Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya 
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah 
radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, 
lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi 
Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui 
Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya 
di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri
 untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda 
kepadanya : ”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan 
sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda 
lagi untuk kedua kalinya :” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun
 membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.
Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka 
bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa 
pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata : 
”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku : ”Wahai Fathimah, aku akan 
meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati 
tangisanku beliau kembali berkata kepadaku :” Engkau wahai Fathimah, 
adalah keluargaku yang pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, 
beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu 
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati 
dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang 
hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.
Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda :” 
Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda :” Mendekatlah 
kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah 
radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata :” Beliau mengangkat tangan beliau 
seraya bersabda :” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka 
diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih 
diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu 
‘Alaihi Wassalam seraya berkata :” Malaikat maut ada di pintu, meminta 
izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada 
seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya :” Izinkan untuknya 
wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata :” Assalamu’alaika 
wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan 
kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di 
Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :” Bahkan aku 
memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih 
Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
 oleh Allah yaitu : para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati 
syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang 
sebaik-baiknya.”
‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi 
Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia 
mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a :
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada 
ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku 
minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi 
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala 
salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh 
Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb
 yang ridha dan tidak murka.”
Sayyidah ‘Aisyah berkata :”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu 
‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan 
sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata :”Aku tidak
 tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar
 dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan 
kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah 
telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi 
Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, 
‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan 
tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
 anhu berkata :” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya 
dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana 
Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yang paling
 tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah 
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata :”Wahai 
sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi 
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan 
dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata :” Barangsiapa 
menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa 
yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak 
akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk 
menyendiri dan aku menangis sendiri.” Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah 
orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha 
ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 
tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi
 kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. 
Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung 
yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, 
burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, 
angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan 
seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai 
rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria 
yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.
Waktu shalat telah tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan. 
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah.
 Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar 
bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi 
dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada 
apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria 
legam itu bergetar tak beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan 
Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, 
seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. 
Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air 
matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah 
tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya 
yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air 
hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu 
kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin
 Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong. Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang 
berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut 
menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk
 selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang 
tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq 
radhiyallahu anhu tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat 
mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah 
shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia 
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya 
di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia 
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya.
 Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata,
 “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu 
dengannya”. 
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak. Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya 
berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda 
Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak
 adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. 
Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang 
berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di 
depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya 
untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar 
dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah 
diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan 
shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di
 tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga 
tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi 
wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk 
dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu
 saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya 
tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu 
bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang 
sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup 
lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk 
tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal 
meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. 
Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan
 akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. 
Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung 
dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal 
al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi 
memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal 
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal 
mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk 
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika 
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas 
menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan 
azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam 
wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi 
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu 
Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota 
Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga 
kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu 
dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad 
shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan 
Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim 
menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke 
Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya 
untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; 
berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang 
mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya 
menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan 
pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk 
bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali 
menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.
Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal 
menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah 
menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai
 Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu 
besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang
 dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali 
mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga 
ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening
 yang legendaris itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
…
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan 
kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, 
menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro 
komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu 
menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan 
Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan. “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…” 
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para 
jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin 
menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. 
Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang 
perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah
 bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
…
…
…
…
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
 wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan 
mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, 
walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan 
membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. 
Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak 
wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian
 orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak 
milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal 
diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung 
Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid,
 Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat 
Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah 
mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah 
binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin 
Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin 
al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat 
dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera
 tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap
 sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang 
sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih 
memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang
 yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu,
 tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya 
tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka 
sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti 
ajaran Muhammad.
Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa 
henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang 
pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang 
Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, 
lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar 
oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di 
sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa 
mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh 
orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, 
mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara
 lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, 
kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih 
terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah
 dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin 
Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang 
Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah 
Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang 
panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin 
meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru 
memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang
 kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin 
Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya 
kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di 
jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal 
menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan 
Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, 
Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada
 Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga
 berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi 
ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah 
emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, 
kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu 
untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.” Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam 
bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman 
para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada 
Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk 
membayarnya, wahai Abu Bakar.” 
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan 
sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, 
termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal 
satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka 
terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan 
gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan 
perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah 
ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk 
siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil 
melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan 
orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap
 perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad 
Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah 
Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. 
Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat 
bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun 
Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk 
sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah 
Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu
 rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya 
‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari 
meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 
wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera 
melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak 
pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada 
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 
wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali 
bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, 
beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi 
hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia 
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), 
dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan 
beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. 
Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi 
janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya 
para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat 
Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus 
pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak 
orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah,
 beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang 
panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya 
ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci 
Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah 
Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin 
Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah 
Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru 
masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya 
menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat 
bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal 
bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid 
dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam
 dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang 
bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti 
kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang 
yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di 
dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu 
anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
 Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat
 kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami 
tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.”
 Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah 
memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” 
Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
 wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, 
mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang 
sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini 
(Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku 
tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau 
hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin 
Abdullah.”
Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 
wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam 
sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat
 di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
…
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya 
saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan 
kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami
 tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada
 istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi 
wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku 
akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar 
sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya 
terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan 
yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia 
rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat 
masih di dunia.




 
