Abu Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi, adalah salah seorang pemikir tashawuf Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir dari kota kelahirannya, Tirmidzi. Mengungsi ke Nishapur di mana beliau memberikan ceramah-ceramah pada tahun 285 H/898 M.Karya-karya beliau yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi al-Ghazali, sedang teorinya yang menghebohkan mengenai Manusia Suci diambil dan dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis yang kreatif banyak di antara karya-karya beliau, termasuk sebuah sketsa. otobiografi masih dapat ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan.
PENDIDIKAN DARI HAKIM AT-TIRMIDZI
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu”, sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu itu. Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya:
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku yang bodoh ini! Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna”.
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Ia menegur Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?”
Tirmidzi menceriterakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”, orang tua itu bertanya kepada Tirmidzi.
“Aku bersedia”, jawab Tirmidzi.
“Maka”, Tirmidzi mengisahkan “setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bersama dua orang pelajar lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan untuk menuntut ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai buah hati ibu”, sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah, bila ananda pergi tak ada lagi seorang pun yang ibunda punyai di atas dunia ini. Selama ini anandalah tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat Tirmidzi, ia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara mencari ilmu itu. Suatu hari Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman meratapi nasibnya:
“Di sinilah aku! Tiada seorang pun yang perduli kepadaku yang bodoh ini! Sedang kedua sahabatku itu nanti akan kembali sebagai orang-orang terpelajar yang berpendidikan sempurna”.
Tiba-tiba muncul seorang tua dengan wajah yang berseri-seri. Ia menegur Tirmidzi :
“Nak, mengapakah engkau menangis?”
Tirmidzi menceriterakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?”, orang tua itu bertanya kepada Tirmidzi.
“Aku bersedia”, jawab Tirmidzi.
“Maka”, Tirmidzi mengisahkan “setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku.
Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Khidir as. dan aku memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena telah berbakti kepada ibuku”.
ooo
Setiap hari Minggu (Abu Bakr al-Warraq mengisahkan) Khidir as. mengunjungi Tirmidzi dan kemudian mereka memperbincangkan berbagai persoalan. Pada suatu hari Tirmidzi berkata kepadaku:
“Hari ini engkau hendak kuajak pergi ke suatu tempat”.
”Terserah kepada guru”, jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir itu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah.Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan mempersilahkan syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Tirmidzi memohon diri dan meninggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi”; ajak Hakim Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi”.
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku Bertanya kepada Syeikh Tirmidzi:
“Apakah artinya semua kejadian tadi? tempat apakah itu dan siapakah orang itu?”
itulah lembah pemukiman Bani IsraiI”, jawab Tirmidzi. Dan orang tadi adalah PauI”.
”Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?”, tanyaku.
“Abu Bakr”, jawab Tirmidzi. “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Tirmidzi bertutur: Betapa pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil Di dalam keputusasaan aku berkata: “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus kupelihara lagi?”, Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi meninggalkanku seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa aku berseru:
“Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!” Berkat seruanku di dalam keputusasaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang harus kulakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsuku. Selama hayatku, aku bersyukur terhadap saat saat kebebasan itu.
Abu Bakar al-Warraq juga mengisahkan sebagai berikut ini. Pada suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika kuperiksa ternyata buku-buku itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut kusimpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah kulemparkan ke dalam sungai. Tetapi Tirmidzi bertanya kepadaku: “Apakah yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak sesuatu pun”, jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu”, perintah ‘Tirmidzi.
“Ada dua persoalan”, aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa la ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kuselesaikan nanti setelah mencampakkan buku-buku ini ke dalam air?”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Tirmidzi bertanya; “Sudahkah engkau lemparkan buku itu?”.Aku menyahut: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?”
Tirmidzi menjelaskan: “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dipahami oleh manusia-manusia biasa.
Saudaraku Khidir as. meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya”.
“Hari ini engkau hendak kuajak pergi ke suatu tempat”.
”Terserah kepada guru”, jawabku.
Kami pun berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir itu aku melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah.Syeikh menghampirinya, orang itu berdiri dan mempersilahkan syeikh duduk di atas singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami. Beberapa lama kemudian Tirmidzi memohon diri dan meninggalkan tempat itu.
“Mari kita pergi”; ajak Hakim Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi”.
Sebentar saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku Bertanya kepada Syeikh Tirmidzi:
“Apakah artinya semua kejadian tadi? tempat apakah itu dan siapakah orang itu?”
itulah lembah pemukiman Bani IsraiI”, jawab Tirmidzi. Dan orang tadi adalah PauI”.
”Bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?”, tanyaku.
“Abu Bakr”, jawab Tirmidzi. “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita. Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian Tirmidzi bertutur: Betapa pun besar perjuanganku untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil Di dalam keputusasaan aku berkata: “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus kupelihara lagi?”, Maka aku pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi meninggalkanku seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir. Dengan putus asa aku berseru:
“Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!” Berkat seruanku di dalam keputusasaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu yang harus kulakukan. Pada saat itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsuku. Selama hayatku, aku bersyukur terhadap saat saat kebebasan itu.
Abu Bakar al-Warraq juga mengisahkan sebagai berikut ini. Pada suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika kuperiksa ternyata buku-buku itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut kusimpan di dalam kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah kulemparkan ke dalam sungai. Tetapi Tirmidzi bertanya kepadaku: “Apakah yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak sesuatu pun”, jawabku.
“Kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah buku-buku itu”, perintah ‘Tirmidzi.
“Ada dua persoalan”, aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa la ingin membuang buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kuselesaikan nanti setelah mencampakkan buku-buku ini ke dalam air?”
Aku terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka tutupnya. buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Ketika aku kembali, Tirmidzi bertanya; “Sudahkah engkau lemparkan buku itu?”.Aku menyahut: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua ini?”
Tirmidzi menjelaskan: “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dipahami oleh manusia-manusia biasa.
Saudaraku Khidir as. meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya”.
ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya:
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. jika engkau menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”.Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
Pada waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi. Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu. Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya.
Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya:
“Engkau menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan pertolongan kepada seekor anjing. jika engkau menginginkan kebahagiaan yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”.Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya.
ooo
“Apabila guru marah kepada kalian, apakah kalian tahu?”, seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi.“Ya, kami tahu”, mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah: “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah: “Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu! Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”.
ooo
Telah berapa lama Tirmidzi tidak pernah bertemu dengan Khidir. Pada suatu hari seorang pembantu yang masih gadis mencuci pakaian bayi dan kotoran-kotoran bayi itu dimasukkannya ke dalam sebuah baskom. Sementara itu Syeikh Tirmidzi dengan mengenakan jubah dan sorban yang bersih berjalan ke masjid. Karena suatu hal yang sepele, tiba-tiba si gadis mengamuk dan isi baskom itu tertumpah ke atas kepala Tirmidzi. Tirmidzi tak berkata apa-apa dan menelan amarahnya. Tidak berapa lama kemudian bertemulah ia dengan Khidir.
ooo
Ketika Tirmidzi masih remaja, ada seorang wanita jelita minta dilamar olehnya, tetapi Tirmidzi menolaknya. Pada suatu hari, setelah mengetahui bahwa Tirmidzi sedang berada di dalam taman, si wanita segera berdandan dan pergi pula ke sana. Tetapi begitu melihat kedatangannya, Syeikh Tirmidzi segera mengambil langkah seribu. Si wanita mengejar dan berteriak-teriak bahwa Tirmidzi telah mencoba hendak membunuhnya. Tirmidzi tidak perduli, di panjatnya sebuah pagar yang tinggi dan melompat ke seberang.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu. Terpikirlah oleh Tirmidzi: “Apakah salahnya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu? Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat bertaubat?”. Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!”, ia berkata, “Empat puluh tahun yang lalu ketika engkau masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir seperti ini. Tetapi di masa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yang engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah dosa?”
Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan Nabi yang berkata kepadanya:
“Muhammad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah terjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kemajuan spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktuku untuk meninggalkan dunia ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
Pada suatu hari di masa tuanya, ketika sedang mengkaji perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan apa-apa yang telah diucapkannya, teringatlah ia kepada kejadian itu. Terpikirlah oleh Tirmidzi: “Apakah salahnya jika dahulu aku penuhi kebutuhan wanita itu? Bukankah pada waktu itu aku masih remaja dan oleh karena itu masih sempat bertaubat?”. Ketika menyadari pikiran yang seperti ini Tirmidzi sangat menyesal.
“Wahai diriku yang keji dan pelawan!”, ia berkata, “Empat puluh tahun yang lalu ketika engkau masih remaja dengan semangat yang bergejolak, engkau tidak pernah berpikir seperti ini. Tetapi di masa tuamu ini, setelah sedemikian banyak perjuangan yang engkau menangkan, mengapakah engkau menyesal karena tidak jadi melakukan sebuah dosa?”
Tirmidzi sangat sedih. Tiga hari lamanya ia menyesali pikiran itu. Setelah itu di dalam mimpi ia bertemu dengan Nabi yang berkata kepadanya:
“Muhammad, janganlah engkau bersedih hati. Yang telah terjadi itu bukanlah karena kesalahanmu. Hal itu karena engkau pikirkan empat puluh tahun berlalu sejak kematianku. Waktuku untuk meninggalkan dunia ini telah tertunda sedemikian lamanya, dan aku semakin jauh. Hal itu terjadi bukanlah karena dosamu, dan bukan karena engkau kurang memperoleh kemajuan spiritual. Yang engkau alami itu adalah karena waktuku untuk meninggalkan dunia ini tertunda, bukan karena keaiban di dalam dirimu.
ooo
Kisah berikut ini diduga berasal dari Tirmidzi.
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”.
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa.
“Mengapa engkau sudi menolongnya?}”, Adam mencela Hawa.
Dengan sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian Iblis datang.
“Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi:
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”.
Si Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya.
“Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”.
Mula-mula Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga akhimya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu.
”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya oleh bujukannya”.
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan ayahnya.
Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa.
”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama anak itu Iagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan kata-kataku”.
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah terjadi:
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”.
“IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang.
“Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”.[]
Setelah Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan. Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa.
“Aku harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”.
Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi.
“Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa.
“Mengapa engkau sudi menolongnya?}”, Adam mencela Hawa.
Dengan sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam. Tidak lama kemudian Iblis datang.
“Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa.
Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi:
“Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”.
Si Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya.
“Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”.
Mula-mula Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga akhimya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu.
”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam.
Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan.
“Aku tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya oleh bujukannya”.
Anak itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan bersimpuh di depan ayahnya.
Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa.
”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya.
Iblis membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama anak itu Iagi.
“Allah-lah yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan kata-kataku”.
Khannas disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang telah terjadi:
“Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”.
“IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang.
“Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”.[]
BIBLIOGRAFI
L. Massignon, Essai, haIaman 256-264.
G. Brockelmann, op.cit., Suppl I, halaman 325-327.
As-Sulami, op.cit., halaman 217-220.
Abu Nu’ai.m, op.cit., X, 233 -235.
Al-Qushairi, op.cit., halaman 26.
Hujwiri, op.cit., halaman 141-142,.210-241.
Adz-Dzahabi, 0p.cit., II, 20.
As-Subki, op.cit., II, 20.
Jami, op.cit., halaman 118-119.
L. Massignon, Essai, haIaman 256-264.
G. Brockelmann, op.cit., Suppl I, halaman 325-327.
As-Sulami, op.cit., halaman 217-220.
Abu Nu’ai.m, op.cit., X, 233 -235.
Al-Qushairi, op.cit., halaman 26.
Hujwiri, op.cit., halaman 141-142,.210-241.
Adz-Dzahabi, 0p.cit., II, 20.
As-Subki, op.cit., II, 20.
Jami, op.cit., halaman 118-119.
CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT
“Pendidikan Hakim at-Tirmidzi”: T.A., II, 91-93. Mengenai kunjungan-kunjungan Khidir setiap Minggu lihat karya Hujwiri, halaman 141. Tentang at-Tirmidzi yang membuang buku-bukunya ke sungai Oxus dikisahkan di dalam karya Hujwiri di atas, halaman 142. Mengenai Abu Bakr al-Warraq Iihat karya Hujwiri, halaman 142-143; dan karya as-Sulami, halaman 221 beserta bibliografinya.
”Anekdot-anekdot Mengenai Diri Tirmidzi”: T.A., II, 93-96. Legenda Adam dan Hawa dikisahkan pula di daIam Ilahi-nama, haIaman 102-104 (didalam karya terjemahannya, halaman 172-175).
“Pendidikan Hakim at-Tirmidzi”: T.A., II, 91-93. Mengenai kunjungan-kunjungan Khidir setiap Minggu lihat karya Hujwiri, halaman 141. Tentang at-Tirmidzi yang membuang buku-bukunya ke sungai Oxus dikisahkan di dalam karya Hujwiri di atas, halaman 142. Mengenai Abu Bakr al-Warraq Iihat karya Hujwiri, halaman 142-143; dan karya as-Sulami, halaman 221 beserta bibliografinya.
”Anekdot-anekdot Mengenai Diri Tirmidzi”: T.A., II, 93-96. Legenda Adam dan Hawa dikisahkan pula di daIam Ilahi-nama, haIaman 102-104 (didalam karya terjemahannya, halaman 172-175).
Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.