Syamsuddin Sumatrani
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1. Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
4. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5. Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam.
KH. Tubagus Muhammad Falak, Wali Agung Dari Bogor
KH. Tubagus Muhammad Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas Oleh kalangan
masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.
Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
KH. Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.
Secara garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan banten.
Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, pandeglang banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.
Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.
Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.
Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki. Khusus dala ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.
Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.
Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.
Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.
Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.
Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktititas dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah pagentongan.
Pendirian Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.
Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.
Peran beliau tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan kemantapan rakyat khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan Republik Indonesia sebagai negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan tersebut, pasukan belanda yang berada di bogor melakukan penyerangan ke Pagentongan yang mengakibatkan wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan. Setelah melakukan aksi penyerangan tersebut pasukan belanda kemudian menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan sebagian besar warga Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek. Namun atas kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad Falak yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad Falak kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.
Selama hidupnya KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat serta menjadi pusat kunjungan para tokoh politik dari kalangan sipil maupun militer dan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional serta para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang berkunjung kepada beliau untuk berbagai macam keperluan, bersilaturahmi, menuntut ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah dengan beliau. Selama hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi fungsi sosial sebagai seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode spiritual healing yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan keyakinan.
Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar
Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djati.
Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.
Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak Aceng) .
Karomah KH Falak
KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak.
Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.
Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein.
Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.
Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein.
Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.
Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli.
“Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.
KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah.
Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan
Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
# # # #
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
Kisah Sufi Abu Hafs Al-Haddad
Abu Hafs Amr ibnu Salamah al-Haddad adalah seorang tukang pandai besi di Nisyabur. Ia pergi ke Baghdad dan bertemu dengan Junaid yang mengagumi ketaatannya. Ia juga bertemu dengan As-Syibli dan para sufi mazhab Baghdad lainnya.
Kemudian ia kembali lagi ke Nisyabur, melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang Pande Besi, dan meninggal dunia di sana pada 265 H / 879 M.
Sebagai seorang lelaki muda Abu Hafs pernah jatuh cinta pada seorang gadis pelayan. Begitu tergila-gilanya Abu Hafs pada gadis itu, sampai-sampai setiap hari ia selalu gelisah.
Teman-temannya berkata padanya, “Ada seorang dukun Yahudi tinggal di pinggiran Kota Nisyabur. Ia akan bisa membantumu.”
Abu Hafs pergi menemui dukun Yahudi yang dimaksud dan menjelaskan masalahnya.
Si dukun Yahudi itu menasihati, “Selama 40 hari, engkau tidak boleh shalat, atau mematuhi semua perintah Tuhan dengan cara apapun, atau melakukan perbuatan baik, sekecil apapun. Janganlah pernah menyebut nama Tuhan, atau berniat baik, apapun niat itu, setelah itu aku akan membantumu dengan sihir untuk mewujudkan keinginanmu.”
Selama 40 hari Abu Hafs melakukan apa yang diperintahkan oleh si dukun, kemudian si dukun memberikan jimat, tapi tak membawa hasil seperti yang diharapkan.
“Pastilah sesuatu yang baik telah terwujud melaluimu,” kata si dukun Yahudi, “Kalau tidak, aku yakin keinginanmu pasti terwujud.”
“Aku tidak melakukan apa-apa,” kata Abu Hafs berusaha meyakinkan. “Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah ketika aku menuju ke sini, aku menendang sebongkah batu keluar dari jalan agar tidak ada orang yang tersandung olehnya.”
“Jangan plin-plan di hadapan Tuhan,” kata si Yahudi, “Yang perintah-Nya telah kau abaikan selama 40 hari dan yang dengan kemahapemurahan-Nya tidak menyia-nyiakan bahkan perbuatan baik sekecil apapun yang engkau lakukan.”
Kata-kata ini serasa membakar hati Abu Hafs. Begitu kuatnya pengaruh kata-kata si Yahudi itu, sehingga ia meninggalkan gaya hidupnya yang telah ia jalani selama ini.
Abu Hafs tetap menjalankan profesinya sebagai pandai besi, menyembunyikan keajaiban yang telah ia alami. Setiap hari ia mendapat satu dinar. Malam harinya ia menyedekahkan seluruh penghasilannya kepada fakir miskin, dan meletakkan uang itu di depan pintu rumah para janda secara sembunyi-sembunyi. Lalu pada saat malam tiba, ia mengemis, dan berbuka puasa dengan hasil mengemisnya. Terkadang ia mengumpulkan sisa-sisa bawang perai di tempat cuci umum, dimana orang-orang biasa mencuci bahan makanan mereka, dan membuat makanan dari sisa-sisa ini.
Dengan tangan telanjang ia mengambil besi panas dari dalam tungku. Ia menempatkan besi itu di tempat penempaan. Anak buahnya bersiap untuk menempanya. Mereka kemudian melihat Abu Hafs menempa besi panas itu dengan tangannya.
“Tuan, apa-apaan ini?” pekik mereka.
“Ayo tempa! Perintahnya pada para pekerjanya.
“Tuan, apa yang harus kami tempa?” Tanya mereka. “Besi ini telah jadi.”
Abu Hafs baru sadar, ia melihat besi panas di tangannya dan mendengar suara anak buahnya, “Besinya telah rapi, apa yang harus kami tempa?”
Abu Hafs segera melepaskan besi panas itu dari genggamannya, kemudian ia meninggalkan tempat usahanya.
“Sudah sejak lama aku ingin dengan sengaja berhenti dari pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai kejadian ini menimpaku dan merenggutku secara paksa dari diriku sendiri. Dulu, walaupun aku terus berusaha untuk meninggalkan pekerjaan ini, namun aku tidak bisa, sampai pekerjaan ini meninggalkanku.
Setelah kejadian itu, ia menjalankan disiplin diri yang sangat keras, dan melakukan meditasi dalam kehidupan terasing.
Suatu saat ia berniat haji. Tapi ia seorang yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa arab. Saat ia tiba di Baghdad, murid-murid Junaid berbisik-bisik satu sama lain, “Sungguh memalukan, syekhnya para syekh Khurasan buta huruf dan membutuhkan penerjemah bahasa Arab.”
Junaid mengutus murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu hafs. Abu Hafs tahu apa yang dipikirkan oleh murid-murid Junaid. Tiba-tiba ia mulai berbicara dalam bahasa Arab, begitu fasih, sampai-sampai orang-orang takjub mendengarnya.
***
Sejumlah ulama berkumpul untuk bermusyawarah dan bertanya kepada Abu hafs tentang cinta yang penuh dengan pengorbanan diri.
“Kalian mampun mengekspresikan diri kalian sendiri. Kalian saja yang menjawab,” tukas Abu hafs.
Junaid berkata, “Menurutku, pengorbanan diri sejati berarti engkau tidak menganggap dirimu dirimu berkorban, dan engkau tidak menganggap dirimu berjasa atas apa pun yang telah engkau lakukan.”
“Bagus sekali,” komentar Abu Hafs. “Tapi menurutku, pengorbanan diri berarti berlaku adil terhadap orang lain, dan tidak mencari-cari keadilan bagi diri sendiri.”
“Wahai murid-muridku, berlakulah seperti itu,” kata Junaid.
“Berlaku benar tidak cukup dengan kata-kata,” Ujar Abu hafs.
“Bangkitlah wahai murid-muridku,” perintah Junaid setelah mendengar kata-kata Abu Hafs. “Pengorbanan diri Abu Hafs tiada tandingannya.”
***
Abu Hafs melatih murid-muridnya dengan disiplin yang sangat keras dan sopan santun. Tidak ada muridnya yang berani duduk di dekatnya atau menatapnya langsung. Mereka selalu berdiri kala berada di dekatnya, dan tidak akan duduk tanpa perintahnya. Abu Hafs sendiri duduk ditengah-tengah para muridnya seperti seorang sultan.
Junaid berkata, “Engkau mengajari murid-muridmu tata karma terhadap sultan.”
“Engkau hanya melihat kulit luarnya saja,” tukas Abu Hafs. “Namun dari alamat , kita dapat memperkirakan isi suratnya.”
Kemudian Abu Hafs berkata kepada Junaid, “Perintahkan muridku untuk membuat kadu dan Halwa.”
Junaid menyuruh salah seorang murid Abu Hafs untuk membuat Kaldu dan Halwa. Ketika kedua jenis makanan itu di bawa kehadapannya, Abu Hafs melanjutkan, “Panggillah seorang kurir dan letakkan makanan ini di atas kepalanya. Suruh ia berjalan membawa makanan ini di kepalanya sampai ia merasa lelah. Lalu, di rumah manapun ia sampai, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapapun yang membukakan pintu, suruh si kurir untuk memberikan makanan ini padanya.”
Si kurir itu mengikuti semua instruksi yang diberikan Abu Hafs. Ia terus berjalan sampai ia sangat lelah dan tidak bisa terus berjalan. Ia meletakkan makanan yang dibawanya di depan pintu sebuah rumah, lalu memberi salam. Sang pemilik rumah seorang lelaki tua, menjawab, “Jika engkau membawa Kaldu dan Halwa, aku akan membawakan pintu.”
“Ya, aku membawa Kaldu dan Halwa,” jawab si kurir.
“Bawa makanan itu masuk,” kata si empunya rumah sambil membukakan pintu.
Si Kurir mengisahkan, “Aku begitu takjub. Aku bertanya pada lelaki tua itu, “Apa yang terjadi? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku datang dengan membawa Kaldu dan Halwa?” lelaki tua itu menjawab, “semalam, saat aku sedang berdoa, aku teringat sesuaatu, bahwa anak-anakku telah lama menginginkan Kaldu dan Halwa, aku percaya bahwa doaku tidaklah sia-sia.”
***
Ada seorang murid Abu Hafs yang menunggu dengan sikap dan kesopanan yang luar biasa. Junaid berkali-kali memandangnya, karena ia sangat terkesan dengan sikap murid Abu Hafs itu.
Junaid bertanya kepada Abu Hafs, “Sudah berapa lama ia menjadi muridmu?”
“Sepuluh tahun,” jawab Abu Hafs.
“Tata kramanya sempurna, ia benar-benar bermartabat, anak muda yang sungguh mengagumkan.” Kata Junaid.
“Ya,” ujar Abu Hafs, “Ia telah menghabiskan 17 ribu dinar uangnya untuk keperluan kami, dan telah meminjam 17 ribu dinar lagi untuk keperluan kami. Namun setelah semua itu, ia masih saja belum berani mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami.”
***
Ketika Abu Hafs berada di Mekkah, ia melihat sekelompok jemaah haji yang miskin dan papa di sana. Ia ingin memberikan sesuatu kepada mereka, dan merasa sangat terguncang melihat keadaan mereka.
Dengan perasaan terguncang seperti itu, ia memungut sebuah batu dan memekik, “Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberiku sesuatu, maka aku akan memecahkan seluruh lampu yang ada di masjidil Haram ini.”
Kemudian ia melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah. Tiba-tiba seorang lelaki mendatanginya dan memberinya sekantong emas. Abu Hafs kemudian membagi-bagikan emas itu kepada kaum miskin tadi.
Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali ke Baghdad. Di sana murid-murid Junaid keluar menyambutnya dengan segala kehormatan.
“Apa oleh-oleh yang engkau bawa dari perjalananmu?” Tanya Junaid.
“Yang akan kukatakan ini adalah oleh-oleh dariku,” jawab Abu Hafs. Mungkin salah seorang saudara kita tidak mampu hidup (berlaku) sebagaimana seharusnya. Jika engkau mendapati saudaramu berkelakuan buruk, carilah alsan baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu tidak juga hilang dengan alasan itu, maka carilah alasan yang lebih baik lagi baginya, dan maafkanlah ia. Jika debu kesalahpahaman itu masih juga belum hilang, carilah alasan lain, teruslah begitu, bahkan sampai empat puluh kali. Jika debu kesalahpahaman itu lagi-lagi belum juga hilang, sementara engkau berada di pihak yang benar, dan empat puluh alasan tadi tidak juga mampu menutupi kesalahan saudaramu itu matamu, maka duduklah, dan katakana pada dirimu sendiri, “Engkau benar-benar jiwa yang keras kepala dan bebal, engkau benar-benar kepala batu, kurang ajar, dan tak tahu diri, saudaramu mengemukakan empat puluh alasan bagi kesalahannya, namun engkau tidak menerima semua alasan itu dan berkeras dengan sikapmu, aku berlepas diri darimu. Engkau tahu apa yang engkau enginkan, lakukanlah sesukamu!”
Junaid bernar-benar kagum dengan kata-kata ini. “Siapa yang dapat memiliki kekuatan seperti itu?” tanyanya dalam hati.
***
Sebagai tuan rumah, Syibli menerima dan melayani Abu Hafs di rumahnya selama empat bulan. Syibli menyuguhkan makanan serta beberapa jenis manisan yang berbeda setiap harinya.
Setelah empat bulan berlalu, Abu Hafs berpamitan kepada Syibli. “Syibli, jika engkau datang Nisyabur, aku akan menunjukkan padamu keramah tamahan dan dan kedermawanan yang sesungguhnya.”
“Ada apa, apa yang telah aku lakukan, wahai Abu Hafs?” Tanya Syibli.
“Engkau telah banyak berkorban selama aku di sini. Namun pemborosan tidaklah sama dengan kedermawanan,” kata Abu Hafs. “Seseorang harus memperlakukan tamunya tepat sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Dengan begitu, tamunya itu tidak akan membebaninya, dan saat kepergian tamunya itu tidak akan menjadi saat yang membahagiakannya. Jika engkau berlebih-lebihan dalam melayani tamumu, maka kehadirannya akan membebanimu dan kepergiannya akan melegakanmu. Seseorang yang merasa seperti itu bukanlah seorang dermawan sejati.”
Ketika Syibli berkunjung ke Nisyabur, ia tinggal di rumah Abu Hafs. Si tuan rumah mengadakan jamuan makan untuk empat puluh orang tamunya. Pada malam hari, Abu Hafs menyalakan 41 buah lampu.
“Bukankah engkau telah mengatakan bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan,” Tanya Syibli.
“Bangkitlah, dan matikanlah lampu-lampu itu,” tukas Abu Hafs.
Syibli pun bangkit mematikan lampu, namun ia hanya berhasil memadamkan satu buah lampu.
“Wahai Syekh, mengapa bisa begini?” tanyan Syibli.
Abu Hafs menjelaskan, “Kalian ada 40 orang, wahai para utusan Tuhan. Tamu adalah utusan Tuhan. Aku menyalakan 40 buah lampu itu dengan nama masing-masing kalian, karena Allah. Sedangkan yang satunya aku nyalakan bagi diriku sendiri. 40 lampu yang kunyalakan karena Allah, tidak dapat engkau padamkan, tapi satu lampu yang kunyalakan untuk diriku sendiri, bisa engkau padamkan. Semua yang telah engkau lakukan di Baghdad, engkau lakukan karena aku, sedangkan yang kulakukan ini, aku lakukan karena Allah. Jadi, yang engkau lakukan adalah pemborosan, sedangkan yang kulakukan bukan pemborosan, tapi kedermawanan.
Abdurrahman Jami, Penyair Sufi yang Mengetahui Hari Kematiannya
Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu. Kita pasti akan jadi tanah dan debu
Nama lengkapnya Nuruddin Abdurrahman Al-Jami. Dia adalah satu di antara sejumlah orang genius dari negeri Persia. Lahir di Kharjad pada 1414 M (817 H) dan wafat di Heart pada 1492 M (898 H). Sebelum populer dengan sebutan Al-Jami, dia bergelar Ad-Dasyti, karena ayahnya, Nizamuddin, berasal dari Dasyt, dekat Kota Isfahan. Sejak berusia muda, Al-Jami sudah menunjukkan sifatnya yang istimewa. Ia mudah menguasai pelajaran yang diberikan kepadanya. Ia pandai berbicara dan berargumentasi. Salah satu di antara para ulama yang pernah menjadi guru atau pembimbingnya adalah Syekh Sa’aduddin Al-Kasygari, murid sekaligus Khalifah Syekh Bahaudiin Naqsyabandi. Berkat potensinya yang besar dan ketekunannya belajar dan menulis, ia berkembang menjadi sufi besar dan sekaligus menjadi penyair besar yang berpengetahuan luas.
Kebesaran dan kemasyhuran nama Al-Jami tidak hanya bergema di kawasan Persia, tetapi juga mencapai Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, mencari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.
Para sarjana masih bisa melihat kebesaran Al-Jami melalu karya-karya tulisnya yang menurut satu sumber berjumlah 46 buah, tapi menurut sumber lain tidak kurang dari 90 buah buku dan risalah. Kebanyakan karya tulisnya berbicara dalam bidang tasawuf, tapi bidang-bidang lain juga tidak luput dari perhatiannya. Ia menulis komentar tafsir atas sejumlah surah dalam Al-Qur’an, komentar terhadap 40 hadis dan hadis-hadis yang riwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari
Karya-Karyanya
Ia menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, Musik, dan tata bahasa Arab. Di antara karyanya, yang berbentuk prosa adalah Nafahat Al-Uns (hadiah-hadiah persahabatan), yang menyajikan biografi dan pengajaran para sufi. Juga Lawami’ (percikan cahaya-cahaya), yang merupakan komentar terhadap karya Ibnu Arabi.
Kendati kemasyhuran Al-Jami’ lebih bersandar pada kehadirannya sebagai penyair besar, perannya sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdatul Wujud, manunggaling Kawula Gusti, bersatunya Makhluk-Khalik, tidak kalah pentingnya. Satu di antara banyak masalah tasawuf yang dijelaskan oleh AL-Jami’ adalah masalah yang berkaitan dengan manusia. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan tubuh manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan.
Tingkatan Jiwa
Jiwa pada tahap paling rendah disebut Nafs Amarat, yakni nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah melalui latihan spritual, jiwa meningkat menjadi Nafs Lawwamat, yakni jiwa yang mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan lagi, jiwa itu akah sampai kepada puncak kesempurnaannya, itulah Nafs Mutmainnat, yakni jiwa yang tentram, damai, dan bahagia. Manusia yang memiliki jiwa yang sempurna itu disebut juga manusia sempurna atau Insan Kamil.
Mengenai manusia sempurna ini, Al-Jami’ sebenarnya memberikan penjelasan yang cukup panjang. Manusia sempurna dalam kajian penganut Wahdatul Wujud bukan saja mengacu pada sejumlah kecil individu yang pernah hidup dimuka bumi ini dan memiliki jiwa yang paling sempurna namun juga mengacu pada ciptaan Allah yang pertama, yang bersifat Spritual dan merupakan bentuk awal segenap alam semesta.
Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata, “Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”
Pada bagian lain dia berkata, “Sang kekasih menyeru dari kedai minuman, datanglah lalu berilah aku anggur cinta, cawan demi cawan. Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar. Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”
Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:
Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.
Tahu Kematiannya
Beberapa hari sebelum kematianya, Al-Jami’ mengunjungi beberapa desa tetangganya. Sekali waktu ia pergi ke sebuah desa yang tidak diperhatikannya secara khusus, meskipun ia tinggal di sana cukup lama. Murid-muridnya yang merasa khawatir segera pergi kesana. Ia berkata kepada mereka, “Kita harus memutuskan tali Ikatan.”
Tiga hari sebelum kematiannya, ia memanggil beberapa murid dekatnya dan berkata kepada mereka, “Jadilah saksiku bahwa aku sama sekali tidak punya ikatan dengan apapun dan dengan siapa pun.”
Pada hari jumat pagi, ketika fajar menyingsing, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia melakukan salat dan kemudian duduk melakukan dzikir. Di tengah hari ia pun wafat.
Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.
“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya Al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”
Sebagai seorang penulis serba bisa, ia meninggalkan warisan berupa 81 buku tentang berbagai macam pokok bahasan. Diantaranya, koleksi puisi, uraian atas karya-karya Ibnu Arabi dan Haft Aurang, sebuah koleksi tujuh kisah dalam bentuk Matsnawi, kumpulan puisi.
Dari ketujuh cerita itu yang paling terkenal adalah kisah Yusuf dan Zulaikha. Episode tentang penggodaan atas Yusuf, oleh istri majikannya yang bernama Zulaikha, menjadi kisah cinta yang sangat menyentuh.
Sayyidina Ali Zainal Abidin, Waliyullah yang Senantiasa Bersujud
Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian dalam tragedi Karbala. Setelah dewasa ia menjadi wali yang setiap saat bersujud kepada Allah SWT.
Setelah dua cucu tersayang Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husien, wafat, sementara sisa-sisa keturunan beliau yang lain terbunuh di padang Karbala, yang masih hidup ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayyidina Husien bin Ali bin Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini lahir di Madinah pada 33 H / 613 M. sementara riwayat lain mengungkapkan ia lahir pada 38 H / 618 M. ketika pecah Tragedi Karbala pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia baru berusia 11 tahun.
Termasuk generasi tabi`in, Ali Zainal Abidin banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya, Husien dan pamannya, Hasan, juga dari para Sahabat, seperti Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawir bin Makhramah, Abu Hurairah, Shafiyah, Aisyah, Ummu Kultsum, dan para istri Rasulullah SAW yang lazin disebut ummahatul mukminin, ibunda kaum Muslimin.
Ketika ayahandanya, Sayyidina Husien, berjuang melawan prajurit Khalifah Yazid bin Muawiyah, ia tengah sakit dan berada di dalam kemah bersama kaum wanita. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika semua anggota keluarganya berguguran mati syahid sehingga kenangan getir tak pernah lepas dari benaknya. Ia bahkan menyaksikan bagaimana ayahandanya dipancung.
Setelah perang usai, sisa anggota keluarga Sayyidina Husien yang masih hidup ditawan di Kufah, Irak. Bahkan Ali Zainal Abidin yang ketika masih berusia 11 tahun, hampir saja dibunuh. Tetapi nyawanya selamat, berkat kegigihan Sayyidah Zainab, bibinya, yang memeluknya dengan erat dan mencegah para prajurit mendekat. Tak lama kemudia para tawanan dipindah ke Damaskus, Syria, dipertemukan dengan Khalifah Yazid bin Muawiyah, tapi kemudian dibebaskan, bahkan diantar pulang ke Madinah.
Di Madinah itulah Ali Zainal Abidin tumbuh dewasa sebagai seorang yang sangat alim, ia tekun beribadah. Sementara ketinggian ilmu agamanya menjadikannya sebagai rujukan para ulama, terutama dalam hal ilmu hadits. Lebih dari itu ia sangat terkenal sebagai ahli ibadah yang luar biasa.
Muhammad Al-Baqir, anak lelakinya, bercerita, “Setiap kali mendapat nikmat Allah SWT, Imam Ali Zainal Abidin langsung bersujud, setiap kali membaca ayat Sajadah dalam Al-Qur`an ia selalu bersujud, setiap kali selesai shalat fardu, ia selalu bersujud, dan setiap kali berhasil mendamaikan orang berselisih, ia selalu bersujud. Karena sering bersujud itulah, tampak bekas sujud dikeningnya, dan karena itu pula ia disebut As-Sajjad, orang yang suka bersujud.”
Ali Zainal Abidin benar-benar mewarisi sikap dan sifat ayahandanya dalam hal keilmuan dan kezuhudan. “Diantara Bani Hasyim, saya kira dialah yang paling mulia,” kata Yahya Al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka di masanya. Kemuliaan itu antara lain, karena ia selalu dalam keadaan suci, selalu berwudlu, dan tidak pernah absen menunaikan diyamul lail alias shalat Tahajud, baik di rumah maupun dalam perjalanan.
Suatu hari, ketika keluar dari masjid, seorang lelaki mencaci Ali Zainal Abidin. Spontan oranag-orang di sekitarnya berusaha memukul lelaki tersebut, tetapi Ali Zainal Abidin mencegahnya. Lalu katanya, “Apa yang engkau belum ketahui tentang diriku? Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”
Mendengar ucapan lemah lembut itu, laki-laki tersebut merasa malu, lalu Ali Zainal Abidin memberinya uang 1000 dirham. Maka kata lelaki itu, “Saya bersaksi, engkau benar-benar cicit Rasulullah SAW.”
Makam Mukasyafah
Hampir setiap malam Ali Zainal Abidin menggotong sekarung gandum dan membaginya kepada fakir miskin di Madinah. “Sesungguhnya sedekah yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah,” katanya. Ketika itu, sebagian warga kota Madinah mendapat nafkah tanpa mengetahui darimana asal nafkahnya. Dan ketika Ali Zainal Abidin meninggal, ternyata mereka tidak lagi mendapat pembagian gandum.
Setiap kali meminjamkan uang atau pakaian, Ali Zainal Anidin tidak pernah memintanya kembali. Jika bernazar, tidak makan dan minum, ia tetap berpuasa sampai dapat memenuhi nazarnya. Begitu dermawan dan penuh kasih sayang, bahkan kepada hewan yang dikendarainya pun ia tidak pernah mencambuknya.
Meskipun tragedi Karbala sangat membekas di kalbunya, ia selalu berusaha menyadarkan umat agar bersabar menghadapi kekuasaan yang represif. Dengan arif ia mendidik dan memperbaiki nasib umat. Salah satunya dengan menyusun rangkaian doa berjudul As-Sahifah As-Sajjadiyah – yang ia maksudkan untuk mengobati penyakit rohani yang merajalela, sekaligus memanjatkan permohonan kepada Allah SWT agar umat terlepas dari situasi yang mengimpit.
Sebagai Waliyullah, ia dinilai sudah mencapai makam mukasyafah, peringkat tertinggi, yang mampu menyingkap tabir ketuhanan. Salah satu karomahnya ialah tentang surat rahasia dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglimanya, Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Surat itu antara berbunyi, “Jauhkan aku dari lumuran darah Bani Abdul Mutha;ib, yang setelah bergelimang dalam dosa tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama.”
Pada saat yang bersamaan, Ali Zainal Abidin juga menulis surat kepada Khalifah Malik bin Marwan, yang diantaranya berbunyi, “Anda telah menulis surat kepada Hajjaj mengenai keamanan kami, semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada anda.” Tentu saja Khalifah Abdul Malik bin Marwan tercengang membacanya. Sebab tanggal surat itu sama persis dengan tangga surat Khalifah kepada Hajjaj.
Dan ternyata saat keberangkatan utusan Ali Zainal Abidin dari Madinah juga sama dengan saat keberangkatan utusan Khalifah yang mengantarkan surat kepada Hajjaj. Karena itu, Khalifah Abdul Malik pun menyadari, , Allah telah membuka mata batin Ali Zainal Abidin. Ia lalu menulis surat dan menyampaikan hadiah kepada Ali Zainal Abidin.
Cicit Rasulullah ini juga dikenal sebagai pembela Hak Azasi Manusia. Dalam risalahnya, Risalah Al-Huquq, antara lain ia menulis, manusia punya hak dan kewajiban kepada Allah SWT, kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan kepada sesama makhluk Allah. Mengenai hak dan kewajiban kepada sesama manusia, ia memperinci hak dan kewajiban rakyat kepada penguasa dan sebaliknya. Risalah ini tentu sangat istimewa, karena ditulis pada abad ke 7 Masehi, sebelum lahirnya Dokumen Magna Charta dalam sejarah Inggris. Lima abad setelah itu, yang kemudian berkembanag menjadi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Pada zamannya, pengaruh Sayyidina Ali Zainal Abidin sangat kuat, begitu besar kharismanaya, sehingga seorang khalifah pun mengkhawatirkan tahtanya. Ketika menggantikan ayahnya, Abdul Malik, sebagai khalifah, Walid sempat khawatir, jangan-jangan kharisma Ali Zainal Abidin mampu menggoyang tahtanya.
Pada 95 H / 675 M, Khalifah pun berusaha mendekati sang Waliyullah melalui seseorang yang kemudian ternyata meracunnya sehingga Ali Zainal Abidin meninggal dunia. Untuk kesekian kalinya anak cucu Rasulullah SAW berduka cita. Beliau wafat di Madinah pada 18 Muharam 95 H / 875 M. meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Jenazahnya di kebumikan di pemakaman Baqi` dekat makam sang paman, Sayyidina Hasan.
PANGKAT MULIA DISISI ALLAH
Berjalan menuju Allah adalah sebuah perjalanan diri Menuju tempat yang dekat dengan ALLAH,yaitu didalam diri yang sucibersih dari segala kotoran ,hati yan bersih ibarat cermin yang bisa menangkap bayang sosok wujud sebuah benda sehingga sosok wujud itu nampak dengan jelas, wujud itu tak akan jelas tanpa cahaya , sinar yang menerangi wujud atau yang menyinari cerminya dan kemudian memantul ke wujud sehingga wujud itu tersinari dan terlihat dalam cermin itu.
Cahaya adalah sinar hidayah Allah yng dapat ditangkap dengan jelas dalam cermin hati yang tersucikan.bila sosok hidyah itu dapat kita tangkap dengan jelas dan bermukim dihati maka selamatlah diri kita karena akan membuahkan sifat takwa yang akan beranak dan pianak menjadi sifat sifat yang mulia, sifat ikhlas, istiqomah, dan qanaah, maqam syukur akan terlahir dalam diri kita.Sehingga diri ini berteduh dan berlabuh dalam keheninggan genggaman illahi.
Secara sederhana dapat kita katakan bahwa perjalanan menuju Allah adalah berpindah dari sosok yang kurang sempurna menjadi pribadi yang senpurna dalam kesalehan,mengikuti ucapan perbuatan dan sifat batin Rosulullah.Target utamanya adalah hati yang sehat,yaitu hati yang menyambut segala perintah Allah dengan nyaman dan ikhlas dengan totalitas ketundukan dan keridlaan. Sehingga menuntun jasad untuk berjalan menuju pengamalan perintah Allah dengan kekuatan semangat dan kesungguhan.
Dalam pandangan syeikh Sa’id Hawa r.m membicarakan perjalanan menuju Allah bukanlah perkara mudah.Ada beberap faktor yang penyebabnya antara lain;
Pertama : sangat sulit membatasi dan memetapkan permasalahan ini
Kedua: karena dalam menyoroti permasalahn ini manusia terpecah menjadi beberapa golongan,setiap golongan memiliki kecenderungan yang berbeda.Mereka memandang seluruh persoalan dengan kacamata masing masing.
Seorang yang sedang berjalan menuju Allah sering mengalami kondisi ruhiyah yang menghayutkan perasaannya.Merasakan kemahaesaan Tuhan hanyut merasakan nama Allah yang menjadi tempat meminta dan berteduh dari segala kebutuhan kita.Ini adalah kondisi dimana orang merasakan segala sesuatu menjadi lenyap tidak berbekas.namun,perasaan itu harus dibarengi keyakinan bahwa Allah adalah pencipta semua alam dan bukan makhluk atau alam itu sendiri.Tasawuf adalah penghayatan aqidah, bukan keyakinan yang berseberangan dengan nash dan paham yang shahih.
Allah telah menurunkan syariat yang membuat batasan batasan dan nash nash alqur’an sebagai pedoman dari seluruh permasalahan umat membedakan mana yang benar dan bathil.Inilah yang menjadi hakim dan rambu dijalan selama perjalanan menuju Allah,siapapun yang melanggar dan menentang dinyatakan sesat
Jika kita merasa diri ini kotor maka sudah saatnya memberikan dorongan kepada hati untuk bergerak dan berjalan menuju hati yang tersucikan dengan melewati jalan yang ditunjukan Allah yaitu jalan lurus;jalan orang orang yang dirahmatiNYA, Dan bukan jalanya orang orang yang dimurkai
Target utama dalam menempuh jalan Illahi adalah hati yang suci ,kesempurnaan diri dan meraih maqam kesempurnaan.Ada dua maqam ( jenjang spiritual ) yang disebutkan dalam Al qur’an yaitu maqam rabbaniyyah dan maqam shidiqiyah.
Dalam pandangan Syeikh Sa’id Hawa “shidiq” menurut beberapa nash memiliki dua makna,pertama: sangat membenarkan (mempercayai) kedua ; sangat benar.Firman Allah :
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاء عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ
وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, mereka itu adalah As shidiqun (pencinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni-penghuni neraka.”(al hadid 57:19)
Hal yang menjadikan mereka ashidiqun adalah tasdiq(pembenaran ) atas keimanan mereka.oleh karena mereka benar dan selalu berupaya mencari yang benar,ia menjadi “shidiqun“
Rabbaniyyah adalah shidiqiyyah plus; shidiqiyyah didasarkan pada ma’rifah ( mengenal ) Allah dan ibadah kepadanya.dan rabbaniyah adalah siddiqiyyah yang disertai dengan ilmu,mengajar,nasehat, berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam kedua maqam itu ada kedalaman iman, akhlak dan perangai yang akan menjadikan pemilik kedua maqam tersebut memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah.Mereka adalah as sabiqun ( para senior dan pelopor dalam kebaikan) dan al muqorrobun ( orang yang didekatkan Allah);Firman
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ -١٠- أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ -١١
Dan as sabiqun ( orang orang terdahulu)itu adalah as sabiqun.Mereka itu adalah al muqarrabun ( orang orang yang dihampirkan Allah )
( al waqi’ah 56: 10 – 11 )
Selanjutnya dalam surat yang sama di ayat 88 – 91 Allah berfirman :
فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ -٨٨- فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ -٨٩- وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ
أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩٠- فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩١-
“Maka adapun jika ia dari golongan al muqarobin,maka baginya kelapangan,istirahat dan surga kenikmatan.Dan adapun jika ia dari ashabul yamin ( golongan kanan ),maka keselamatan bagimu dari golongan ashabul yamin ” (al waqi’ah 56: 88- 91 )
Jalan untuk sampai kepada Allah berkaitan dengan maqam,maqam dalam hati.As shidiqiyah merupakan perbuatan dan hal ikhwal yang berkenaan dengan hati.Syeikh al Qosyairi r m. telah membicarakan kedudukan as shidiqun yang berkaitan dengan perbuatan dan berkenaan dengan hati yaitu maqam,;toubat,mujahadah,khalawat,uzlah,zuhud,diam ,lapar dan lainnya,merupakan maqam yang harus dilalui sebagai stasiun dalam perjalanan menuju Allah.
Asssdiiqun dan Rabbaniyun adalah pangkat mulia yang dijanjikan Allah yaitu hamba hamba Allah yang layak dekat dengan Tuhanya dan menjadi wallinya.surga kautstar yang penuh telaga madu susu dan khamar serta air tawar yang meneduhkan perasan hambanya, sunyi dari hal yang mengeruhkan perasaannya.
Pangkat itu hak yang bisa diraih setiap muslim yang sungnguh sungguh diberikan oleh Allah swt..Semestinya kita ingin itu semua ?
Cahaya adalah sinar hidayah Allah yng dapat ditangkap dengan jelas dalam cermin hati yang tersucikan.bila sosok hidyah itu dapat kita tangkap dengan jelas dan bermukim dihati maka selamatlah diri kita karena akan membuahkan sifat takwa yang akan beranak dan pianak menjadi sifat sifat yang mulia, sifat ikhlas, istiqomah, dan qanaah, maqam syukur akan terlahir dalam diri kita.Sehingga diri ini berteduh dan berlabuh dalam keheninggan genggaman illahi.
Secara sederhana dapat kita katakan bahwa perjalanan menuju Allah adalah berpindah dari sosok yang kurang sempurna menjadi pribadi yang senpurna dalam kesalehan,mengikuti ucapan perbuatan dan sifat batin Rosulullah.Target utamanya adalah hati yang sehat,yaitu hati yang menyambut segala perintah Allah dengan nyaman dan ikhlas dengan totalitas ketundukan dan keridlaan. Sehingga menuntun jasad untuk berjalan menuju pengamalan perintah Allah dengan kekuatan semangat dan kesungguhan.
Dalam pandangan syeikh Sa’id Hawa r.m membicarakan perjalanan menuju Allah bukanlah perkara mudah.Ada beberap faktor yang penyebabnya antara lain;
Pertama : sangat sulit membatasi dan memetapkan permasalahan ini
Kedua: karena dalam menyoroti permasalahn ini manusia terpecah menjadi beberapa golongan,setiap golongan memiliki kecenderungan yang berbeda.Mereka memandang seluruh persoalan dengan kacamata masing masing.
Seorang yang sedang berjalan menuju Allah sering mengalami kondisi ruhiyah yang menghayutkan perasaannya.Merasakan kemahaesaan Tuhan hanyut merasakan nama Allah yang menjadi tempat meminta dan berteduh dari segala kebutuhan kita.Ini adalah kondisi dimana orang merasakan segala sesuatu menjadi lenyap tidak berbekas.namun,perasaan itu harus dibarengi keyakinan bahwa Allah adalah pencipta semua alam dan bukan makhluk atau alam itu sendiri.Tasawuf adalah penghayatan aqidah, bukan keyakinan yang berseberangan dengan nash dan paham yang shahih.
Allah telah menurunkan syariat yang membuat batasan batasan dan nash nash alqur’an sebagai pedoman dari seluruh permasalahan umat membedakan mana yang benar dan bathil.Inilah yang menjadi hakim dan rambu dijalan selama perjalanan menuju Allah,siapapun yang melanggar dan menentang dinyatakan sesat
Jika kita merasa diri ini kotor maka sudah saatnya memberikan dorongan kepada hati untuk bergerak dan berjalan menuju hati yang tersucikan dengan melewati jalan yang ditunjukan Allah yaitu jalan lurus;jalan orang orang yang dirahmatiNYA, Dan bukan jalanya orang orang yang dimurkai
Target utama dalam menempuh jalan Illahi adalah hati yang suci ,kesempurnaan diri dan meraih maqam kesempurnaan.Ada dua maqam ( jenjang spiritual ) yang disebutkan dalam Al qur’an yaitu maqam rabbaniyyah dan maqam shidiqiyah.
Dalam pandangan Syeikh Sa’id Hawa “shidiq” menurut beberapa nash memiliki dua makna,pertama: sangat membenarkan (mempercayai) kedua ; sangat benar.Firman Allah :
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاء عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ
وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, mereka itu adalah As shidiqun (pencinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni-penghuni neraka.”(al hadid 57:19)
Hal yang menjadikan mereka ashidiqun adalah tasdiq(pembenaran ) atas keimanan mereka.oleh karena mereka benar dan selalu berupaya mencari yang benar,ia menjadi “shidiqun“
Rabbaniyyah adalah shidiqiyyah plus; shidiqiyyah didasarkan pada ma’rifah ( mengenal ) Allah dan ibadah kepadanya.dan rabbaniyah adalah siddiqiyyah yang disertai dengan ilmu,mengajar,nasehat, berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,amar ma’ruf nahi mungkar
Dalam kedua maqam itu ada kedalaman iman, akhlak dan perangai yang akan menjadikan pemilik kedua maqam tersebut memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah.Mereka adalah as sabiqun ( para senior dan pelopor dalam kebaikan) dan al muqorrobun ( orang yang didekatkan Allah);Firman
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ -١٠- أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ -١١
Dan as sabiqun ( orang orang terdahulu)itu adalah as sabiqun.Mereka itu adalah al muqarrabun ( orang orang yang dihampirkan Allah )
( al waqi’ah 56: 10 – 11 )
Selanjutnya dalam surat yang sama di ayat 88 – 91 Allah berfirman :
فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ -٨٨- فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ -٨٩- وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ
أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩٠- فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ -٩١-
“Maka adapun jika ia dari golongan al muqarobin,maka baginya kelapangan,istirahat dan surga kenikmatan.Dan adapun jika ia dari ashabul yamin ( golongan kanan ),maka keselamatan bagimu dari golongan ashabul yamin ” (al waqi’ah 56: 88- 91 )
Jalan untuk sampai kepada Allah berkaitan dengan maqam,maqam dalam hati.As shidiqiyah merupakan perbuatan dan hal ikhwal yang berkenaan dengan hati.Syeikh al Qosyairi r m. telah membicarakan kedudukan as shidiqun yang berkaitan dengan perbuatan dan berkenaan dengan hati yaitu maqam,;toubat,mujahadah,khalawat,uzlah,zuhud,diam ,lapar dan lainnya,merupakan maqam yang harus dilalui sebagai stasiun dalam perjalanan menuju Allah.
Asssdiiqun dan Rabbaniyun adalah pangkat mulia yang dijanjikan Allah yaitu hamba hamba Allah yang layak dekat dengan Tuhanya dan menjadi wallinya.surga kautstar yang penuh telaga madu susu dan khamar serta air tawar yang meneduhkan perasan hambanya, sunyi dari hal yang mengeruhkan perasaannya.
Pangkat itu hak yang bisa diraih setiap muslim yang sungnguh sungguh diberikan oleh Allah swt..Semestinya kita ingin itu semua ?
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Unggulan
Maksiat Hati.
Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...
Entri paling diminati
-
Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kem...
-
Foto dari Dokumentasi Perpustakaan MEKKAH, tentang 4 orang Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedan...
-
Rahasia nasehat dari sufi adalah sebuah pahaman menuju "Jejak keagungan", t api terhadap peristiwa ini se...