IBADAH HAMBA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENGANTARKANMU PADA KEMA’RIFATAN HAQ
Secara lahiriyah Seorang hamba wajib memulai terlebih dahulu untuk wushul kepada tuhannya. Mereka harus mendaki ke atas, dengan ibadah lahir untuk mengembarakan ruhaniyah. Namun demikian ibadah lahir itu hanya sebagai perwujudan pengabdian
yang hakiki kepada-Nya. Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di
jalan Allah.
Mereka mensucikan diri baik lahir maupun batin dari segala kotoran basyariyah (sifat” kemanusiaan) yang menjadikannya terhalang wushul kepada Allah Rabbul Alamiin. Dengan mujahadah tersebut, seperti orang melaksanakan khulwah menyendirikan diri dari khalayak ramai tanpa meninggalkan keramaian itu, mereka berusaha mengembalikan seluruh kehendak perkara yang bersifat hudust (baru) secara manusiawi untuk dipertemukan kepada kehendak Allah yang azaliyah.
Ini adalah kelemahan kita …
Mereka mensucikan diri baik lahir maupun batin dari segala kotoran basyariyah (sifat” kemanusiaan) yang menjadikannya terhalang wushul kepada Allah Rabbul Alamiin. Dengan mujahadah tersebut, seperti orang melaksanakan khulwah menyendirikan diri dari khalayak ramai tanpa meninggalkan keramaian itu, mereka berusaha mengembalikan seluruh kehendak perkara yang bersifat hudust (baru) secara manusiawi untuk dipertemukan kepada kehendak Allah yang azaliyah.
Ini adalah kelemahan kita …
Ungkapan ini adalah ungkapan kelalaian yang sangatlah halus dan keluar dari REL dalam wilayah UBUDIYAH dan itu yang di wajibkan oleh allah swt .
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
“(allah menghendaki) bagi siapa di antara kamu, yang mau menempuh jalan yang lurus.”
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”Jika usaha seorang hamba dibiarkan saja tanpa ada fasilitas HAIYUN (hidup) bisa manusia, dan penerimaan diri dari kesadaran diri akan keutamaan dan RahmatNya sebagai karunia Allah semata niscaya itu fana’ muthlaq itu takkan bisa di capainya.
نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ
اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” – (QS.24:35)
Jika ada manusia / mahluk yang bisa Washil kepada allah dengan
usahanya sendiri Maka tertolaklah pengakuannya itu dan lalai jika
usahanya itu telah menyerupai usahanya allah yang maha berkehendak dan
menggerakkan . dan dia itu tidak sadar dengan kesyirikan murni … jika
diri ini bisa menyembah atau beribadah kepadaNya apakah kita tidak sadar
jika yang kita akui atu menyerupai keADAanNya .
وصولك الى الله وصولك الى العلم به وإلاّ فجلّ ربنا أن يتصل به شيئ أو ان يتصل هو بشئ
“Tersambungnya dirimu kepada Allah, berarti sampainya dirimu kepada
kemampuan untuk mengerti Allah secara Hakiki. Jika bukan seperti itu,
maka. Maha Agung Allah terhadap sesuatu yang tersambung dengan-Nya dan
menyambungkan Dzat-Nya kepada sebuah pekara.” Dengan itu mereka harus membersihkan segala pengakuan nafsu dan
keresahan-keresahan hatinya, maka selamanya mereka tidak akan dapat
wushul kepada tuhannya. Apabila di dalam perjalanan itu Allah berkehendak membuka pintu hati
hamba-Nya, maka kehendak-Nya yang azali itu akan diturunkan ke bawah
sehingga dua kehendak yang berbeda itu bertemu di tengah jalan. Kehendak
yang satu mendaki dan yang satunya menurun.
لَوْاَنَّكَ لَاتَصِلُ اِلَيْهِ اِلَّا بَعْدَ فَنَاءِ مَسَاوِيْكَ
وَمَحْوِ دَعَاوِيْكَ لَمْ تَصِلُ اِلَيْهِ اَبَدًا وَلَكِنْ اِذَا اَرَادَ
اَنْ يُوَصِّلَكَ اِلَيْهِ غَطَّى وَصْفَكَ بِوَصْفِهِ وَنَعْتَكَ
بِنَعْتِهِ فَوَصَّلَكَ اِلَيْهِ بِمَا مِنْهُ اِلَيْكَ لَابِمَا مِنْكَ
اِلَيْهِ.
Jika sekiranya engkau tidak dapat wushul kepada Allah kecuali setelah
fana’nya diri semua keinginan syahwat dan bersihnya sifat pengakuanmu,
maka engkau tidak akan dapat wushul selama-lamanya. Akan tetapi jika Allah berkehendak mewushulkanmu kepada-Nya, maka
Allah menutup sifatmu dengan sifat-Nya dan kebiasaanmu dengan
kebiasaan-Nya.
Allah mewushulkanmu kepada-Nya dengan sesuatu dari-Nya kepadamu bukan dengan sesuatu darimu kepada-Nya. Dengan demikian, yang menjadikan sebab wushulnya hamba itu bukan
kehendak dan Buah dari amal ibadah seorang hamba / usaha kerasnya
seorang hamba, tetapi karena kehendak dan amal ibadah itu sejatinya
hanya terbit dari kehendak Allah yang azali.
سبح يسبح علي نفسه
dan maha suci allah swt yang akan mensucikan pada diriNya sendiri …..
suci dan mensucikan pada diriNya. kesucianNya bukan karena di puja / pun dari ketaatan mahluk. Tanda-tandanya, ketika seorang hamba telah masuk pada ketiadaan dirinya dan alam semesta ini … yang ada hanyalah hanyalah yang maha ADA .
kehendaknya yang yang baru (hudust) kepada kehendak Allah yang qodim dalam kesatuan amal yang dilakukan itu tidak ada mungkin, berarti jelas jika amal yg dilakukan oleh seorang hamba yang akalnya di bumi dengan menggunakan konsep bumi sedangkan hatinya di langit dengan menggunakan konsep langit. Itulah tanda-tanda manusia yang sempurna.
Kisah Ulama Sufi
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji bagi
Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia
Nabi Muhammad SAW. keluarga serta para sahabat dan pengikut yang
istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.
Sahabat yang dirahmati Allah, Sifat
buruk sangka, bangga diri, ujub dan sombong adalah sifat-sifat
mazmumah yang perlu kita jauhi. Tanpa kita sedari bahawa apabila
sifat-sifat ini telah bertapak dalam hati kita akan menyebabkan hati
kita berpenyakit dan akan merosakkan amalan kita kepada Allah SWT.
Terdapat satu kisah seorang ulama sufi bernama Hassan al-Basri dengan seorang pemuda berdua-duaan dengan seorang wanita. Suatu
hari di tepi sungai Dajlah, Hassan al-Basri melihat seorang pemuda
duduk berdua-duaan dengan seorang wanita. Di sisi mereka terletak
sebotol arak. Lalu Hassan berbisik "Alangkah jahatnya orang itu dan
alangkah baiknya kalau dia seperti aku!"
Tiba-tiba Hassan
melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki
yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang
perahu yang hampir lemas. Enam dari tujuh penumpang itu berjaya
diselamatkan.
Kemudian dia berpaling ke arah Hassan
al-Basri dan berkata, "Jika engkau memang lebih mulia daripada saya,
maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya
tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang saya
telah menyelamatkan enam orang."
Bagaimanapun Hassan
al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya
padanya. "Tuan, sebenarnya wanita yang duduk di samping saya ini
adalah ibu saya, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan
arak. Ini hanya untuk menguji tuan."
Hassan al-Basri
terpegun lalu berkata, "Kalau begitu, sebagaimana engkau telah
menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai,
maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan
kesombongan."
Orang itu menjawab, "Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan."
Semenjak
itu, Hassan al-Basri selalu merendahkan diri bahkan ia menganggap
dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih dari orang lain.
Sahabat yang dimuliakan,
Sebagai pengajaran untuk di ambil sebagai iktibar kisah diatas, terdapat dua cara untuk mengatasinya.
Pertama
: Jangan berburuk sangka dengan orang lain serta memandang rendah
padanya. Apabila kita melihat orang lain membuat maksiat kepada Allah
jangan menghinanya atau reda dengan perbuatannya dan cuba mencari
aibnya. Berilah nasihat yang baik penuh hikmah. Anggaplah berkemugkinan
orang itu jahil tentang perbuatannya. Sebagai muhasabah diri sendiri
pula, kita patut malu pada diri sendiri yang dikurniakan oleh Allah SWT
ilmu ini tetapi masih juga melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya.
Buruk
sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su' u
zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. .Yang
parahnya, terkadang persangkaan kita tiada mempunyai asas dan tiada
alasan yang benar. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh
sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam
di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada
orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada
bukti yang kukuh merupakan perkara yang terlarang.
Kedua
: Perkara yang patut kita ingat adalah tentang diri kita iaitu
perbuatan baik orang pada kita dan perbuatan jahat kita pada orang lain.
Perkara yang patut kita lupakan adalah kebaikan kita pada orang dan
kejahatan orang pada kita. Barulah hati kita akan menjadi bersih dan
terhindar daripada sifat bangga diri dan menghargai kebaikan orang lain.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
"Sesungguhnya
orang-orang yang percaya pada keterangan Kami, ialah orang yang
apabila dibaca ayat-ayat itu kepada mereka, mereka sujud, tasbih memuji
Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka meninggalkan tempat
tidurnya menyeru Tuhannya dengan perasaan penuh kecemasan dan
pengharapan dan mereka membelanjakan (di jalan kebaikan) sebahagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka," (Surah as-Sajadah ayat 15-16)
Wallahu A'lam Bis-Showab Min Kulli 'Aalimiin.
Para Wali Allah menurut penjelasan Nabi Isa AS
Wahab bin Munabbih meriwayatkan, bahwa para Hawariyyun telah bertanya
pada nabi Isa tentang siapa para Wali Allah yang tiada merasa takut dan
berduka cita? Nabi Isa menjawab: ”Mereka adalah para hamba yang selalu memandang kepada bathin dunia ini, padahal pada umumnya manusia melihat dari sisi lahirnya. Mereka mempersiapkan ajal (habisnya usia) dunia ini, ketika manusia melihat kehidupan yang kini saja. Mereka menjauhkan diri
dari sesuatu yang akan menodai kehambaan mereka. Pengingkaran mereka
terhadap dunia merupakan suatu kemerdekaan dan kegembiraan terhadap apa
yang mereka capai daripadanya (dunia ini) merupakan duka cita".
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi sebagai berikut:
”Wahai para aulia-Ku, pemberian-Ku adalah sebaik-baiknya pahala. Derma-Ku padamu adalah sebaik-baik pendermaan, anugerah-Ku kepadamu adalah sebanyak-banyaknya anugerah. Pergaulan-Ku kepadamu adalah setepat-tepatnya pergaulan. Tuntutan-Ku padamu adalah sekeras-kerasnya tuntutan. Akulah pemilih setiap hati-sanubari. Akulah yang maha mengetahui segala yang ghaib. Akulah pemandang segala gerak-gerik. Akulah pengawas segala lirikan mata. Akulah yang melihat atas lintasan-lintasan hati. Akulah yang mengetahui gerakan pikiran. Dengan demikian hendaknya kalian menjadi para pemanggil demi untuk-Ku. Janganlah kamu merasa takut kepada raja dan penguasa selain-Ku. Barangsiapa yang berani memusuhi kamu, niscaya Akulah yang menjadi lawannya. Barangsiapa yang menyakiti hati kamu, niscaya Aku-lah yang akan membinasakannya. Barangsiapa yang berbuat baik kepadamu, niscaya Akulah yang akan memberinya pahala dan barangsiapa yang meninggalkan kamu, niscaya Akulah yang membencinya”.
Demikianlah penjelasan Nabi Isa tentang para Wali Allah, diperkuat dengan Hadist Qudsi.
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi sebagai berikut:
”Wahai para aulia-Ku, pemberian-Ku adalah sebaik-baiknya pahala. Derma-Ku padamu adalah sebaik-baik pendermaan, anugerah-Ku kepadamu adalah sebanyak-banyaknya anugerah. Pergaulan-Ku kepadamu adalah setepat-tepatnya pergaulan. Tuntutan-Ku padamu adalah sekeras-kerasnya tuntutan. Akulah pemilih setiap hati-sanubari. Akulah yang maha mengetahui segala yang ghaib. Akulah pemandang segala gerak-gerik. Akulah pengawas segala lirikan mata. Akulah yang melihat atas lintasan-lintasan hati. Akulah yang mengetahui gerakan pikiran. Dengan demikian hendaknya kalian menjadi para pemanggil demi untuk-Ku. Janganlah kamu merasa takut kepada raja dan penguasa selain-Ku. Barangsiapa yang berani memusuhi kamu, niscaya Akulah yang menjadi lawannya. Barangsiapa yang menyakiti hati kamu, niscaya Aku-lah yang akan membinasakannya. Barangsiapa yang berbuat baik kepadamu, niscaya Akulah yang akan memberinya pahala dan barangsiapa yang meninggalkan kamu, niscaya Akulah yang membencinya”.
Demikianlah penjelasan Nabi Isa tentang para Wali Allah, diperkuat dengan Hadist Qudsi.
Munajat
يَا رَبِّ عَالِمَ الْحَـالْ
Wahai Allah yang mengetahui hal hamba
إِلَيْكَ وَجَّهْتُ اْلآمـَالْ
Kepada-Mu aku hadapkan segala cita-cita
فَامْنُنْ عَلَيْناَ بِاْلإقْبـَالْ
Kurniakanlah kami nikmat perkenan dari-Mu
وَكُنْ لَناَ وَاصْلِحِ الْبـَالْ
Serta belas kasihan dan tenteramkan hati kami
يَارَبِّ يَا خَيـْرَ كـَافِي
Wahai Allah yang Maha mencukupi
اُحْلُـلْ عَلَيْنـَا الْعَـوَافِي
Berilah kami sihat afiat
فَلَيْسَ شَيْء ثَمَّ خـَافِي
Kerana tiada yang sulit atas-Mu
عَلَيْكَ تَفْصِيْلُ وَاجْمـَالْ
Segala sesuatu dalam pengetahuan-Mu
وَقَـْد أَتـَاكَ بِعُـذْرِه
Ia telah datang pada-Mu dengan dosa
وَبِانْكِسـَارِهِ وَفَقْـرِه
Dan kesedihan dan kefakirannya
فَاهْزِمْ بِيُسْـرِكَ عُسْـره
Angkatlah dengan kemudahan-Mu segala kesusahannya
بِمَحْضِ جُوْدِكَ وَاْلإِفْضَالْ
Dengan Berkat kemurahan dan kurnia-Mu
وَامْـنُنْ عَلَيـْهِ بِتَوْبـَةْ
Kurniakanlah padanya taubat
تَغْسِلْهُ مِنْ كُلِّ حَوْبـَةْ
Yang dapat menghapus segala dosa
وَاعْصِمْهُ مِنْ شَرِّ أَوْبـَةْ
Jagalah ia dari segala bahaya
لِكُلِّ مَا عَنْهُ قَدْ حـَالْ
Dari segala yang akan menimpa padanya
فَأَنْتَ مَـوْلَى الْمَـوَالِي
Engkau adalah Tuhan seluruh hamba
الْمُنْـفَرِدُ بِـالْكَمـَالِ
Yang Esa dalam kesempurnaanMu
وَبِـالْعُـلَى وَالتَّعـَالِي
Dalam ketinggian dan keagunganMu
عَلَوْتَ عَنْ ضَرْبِ الأَمْثَالْ
Maha suci Allah dari semua keserupaan
جُوْدُكَ وَفَضْلُكَ وَبِـرُّكَ
Kemurahan, kurnia, dan kebaikan-Mu
يُرْجَى وَبَطْشُكَ وَقَهْـرُكَ
Sungguh sangat di harapkan. Murka dan marah-Mu
يُخْشَى وَذِكْرُكَ وَشُكْـرُكَ
Sungguh sangat di takutkan. Berdzikir dan bersyukur pada-Mu
لاَزِمْ وَحَمْدُكَ وَاْلإِجْـلاَلْ
Adalah lazim, demikian pula memuji dan mengagungkan-Mu
وَصَـلِّ فِي كُلِّ حَالَـةْ
Selawat pada setiap masa
عَلَى مُزِيْـلِ الضَّلاَلـَةْ
Di atas nabi penghapus kesesatan
مَـنْ كَلَّمَتْـهُ الْغَزَالـَةْ
Kepadanya rusa bercakap
مُحَمَّدِ الْهـَادِي الـدَّالْ
Iaitu Muhammad penunjuk jalan
وَالْحَمْـدُ لِلّـه شُكْـرًا
Segala puji bagi Allah sebagai tanda syukur
عَلَى نِعَمٍ مِنْـهُ تَتْـرَى
Atas nikmatNya yang tidak putus
نَحْمَـدُهُ سِـرًّا وَجَهْـرًا
Kami memuji padaNya dengan rahsia dan terang
وَبِـالْغَـدَايَـا وَاْلآصـَالْ
Siang malam setiap waktu
Syair
يا سيدي يا رسول الله
يا سيدي يا رسولَ الله - يا من له الجَاهُ عند الله
إنّ الْمُسِيْئِيْنَ قدْ جَاءُوك - بالذّنْبِ يَسْتَغْفِرُونَ الله
يا سيّد الرُّسْل هَادِيْنـا - هَيـّا بِغَارة إِلَيْنا الآن
يا هِِمَّة السّادات الأقْطاَب- مَعَادِن الصِّدْقِ والسِّرّ
نَادِ المُهَاجِرصَفِيّ الله -ذاك ابْنُ عيسى أبَا السَّادات
ثُمّ المُقَدّم ولِيّ الله - غَوْث الوَرَى قُدْوَة القَادات
ثمّ الوَجِيْـه لِديْنِ الله - سَقّافَنا خَارِق الْعَادَات
والسّيّد الكامِل الأَوّاب - العَيْدرُوس مَظْهَر القُطْر
قُومُوا بِنا واكْشِفُوا عَنّا - يا سَاداتِي هذِه الأَسْوَ
وَاحْمواُ مَدِيْنَتْكُم الغَنَّا - مِنْ جُمْلةِ الشَّرّ والْبَلْوَى
Qasidah
ini menceritakan tentang tawassul kepada Rasulullah SAW dan para salaf,
di antara mereka: Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Al-Faqih Al-Muqaddam,
Abdurrahman Al-Saggaf, Abdullah Al-idrus untuk kita mendapat pengampunan
dari Allah SWT dan di jauhkan dari segala kejahatan dan musibah
PENCINTA RASULULLAH SAW.
As Sayyid Ahmad bin Tsabit al-Maghriby adalah salah satu ahli Tharekat dan gemar melakukan suluk yang pada akhirnya beliau memutuskan sebagai pengamal shalawat Nabi setelah merasakan kegembiraan luar biasa dan dan cahaya Rasul yang dilimpahkan Allah kedalam relung hatinya disebabkan cintanya pada Rasulullah saw.
Didalam kitab al-Tafakkur wa al-I'tibar fi fadhli al-Shalat ala an-Nabiyy al-Mukhtar (180 halaman) Sayyid Ahmad bin Tsabit menceritakan perjalanan ruhani nya. Pada satu malam aku bermimpi menyaksikan dua orang laki-laki bertengkar hingga saling cekik. Kemudian salah satunya berkata : "ayo kita menghadap Rasulullah untuk mencari keputusan". Mereka pun berjalan dan aku membuntutinya dari belakang. Sampailah kami di sebuah tempat yang agak tinggi, lalu salah satunya berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang ini menuduhku membakar rumahnya". Maka Rasul saw bersabda : "Apakah kamu ingin melihat dirimu dibakar api neraka?" Lalu aku terbangun tanpa sempat berkata sepatah pun dalam mimpiku itu.
Aku kemudian berdoa pada Allah agar Ia memperlihatkan padaku kelanjutannya. Maka aku tertidur, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah tanah lapang. Sayup-sayup terdengar suara :
"Wahai orang-orang yang ingin melihat Rasulullah, ayolah ikut kami". Tiba-tiba
ada rombongan orang yang mengikuti kami, mereka berpakaian serba
putih, maka aku berkata kepada salah satu dari mereka : "Hai kamu,
aku minta padamu dengan nama Allah Yang Maha Agung dan dengan kemuliaan
Nabi-Nya yang mulia, agar kamu beritahukan kepadaku dimanakah
Rasulullah saw? " Ia menjawab bahwa Rasulullah berada di tempat seseorang. Maka
aku berdo'a kepada Allah dengan kemuliaan shalawat kepada NabiNya agar
Allah menyampaikan diriku di hadapan Rasulullah sebelum sampainya
rombongan itu, agar aku dapat berduaan dengan beliau dan mengutarakan
keperluanku. Tiba-tiba aku terangkat oleh sesuatu bagaikan kilat
membawaku kehadapan Beliau, kudapati Beliau sedang menghadap kiblat
sementara cahayanya memancar dari wajahnya. Aku pun mengucapkan salam.
"Ash-Shalatu Wassalamu 'Alaika Ya Rosulallah (salam sejahtra kepadamu wahai Rasulullah)"
Lalu Beliau menjawab : "Selamat datang bagimu".
Wajahku terlihat bimbang di dalam biliknya itu, lalu aku berkata "Wahai Rasulullah, aku ingin engkau berwasiat padaku dengan satu nasihat yang Allah berikan manfaat bagiku".
Maka beliau berkata : "Tambahkan shalawatmu padaku".
Kemudian aku berkata : "Wahai Rosulallah, berilah jaminan padaku agar aku menjadi wali Allah".
"Sungguh aku menjaminmu mati dalam husnul khatimah". Jawab Nabi saw.
Aku berkata lagi :"Berilah jaminan agar aku menjadi wali Allah wahai Rasulullah".
Beliau bersabda :"Aku menjamin dirimu pasti mati dalam husnul khatimah".
Aku berkata lagi :"Wahai Rasulullah berilah garansi padaku agar menjadi salah satu wali Allah".
Maka Beliau bersabda : "Tidakkah kau tahu bahwa sesungguhnya seluruh wali Allah memohon kepada Allah agar mati husnul khatimah, dan aku benar-benar menjamin dirimu akan mati dalam husnul khatimah".
Kemudian aku berkata :"saya terima wahai Rasulullah dari dirimu". Lalu muncullah dalam benakku agar Allah memperlihatkan padaku Nabi Khidir as, namun Rasulullah berkata sebelum aku meminta. "Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku dan berkunjung kesebuah makam, maka apa yang kamu niatkan akan kami tunaikan bagimu".
Pada saat itu muncullah di hatiku rasa malu kepada Rasulullah karena aku berjumpa dan melihat pemimpin penduduk langit dan bumi ini sementara aku belum cukup dengan dirinya. Maka aku berkata: "Wahai Raasulullah tidak satupun Nabi dan Rasul ataupun satu dari wali Allah dan juga Nabi Khidir as. Melainkan mereka terlahir dari cahayamu, dan dari samudramu mereka menimba, dan tatkala aku melihatmu maka seolah-olah aku melihat mereka semua. Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah".
Kemudian datanglah rombongan yang dibelakangku mereka semua mengucapkan serentak dengan meriah : "Ash-Shalatu Wassalamu 'Alaika Ya Rasulallah (salam sejahtera bagimu wahai Rasul Allah)".
Merekapun masuk ke dalam ruangan, sementara aku tetap duduk disamping Rasul saw. Maka beliau menyambutnya dengan gembira, kecuali terhadap satu orang yang beliau usir dengan sabdanya : "Hai pergi jauhlah dariku, wahai tampang neraka". Aku melihatnya, yang ternyata orang itu posturnya tidak seperti rombongan itu, sepertinya ia syetan. Ketika perbincangan Beliau dengan rombongan tersebut telah selesai, maka beliau berkata : "Silahkan kembali semoga Allah memberkati kalian (barakallahu fikum), tinggalkan aku bersama kekasihku ini". Sambil beliau menunjuk diriku. Maka aku bersyukur kepada Allah atas hal itu. Kemudian "Berilah kepadaku nasihat yang berguna bagiku di sisi Allah".
Beliau menjawab : "Tambahkan shalawatmu kepadaku serta bersikap zuhudlah di dalam dunia dan hindarilah permainan atau senda gurau".
Lalu aku terbangun dari tidur sembari berkata dalam diriku "Aduh permainan apakah gerangan yang harus kutinggalkan?". Kuhabiskan waktuku untuk memikirkan hal itu tapi permainan tersebut tidak tampak bagiku, maka kuserahkan semua pada Allah seraya berkata dalam diriku, "Jika senda gurau ini menimpaku, maka kuucapkan tiada upaya menolak keburukan tiada daya mendatangkan kebaikan melainkan atas izin Allah dan tidak ada yang terpelihara dari urusan Allah melainkan orang yang dikasihi Allah ".
Semoga Allah membuka celah bagi kita agar kita istiqamah lahir bathin dalam menyanjung hati Kekasih Allah tersebut, semoga pula Allah memberikan Ridho_Nya kepada segala sholawat kita kepada Nabi Muhammad saw. Aamiin
Kisah Adzan Terkahir Bilal bin Rabbah RA
Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah
radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam,
lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui
Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya
di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri
untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda
kepadanya : ”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan
sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda
lagi untuk kedua kalinya :” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun
membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.
Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka
bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa
pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata :
”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku : ”Wahai Fathimah, aku akan
meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati
tangisanku beliau kembali berkata kepadaku :” Engkau wahai Fathimah,
adalah keluargaku yang pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain,
beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati
dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang
hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.
Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda :”
Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda :” Mendekatlah
kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah
radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata :” Beliau mengangkat tangan beliau
seraya bersabda :” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka
diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih
diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassalam seraya berkata :” Malaikat maut ada di pintu, meminta
izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada
seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya :” Izinkan untuknya
wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata :” Assalamu’alaika
wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan
kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di
Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :” Bahkan aku
memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih
Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah yaitu : para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati
syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang
sebaik-baiknya.”
‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia
mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a :
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada
ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku
minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala
salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh
Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb
yang ridha dan tidak murka.”
Sayyidah ‘Aisyah berkata :”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan
sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata :”Aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar
dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan
kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah
telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut,
‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan
tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
anhu berkata :” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya
dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana
Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yang paling
tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata :”Wahai
sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan
dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata :” Barangsiapa
menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa
yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak
akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk
menyendiri dan aku menangis sendiri.” Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah
orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha
ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63
tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi
kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung
yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih,
burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai,
angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan
seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai
rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria
yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.
Waktu shalat telah tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah.
Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar
bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi
dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada
apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria
legam itu bergetar tak beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan
Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan,
seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga.
Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air
matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah
tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya
yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air
hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu
kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin
Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong. Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang
berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut
menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk
selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang
tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq
radhiyallahu anhu tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat
mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya
di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya.
Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata,
“Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu
dengannya”.
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak. Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya
berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda
Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak
adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat.
Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang
berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di
depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya
untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar
dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah
diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan
shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di
tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga
tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk
dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu
saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya
tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu
bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang
sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup
lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk
tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal
meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan.
Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan
akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu.
Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung
dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal
al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi
memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal
mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan
azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu
Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota
Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga
kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu
dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad
shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan
Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim
menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke
Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya
untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan;
berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang
mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya
menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan
pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk
bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali
menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.
Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal
menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah
menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai
Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu
besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang
dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali
mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga
ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening
yang legendaris itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
…
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan
kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul,
menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro
komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu
menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan
Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan. “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para
jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin
menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak.
Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang
perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah
bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
…
…
…
…
Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan
mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan,
walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan
membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah.
Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak
wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian
orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak
milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal
diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung
Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid,
Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat
Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah
mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah
binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin
Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin
al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat
dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera
tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap
sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang
sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih
memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang
yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu,
tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya
tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka
sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti
ajaran Muhammad.
Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa
henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang
pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang
Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu,
lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar
oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di
sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa
mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh
orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya,
mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara
lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih
terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah
dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin
Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang
Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah
Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang
panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin
meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru
memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang
kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin
Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya
kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di
jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal
menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan
Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…,
Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada
Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga
berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi
ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah
emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya,
kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu
untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.” Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman
para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada
Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk
membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan
sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah,
termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal
satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka
terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan
gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan
perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah
ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk
siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil
melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan
orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap
perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad.
Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat
bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun
Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk
sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah
Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu
rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya
‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari
meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera
melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak
pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali
bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian,
beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi
hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha),
dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan
beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar.
Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi
janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya
para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat
Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus
pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak
orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah,
beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang
panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya
ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci
Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin
Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru
masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya
menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat
bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal
bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid
dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam
dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang
bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti
kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang
yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di
dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat
kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami
tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.”
Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah
memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.”
Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku,
mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang
sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini
(Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku
tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau
hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin
Abdullah.”
Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat
di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
…
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya
saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan
kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami
tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada
istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku
akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar
sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya
terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan
yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia
rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat
masih di dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Unggulan
Maksiat Hati.
Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...
Entri paling diminati
-
Ibnu Mash’ud berkata: “Ketika Rosulullah saw telah mendekati ajalnya, beliau mengumpulkan kami sekalian dikediaman ibu kita Siti Aisyah, kem...
-
Foto dari Dokumentasi Perpustakaan MEKKAH, tentang 4 orang Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedan...
-
Rahasia nasehat dari sufi adalah sebuah pahaman menuju "Jejak keagungan", t api terhadap peristiwa ini se...