Ahlul Bait, Penebar Rahmat Bukan Laknat

 
 
Membaca rekam jejak Baginda Nabi SAW dengan tekun dan lebih seksama, kita bakal mafhum betapa beliau SAW adalah pribadi yang sempurna. Beliau SAW sama sekali tak membekaskan cela dalam rentang sejarah yang beliau SAW jalani. Setiap langkah, ucap, laku, dan sikap yang pernah ditorehkan Rasulullah SAW adalah teladan yang paling layak untuk diikuti oleh umat manusia. Allah SWT berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (al-Ahzab ; 21)

Inti ajaran Kanjeng Nabi SAW adalah kasih sayang. Bukan hanya kepada umat Islam, akan tetapi kepada umat manusia, bahkan kepada seluruh alam semesta. Nilai-nilai yang senantiasa beliau SAW ajarkan kepada keluarga (ahlul bait) dan para sahabat adalah tentang kasih sayang, baik dengan ucapan maupun tingkah-laku. Di dalam Al-Quranul Karim, Allah SWT sendiri telah menegaskan pribadi Rasulullah SAW sebagai penabur kasih sayang di alam raya. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“dan tidaklah Aku (Allah) utus engkau (wahai Muhammad), kecuali sebagai penebar rahmat untuk alam semesta” (al-Anbiya’ ; 107)

Rahmat, atau kasih sayang yang ditabur Rasulullah SAW mencakup seluruh makhluk, lebih-lebih kepada kaum mukminin, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rahmat yang diusung Baginda Rasul SAW sangatlah besar dan luas, dan telah teruji oleh berbagai peristiwa yang menimpa beliau SAW di masa-masa awal dakwah. Kita maklum adanya bahwa ketika beliau dilempari batu oleh kaum kafir hingga berdarah-darah, tidak keluar dari lisan beliau ucapan-ucapan atau doa yang penuh dendam kesumat. Justru kalimat-kalimat indah yang beliau unjukkan,

اللهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ ، رواه البخاري

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka belum tahu.”

Demikian pula ketika Rasulullah didatangi malaikat penjaga gunung, meminta izin untuk menumpahkan dua gunung kepada kaum yang telah mencederai Beliau, maka Rasulullah SAW pun spontan menolak seraya berkata :

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، رواه البخاري

“ akan tetapi aku berharap Allah mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (H.R. Bukhori)

Pada doa itu tersirat makna yang dalam yang menunjukkan betapa beliau amat rahmat terhadap umatnya. Coba perhatikan. Pertama, beliau memintakan ampunan untuk mereka. Lalu, beliau mengakui mereka sebagai kaumnya. Beliau tidak mengatakan ‘ampunilah mereka’, tapi beliau katakan ‘ampunilah kaumku’. Tak cukup itu, beliau juga memberikan alasan agar mereka benar-benar diampuni oleh-Nya. Beliau mengemukakan,

فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْن

“Sesungguhnya mereka belum tahu.”

Beliau juga mendoakan anak turunan mereka agar kelak dijadikan orang beriman dan menyembah Allah SWT. Inilah kunci sukses dakwah beliau dalam mengajarkan Islam.
Sifat kasih sayang beliau SAW amatlah terang benderang. Perihal itu bisa kita ketahui dari riwayat-riwayat hadis yang mendedahkan fakta bahwa lisan beliau tak pernah mengucapkan kata-kata cercaan dan caci maki. Beliau SAW sendiri bersabda,

” إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا . وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً “رواه مسلم

“Aku tidak diutus sebagai juru laknat. Aku diutus sebagai penyemai rahmat”
Terhadap makanan pun, Baginda Nabi SAW tak pernah mengeluarkan kata-kata celaan dan caci-maki. Bila beliau SAW berselera, maka beliau akan memakan hidangan yang ada. Bila sedang tak berselera, maka akan beliau tinggalkan, tanpa disertai komentar apapun.
Suatu waktu, beliau SAW masuk ke dalam rumah salah satu istrinya dan bertanya, “ada makanan?” dijawab, “hanya ada cuka.” Maka beliau pun bersabda,

نِعْمَ اْلإُدُمُ اَلْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk adalah cuka.”
Bahkan kepada pihak-pihak yang mencanangkan sikap permusuhan, yakni kaum kuffar Quraiys, beliau SAW tetap bersikap penuh rahmat. Kita tahu, mereka ini sangat kejam dan represif kepada Rasulullah SAW dan para sahabat ketika masih di Mekah. Akan tetapi, tatkala Mekah telah ditaklukkan Rasulullah SAW, mereka sama sekali tak mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sifatnya balas dendam. Mereka malah mendapatkan perlindungan dan pengamanan, padahal hati mereka diliputi rasa takut ketika itu, mereka berdebar menanti keputusan Rasulullah SAW, dan tak seorang pun berani keluar, seakan Mekah berubah menjadi kubur tak berpenghuni. Sungguh tak mereka duga Rasulullah SAW akan memaafkan mereka seraya berkata :

“Aku hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya:

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينْ

“Tiada cercaan atas kalian pada hari ini, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.”.

Mendengar pernyataan Rasulullah ini mereka pun keluar dari rumah-rumah mereka seakan baru dibangkitkan dari kubur untuk bersama-sama masuk islam. (H.R. Al-Baihaqi)

Luluhlah hati kaum kuffar Quraiys, mereka malu dan segan melihat pekerti agung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kasih sayangnya. Lidah pun kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun.

Mulailah bersemi rasa cinta di dalam hati para kuffar Quraiys. Tumbuh pula kecondongan mereka terhadap nilai-nilai mulia yang diteladankan Baginda Rasul SAW. Sungguh indah dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai inilah yang sejatinya terus dipegang-teguh oleh ahlul bait beliau SAW. Kita saksikan bagaimana Imam Ali kw. tak pernah mengecam orang-orang yang tidak patuh padanya. Begitu pun ahlul bait setelahnya, yakni Imam Hasan imam Husein. Mereka tahu bahwa ayah mereka dilaknat di mimbar-mimbar. Bahkan pada saat itu seakan menjadi keharusan bagi khotib untuk melaknat Sayyidina Ali. Tapi tidak setitik pun kesumat membara di hati mereka berdua. Tak ada kata laknat keluar dari lisan mereka. Sikap ini diikuti generasi ahlulbait selanjutnya, seperti Imam Ali Zainal Abidin, imam Muhammad al-Baqir, dan Imam Jakfar Shodiq. Mereka adalah pewaris akhlak, sifat dan hal datuk mereka, Rasulullah SAW sebagai penebar rahmat, bukan penyebar laknat.
Nah, bagi mereka yang menyatakan diri sebagai para pecinta ahlul bait Nabi SAW, seyogianya mereka berlaku seperti para ahlul bait: sebagai penebar rahmat. Baiknya mereka banyak-banyak mengucapkan kalimat santun dan mendoakan umat,

اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لَهُمْ ، اَللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي

“Ya Allah, Ampuni mereka, berilah kaumku hidayah.”

Sebab memang itulah yang diajarkan para pemuka ahlul bait, bukan sebaliknya, menyebarkan laknat dan mengobarkan dendam kesumat. Tidak ada satu pun ajaran ahlul bait yang membenarkan sikap mencaci orang-orang yang memusuhi Imam Ali, apalagi menganggap cacian dan laknat ini sebagai bukti cinta ahlul bait. Kalau memang cinta ahlul bait, buktikanlah dengan meneladani sikap mereka yang santun dan penuh rahmat.
Bukankah setan, Firaun, kaum Tsamud, atau Abu Jahal adalah makhluk-makhluk yang keji dan nista yang berhak dilaknat. Tapi tidak ada satupun ayat atau hadits yang memerintahkan kita melaknat setan dan musuh-musuh Rasul SAW itu. BAGAIMANA PULA TERHADAP ORANG-ORANG ISLAM YANG BERIMAN PADA ALLAH SWT DAN RASUL SAW, APALAGI YANG PERNAH DUDUK BERSAMA RASULULAH SAW?

Sumber: http://www.forsansalaf.com/2010/ahlul-bait-penebar-rahmat-bukan-laknat/

1 komentar:

  1. APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

    Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

    1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

    2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

    3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

    Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:

    1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.

    2. Saudara kandung para nabi/rasul.

    3. Isteri-isteri beliau.

    4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.

    Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.

    Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    “Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

    BalasHapus

Entri Unggulan

Maksiat Hati.

Ketatahuilah bahwasanya agama islam sangat mengedepankan akhkaq yang baik serta hati yang bersih dari segala penyakit yang akan menyengsarak...

Entri paling diminati