebab Engkau telah memberitahukan bahwa tadi itu suara iblis terkutuk, maka siapakah Engkau?” Suara itu menjawab, “Saya adalah Nabi Khidir, menghadiri jenazah Nabi Muhammad saw.”

Selanjutnya Ali ra, memandikan Jasad Nabi Muhammad saw, Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zahid ra yang menuangkan air dan malaikat Jibril telah datang dengan membawa obat penahan kehancuran jasad dari surga. Kemudian mereka mengkafani beliau serta menguburnya di kamar Siti Aisyah ra, di tengah malam Rabu, sedang Siti Aisyah ra berdiri di atas kubur Nabi Muhammad saw sambil berkata, “Hai orang yang belum pernah mengenakan pakaian dari sutra, dan belum pernah tidur di atas ranjang yang empuk, hai orang yang keluar dari dunia sedang perutnya belum pernah kenyang meskipun dengan roti,dengan gandum kasar; hai orang yang memilih tidur di atas tikar daripada balai/ranjang; hai orang yang tidak tidur sepanjang malam karena takut siksa neraka Sa’ir” (Duratun Nasihin, Pengajian ke 16)

Karakter Para Awliya

Apa yang merupakan tanda pertama dari seorang wali? Jika seseorang adalah wali, dia tidak berdusta. Tanyakan dirimu sendiri, jika kalian benar-benar bisa menyembuhkan orang maka kalian harus berada pada tingkatan seorang “teman Allah”. 5 Tingkat pertama seorang wali adalah untuk mendengar pujian-pujian para malaikat kepada Allah SWT. “Ketika dia mendengar puji-pujian para malaikat.” Saat seseorang bisa melakukan itu, maka kita menerima kewalian dan kekuatan untuk penyembuhan adalah benar adanya.

Jangan menipu dirimu sendiri. Jika kalian menipu diri kalian sendiri, kalian menipu Allah SWT. Allah berfirman dalam kitab suci Al Qur’an, “Dia bersamamu dimanapun kamu berada.”6 Oleh karenanya, Dia tahu jika kalian menipu atau tidak. Sekarang tanyakan diri kalian – apakah kalian mendengarkan puji-pujian para malaikat? Tidak? Lalu, bagaimana mungkin kalian mengaku bisa menyembuhkan? Oleh karena itu pastikanlah pengetahuan seperti apa yang kalian miliki – apakah pengetahuan ini asli?


Menghampiri Syaikh dengan “Sepotong Kain”

Suatu ketika Grandsyaikh berkata dalam ceramahnya, “Terkadang seorang murid akan datang menemuiku dengan membawa sepotong kain yang cantik – dan bertanya, ‘Syaikh, kami akan membuat kain ini menjadi sebuah kemeja, ini bagus kan?’ Tentu saja aku akan mengatakan, ‘Ya, ini bagus untuk dibikin kemeja.’ Aku tidak bisa mengatakan kalau itu tidak bagus!

Kemudian mereka berlalu dan berkata, ‘Wah! Syaikh berkata kalau ini bagus.’ Selesai. Kalian harus mempercayainya. Tetapi ada kesalahan – sebelum kalian menjahitnya, kalian harus membawa kain itu pada saya dan berkata, ‘Syaikh-ku, bagaimana aku harus menjahitnya? Bagaimana aku melakukannya? Bagaimana aku memotongnya?’ Lalu aku akan memotong kain itu, kemudian mereka menjahitnya. Maka inilah keputusanku. Jangan datang, mempunyai segala sesuatu telah tersedia lalu bertanya padaku ‘Apakah ini bagus?’ Tentu saja aku akan mengatakan kalau itu bagus, sekalipun itu jelek, karena kita tidak ingin mengecewakan seseorang.”

Tariqah/tarekat7 adalah diplomasi; mengajarkan padamu bagaimana menjadi seorang diplomat. Tariqah sangat sensitif, sangat menyenangkan. Tariqah tetap merupakan tingkatan tertinggi dari Shariah.8 Dan tingkatan tertinggi adalah bersama dengan semua orang. Maka perhatikan perbuatanmu untuk melihat apakah perbuatanmu itu benar.

Kalian bernafas 24,000 kali setiap harinya – setiap nafas adalah satu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau jelek. Sudahkah kalian menghisab dan memeriksa apa yang telah kalian lakukan sepanjang hari dan malam? Tidak! Tidak ada satu orangpun yang melakukan itu!

Bagaimanapun juga, para wali melakukan itu. Setiap perbuatan yang mereka lakukan, mereka memohon ampunan. Dalam setiap tarikan nafas mereka berkata, “Ya Allah, ampuni saya.” 9 Mengapa mereka selalu memohon ampunan Allah SWT?

Para wali berkeinginan untuk selalu bertobat dari perbuatan yang tersembunyi, yang mereka lakukan tanpa mereka sadari. Itu sebabnya Nabi SAW berkata, “Yang paling aku takuti dari umatku adalah sirik yang tersembunyi.” Ini berarti setiap kali kalian bernafas ada sirik tersembunyi didalamnya,10 jika kalian tidak cukup berhati-hati untuk menghindarinya.

Sekarang kita mendengar hal ini semua, namun ketika kita melalui pintu itu maka kita akan melupakan semuanya.

Wa min Allah at Tawfiq

Syarat Ber-Tharekat

Muhyiddin Ibnul Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makkiyah menjelaskan tentang syarat_syarat orang yang memasuki thareqat adalah sebagai berikut:

*
Qashdun Shakhihun; tujuan yang benar. Orang yang berthariqat itu harus bertujuan yang benar, yaitu bermaksud melakukan sifat ubudiyah; penghambaan diri kepada Allah yang Haq dan menunaikan haqqur rububiyyah. Bukan tujuan menghasilkan keramat atau pangkat, dan juga tidak mengharapkan pembagian-pembagian yang bersifat nafsu, seperti dipuji dan sebagainya.
*
Sidqun Shariihun; yaitu kesungguhan yang jelas. Artinya, murid harus membenarkan ataumempunyai kepercayaan bahwa sang guru itu mempunyai sirrul khususiah yang bisa menyampaikan sang murid kehadhirat ilahiyah.
*
Adabun Mardhiyyah; yaitu tatakrama yang diridhai, artinya orang yang masuk thariqat itu harus melakukan tatakrama yang diridhai syara` seperti menghormati orang sederajat dan orang yang diatasnya, belas kasih kepada orang yang di bawah, serta insaf, adil, tegas terhadap diri sendiri dan tidak mementingkan diri sendiri.
*
Ahwaalun Zakiyyatun; tingkah laku yang bagus. Artinya, orang memasuki thariqah itu tingkah lakunya serta ucapannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
*
Hifdzul Hurmati; menjaga kehormatan, kemulyaan. Artinya, orang memasuki thariqah itu harus mengagungkan sang guru baik ketika hadir maupun ghaaib, ketika sang guru masih hidup atau sesudah wafatnya dan juga memulyakan ahlul Islam, berusaha membuat mereka tahan akan penderitaan, menyabarkan hati keras mereka, mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih orang yang di bawahnya.
*
Husnul Hidmat; pelayanan yang baik. Artinya, orang yang masuk thariqah itu harus membaikkan pelayanannya terhadap sang guru dan saudara se-Islam, dan juga membaikkan diri dalam berhidmat kepada Allah swt., melakukan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan teragung dalam thariqat
*
Rof`ul Himmah; meluhurkan kemauan. Artinya, orang yang masuk thariqat bukan karena mengharap dunia dan akherat, tetapi menginginkan marifat khususiyah pada Allah swt.
*
Nufuudzul Azimah; kelestarian maksud atau niat. Artinya, orang masuk thariqat itu haruslah melestarikan maksudnya dalam melakukan tariqat, sebab hal itu akan menghasilkan ma`rifat khassah akan Allah swt.


Adapun maksud melakukan thariqat itu adalah melakukan tatakrama lahir dan bathin. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan: “Ada 4 hal yang menjadi tatakrama ahli thariqat. Karena itu apabila seorang ahli thariqat tidak memenuhi empat macam tatakrama ini, jangan dianggap sebagai ahli thariqat.


Adapun empat hal tersebut adalah :

1.Menjauhi orang-orang yang ahli aniaya
2 Memulyakan ahli akherat
3.Menolong orang yang dalam kemelaratan
4.Melakukan shalat 5 waktu berjama`ah

Sumber : Kitab : Ad-Durorul Muntatsirah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy`ari

Syaikh Ahmad Al-Badawi (596 - 675 H)

Sang Manusia Langit
Kota Fas rupanya beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang
namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap
Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah
baginda Nabi, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib,
suami sayyidah Fatimah binti sayyidina Nabi Muhammad SAW.
Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di Maroko).
Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara
Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal al-Qur'an mengkaji ilmu-ilmu agama
khususnya fikih madzhab syafi'i. Pada tahun 609 H ayahnya membawanya pergi ke tanah
Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di
Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan
dimakamkan di Ma'la.
Badawi masuk Mesir
Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama empat
puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya
bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah !" begitu
suara itu terus menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah
menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian…beranjaklah ke Thantha,
suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda".
Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang
yang terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad " begitu kedua
orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. " Kunci-kunci rahasia
wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana
yang kamu suka". Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil
kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.
Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada
tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung
dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan
perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I,
Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya,
menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
Badawi yang alim
Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang
pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan
kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap
masalah bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada
orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya.
Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu
betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan-tangan Yang Maha Asih.
Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap
yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.
Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi.
Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, " Setelah
Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh
daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.
Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi
dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban
pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab “Syajaratul Ma'arif” karya Syaikh Izzuddin bin
Abdus Salam.
Karomah Ahmad Badawi
Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada
salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya
wali yang satu ini.
Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta
pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah,
dan tawakkallah kepada Allah SWT" tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh
Badawi. Syaikh Sya'roni berkomentar, "Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya
sendiri".
Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk
dalam berdagang. "Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan
melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin”. Demikian
nasehat Syekh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian
dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.
Syekh Badawi wafat
Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan
dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini
beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia
meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai dia meninggal pada tahun 773
H.
Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
kehadiran, petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi.
Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan,
kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya
yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk
meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh Badawi
ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak
berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali
sampai sekarang.
Menurut Sumber yang lain.
Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia menatap matahari, sehingga kornea matanya merah
membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih
sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka
berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan
minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi
dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.
Dalam perjalanan riyadhohnya, ia pernah tinggal di loteng negara Thondata selama 12 tahun,
dan selama 8 tahun ia berada diatas atap, riadhoh siang dan malam. Ia hidup pada tahun
596-675 H dan wafat di Mesir, makamnya di kota Tonto, setiap waktu tak pernah sepi dari
peziarah.
Pada usia dini ia telah hafal Al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan syeikh Ahmad Rifai. Ia adalah Waliullah Qutbol Gaust,
Assayyid, Assyarif Ahmad al Badawi. Suatu hari, ketika sang Murid telah sampai
ketingkatannya, Sjech Abdul Qodir Jaelani, menawarkan kepadanya ; ”Manakah yang kau
inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masriq atau Magrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang
sama juga diucapkan oleh gurunya Sayyid Ahmad Rifai, dengan lembut, dan menjaga
tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; ”Aku tak mengambil kunci kecuali dari Al Fattah
(Allah )”.
Suatu hari datang kepadanya, seorang janda mohon pertolongan, anak lelakinya ditahan di
Perancis, dan sang ibu ingin agar anak itu kembali dalam keadaan selamat. Oleh Sayyidi
Ahmad Al Badawi, janda itu disuruhnya untuk pulang, dan berkata sayidi : “Insya Allah anak ibu
sudah berada dirumah”. Bergegas sang ibu menuju rumahnya, dan betapa bahagia, bercampur
haru, dan penuh keheranan, ia dapati anaknya telah berada di rumah dalam keadaan
terbelenggu. Sayyidi al badawi banyak menolong orang yang ditahan secara Dholim oleh
penguasa Prancis saat itu, dan semua pulang ke rumahnya dalam keadaan tangannya tetap
terbelenggu.
Pernah suatu ketika Syaikh Ibnul labban mengumpat Sayyidi Ahmad Badawi, seketika itu juga
hafalan Al-Qur’an dan iman Syaikh Ibnul labban menjadi hilang. Ia bingung dan berusaha
dengan beristighosah dan meminta bantuan do’a, orang orang terkemuka di zaman itu (agar
ilmu dan imannya kembali lagi), tetapi tidak satupun dari yang dimintainya doa, berani
mencampuri urusannya, karena terkait dengan Sayyidi Ahmad Badawi. Padahal diriwayatkan,
saat itu Sayyidi Al Badawi telah wafat. Orang terkemuka yang dimintainya doa, hanya berani

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
memberi saran kepada Syaikh Ibnul labban, agar dia menghadap Syeikh Yaqut al-‘Arsyiy,
waliullah terkemuka pada saat itu, dan kholifah sayyidi abil hasan Assadzili. Ibnu labban segera
menemui Sjech Yaqut dan minta pertolongannya, dalam urusannya dengan sayyidi Ahmad Al
badawi. Setelah dimintai pertolongan oleh Syaikh Ibnul labban, Syeikh Yaqut Arsyiy berangkat
menuju ke makam Sayyidi al-Badawi dan berkata : “ Wahai guru, hendaklah tuan memberi
ma’af kepada orang ini!”. Dari dalam makamnya, terdengar jawaban “Apakah kamu
berkehendak untuk mengembalikan tandanya orang miskin itu ? ya…sudah, tapi dengan syarat
ia mau bertaubat”. Syeikh Ibbnul Labbanpun akhirnya bertaubat, dan tidak lama kemudian
kembalilah ilmu dan imannya seperti sedia kala dan ia juga mengakui kewalian Syeikh Yaqut,
karena peristiwa tersebut. Ia kemudian dinikahkan dengan putrinya Syeikh Yaqut. (Di ambil dari
kitab al-Jaami’).
Syeikh Muhammad asy-Syanawi menceritakan, bahwa pada waktu itu ada orang yang tidak
mau menghadiri dan bahkan mengingkari peringatan maulidnya Syeikh Ahmad Badawi, maka
seketika hilanglah iman orang itu dan menjadi merasa tidak senang terhadap agama Islam.
Orang itu kemudian berziarah ke makamnya Sayyid Badawi untuk minta tolong dan memohon
maaf atas kesalahannya. Kemudian terdengarlah suara sayyidi Badawi dari dalam kubur : “iya,
saya ma’afkan, tapi jangan berbuat lagi. Na’am (iya) jawab orang itu, spontan imannya kembali
lagi. Beliau lalu meneruskan ucapannya : “Apa sebabnya kamu mengingkari kami semua”.
Dijawabnya : “Karena di dalam acara itu banyak orang laki-laki dan perempuan bercampur baur
menjadi satu” (tanpa ada garis pembatas). Sayyidi Badawi lalu mengatakan : “Di tempat thowaf
sana, dimana banyak orang yang menunaikan ibadah haji disekitar Ka’bah, mereka juga
bercampur laki-laki dan perempuan, kenapa tidak ada yang melarang”. Demi mulianya
Tuhanku, orang-orang yang ada untuk menghadiri acara maulidku ini tidaklah ada yang
menjalankan dosa kecuali pasti mau bertaubat dan akan bagus taubatnya. Hewan-hewan di
hutan dan ikan-ikan di laut, semua itu dapat aku pelihara dan kulindungi diantara satu dengan
lainnya sehingga menjadi aman dengan idzin Allah. Lalu, apakah kiranya Allah Ta’ala, tidak
akan memberi aku kekuatan untuk mampu menjaga dan memelihara keamanannya
orang-orang yang menghadiri acara maulidku itu ?”
Suatu ketika Syeikh Ibnu Daqiqil berkumpul dengan Sayyidi Badawi, dan ia bertanya kepada
beliau : “Mengapa engkau tidak pernah sholat, yang demikian itu bukanlah perjalanannya para
shalihin“. Lalu beliau menjawab : “Diam kamu! Kalau tidak mau diam aku hamburkan daqiqmu
(tepung)”. Dan di tendanglah Syeikh Daqiqil oleh beliau hingga berada disuatu pulau yang luas
dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah sadar, iapun termangu karena merasa asing dengan
pulau tersebut. Dalam kebingungannya, datanglah seorang lelaki menghampirinya dan
memberi nasehat agar jangan mengganggu orang type al-Badawi, dan sekarang kamu
berjalanlah menuju qubah yang terlihat itu, nanti jika sudah tiba di sana kau berhentilah di
depan pintu hingga menunggu waktu ‘ashar dan ikutlah shalat berjamaah dibelakangnya imam
tersebut, sebab nanti Ahmad Badawi akan ikut di dalamnya. Setelah bertemu dia ucapkanlah
salam, peganglah lengan bajunya dan mohonlah ampun atas ucapanmu tadi. Ia menuruti
kata-kata orang itu yang tidak lain adalah Nabiyullah Khidir a.s. Setelah semua nasehatnya
dilaksanakan, betapa terkejutnya ia karena yang menjadi imam sholat waktu itu adalah Sayyidi
Badawi.
Setelah selesai sholat ia langsung menghampiri dan menciumi tangan dan menarik lengan

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
Sayyidi al-Badawi, sambil berkata seperti yang diamanatkan orang tadi. Dan berkatalah Sayyidi
Badawi sambil menendang Syeikh Daqiqil,” Pergilah sana murid-muridmu sudah menantimu
dan jangan kau ulangi lagi!. Seketika itu juga ia sudah sampai di rumahnya dan murid-muridnya
telah menunggu kedatangan Syeikh Daqiqil. Dijelaskan bahwa yang menjadi makmum sholat
berjamaah dengan Sayyidi Badawi pada kejadian itu adalah para wali.
Syekh Imam al Munawi berkata : “Ada seorang Syeikh yang setiap akan bepergian selalu
berziarah di makamnya Syeikh Ahmad al Badawi untuk minta ijin, lalu terdengar suara dari
dalam kubur dengan jelas :”Ya pergilah dengan tawakkal, Insya Allah niatmu berhasil, kejadian
tersebut didengar juga oleh Syeikh abdul wahab Assya’roni, padahal saat itu Syeikh Ahmad al
Badawi sudah meninggal 200 tahun silam, jadi para aulia’ itu walaupun sudah meninggal
ratusan tahun, namun masih bisa emberi petunjuk.
Berkata Syeikh Muhammad al-Adawi : Setengah dari keindahan keramat beliau ialah, pada
saat banyaknya orang yang ingin berusaha membatalkan peringatan maulidnya beliau, dimana
orang-orang tersebut menghadap dan meminta kepada Syeikh Imam Yahya al-Munawiy agar
beliau mau menyetujuinya. Sebagai orang yang berpengaruh dan berpendirian kuat pada masa
itu, Syeikh Yahya tidak menyetujuinya, akhirnya orang-orang tersebut melapor kepada sang
raja azh-Zhohir Jaqmaq. Sang rajapun berusaha membujuk agar Syeikh Yahya bersedia
memberi fatwa untuk membatalkan maulidnya Sayyidi Badawi. Akan tetapi Syeikh Yahya tetap
tidak mau dan hanya bersedia memberikan fatwa melarang keharaman-haraman yang terjadi di
acara itu. Maka acara maulid tetap dilaksanakan seperti biasa. Dan Syeikh Yahya bekata
kepada sang raja: “Aku tetap tak berani sama sekali berfatwa yang demikian, karena Sayyidi
Badawi adalah wali yang agung dan seorang fanatik (malati = bahasa jawanya). Hai raja,
tunggu saja, kamu akan tahu akibat bahayanya orang-orang yang berusaha menghilangkan
peringatan maulid Sayyidi Badawi. Memang benar, tak lama kemudian mereka yang bertujuan
menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Badawi tertimpa bencana. Orang-orang tersebut ada
yang dicopot jabatannya dan diasingkan oleh rajanya. Ada yang melarikan diri ke Dimyath akan
tetapi kemudian ditarik kembali dan diberi pengajaran, dirantai dan dipenjara selama setengah
bulan. Bahkan diantara mereka yang mempunyai jabatan tinggi dikerajaan itu lalu banyak yang
ditangkap, disidang dengan kelihatan terhina, disiksa dan diborgol besi di depan majlis hakim
syara’ lalu dihadapkan raja yang kemudian dibuang di negara Maghrib.
Sayyidi Ahmad Badawi pernah berkata kepada seseorang : “Bahwa pada tahun ini hendaknya
kamu menyimpan gandum yang banyak yang tujuanmu nanti akan kau berikan kepada para
fakir miskin, sebab nanti akan terjadi musim paceklik pangan. Kemudian orang tadi
menjalankan apa yang diperintahkan beliau, dan akhirnya memang terbukti kebenaran ucapan
Sayyidi Badawi.
Berkata al-Imam Sya’roni : “Pada tahun 948 H aku ketinggalan tidak dapat menghadiri acara
maulidnya Sayyidi Badawi. Lalu ada salah satu aulia’ memberi tahu kepadaku bahwa Sayyidi
Badawi pada waktu peringatan itu memperlihatkan diri di makamnya dan bertanya : “Mana
Abdul Wahhab Sya’roni, kenapa tidak datang ?” Pada suatu tahun, al-Imam Sya’roni juga
pernah berkeinginan tidak akan mendatangi maulid beliau. Lalu aku melihat beliau memegang
pelepah kurma hijau sambil mengajak orang-orang dari berbagai negara. Jadi orang-orang
yang berada dibelakangnya, dikanan dan kirinya banyak sekali tak terhingga jumlahnya. Terus

Syaikh Ahmad Al-Badawi ( 596 - 675 H)
Written by Administrator
Saturday, 18 October 2008 10:57
beliau melewati aku di Mesir, sayyidi Badawi berkata : “Kenapa kamu tidak berangkat ?”. Aku
sedang sakit tuan, jawabku. Sakit tidak menghalang-halangi orang cinta. Terus aku
diperlihatkan orang banyak dari para aulia’dan para masayikh, baik yang masih hidup maupun
yang sudah wafat, dan orang-orang yang lumpuh semua berjalan dengan merangkak dan
memakai kain kafannya, mereka mengikuti dibelakang sayyidi Badawi menghadiri maulid
beliau. Terus aku juga diperlihatkan jama’ah dan sekelompok tawanan yang masih dalam
keadaan terbalut dan terbelenggu juga ikut datang menghadiri maulidnya. Lalu beliau berkata:
lihatlah ! itu semua tidak ada yang mau ketinggalan, akhirnya aku berkehendak untuk mau
menghadiri, dan aku berkata : Insya Allah aku hadir tuan guru ?. Kalau begitu kamu harus
dengan pendamping, jawab sayyidi Badawi. Kemudian beliau memberi aku dua harimau hitam
besar dan gajah, yang dijanji tidak akan berpisah denganku sebelum sampai di tempat.
Peristiwa ini kemudian aku ceritakan kepada guruku Syeikh Muhammad asy-Syanawi, beliau
lalu menjelaskan: memang pada umumnya para aulia’ mengajak orang-orang itu dengan
perantaraan, akan tetapi sayyidi Ahmad Badawi langsung dengan sendirinya menyuruh
orang-orang mengajak datang. Sungguh banyak keramat beliau, hingga al-Imam Sya’roni
mengatakan,”Seandainya keajaiban atau keramat-keramat beliau kalau ditulis di dalam buku
tidaklah akan muat karena terlalu banyaknya. Tetapi ada peninggalan Syeikh ahmad Badawi
yang sangat utama, yaitu bacaan sholawat badawiyah sughro dan sholawat badawiyah kubro.
Demikianlah sekelumit manakib Sayyidi Ahmad Al Badawi disajikan kehadapan pembaca,
untuk dapat diambil hikmahnya, DUSTUR YA SAYYIDI AHMAD AL BADAWI (Dian Sag)
Wallahu`a'lam.

Syarat-syarat Mencapai Derajat Waliyullah


Syaikh Alyuusi berkata ; Sebagian para Imam mengatakan ; Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat :

1. Mengetahui ushuliddin ( pokok2 agama ), sehingga ia mampu membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga bisa membedakan antara nabi dan orang yang mengaku nabi.

2. Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara naql maupun dalam hal pemahaman dalil, dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya dibumi,niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.

3. Mempunya sifat-sifat terpuji, seperti ; wira’I dan ikhlash dalam setiap amal.

4. Selama-lamanya dalam keadaan tidak pernah merasa tenang hatinya, karena merasa tidak tahu apakah dia tergolong orang-orang beruntung ataukah celaka.

Qalbu Kaum Arifbillah


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

Rasulullah Saw, bersabda: "Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian dilanjutkan puasa enam hari bulan syawal, maka ia seperti puasa setahun.” (Hr. Imam Muslim)

Rahasia dari hadits ini adalah melaksanakan fardlu sepenuhnya, dan melaksanakan Sunnah Muhammadiyah, karena berkahnya dalam nilai waktu. Tak ada yang lebih penting dibanding meraih berkah waktu bagi sang ‘arif. Baik ibadah fardlu maupun sunnah atau perpaduan keduanya, dan itulah puncak hasrat cita. Sunnah Nabi Saw, adalah ruh bagi sang ‘arif, disanalah ia tegak dan duduk, sekaligus menjadi menara bagi jiwa terdalam kaum ‘arifin.

Karena yang menegakkan tiang-tiangnya dan membangun bangunannya adalah Nabi Saw, yang tidak bicara karena dorongan hawa nafsu, namun karena hentakan dari ayat “Mata hati tidak pernah menyimpang dan tidak pernah khianat.” Begitu juga para pewarisnya, kaum ‘arifin yang meraih berkah dengan mengikuti jejaknya, dimana ruh kita dan ruh semesta mendapatkan sarigunanya.

Qalbu Sang A’rif
Anak-anak sekalian…. Ketahuilah bahwa qalbu kaum ‘arifin adalah perbendaharaan Allah Ta’ala di muka bumi.
RahasiaNya dititipkan di dalamnya, kelembutan-kelembutan hikmahNya, hakikat cintaNYa, cahaya ilmuNya dan ayat-ayat ma’rifatNya, yang tak bisa dilihat sekalipun oleh Malaikat Muqorrobun, dan para nabi dan Rasul, dan siapa pun juga, tanpa seizin Allah Swt.

Sudah selayaknya bagi sang ‘arif mengenal baik dan buruknya, senantiasa istiqomah dalam amaliyahnya, mengenal untung dan ruginya, menjaga dari rekadaya musuh-musuhnya, dan memohon pertolongan kepada Allah Swt, secara total.

Jangan sampai meninggalkan sesuatu di hatinya selain Allah Robbul Izzah. Karena Allah Ta’ala manakala memandang qalbu hambaNya, lalu disana ada selain Dia, Allah Ta’ala membenci dan menghinakannya dan ia akan diserahkan pada musuhNya.
Amaliyah qalbu murni semata bagi Allah Ta’ala, sedang amaliyah rukun banyak ragamnya. Sedangkan amaliyah qalbu itu diterima tanpa gerak-gerik rukun, sedangkan amaliyah rukun tidak diterima tanpa amaliyah qalbu, dan tidak meraih pahala.

Bila seorang hamba mengabaikan amaliyah qalbunya, sedangkan dalam amaliyah rukun ia sempurna, ia hanya dinilai sempurnanya rukun tetapi bukan qalbunya. Namun jika amaliah qalbunya sempurna sedangkan amaliah rukunnya tidak, maka ia dihukumi ketidaksempurnaan rukunnya dengan kesempurnaan amaliah qalbunya.

Suatu hari Nabi Musa as, berjalan diantara Bani Israil menggunakan pakaian lap dan menaburi kepalanya dengan debu, sementara airmatanya menetes terus di pipinya. Lalu Nabi Musa as, menangis kasihan melihat keadaan mereka. Beliau bermunajat, “Oh Tuhanku, kenapa tidak Engkau sayangi hambaMu? Bukankah Engkau Tahu keadaan mereka?”

Allah pun menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Lihatlah, apakah perbendaharaanku melimpah, bukankah Aku Maha Penyayang? Jangan begitu. Namun Aku lebih tahu apa yang ada di hati mereka. Mereka berdoa kepadaKu dengan hati yang kosong dariKu, semata-mata condong pada dunia.”


Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as, sedang berjalan berjumpa dengan seorang yang sujud di atas batu selama 300 tahun. Ia menangis dan air matanya menetes memenuhi sebuah wadah. Nabi Musa as, turut menangis karena kasihan padanya. “Oh Tuhanku, tidakkah Engkau kasihan padanya?”
Allah Swt, menjawab, “Aku memang tidak kasihan padanya.”
“Kenapa begitu Oh Tuhanku?”
“Karena qalbunya lebih senang pada selain Aku. Ia masih punya jubah yang disayang untuk menupi rasa panas dan dingin!” Jawab Allah Ta’ala.
Nabi Saw, bersabda, “Seorang hamba tidak akan pernah teguh amaliahnya sehingga qalbunya teguh, dan qalbunya tidak akan teguh sampai ucapannya teguh.” Bila qalbu hilang, ia kehilangan Rabbnya.
Nabi Saw, bersabda:
“Ingatlah sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging, manakala ia baik, maka seluruh jasad baik. Dan apabila ia buruk, buruk pula seluruh jasadnya. Ingatlah bahwa itu adalah qalbu.”

Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Katakan kepada Bani Israel, jangan sampai mereka masuk ke dalam rumahKu kecuali dengan hati yang bersih, dan mata yang khusyu’, dengan badan yang bersih dan niat yang benar.”

Yahya bin Mu’adz ra, mengatakan, “Qalbu orang beriman itu adalah gumpalan yang berlobang, isinya adalah mutiara Robbani, di sekitarnya adalah taman Fardaniyah (penunggalan Ilahi), di bawahnya ada hamparan pencahayaan. Dan Allah Ta’ala memandangnya setiap saat dengan rahmat dan kasih sayangNya, dan menghadang apa pun yang membuatnya lalai antara hamba dan DiriNya.”
Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih menepati janjinya dibanding Allah?”

Dikatakan, bahwa kinerja qalbu itu sangat pelik, namun pengukuhan qalbu itu lebih berat lagi.
Ditanyakan kepada sebagian ahli ma’rifat, “Seorang hamba yang kehilangan qalbunya, kapan bakal menemukannya kembali?”
Dijawab, “Bila dalam qalbu itu turun Kebenaran Allah.” Masih ditanya, “Kapan turunnya?” Dijawab, “Makanala ia ia pergi meninggalkan selain Allah Ta’ala.”
Amaliah Qalbu itu berkisar 10 tangga:
• Al-Khatharat (intuisi terdalam)
• Ungkapan nafsu
• Hasrat
• Tafakur
• Kehendak
• Ridho
• Ikhtiar
• Niat
• Tekad
• Meraih tujuan hingga mencapai amaliah dzohir.

Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika mendapatkan intusi terdalam, ia berada di tangga Shiddiqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ucapan nafsu, maka ia berada di tangga Muqorrobin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berada dalam hasratnya, maka ia termasuk dalam tangga Awwabin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan tafakurnya, maka ia berada di tangga Mukhlishin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan cita-cita, maka ia berada 
di tangga Muridin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ikhtiar maka ia berada 
di tangga Muttaqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan niat, maka ia berada di tangga Zahidin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan Tekadnya, maka ia berada di tangga Munibin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan amaliah dzohir maka ia berada di tangga ‘Abidin dalam kalangan Muwahhidin.

Ishaq bin Ibrahim ra, mengatakan, “Bila hatimu bisa kembali kepada Allah Ta’ala sejenak saja, itu lebih baik dibanding segala hal yang dicahayai terbitnya matahari. Tak seorang pun yang bersih hatinya dari kotoran syahwat, dan membersihkan dari debu-debu kealpaan, serta menjernihkan dari keburaman penyimpangan, melainkan Allah Swt, akan menampakkan semuanya secara total.”
Bakr bin Abdullah ra, menafsiri ayat, “Dan ia datang dengan qalbu yang kembali”.

maksudnya yang berjalan dimuka bumi dengan fisiknya, sedangkan hatinya bergantung terus kepada Allah Ta’ala.
Abu Abdullah ra, ditanya, “Apakah Qalbun Salim itu?”
Beliau menjawab: “Qalbu yang putus dari kaitan-kaitan dunia, dipenuhi cinta kepada Tuhan, tidak mengeluh karena bencana, dan tidak terhalangi tirai perlindungan dan ketaqwaan.”
Disebutkan, “Siapa yang antara dirinya dengan Allah ta’ala tidak memiliki amaliah rahasia batin, maka ia tergolong buruk, walaupun kelihatannya baik. Dan siapa yang tidak melihat dunia dan akhirat adanya Kekuasaan Allah Ta’ala yang berjalan dan cepatnya takdir itu, ia tidak akan meraih amaliah qalbu.”
Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Ketahuilah bahwa alamiah qalbu adalah memperbaharui rahasia batin untuk menyendiri bersama Allah Ta’ala, dan mengaktifkan qalbu untuk menjaga dzikirnya sepanjang waktu disertai ruhani yang benar tanpa berpaling pada waktu dan kondisi ruhaninya itu sendiri.”
Abu Darda’ ra, berkata, “Allah mempunyai hamba-hamba, dimana qalbunya terbang kepada Allah Ta’ala karena rindunya, yang kecepatannya tidak bisa dilawan oleh kilat yang cepat sekalipun.”
Nabi Saw, bersabda, “Bukan karena banyaknya sholat Abu Bakr yang mendahului derajat kalian, juga bukan karena puasa, namun karena kebersamannya dengan Allah dan sejuk dalam qalbunya.”
Allah Ta’ala tidak menolak yang sedikit karena jumlah sedikitnya, juga tidak menerima yang banyak karena jumlah banyaknya. Namun Allah menerimanya dari kalangan orang yang taqwa (dengan ketaqwaannya).
Disebutkan, “Tidak benar maqom seseorang manakala masih ada gantungan qalbunya pada maqom itu. Namun orang yang benar adalah orang yang qalbunya bergantung kepada Sang Pemiliki Maqom belaka, hingga ia tidak melihat selain Allah Ta’ala ketika melihat Allah Ta’ala.”
Dikatakan, “Manakala amaliyah mengarah pada qalbu, seluruh badan istirahat.” Disebutkan pula, “Tidak akan ada aktivitas amal qalbu, kecuali bagi orang yang qalbunya bening, tidak lupa, sehat dan tidak luka, memandang tanpa cacat, sendiri tanpa kontra, mencari tanpa memburu, dekat tanpa asing, berakal sehat tanpa alpa, samawi tanpa semesta fisik, bersifat Arsy dan tanpa belantara.”
Penyendirian Qalbu hanya bagi Allah Ta’ala.

Tsabit an-Nasaj ra mengatakan, “Aku membaca Al-Qur’an bertahun-tahun penuh dengan rasa takut, namun aku tidak menemukan qalbuku. Lalu aku membacanya dengan penuh harapan, aku pun tidak menemukan qalbu. Lantas ketika aku membaca dengan qalbu yang sendiri dari segala hal selain Allah Ta’ala, pada saat itulah aku menemukan qalbuku. Dan ketika aku melihatnya, aku pun melihat adanya Wilayah Keagungan, Kebesaran Yang Agung dan Martabat yang Luhur.”

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya: “Qalbu-qalbu itu di TanganKu, Cinta ada di Rahasia perbendaharanKu. Kalau bukan karena CintaKu pada hambaKu, pastilah hambaKu tak mampu mencintaiKu. Dan kalaulah bukan karena DzikirKu di zaman azali kepada hambaKu, ia tak bakal mampu berdzikir kepadaKu. Kalaulah bukan karena kehendakKu padanya di zaman Qadim dahulu, hambaKu tak akan bisa berkehendak padaKu.”
Dikatakan, “Seorang ‘arif sedang melihat seorang yang mengitari masjid, “Lalu ditanya, “Apa-apaan ini? Apa yang anda cari?”.
Ia menjawab, “Aku lagi mencari tempat yang sunyi untuk sholatku…” Sang ‘arif berkata, “Sunyikan hatimu dari segala hal selain Allah, dan sholatlah dimana pun anda berada semau anda.”

Disebutkan, “Menurut kadar menghadapmu kepada Allah Ta’ala, maka kedekatan qalbu terukur. Dan Allah Ta’ala tidak menampakkan di qalbu orang sang hamba, yang masih ada penglihatan selain Dia, melainkan justru Allah menyiksanya dan dibebankan kepada si hamba itu.” Yahya bin Mu’adz ra, berkata, “Qalbu ketika diletakkan di dunia, ia merana. Ketika diletakkan di akhirat ia hendak pergi. Ketika diletakkan di sisi Allah Swt, ia merasa baik.”
Dikatakan, “Dunia itu roboh, dan ada yang lebih roboh lagi, yaitu qalbu yang meramaikan dunia. Akhirat itu negeri keramaian, dan lebih ramai lagi adalah qalbu yang meraihnya.”

Disebutkan, “Jarak-jarak dunia bisa ditempuh dengan langkah kaki, sedangkan jarak-jarak akhirat hanya bisa ditempuh 
dengan qalbu.” Dikatakan, “Robohnya nafsu karena ramainya qalbu, dan ramainya nafsu merobohkan qalbu.”
Diantara pemilik qalbu sejati ditanya, “Kenapa anda tidak bicara?” Ia menjawab, “Qalbuku bicara.” Ditanya, “Dengan siapa?” , ia jawab, “Dengan Yang membolak-balik qalbu.”

Negeri Sufi


Di luar langit sana, tiba-tiba bumi mengepulkan asap hitam. Tampak seperti bola hitam yang meruak ke angkasa. Boleh jadi, itulah meteor siang bolong, yang sedang melesat, mengikuti edarnya.

Lalu di sebuah surau desa terpencil yang terbuat dari anyaman bambu, dua sosok masih bersila saling berhadapan, sembari mengepulkan asap rokok.
“Negeri ini sedang berguncang, sebagaimana yang kita lihat dalam riak gelombang lautan,” kata Mat Salik.

“Apanya yang aneh?” tanya Syamsuddin.
“Lho, apa sampean tidak merasa asing?”
“Saya kira kok biasa-biasa saja…”
“Maksudnya?”
“Lho iya, bukankah semua itu sudah jadi watak dunia. Selama kita hidup di dunia, ya selalu begitu, tak henti-hentinya?”
Dua orang itu kemudian terdiam. Masing-masing menerawang ke angkasa. Bintang-bintang kecil bertaburan, lalu segerombol bintang membentuk lingkaran yang saling tarik menarik, seperti misteri huruf Hamzah dalam jajaran huruf Hijaiyah.

Tanpa jawaban dan diskusi yang jelas, kedua hamba Allah itu kembali ke rumah masing-masing, namun ada kesepakatan keduanya akan segera sillaturrahim ke Kiai Mursyid, guru mereka berdua.

Di sebuah kota kecil, sebuah bangunan menara menjulang ke langit. Menara itu menjadi lambang sebuah cahaya senantiasa memancar, bukan hanya limawaktu sehari ketika suara adzan menusuk angkasa, tetapi juga seringkali dianggap sebagai lambang kesejukan kota kecil itu. “Selama menara itu masih bersinar, kota ini akan senantiasa damai.” Demikian pameo yang berkembang di benak penghuni kota itu.

Di bawah menara itu, tentu sebuah bangunan yang berjajar seperti sebuah kampung kecil di tengah kota. Bangunan-bangunan itu sederhana, tetapi sangatlah bersih. Tak banyak orang bersuara, kecuali sesekali ledakan tawa yang membahana, bahkan juga suara-suara burung yang berkicau di sudut-sudut kampung itu, serta suara-suara bocah yang sedang bermain dengan gembiranya.

Dan bangunan paling sederhana diantara bangunan-bangunan itu, dihuni oleh Kiai Mursyid dan keluarganya. Walau sederhana, tetapi ruang tamu yang luas, dan dan dapur yang lebih luas lagi. Di sana Kiai Mursyid memimpin sebuah pesantren yang tidak sampai ribuan jumlah santrinya. Tetapi dari sanalah sebuah bangsa dibangun dalam arti sebenarnya.
Kiai ini masih sangat muda, belum sampai lima puluh tahun usianya. Tetapi ia memang cukup dikenal sebagai Kiai Sufi, di kalangan para Sufi negeri ini. Lalu bangunan yang mirip kampung kecil itu, tidak lain adalah bangunan pesantren itu. Kelihatan, segalanya berjalan alamiyah, tidak megah, tetapi kokoh dengan bangunan-banguna kayu jati yang berusia tua.

“Mengapa Pak Kiai tidak membangun pesantren modern, lalu tetap mempertahankan tradisi utama di sini? Bahkan kalau perlu dibangun sebuah akademi paling modern dengan nuansa tradisi yang unik?” tanya seorang tamu dari Jakarta yang ssudah melalang buana di negeri-negeri Islam dan pelosok dunia, sembari ia bandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, sehingga Kiai Mursyid bisa menjadi pelopor pertemuan peradaban Islam paling modern tanpa melepas tradisinya?
“Kami di sini mendidik hati, menanamkan biji-biji tauhid, agar tumbuh menjadi sosok pohon sejarah kehambaan, yang berbuah manusia-manusia yang senantiasa mendapatkan ridhaNya…” jawab Kiai Mursyid tetap merendah.

“Saya sudah dua hari di sini Pak Kiai. Saya mengamati semuanya, mendata para santri, mendata murid-murid Kiai dari berbagai profesi. Kenapa seorang insinyur, seorang doktor pula, tiba-tiba harus ditugasi Kiai membersihkan kamar mandi setiap hari. Bahkan itu semua di luar disiplin ilmunya. Mengapa tidak dimanfaatkan dan dikembangkan potensinya, dengan planning modern?”
“Bolehlah anda berpendapat begitu. Tetapi saya tanya, mana universitas terhebat di dunia ini yang bisa membentuk karakteristik manusia yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa ide anda itu bisa membuat hatinya berubah, karakternya bisa sesuai dengan keinginan anda,” jawab kiai itu.

Tamu dari Jakarta itu rupanya terhenyak dengan jawaban kiai. Walau pun fikirannya masih tidak puas, diam-diam hatinya tidak menolak lontaran kiai tersebut.
Kiai Mursyid memang aneh. Bukan seperti kiai biasa. Juga bukan seperti Kiai Khos yang selama ini dikenal publik. Sebab para muridnya terdiri dari masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Dari anak-anak hingga orang tua-tua yang sudah senja. Terkadang di rumahnya itu, ratusan rombongan tamu datang, terkadang yang beberapa gelintir manusia, bahkan beberapa hari juga pernah lengang. Kadang yang datang dengan pakaian seragam militer, dengan pangkat jenderal, terjkadang pengusaha kaya raya, namun tidak jarang yang ditemui justru para pemulung dan tukang becak. Semuanya tampak akrab dengan Kiai itu.

Ada jutaan muridnya, ada yang satu sama lain mengenal, ada yang tidak kenal sama sekali, walau pun di ibu kota Jakarta, mereka sebenarnya duduk pada satu instansi bahkan satu kantor.

Seluruh lapisan masyarakat, model manusia seperti apa pun, dari yang paling aneh, paling gila, paling nyentrik, bahkan paling jahat, merasa mendapatkan perlindungan jiwa di sana. Apalagi yang paling alim, paling hebat, paling mampu dan paling banyak massanya, juga merasa mendapatkan perlindungan hati di sana.

Tetapi, manusia juga tetap manusia. Manusia tidak lepas dosa dan alpa. Hanya kesombonganlah yang menyeret manusia untuk merasa paling suci, paling Islami, paling alim, paling dekat dengan Tuhannya. Karena itu di pintu gerbang pesantren itu ada tulisan besar.

“Janganlah anda merasa paling kotor dan paling berdosa di tempat ini. Sebab masih banyak orang yang lebih kotor dan lebih berdosa ketimbang anda di sini. Janganlah pula anda merasa paling alim dan paling suci di sini, sebab masih banyak orang alim dan orang suci lebih dari anda di sini.”
Membaca tulisan itu, setiap tamu yang datang bahkan setiap santri yang keluar masuk pesantren itu, sering dihentakkan egonya sampai ke titik paling rendah. Bahkan banyak tamu yang hilir mudik, karena satu dan lain hal, tidak sempat bertemu Kiai Mursyid, sudah merasa bebas dari beban yang menghimpit ketika memasuki gerbang pesantren itu.

Banyak pula para tamu yang membayangkan sosok Kiai Mursyid sebagai sosok yang kharismatis, dengan pakaian kebesaran dan jubah yang menjuntai. Tetapi begitu jumpa kiai itu, terasa seperti berjumpa dengan ayahandanya sendiri. Bahkan lebih dari itu, tiba-tiba sosok kiai itu adalah sosok bapak spiritual yang meluruhkan gumpalan-gumpalan yang berkarat dalam hati.

“Di sini ini seperti supermarket. Mencari apa saja ada …” kata Kiai Mursyid ketika menerima rombongan tamu-tamu dari luar kota.
Memang demikian. Sebab santri Kiai Mursyid memang terdiri dari berbagai macam manusia, dan ilmu yang dimiliki Kiai Mursyid memang lebih dari sekadar seorang Kiai. Sebab, beberapa tokoh dari perbankan internasional dari mancanegera sering datang hanya untuk konsultasi soal moneter. Ada para politisi yang bertanya soal strategi berbangsa dan bernegara. Ada juga para Ulama besar negara-negara Islam yang datang, hanya untuk bertanya satu dua persoalan saja, ketika persoalan itu sudah ditanyakan hampir ke seluruh tokoh-tokoh Ulama besar, tetapi mengalami jalan buntu. Lalu Kiai Mursyid hanya memberi jawaban satu dua kalimat saja, mereka sudah puas. Namun tak jarang Kiai Mursyid harus bicara soal pertanian dan pendidikan anak-anak di desa, situasi madrasah dan surau, pada orang-orang desa.

Misalnya, seorang professor Filsafat dari Al-Azhar University jauh-jauh datang dari Mesir hanya untuk menanyakan sebuah kompromi polemik intelektual dan teologis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi yang selama berabad-abad tidak bisa dikompromikan secara memuaskan. Tetapi ketika filosuf Al-Azhar itu mendatanginya, dengan membawa masalah tersebut, akhirnya hanya dijawab oleh Kiai Mursyid dengan kata-kata sederhana, terkadang penuh dengan anekdot dan hikmah yang berbau kontroversial.
“Apakah Syeikh tadi sudah masuk ke masjid saya itu, melihat arsitektur dan bangunannya?” tanya Kiai Mursyid.

“Sudah Pak Kiai…” jawab Professor dari Al-Azhar itu.
“Apakah syeikh bisa menjelaskan pada khayalak tentang bangunan itu?”
“Insya Allah saya bisa, bahkan sangat detil. Sebab saya memang pernah belajar arsitektur di Universitas Kairo.”

“Baiklah. Kalau teman anda ini, apakah teman anda ini juga ikut masuk di Masjid?” tanya Kiai Mursyiod pada teman syeikh atau Professor itu.
“Maaf Pak Kiai,” jawabnya dengan berbahasa Arab fasih, “saya hanya melihat-lihat dari luar saja. Tapi saya bisa menjelaskan bentuk detilnya kepada khalayak. Karena saya sebenarnya seorang insinyur bangunan Pak Kiai,” kata teman professor tadi.

“Nah, itulah cara mempertemukan Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi. Syeikh atau professor yang sudah masuk ke dalam masjid lalu keluar dari masjid, kemudian menjaskan kepada khalayak tentang bangunan masjid itu, menempati posisi Imam Al-Ghazali. Sedangkan anda yang hanya melihat masjid dari sisi luarnya, lalu berusaha menjelaskan kepada khalayak tentang sudut-sudut bangunan di dalam masjid, maka anda menempati posisi Ibnu Rusydi.”

Kedua tokoh itu hanya manggut-manggut, sembari meandang sosok Kiai Mursyid tanpa henti-hentinya. Lalu professor itu menangis dengan sesenggukan yang mengharukan.

“Pak Kiai telah menyelesaikan ribuan judul buku, bahkan ratusan ribu kitab, hanya dalam satu kalimat saja. Subhanallah….Subhanalllah…” kata Professor itu sambil mengusap airmatanya dengan sapu tangannya.
Kiai Mursyid hanya menyambut dengan senyuman.

“Apa rahasianya Pak Kiai?” tanya professor itu.
“Kalau hati anda hidup, insya Allah bisa sendiri,” katanya.
“Hati yang hidup itu bagaimana?”
“Ya, hati yang tidak mati…ha…ha…haa…”
Professor itu mengernyitkan keningnya. Lalu Kiai Mursyid menempelkan tepalak tangannya ke dada professor itu.

“Pejamkan mata anda, rasakan apa yang hidup dalam hati anda.”
Professor itu memejamkan matanya, lalu mengikuti perintah Kiai Mursyid. Tiba-tiba keringatnya bercucuran, bahkan airmatanya membasahi pipinya dan membelah bibirnya.

“Iya, iya Pak Kiai, saya mengerti, saya mengerti…”
Lalu Professor itu mengucapkan istighfar berkali-kali, ketika hatinya mengalami futuh (pencerahan), melalui Kiai Mursyid. Dan hari itu Professor dari Al-Azhar itu berbaiat kepada Kiai Mursyid untuk mengikuti thareqat Sufinya.

Malam semakin larut ketika seluruh negeri ini terlelap oleh kedekilan yang menggigilkan. Dan selimut telah menjadi jubah malamnya, seperti malam menjubahi bumi dengan gelapnya. Mat Salik dan Syamsuddin sudah memasuki pelataran pesantren itu. Keduanya memasuki masjid, lalu sholat dua rekaat tahiyyatal masjid. Usai berdzikir dan berdoa, terdengar suara yang memecahkan malam. “Mat Saliiik….!.Syamsuddiiiin….!”. Suara yang khas memanggil dua nama itu. Tidak lain adalah suara Kiai Musryid yang sudah menunggu kedatangan dua orang dari pelosok kampung itu.

Dua orang itu mencium tangan Kiai Mursyid dan duduk di emperan masjid.
“Negeri ini susah diprediksi oleh para pengamat, para pakar, bahkan oleh musuh sekalipun,” tiba-tiba Kiai Mursyid membuka pembicaraannya, seakan-akan menyambung obrolan dua orang kampung itu.
“Kenapa begitu Pak Kiai….”
“Karena di negeri ini masih banyak, ratusan, para wali-wali Allah yang menjaganya….” Kata Kiai Mursyid.

Dua orang itu tetap tak berkata-kata. Tetapi hatinya merasakan getaran-getaran yang aneh dibalik kata-kata Kiai Mursyid itu.

“Karena itu, lanjut Kiai Mursyid, “jangan percaya pada omongan para pakar di media massa, jangan mudah percaya pada pemimpin-pemimpin yang munafik yang hanya mementingkan golongan dan keluarganya sendiri, juga jangan percaya pada suara-suara pikiran belaka. Percayalah pada hatimu paling dalam, percayalah pada Sirr-mu sendiri.”

Dada Mat Salik dan Syamsuddin terasda terguncang mendengar kata hikmah Kiainya. Guncangan itu akibat getaran dzikir yang tak bisa dihentikan oleh usahanya sendiri. Tiba-tiba bergetar dengan dzikrullah, tanpa tahu darimana asal mulanya.

“Getaran dalam hatimu, bermula dari kesadaranmu paling dalam. Kesadaran yang tak terikat ruang waktu, disaat kamu ditanya oleh Tuhanmu, “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Lalu sirr-mu menjawab, “Benar, Engkaulah Tuhanku…”. Itulah sirr-mu yang menjawab. Sirr tempat dimana kamu bertemu dengan Allah.”

Lalu dua orang itu dipersilahkan ke masjid oleh Kiai Mursyid, walau pun sisa airmatanya masih mebekas di pipinya.

Subuh pagi yang cerah, dua orang itu pulang ke kampung dengan wajah seperti matahari pagi.

Keduanya hanya senyum-senyum sendiri, dengan senyum yang menahan rasa gembiranya atas jawaban Kiai Mursyid tentang negeri ini.

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati